- Beranda
- Stories from the Heart
Ordo (1300 AD) : Perkumpulan Rahasia
...
TS
Linecore
Ordo (1300 AD) : Perkumpulan Rahasia
Order 1300 AD : Secret Society
codex regius
Gw share 1 bab sebagai contoh, latihan, atau template. Apa saja yang bisa ditulis dalam 1 Bab. Terdiri dari 2 bahasa indonesian-english jumlah total 22 halaman. Bahasa indonesia saja 1 bab jumlah total 11 halaman (2000 kata kurang).
Ini bagian tulisan gw yang lama yang di reworks. Seperti What ifjika keadaan yang dijalani tokohnya tidak 100% sama seperti tulisan gw dulu. Tokoh-tokohnya masih tetap sama yang dahulu baca familiar.
- - - - - -
BAB 1
Spoiler for Halaman 1-2:
Spoiler for Halaman 3-4:
Spoiler for Halaman 5-6:
Spoiler for Halaman 7-8:
Spoiler for Halaman 9-10:
Spoiler for Halaman 11-12:
Spoiler for Halaman 13-14:
Spoiler for Halaman 15-16:
Spoiler for Halaman 17-18:
Spoiler for Halaman 19-20:
Spoiler for Halaman 21-22:
Bab 1 bahasa Indonesia Hlm 1-22
Quote:
Sayap Malaikat yang terbuka begitu indah, menggambarkan sosok Malaikat Allah yang menghunuskan sabre melawan kejahatan. Pemandangan itu yang dilihat banyak orang di galeri seni ini yang sedang memandang ke arah karya kopian dari Maha Karya St. Michael oleh Anton von Verschaffelt. Menjadi pusat perhatian pengunjung, patung ini juga menjadi perhatian dari lelaki muda itu yang mengenakan jaket hitam panjang melebihi lututnya dan memiliki tudung kepala yang tersibak di punggungnya.
Sa’id Ibrahim adalah namanya. Ia adalah pemuda keturunan Palestina yang kini tinggal menetap di Florence, Italia. Rambutnya hitam ikal agak gondrong, kedua matanya berwarna biru safir. Kulitnya putih terlihat agak pucat. Dikenakan olehnya kemeja putih lengan panjang formal di badannya, yang dibalut jaket hitam panjang selutut dari bahan katun tebal yang memiliki ekstensi tudung kepala pada bagian leher. Celana ia gunakan celana kargo hitam serta sepatu boots hitam militer. Kedua telapak tangannya dibalut sarung tangan kulit hitam.
“Santo Michael, Malaikat Agung yang telah mengalahkan Iblis dan menjatuhkannya bersama 1/3 bintang di langit,” ujar suara pelan seorang wanita di sampingnya. Ibrahim melirik ke arah suara, melihat seorang wanita muda yang memiliki rambut panjang hitam sedikit bergelombang sedang menatap patung Michael sama sepertinya, “namaku Miriam Magdalena, aku yang diminta Paus Vatikan untuk menemuimu, tuan Ibrahim."
Para pengunjung galeri seni itu diabaikan olehnya. Lalu-lalang orangnya ataupun yang sedang diam memandangi karya seni. Kedua mata pemuda itu hanya fokus pada wanita di sampingnya ini yang mengenakan gaun hitam. Dia tidak mengenakan coif sebagaimana biarawati, dia seperti wanita biasa yang cantik dengan rambut terurai berpakaian mewah elegan dengan model belahan dada rendah, sehingga belahan payudaranya terlihat di bawah kalung rosary perak yang melingkar di sekitar lehernya.
Selalu ada kisah tentang benda suci dan relik, seperti tombak longinus dan kain turin Yesus, itu adalah apa yang menjadi perhatian Tahta Suci Vatikan. Namun ini, seorang wanita, adalah permintaan langsung dari Paus Vatikan sendiri kepada Ibrahim. Permintaan langsung melalui surat yang distempel lilin merah bercap, bahkan Grandmaster Ordo sendiri tidak bisa menolak permintaan itu.
Pengusiran setan adalah permintaan khusus yang membutuhkan izin langsung dari Vatikan. Ibrahim menduga ini adalah masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh pastor. Ketika Ordo turun tangan, maka itu seperti sebarisan pembunuh diturunkan untuk membereskan masalah di balik layar. Lalu wanita ini, Ibrahim tidak tahu mengapa paus mengirimnya dan tugas dirinya adalah untuk melindungi wanita ini. Ibrahim tidak pernah menginginkan untuk kembali ke lapangan lagi, sejak insiden terdahulu dia lebih suka untuk hidup menyendiri.
Mereka berdua melangkah berjalan keluar dari gedung galleri. Langkah sepatu boots Ibrahim yang berjalan duluan terdengar beriringan dengan suara hak sepatu hitam yang dikenakan Miriam. Dibalik gaun hitamnya, jenjang kakinya terbalut stocking hitam terikat garter belt. Setiap gerakan tubuhnya, kedua payudaranya bergoyang pelan indah yang mengisyaratkan ia tidak mengenakan bra. Tidak ada percakapan di antara mereka hingga akhirnya keduanya tiba di teras jalanan luar yang membelah dua bagian gedung di kiri-kanannya. Galeri ini adalah Galeri Uffizi.
“Tidak banyak bicara ya?”, tegur Miriam pada Ibrahim. Pria itu tidak menggubris dan hanya membuka pintu depan kemudi BMW M4, lalu melirik Miriam agar masuk juga ke dalam mobil sedannya. Wanita yang terlihat agak kesal itu beranjak dari sampingnya berjalan memutar lalu membuka pintu di samping kemudi. Dia tidak ingin duduk di belakang seperti penumpang. Mereka berdua lalu mengencangkan sabuk pengamannya sebelum akhirnya mesin mobil dinyalakan. “Bismillah,” ucap Ibrahim, lalu menjalankan mobil BMW hitam itu keluar dari wilayah Galeri Uffizi.
Mobil yang diisi dua orang yang dikirim vatikan itu bergerak melewati jalan beraspal berbelok di area Tuscany. Tidak banyak mobil yang lewat, jalanan terlihat lega dengan pemandangan indah di arah kiri dan kanannya; memperlihatkan pegunungan dari kejauhan, padang hijau yang luas juga deretan pohon indah. Miriam di dalam mobil membaca berkas file di map cokelat melihat tulisan data yang disunting hitam dengan spidol. Dia berusaha mengerti info apa yang diberikan walaupun informasinya dirahasiakan. Ada beberapa gambar foto juga yang tersedia seperti luka di kedua telapak tangan yang terus mengeluarkan darah hingga membusuk, begitu juga luka pada kedua tempurung kaki. Seperti fenomena Stigmata.
“Jika dalam kepercayaan penganut katolik ini adalah keajaiban. Merasakan apa yang dirasakan Yesus di Kayu Salib. Akan tetapi vatikan tetap ingin memeriksa apakah ini benar-benar keajaiban yang memperkokoh iman korbannya atau ini semua adalah pekerjaan setan,” bicara pelan Miriam ingin Ibrahim mendengar.
“Itu adalah pekerjaan manusia,” potong Ibrahim membuat Miriam melirik ke arahnya yang sedang mengemudikan mobilnya pada kecepatan 50km/jam. “Jauh di masa lalu sekitar tahun 1980, ada fenomena seperti ini dan itu adalah kasus supernatural. Lukanya pulih dan korbannya dianggap sebagai santa oleh masyarakat sekitar. Dipercaya bisa menyembuhkan, dipercaya diberkati Tuhan. Lalu ia kemudian berakhir dibunuh dengan cara dimutilasi. Pada era 2000 kasus seperti ini muncul kembali yang beritanya diredam vatikan, ketika diselidiki itu adalah luka yang dibuat oleh manusia. Seperti penyiksaan, lukanya adalah nyata namun kisah yang disebarkan itu fiktif. Itu mengapa Ordo ikut campur dalam masalah ini.”
“Karena ini tentang manusia?” tanya Miriam penasaran.
“Jika berkaitan dengan manusia yang bersinggungan dengan pembunuhan atas nama kepercayaan dibalut spiritual ataupun setan, itu menjadi pekerjaan kami,” tegas Ibrahim.
Bagasi belakang mobil BMW M4 itu terbuka. Miriam yang juga telah keluar dari mobil melihat Ibrahim sedang sibuk dengan benda yang ada di bagasi belakang mobil. Dia melihat ke sekelilingnya tidak mengenal tempat ini; sekelilingnya adalah wilayah bangunan kosong terbengkalai di wilayah luar kota. Seperti wilayah kumuh. Miriam menyilangkan kedua tangannya itu di dadanya, mengamati tempat ini yang terlihat sepi walaupun ada gelandangan sedang tidur di ujung jalan diselimuti kardus untuk melindunginya dari hujan. Lagi sudah mulai gelap, tidak ada matahari dan sepertinya akan turun hujan.
Ibrahim mengenakan holster di ketiaknya. Tali holster yang ada pada dadanya ia pasangkan buckle-nya, sehingga holster yang ia kenakan seperti tas pada ketiak-punggungnya, terikat kuat menekan kemeja putih serta jaket hitam panjangnya yang di bawah lutut. Diambilnya satu pistol Beretta 92 berwarna hitam, lalu ia simpan pada holster ikat pinggang di belakang pinggangnya. Miriam melihat itu. Apakah harus membawa senjata api? ujarnya dalam hati namun tidak mengeluarkan suaranya untuk bertanya. Ibrahim lalu juga mengambil arming sword(pedang satu tangan) dengan bentuk seperti salib perak, ini adalah pedang yang biasa digunakan di era perang salib oleh para crusader. Pemuda Palestina itu menyimpan pedang itu di belakang punggungnya masuk ke dalam sarung holster berbentuk persegi panjang strap dari bahan kulit.
“Urusan exorcisme aku serahkan padamu, Miriam,” seru Ibrahim. Wanita itu mengerti dan mengambil senter hitam yang disodorkan kepadanya oleh Ibrahim. “Kamu tidak memberiku senjata?” tanya Miriam. Diberikan pistol Beretta PX4 kaliber 9mm yang mudah dioperasikan, berukuran compact mudah juga masalah recoil dan berat senjatanya. Senjata ini biasa digunakan sebagai pertahanan diri. “Jika ingin menembak, buka dulu safety slide-nya. Tembak hanya untuk melindungi dirimu. Selebihnya aku yang akan menjagamu,” ucap Ibrahim memberikan itu ke genggaman tangan wanita gereja. “Merci (Terima kasih),” jawab Miriam.
Ibrahim menyalakan senter L yang terpasang pada dada atas holster kirinya. Cahaya putih led itu menerangi lantai pertama dari pintu depan. Gedung ini adalah gedung rusun setinggi lima lantai. Terdapat barisan ruangan kamar di lantai satu yang terbengkalai juga tangga L menuju ke lantai atas. Kondisi bangunannya tidak terawat, dindingnya retak dan catnya terkelupas. Tidak ada cahaya selain dari senter pada Ibrahim dan juga Miriam. “Ini alamat yang diucapkan gadis itu. Kita hanya perlu menuju ke nomor ruangan yang disebutkan,” Ibrahim berjalan pelan masuk sambil memegang pistol Beretta 92 dalam posisi membidik siap. Miriam mengikutinya berjarak 2 langkah di belakang, ia merasakan udara di dalam gedung ini dingin. Rasa dinginnya merasuk. “Kerasukan oleh korban dan meminta keadilan, ini jarang terjadi namun pernah terjadi,” ujar Miriam.
“Itu mengapa vatikan khawatir, karena apakah benar ini adalah roh korban yang meminta tolong karena tragedi ataukah tipu daya setan yang ingin kita sampai di tempat ini?” sahut Ibrahim mulai menaiki tangga sambil membidikkan pistolnya ke arah atas, memastikan tidak ada apapun yang muncul, dan mungkin menyerang mereka.
Di lantai dua mereka berdua melihat lilin menyala di atas lantai di ujung lorong. Jika ingin melanjutkan ke lantai atas, mereka tinggal melanjutkan saja menaiki tangga, tetapi nyala lilin itu, serta jejak darah pada tembok mengusik pikiran Ibrahim. Miriam merasa tidak nyaman dengan kondisi lantai dua yang gelap dan mencekam dan rasanya udaranya lebih dingin, itu seperti memberi isyarat bahwa ini buruk jika harus mengecek lantai. Ibrahim tetap melangkah berjalan pelan membidik pistolnya. Miriam yang mulai agak takut mengikutinya dari belakang. Dia melihat bangkai gagak berserakan, begitu juga bangkai tikus yang membuat dirinya mual akibat bau menyengat yang semakin kuat. Bekas darah di dinding juga membentuk simbol-simbol aneh seperti tulisan mesir. Sebagian lagi seperti huruf ibrani dan beberapa itu aramaic. Dupa dibakar di ujung lorong di dekat nyala lilin dengan aroma kayu manis. Ada ritual di lantai dua ini yang disadari Ibrahim dan Miriam.
Dimatikan nyala lilin itu oleh Ibrahim, membuat lorong itu yang kiri kanannya terdapat barisan pintu kamar menjadi gelap. Satu-satunya cahaya didekatnya hanya muncul dari senter keduanya. Di tempatnya sedang berlutut dan Miriam masih berdiri, terdengar suara dari tangga tempat mereka naik di ujung sana. Di areal tangga ada sedikit ventilasi sehingga sedikit cahaya bisa masuk. Miriam melihat sosok wanita berbaju putih dengan rambut panjang hitam dalam posisi membungkuk melayang pelan di ujung tangga untuk naik ke lantai atas. Itu membuatnya kaget, “Kamu melihatnya?!” sontaknya pada Ibrahim yang masih berlutut menoleh ke belakang ke arah ujung lorong tangga. “The Lady in White, Pontianak, atau Banshee,” ujar Ibrahim. Nafas Miriam masih memburu dia masih kaget. Dirinya berusaha tenang agar jantungnya tidak lagi berdetak cepat.
“Kita tidak sendirian. Lilin menyala artinya ada yang menyalakan,” Ibrahim lantas bangkit berdiri membidik ke arah ujung lorong, sambil mulai kembali berjalan ke arah tangga naik. Dia yang mengenakan jaket hitam panjang mulai merasakan rasa dingin ruangan menusuk. Miriam tidak membidikkan pistolnya itu. Tangan kanannya ia arahkan ke bawah, sedangkan tangan kirinya ia pegang senter dan mengarahkannya ke depan membantu penerangan Ibrahim. “Tulisan dinding menggunakan darah itu sedikit bisa kubaca itu bicara tentang gerbang, tuhan lampau, Elohim lain, aramaic mesias. Omong kosong yang tidak membentuk kalimat. Hanya kata berdiri sendiri,” ungkap Miriam.
“Leitmotif yang sering kulihat,” jawab Ibrahim. “dan kutebak kita akan menemukan kata lain yaitu Yaldabaoth, tetragrammaton, Keter.”
“Kamu ahli dibidang ini ya? Aku mengerti kenapa Paus mengirimmu. Kamu masih siaga walaupun melihat fenomena seperti tadi,” celetuk Miriam.
Ibrahim bergumam, “Hanya sering berkonflik dengan kelompok yang sering melakukan ritual dan pembunuhan. Walaupun mantra mereka berbeda, tetapi yang disembah tetap sama. Entitas yang jahat. Mereka yang dicuci otak, terasuki, menjadi keji, hilang rasa kemanusiaannya, itu yang kami lenyapkan.”
Bab 1 Bahasa Indonesia halaman 1-22 End
Sa’id Ibrahim adalah namanya. Ia adalah pemuda keturunan Palestina yang kini tinggal menetap di Florence, Italia. Rambutnya hitam ikal agak gondrong, kedua matanya berwarna biru safir. Kulitnya putih terlihat agak pucat. Dikenakan olehnya kemeja putih lengan panjang formal di badannya, yang dibalut jaket hitam panjang selutut dari bahan katun tebal yang memiliki ekstensi tudung kepala pada bagian leher. Celana ia gunakan celana kargo hitam serta sepatu boots hitam militer. Kedua telapak tangannya dibalut sarung tangan kulit hitam.
“Santo Michael, Malaikat Agung yang telah mengalahkan Iblis dan menjatuhkannya bersama 1/3 bintang di langit,” ujar suara pelan seorang wanita di sampingnya. Ibrahim melirik ke arah suara, melihat seorang wanita muda yang memiliki rambut panjang hitam sedikit bergelombang sedang menatap patung Michael sama sepertinya, “namaku Miriam Magdalena, aku yang diminta Paus Vatikan untuk menemuimu, tuan Ibrahim."
Para pengunjung galeri seni itu diabaikan olehnya. Lalu-lalang orangnya ataupun yang sedang diam memandangi karya seni. Kedua mata pemuda itu hanya fokus pada wanita di sampingnya ini yang mengenakan gaun hitam. Dia tidak mengenakan coif sebagaimana biarawati, dia seperti wanita biasa yang cantik dengan rambut terurai berpakaian mewah elegan dengan model belahan dada rendah, sehingga belahan payudaranya terlihat di bawah kalung rosary perak yang melingkar di sekitar lehernya.
Selalu ada kisah tentang benda suci dan relik, seperti tombak longinus dan kain turin Yesus, itu adalah apa yang menjadi perhatian Tahta Suci Vatikan. Namun ini, seorang wanita, adalah permintaan langsung dari Paus Vatikan sendiri kepada Ibrahim. Permintaan langsung melalui surat yang distempel lilin merah bercap, bahkan Grandmaster Ordo sendiri tidak bisa menolak permintaan itu.
Pengusiran setan adalah permintaan khusus yang membutuhkan izin langsung dari Vatikan. Ibrahim menduga ini adalah masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh pastor. Ketika Ordo turun tangan, maka itu seperti sebarisan pembunuh diturunkan untuk membereskan masalah di balik layar. Lalu wanita ini, Ibrahim tidak tahu mengapa paus mengirimnya dan tugas dirinya adalah untuk melindungi wanita ini. Ibrahim tidak pernah menginginkan untuk kembali ke lapangan lagi, sejak insiden terdahulu dia lebih suka untuk hidup menyendiri.
Mereka berdua melangkah berjalan keluar dari gedung galleri. Langkah sepatu boots Ibrahim yang berjalan duluan terdengar beriringan dengan suara hak sepatu hitam yang dikenakan Miriam. Dibalik gaun hitamnya, jenjang kakinya terbalut stocking hitam terikat garter belt. Setiap gerakan tubuhnya, kedua payudaranya bergoyang pelan indah yang mengisyaratkan ia tidak mengenakan bra. Tidak ada percakapan di antara mereka hingga akhirnya keduanya tiba di teras jalanan luar yang membelah dua bagian gedung di kiri-kanannya. Galeri ini adalah Galeri Uffizi.
“Tidak banyak bicara ya?”, tegur Miriam pada Ibrahim. Pria itu tidak menggubris dan hanya membuka pintu depan kemudi BMW M4, lalu melirik Miriam agar masuk juga ke dalam mobil sedannya. Wanita yang terlihat agak kesal itu beranjak dari sampingnya berjalan memutar lalu membuka pintu di samping kemudi. Dia tidak ingin duduk di belakang seperti penumpang. Mereka berdua lalu mengencangkan sabuk pengamannya sebelum akhirnya mesin mobil dinyalakan. “Bismillah,” ucap Ibrahim, lalu menjalankan mobil BMW hitam itu keluar dari wilayah Galeri Uffizi.
Mobil yang diisi dua orang yang dikirim vatikan itu bergerak melewati jalan beraspal berbelok di area Tuscany. Tidak banyak mobil yang lewat, jalanan terlihat lega dengan pemandangan indah di arah kiri dan kanannya; memperlihatkan pegunungan dari kejauhan, padang hijau yang luas juga deretan pohon indah. Miriam di dalam mobil membaca berkas file di map cokelat melihat tulisan data yang disunting hitam dengan spidol. Dia berusaha mengerti info apa yang diberikan walaupun informasinya dirahasiakan. Ada beberapa gambar foto juga yang tersedia seperti luka di kedua telapak tangan yang terus mengeluarkan darah hingga membusuk, begitu juga luka pada kedua tempurung kaki. Seperti fenomena Stigmata.
“Jika dalam kepercayaan penganut katolik ini adalah keajaiban. Merasakan apa yang dirasakan Yesus di Kayu Salib. Akan tetapi vatikan tetap ingin memeriksa apakah ini benar-benar keajaiban yang memperkokoh iman korbannya atau ini semua adalah pekerjaan setan,” bicara pelan Miriam ingin Ibrahim mendengar.
“Itu adalah pekerjaan manusia,” potong Ibrahim membuat Miriam melirik ke arahnya yang sedang mengemudikan mobilnya pada kecepatan 50km/jam. “Jauh di masa lalu sekitar tahun 1980, ada fenomena seperti ini dan itu adalah kasus supernatural. Lukanya pulih dan korbannya dianggap sebagai santa oleh masyarakat sekitar. Dipercaya bisa menyembuhkan, dipercaya diberkati Tuhan. Lalu ia kemudian berakhir dibunuh dengan cara dimutilasi. Pada era 2000 kasus seperti ini muncul kembali yang beritanya diredam vatikan, ketika diselidiki itu adalah luka yang dibuat oleh manusia. Seperti penyiksaan, lukanya adalah nyata namun kisah yang disebarkan itu fiktif. Itu mengapa Ordo ikut campur dalam masalah ini.”
“Karena ini tentang manusia?” tanya Miriam penasaran.
“Jika berkaitan dengan manusia yang bersinggungan dengan pembunuhan atas nama kepercayaan dibalut spiritual ataupun setan, itu menjadi pekerjaan kami,” tegas Ibrahim.
***
Bagasi belakang mobil BMW M4 itu terbuka. Miriam yang juga telah keluar dari mobil melihat Ibrahim sedang sibuk dengan benda yang ada di bagasi belakang mobil. Dia melihat ke sekelilingnya tidak mengenal tempat ini; sekelilingnya adalah wilayah bangunan kosong terbengkalai di wilayah luar kota. Seperti wilayah kumuh. Miriam menyilangkan kedua tangannya itu di dadanya, mengamati tempat ini yang terlihat sepi walaupun ada gelandangan sedang tidur di ujung jalan diselimuti kardus untuk melindunginya dari hujan. Lagi sudah mulai gelap, tidak ada matahari dan sepertinya akan turun hujan.
Ibrahim mengenakan holster di ketiaknya. Tali holster yang ada pada dadanya ia pasangkan buckle-nya, sehingga holster yang ia kenakan seperti tas pada ketiak-punggungnya, terikat kuat menekan kemeja putih serta jaket hitam panjangnya yang di bawah lutut. Diambilnya satu pistol Beretta 92 berwarna hitam, lalu ia simpan pada holster ikat pinggang di belakang pinggangnya. Miriam melihat itu. Apakah harus membawa senjata api? ujarnya dalam hati namun tidak mengeluarkan suaranya untuk bertanya. Ibrahim lalu juga mengambil arming sword(pedang satu tangan) dengan bentuk seperti salib perak, ini adalah pedang yang biasa digunakan di era perang salib oleh para crusader. Pemuda Palestina itu menyimpan pedang itu di belakang punggungnya masuk ke dalam sarung holster berbentuk persegi panjang strap dari bahan kulit.
“Urusan exorcisme aku serahkan padamu, Miriam,” seru Ibrahim. Wanita itu mengerti dan mengambil senter hitam yang disodorkan kepadanya oleh Ibrahim. “Kamu tidak memberiku senjata?” tanya Miriam. Diberikan pistol Beretta PX4 kaliber 9mm yang mudah dioperasikan, berukuran compact mudah juga masalah recoil dan berat senjatanya. Senjata ini biasa digunakan sebagai pertahanan diri. “Jika ingin menembak, buka dulu safety slide-nya. Tembak hanya untuk melindungi dirimu. Selebihnya aku yang akan menjagamu,” ucap Ibrahim memberikan itu ke genggaman tangan wanita gereja. “Merci (Terima kasih),” jawab Miriam.
Ibrahim menyalakan senter L yang terpasang pada dada atas holster kirinya. Cahaya putih led itu menerangi lantai pertama dari pintu depan. Gedung ini adalah gedung rusun setinggi lima lantai. Terdapat barisan ruangan kamar di lantai satu yang terbengkalai juga tangga L menuju ke lantai atas. Kondisi bangunannya tidak terawat, dindingnya retak dan catnya terkelupas. Tidak ada cahaya selain dari senter pada Ibrahim dan juga Miriam. “Ini alamat yang diucapkan gadis itu. Kita hanya perlu menuju ke nomor ruangan yang disebutkan,” Ibrahim berjalan pelan masuk sambil memegang pistol Beretta 92 dalam posisi membidik siap. Miriam mengikutinya berjarak 2 langkah di belakang, ia merasakan udara di dalam gedung ini dingin. Rasa dinginnya merasuk. “Kerasukan oleh korban dan meminta keadilan, ini jarang terjadi namun pernah terjadi,” ujar Miriam.
“Itu mengapa vatikan khawatir, karena apakah benar ini adalah roh korban yang meminta tolong karena tragedi ataukah tipu daya setan yang ingin kita sampai di tempat ini?” sahut Ibrahim mulai menaiki tangga sambil membidikkan pistolnya ke arah atas, memastikan tidak ada apapun yang muncul, dan mungkin menyerang mereka.
Di lantai dua mereka berdua melihat lilin menyala di atas lantai di ujung lorong. Jika ingin melanjutkan ke lantai atas, mereka tinggal melanjutkan saja menaiki tangga, tetapi nyala lilin itu, serta jejak darah pada tembok mengusik pikiran Ibrahim. Miriam merasa tidak nyaman dengan kondisi lantai dua yang gelap dan mencekam dan rasanya udaranya lebih dingin, itu seperti memberi isyarat bahwa ini buruk jika harus mengecek lantai. Ibrahim tetap melangkah berjalan pelan membidik pistolnya. Miriam yang mulai agak takut mengikutinya dari belakang. Dia melihat bangkai gagak berserakan, begitu juga bangkai tikus yang membuat dirinya mual akibat bau menyengat yang semakin kuat. Bekas darah di dinding juga membentuk simbol-simbol aneh seperti tulisan mesir. Sebagian lagi seperti huruf ibrani dan beberapa itu aramaic. Dupa dibakar di ujung lorong di dekat nyala lilin dengan aroma kayu manis. Ada ritual di lantai dua ini yang disadari Ibrahim dan Miriam.
Dimatikan nyala lilin itu oleh Ibrahim, membuat lorong itu yang kiri kanannya terdapat barisan pintu kamar menjadi gelap. Satu-satunya cahaya didekatnya hanya muncul dari senter keduanya. Di tempatnya sedang berlutut dan Miriam masih berdiri, terdengar suara dari tangga tempat mereka naik di ujung sana. Di areal tangga ada sedikit ventilasi sehingga sedikit cahaya bisa masuk. Miriam melihat sosok wanita berbaju putih dengan rambut panjang hitam dalam posisi membungkuk melayang pelan di ujung tangga untuk naik ke lantai atas. Itu membuatnya kaget, “Kamu melihatnya?!” sontaknya pada Ibrahim yang masih berlutut menoleh ke belakang ke arah ujung lorong tangga. “The Lady in White, Pontianak, atau Banshee,” ujar Ibrahim. Nafas Miriam masih memburu dia masih kaget. Dirinya berusaha tenang agar jantungnya tidak lagi berdetak cepat.
“Kita tidak sendirian. Lilin menyala artinya ada yang menyalakan,” Ibrahim lantas bangkit berdiri membidik ke arah ujung lorong, sambil mulai kembali berjalan ke arah tangga naik. Dia yang mengenakan jaket hitam panjang mulai merasakan rasa dingin ruangan menusuk. Miriam tidak membidikkan pistolnya itu. Tangan kanannya ia arahkan ke bawah, sedangkan tangan kirinya ia pegang senter dan mengarahkannya ke depan membantu penerangan Ibrahim. “Tulisan dinding menggunakan darah itu sedikit bisa kubaca itu bicara tentang gerbang, tuhan lampau, Elohim lain, aramaic mesias. Omong kosong yang tidak membentuk kalimat. Hanya kata berdiri sendiri,” ungkap Miriam.
“Leitmotif yang sering kulihat,” jawab Ibrahim. “dan kutebak kita akan menemukan kata lain yaitu Yaldabaoth, tetragrammaton, Keter.”
“Kamu ahli dibidang ini ya? Aku mengerti kenapa Paus mengirimmu. Kamu masih siaga walaupun melihat fenomena seperti tadi,” celetuk Miriam.
Ibrahim bergumam, “Hanya sering berkonflik dengan kelompok yang sering melakukan ritual dan pembunuhan. Walaupun mantra mereka berbeda, tetapi yang disembah tetap sama. Entitas yang jahat. Mereka yang dicuci otak, terasuki, menjadi keji, hilang rasa kemanusiaannya, itu yang kami lenyapkan.”
******
Bab 1 Bahasa Indonesia halaman 1-22 End
Diubah oleh Linecore 04-03-2024 09:42
syaikhal dan 11 lainnya memberi reputasi
12
3.5K
Kutip
53
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
Linecore
#7
Bab 4
Bab 4 menggambarkan eksposisi penjelasan lebih untuk 3 bab sebelumnya tentang Ordo (judul cerita) bisa disebut epilog episode 1 sebelum masuk ke episode selanjutnya.
jumlah total 2500 kata.
Duomo Restaurant
Museum Opera Del Duomo
jumlah total 2500 kata.
Duomo Restaurant
Museum Opera Del Duomo
Quote:
Hari yang cukup cerah untuk duduk sejenak menikmati kopi. Ibrahim yang mengenakan kemeja putih formal bersama jaket hitam sepanjang bawah lutut, dan memiliki tudung kepala yang tersibak di punggungnya, meneguk espresso yang baru saja dipesannya. Telapak tangannya yang mengenakan sarung kulit hitam itu meletakkan kembali cangkir kopi kecil yang sudah diteguknya. Museo Dell’Opera Del Duomo, adalah lokasi tempat dirinya saat ini. Gedung besar museum tiga lantai yang terdiri dari 28 kamar, tepatnya, di salah satu meja luar café seberang museum yang berdidnding dasar putih. Meja dan kursi itu memiliki warna hitam serta taplak mejanya berwarna merah tanpa motif. Di meja lain di posisi belakang dirinya, duduk pula seorang pria yang mengenakan setelan serba hitam juga---berkemeja hitam, celana katun hitam, sepatu pantofel hitam, dasi merah bergaris emas di dalam rompi badan berwarna perak glitter. Ia mengenakan jaket panjang membalut tubuhnya seperti yang Ibrahim pakai. Mereka berada dalam posisi saling membelakangi. Akan tetapi karena posisi kursinya sangat dekat, maka ketika salah satunya bicara, orang didekatnya akan mendengar.
“Aku membaca reportasemu, jadi mereka (Sekte) mulai bergerak lagi,” ujar pria paruh baya, berkumis dan berjanggut cukup lebar dengan model rambut rapih pendek di sisir semua ke belakang, klimis. Ibrahim yang mendengar pria di belakangnya bicara, terdiam sesaat. “Mereka memberikanku pesan dan kurasa itu bukan pesan terakhir,” ucapnya membalas pelan, “pesannya sangat jelas, akan ada pembunuhan lanjutan dan kerusakan yang lebih besar.”
Pria paruh baya itu meneguk kopi hitam hangatnya, “Semua yang kita lakukan untuk perkembangan diri manusia, bakti sosial, perlindungan cagar budaya, proteksi di belakang layar, kini harus di lakukan lebih sporadis.”
“Biarkan Rank Master of Masters yang mengurus hal ini. Tidak perlu melakukan perang terbuka,” tutup Ibrahim.
“Sekte membunuh anggota kita, Ibrahim. Membunuh yang bahkan tidak tahu menahu keberadaan kelompok mereka. Kita melindungi informasi yang lebih kelam di rank atas untuk melindungi membrum (member). Kurasa keputusan ini harus berubah menjadi informasi terbuka global.”
“Itu apa yang Sekte inginkan. Perang besar, konflik berdarah, kematian di mana-mana,” tegas Ibrahim.
Mereka berdua terdiam. Langit di atas mereka begitu biru indah cerah tanpa matahari. Orang-orang di sekeliling mereka cukup ramai. Golongan yang duduk di meja kafe ataupun anak-anak yang berlalu-lalang menggunakan sepeda. “Di dalam pertemuan nanti, aku akan mengangkatmu menjadi Al-Hakim (Yang Bijaksana). Kamu bisa mengambil keputusan untuk Ordo atas namaku.”
“Aku tidak bernilai untuk gelar itu,” ucap Ibrahim yang dibalas pria paruh baya itu. “Kamu harus menerimanya. Terlalu banyak yang memegang gelar master di luar sana. Terlalu banyak pemikiran, persepsi, kepentingan, dan bagaimanapun juga harus ada pemimpin golongan islam di tubuh Ordo. Apalagi ketika mereka (Sekte) bicara tentang telah datangnya Al-Masih Ad Dajjal, saat ini.”
“Grandmaster,” masih berusaha untuk menolak Ibrahim di depan pemimpinnya.
“Para pemimpin dunia ini yang berkuasa, negara-negara, konglomerat, mereka tidak akan mau tunduk pada orang itu (Dajjal). Sebab kedatangannya akan menghancurkan kekuasaan dan uang yang mereka punya. Apa yang menjadi masalah adalah bila Hamashiach juga sudah hadir. Bagaimana dunia ini harus bertindak. Harus ada yang bisa memastikan siapa Hamashiach dan siapa Ad-Dajjal. Itu mengapa Al-Hakim dibutuhkan sebagai orang yang berhadapan langsung dan menilai.”
“Tanggung jawabnya terlalu besar bagiku,” kata Ibrahim.
“Kamu bisa menanggungnya wahai pengikut Muhammad. Semoga Allah SWT melindungimu, Ibrahim,” tutup Grandmaster Ordo. Ditinggalkannya bawahannya itu sendirian di pelataran café. Grandmaster menyimpan uang di mejanya lantas pergi menuju ke arah museum.
Di malam itu ada acara tertutup di Museum Opera Dell Duomo, Florence (atau biasa juga disebut Florentia). Terdapat acara pertemuan khusus. Mobil-mobil mewah mereka terparkir agak jauh dari museum di daerah Jalan Via Ricasoli No 18, yang memang merupakan tempat area parkir berbentuk gedung. Sekumpulan orang itu berjalan dengan pakaian mewah resmi. Prianya mengenakan jas yang dibalut jaket hitam panjang di bawah lutut dan memiliki tudung kepala di belakang lehernya. Wanita yang mengenakan gaun seksi--notabene memperlihatkan belahan dada, itu ditutupi oleh muffler hitam di pundaknya sampai munutupi dadanya. Untuk yang mengenakan gaun indah tanpa lengan, mereka gunakan jas musim salju katun berwarna hitam panjang. Wanita yang memakai gaun dengan belahan rok tinggi, setinggi pinggang memperlihatkan pahanya, mereka gunakan juga jubah hitam panjang bertudung yang panjangnya sampai terseret di jalan, sehingga mereka menutup pakaian indah itu.
Ada hukum untuk memasuki Area Duomo untuk mengenakan pakaian pantas dan tidak terbuka, aturan itu dijalankan oleh peserta pertemuan. Mereka masing-masing membawa surat putih invitasi yang dicap lilin merah, bukan dengan lambang organisasi, kelompok, atau lembaga, melainkan dengan ukiran cagar budaya yang menggambarkan Gedung Santa Maria Del Fiore--dengan kubah besarnya, yang merupakan cagar budaya di Florentia. Ordo melakukan pertemuan di tempat ini malam ini.
Sebagaimana gathering komunitas, itu yang juga terjadi. Di salah satu Hall Museum Opera del Duomo. Para peserta pertemuan berdiri memegangi gelas sampanye berisi sirup merah--bukan anggur ataupun alkohol, sambil melihat patung-patung yang ada di kiri-kanan mereka. Patung besar itu yang bergaya Yunani-Romawi ditempatkan cukup tinggi di atas dinding. Di sisi lain diperlihatkan arsitektur gothic dinding interior gereja yang terpajang juga banyak patung-patung berukuran lebih kecil. Ada yang bercengkrama, berdiskusi, chit-chat sambil melihat karya karya seni itu di ruangan putih yang terang ini.
Ordo, tidak seperti kelompok khusus lainnya yang memiliki simbol organisasi atau tempat pertemuan sendiri seperti loji/lodge. Mereka melakukan pertemuan di tempat umum, seperti museum tempat cagar budaya. Karena Ordo diawali oleh orang-orang yang tertarik pada benda-benda kuno, arkeologis, yang kemudian memiliki tujuan untuk menjaga warisan budaya dan cagar alam. Banyak artifak, senjata kuno, yang biasa menjadi pajangan di museum merupakan tanggung jawab Ordo. Rank di antara member juga tidak terlihat. Tidak ada pin, bros, cincin, ataupun medali. Mereka semua sama mengenakan pakaian hitam dengan berbagai macam jenis gaya. Mereka masih bicara santai antar member, muka temu satu sama lain yang sudah lama kenal dan yang belum kenal. Untuk anggota baru pun mereka hadir di sana. Bedanya untuk mengetahui rank tiap orang, seseorang harus mengenal karena tidak ada patch yang membedakan seperti yang ada di jaket geng motor. Jika ingin mengenal rank atas, maka member baru harus mencari tahu dan bersosialisasi di sana.
Bisa terlihat member yang merupakan Kardinal Roma di sana karena topi merah yang digunakan, walaupun pakaian gerejanya tertutupi dibalut jaket panjang hitam musim dingin. Ada Mullah juga yang sudah cukup sepuh berkumis dan berjanggut panjang. Berpakaian putih dibalut juga sama dengan jaket hitam panjang, ia mengenakan selendang putih pada kepalanya seperti tudung. Begitu juga pria paruh baya yang kumis dan janggutnya panjang dan telah semuanya memutih. Ia mengenakan pakaian hitam keseluruhannya dibalut blazer panjang hitam dan juga kain tallit yudaisme yang dipakai dikepalanya sebagai tudung.
Tidak ada ceremonial khusus, ataupun ritual aneh, hanya ada doa universal bersama Kepada Tuhan sebelum segmen penyampaian dimulai. Pertemuan ini membahas berbagai hal yang dipimpin moderator. Tentang pengumpulan dana salah satunya untuk korban wabah, peperangan, dan juga golongan miskin yang masih membutuhkan bantuan untuk makan sehari-hari. Sejak Covid-19 meledak banyak kematian, ekonomi tidak stabil, terjadi juga beberapa bencana alam. Ordo mengatur keuangan, dana yang dikumpulkan, dan sumbangkan dengan rincian detailnya. Kabar perang Rusia-Ukraina yang juga masih terjadi menjadi perhatian karena itu membuat kestabilan ekonomi dunia terimbas. Beberapa negara miskin yang perlu bantuan sosial dan kemungkinan investasi dari member Ordo mengubah keadaan mereka.
Apa yang dialami Ibrahim dan diketahui Grandmaster Ordo tidak menjadi perbincangan umum di acara ini. Hanya segelintir masalah member divisi militia yang membutuhkan donasi senjata dan perbekalan lainnya untuk tetap bisa berada di wilayah perang untuk mengamati memantau gerak Sekte. Terutama di dalam peperangan panas. Kejahatan kemanusiaan, dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia termasuk pembantaian yang tidak dilihat masyarakat dunia, Sekte bebas melakukan sesuatu termasuk melakukan pembunuhan ritual. Sebagian besar anggota Ordo hanya tahu bahwa Sekte melakukan tindakan buruk, mereka masih melakukan ritual kuno, darah, dan pongorbanan manusia. Bahkan member dari golongan wiccan sangat mengutuk tindakan Sekte. Hanya rank master yang mengetahui konspirasi apa yang sedang Sekte lakukan seperti contohnya pengeboman di kereta bawah tanah yang menewaskan banyak korban jiwa dan juga hal lebih dalam tentang pemanggilan setan, membuka gerbang supernatural.
Seperti klub sosial tanpa ada mantra, figur topeng, ataupun hal nyeleneh lainnya. Acara itu seperti acara pertemuan biasa. Lalu acara puncak tiba. Grandmaster Ordo hadir ke tengah-tengah peserta pertemuan mengambil alih acara dari moderator perempuan yang masih muda yang rank-nya member divisi scientia. “Aku, Grandmaster Ordo, ingin menyampaikan kepada khalayak satu persaudaraan, bahwa hari ini aku akan mengangkat salah satu anggota untuk naik ke atas rank yang lebih tinggi,” ucap Grandmaster yang disambut riuh tepuk tangan oleh para peserta pertemuan.
“Jangan melihat karena dia muda. Jangan menilai orang dari umurnya. Kita masing-masing sebagai anggota Ordo punya peran yang berguna untuk masyarakat, kehidupan, dan juga Tuhan Yang Maha Esa yang kita yakini. Dia dipilih di posisi ini karena dia pantas menerimanya. Dia melakukan banyak hal untuk Ordo dan dunia, walaupun satu persekutuan tidak tahu semua tugas yang sudah di jalankan,” kata-kata itu terdengar serius yang membuat peserta pertemuan hening mendengarkan.
“Dipersilahkan kepada para hakim untuk maju dan menilai, menyetujui atau tidak menyetujui, memberikan berkatnya kepada Sa’id Ibrahim. Karena aku tunjuk dirinya menjadi Al-Hakim ketiga Ordo yang diangkat terhitung hari ini,” seru pemimpin Ordo. Para hakim maju dari kerimunan peserta dan berbaris di depan Grandmaster Ordo. Mereka terdiri dari Kardinal Roma, Mullah florence, Rabbi Tuscany, Pendeta wanita Wiccan, Menteri Luar Negeri Itali, Direktur General Publik Sekuriti Itali, dan perwakilan dari Dewan Agung dan Umum Italia, sebagai perwakilan yang hadir dari semua master yang tersebar di negara lain.
Ibrahim yang berada di samping grandmaster, maju melangkah ke depan saling berhadapan dengan para hakim. Mereka baru kali pertama melihat pemuda ini. Karena rank mereka adalah master, mereka memiliki informasi tentang apa yang dilakukan master lainnya walaupun detail misinya disunting spidol hitam. Mereka mengenal nama Ibrahim, nama master yang dikirim ke berbagai tempat untuk melaksanakan misi yang terlampau sulit. Apa yang menjadi desas-desus di member rank bawah sebagai kegiatan secret Intelligence service Ordo. Mereka para peserta juga tidak tahu jika pemuda di depan itu adalah Ibrahim, sekalipun sebagian dari mereka sering melihat atau berpapasan di Santa Maria Del Fiore.
Banyak yang tidak setuju dengan pengangkatan itu. Walaupun sebelumnya sudah ada dua anggota Ordo yang menerima juga gelar Al-Hakim. Dikarenakan Ibrahim masih muda, background check ibrahim sebelum masuk Ordo yang para master tahu, dan sikapnya yang lebih suka melakukan segalanya sendiri alias anti-sosial. Bahkan Mullah Florence tidak menyetujui walaupun tetap memberkatinya dalam Nama Allah. Ujarnya, ada muslimin yang lebih baik dari Ibrahim yang lebih pantas menjadi pemimpin, tetapi Ibrahim memang dibutuhkan saat ini. Semua hakim setuju Ibrahim dibutuhkan saat ini. Semua memberkati dan mengangkat Ibrahim menjadi Al-Hakim Ordo.
Berlututlah Ibrahim di depan para hakim menghadap ke arah Orandmaster Ordo. Ia berlutut dengan kepala menunduk, lalu kemudian Grandmaster mangangkat Al-quran yang dipegang di atas kepala Ibrahim, agar Ibrahim mengambil sumpah--seperti halnya yang umum dilakukan di pengadilan.
“Aku, Sa’id Ibrahim ibn Ibrahim menerima gelar Al-Hakim. Mengetahui semua tanggung jawabku dan juga tanggung jawab Al-Hakim terdahulu. Terikat oleh imanku pada islam, pada tuntunan Muhammad, pada Penghakiman Allah. Jika aku melakukan kesalahan itu murni adalah aku yang bersalah. Jika aku melakukan kebaikan itu semua murni atas kehendak Allah. Segala kebaikan kembali pada Tuhan. Biarkan Tuhan yang menghakimi semua tindakanku. Apa yang sudah kulakukan dan belum kulakukan.”
Di ranjangnya yang putih yang memiliki umbul-umbul berkain merah, Pemimpin Gereja Katolik sedang terbaring dengan pakaian kudusnya. Miriam yang duduk di sampingnya sedang menemaninya. Sepertinya tubuhnya yang sudah menua dan penyakit yang sudah menahun dideritanya (komplikasi paru dan juga liver) memberikannya isyarat akan tiba waktunya.
“Waktuku tidak lagi banyak, Miriam. Maukah kamu menjalankan wasiatku?” tanya Paus dengan nada lemah pada wanita muda itu, “jika aku tiada, maka asap putih akan dilepaskan di cerobong asap untuk dilihat rakyat. Para kardinal dengan agenda mereka masing-masing dan pemimpin baru mungkin tidak akan peduli padamu.”
“Mendampingi Ibrahim? Aku tidak tahu apakah dia membutuhkanku. Dia terlihat dapat bertahan sendiri. Itu pengalaman yang kualami bersamanya,” jawab Miriam pelan.
Paus Vatikan tersenyum pada Miriam. Bisa terlihat wajah lelaki paruh baya yang selama ini selalu melindunginya begitu berharap Miriam mengerti dengan keinginannya. “Wanita bisa menahan agar pria tidak bertindak keluar batas. Walaupun hanya dengan cinta kasihnya, kamu bisa membuat pria itu untuk menjadi dirinya, yang juga mencintai. Untuk mengingatkannya, dia adalah manusia yang berhak mencintai dan dicintai. Karena dunia akan lebih kelam untuknya, memaksanya berubah, dan mungkin berakhir kehilangan dirinya.”
“Aku tidak bisa memaksakan cinta, Yang Mulia,” potong Miriam mengeluh.
“Cinta akan tumbuh selama bersama. Kamu adalah pengikut kristus. Mencintai, mengasihi, itu bukan hanya untuk dirimu sendiri, untuk orang lain, untuk dunia. Lalu semua keegoisan untuk menjalani hidup yang kamu mau, maafkan aku, lupakanlah. Lupakanlah itu demi kebaikan yang lebih baik. Ibrahim akan menerimamu apa adanya.”
Miriam diam mendengar perkataan paus yang sudah seperti Ayahnya sendiri. Cahaya dari luar masuk ke dalam ruangan menyinari mereka berdua, “Merpati putih sampai padaku Miriam, ia mengabarkan dalam secarik kertas bahwa Ibrahim diangkat menjadi rank tertinggi di bawah grandmaster langsung. Aku memberkati pengangkatannya dalam sakitku. Kutahu Itu adalah tanggung jawab yang berat di pundaknya. Dia terlebih dahulu membunuh hidupnya sendiri dan membaktikan dirinya pada Ordo.”
Miriam tersenyum manis. Gerai rambutnya yang hitam panjang agak bergelombang dipangkalnya, jatuh saat wanita muda ini mengangguk mengerti. “Aku akan mencobanya, Yang Mulia,” ucapnya.
Tidak lama, beberapa hari kemudian asap putih keluar dari cerobong itu yang menandakan kardinal telah memilih pemimpin baru setelah wafatnya paus sebelumnya, tempo hari yang sama Miriam bertemu bicara terakhir kali. Lapangan Santo Petrus dipenuhi orang-orang yang berduka kini mendapatkan kabar gembira dengan dipilihnya Pemimpin Gereja Katolik yang baru. Satu di antara kerumunan itu berdirilah Ibrahim Al-Hakim Ordo di dekat Obelisk di tengah-tengah lapangan. Hari itu langitnya putih kelabu tanpa cahaya matahari, dia pria palestina menegadahkan kepalanya ke atas langit, masih berduka karena temannya Paus Vatikan yang selama ini membantunya telah tiada.
“Ibrahim?” suara yang tidak asing itu terdengar pelan memanggilnya. Ibrahim melihat Miriam berdiri tidak jauh dari dirinya di antara kerumunan orang. Wanita gereja itu lalu berjalan pelan mendekat, terlihat sedih--mungkin masih berduka, tetapi juga tersenyum bahagia memandangnya. Ibrahim masih berpakaian sama serba hitam seperti bagaimana Miriam pertama kali bertemu dengannya, tidak ada yang berubah. Bedanya, Miriam yang saat ini berada di depannya tidak lagi mengenakan gaun hitam seperti Ibrahim lihat dulu.
Miriam yang tersenyum manis, ia mengenakan kaos sweater turtleneck hitam yang mencetak tubuh indahnya dan membentuk ketat payudaranya. Kaos itu tanpa lengan (di lengan kiri miriam dekat ketiaknya, bisa Ibrahim lihat tattoo tulisan sambung) yang pada lehernya terlihat kalung perak rosario dikenakan dengan tali hitam--yang dibentuk melingkar dua kali dipakai di leher. Di bagian belakang model sweaternya terbuka memperlihatkan punggung indahnya yang tertutupi ikatan tali spageti menyilang. Pada bagian pinggangnya ia kenakan rok putih panjang dengan potongan kain pada paha kiri dan di bagian belakang roknya. Kedua jenjang kakinya memakai thigh-high boots hitam dari bahan kulit. Sangat berbeda dengan Miriam yang bergaun hitam mewah dengan sepatu high-heels dulu, di pandangan Ibrahim.
“Apa yang Ordo lakukan di sini?” tanya Miriam penasaran padanya yang berada di Lapangan Santo Petrus. Ibrahim tersenyum, lantas mengambil amplop putih dengan stempel paus sebelumnya, yang sudah terbuka--dari dalam jaket hitamnya. Dipegangnya amplop berisi surat itu menggunakan tangan kanannya yang terbalut sarung tangan kulit hitam, diperlihatkan pada Miriam. “Untuk menjemputmu.”
Momen itu dilatari oleh suara lonceng gereja St. Peter. Langit memang kelabu di saat itu. Akan tetapi, kedua insan itu terlihat bahagia bisa saling bertemu lagi.
“Aku membaca reportasemu, jadi mereka (Sekte) mulai bergerak lagi,” ujar pria paruh baya, berkumis dan berjanggut cukup lebar dengan model rambut rapih pendek di sisir semua ke belakang, klimis. Ibrahim yang mendengar pria di belakangnya bicara, terdiam sesaat. “Mereka memberikanku pesan dan kurasa itu bukan pesan terakhir,” ucapnya membalas pelan, “pesannya sangat jelas, akan ada pembunuhan lanjutan dan kerusakan yang lebih besar.”
Pria paruh baya itu meneguk kopi hitam hangatnya, “Semua yang kita lakukan untuk perkembangan diri manusia, bakti sosial, perlindungan cagar budaya, proteksi di belakang layar, kini harus di lakukan lebih sporadis.”
“Biarkan Rank Master of Masters yang mengurus hal ini. Tidak perlu melakukan perang terbuka,” tutup Ibrahim.
“Sekte membunuh anggota kita, Ibrahim. Membunuh yang bahkan tidak tahu menahu keberadaan kelompok mereka. Kita melindungi informasi yang lebih kelam di rank atas untuk melindungi membrum (member). Kurasa keputusan ini harus berubah menjadi informasi terbuka global.”
“Itu apa yang Sekte inginkan. Perang besar, konflik berdarah, kematian di mana-mana,” tegas Ibrahim.
Mereka berdua terdiam. Langit di atas mereka begitu biru indah cerah tanpa matahari. Orang-orang di sekeliling mereka cukup ramai. Golongan yang duduk di meja kafe ataupun anak-anak yang berlalu-lalang menggunakan sepeda. “Di dalam pertemuan nanti, aku akan mengangkatmu menjadi Al-Hakim (Yang Bijaksana). Kamu bisa mengambil keputusan untuk Ordo atas namaku.”
“Aku tidak bernilai untuk gelar itu,” ucap Ibrahim yang dibalas pria paruh baya itu. “Kamu harus menerimanya. Terlalu banyak yang memegang gelar master di luar sana. Terlalu banyak pemikiran, persepsi, kepentingan, dan bagaimanapun juga harus ada pemimpin golongan islam di tubuh Ordo. Apalagi ketika mereka (Sekte) bicara tentang telah datangnya Al-Masih Ad Dajjal, saat ini.”
“Grandmaster,” masih berusaha untuk menolak Ibrahim di depan pemimpinnya.
“Para pemimpin dunia ini yang berkuasa, negara-negara, konglomerat, mereka tidak akan mau tunduk pada orang itu (Dajjal). Sebab kedatangannya akan menghancurkan kekuasaan dan uang yang mereka punya. Apa yang menjadi masalah adalah bila Hamashiach juga sudah hadir. Bagaimana dunia ini harus bertindak. Harus ada yang bisa memastikan siapa Hamashiach dan siapa Ad-Dajjal. Itu mengapa Al-Hakim dibutuhkan sebagai orang yang berhadapan langsung dan menilai.”
“Tanggung jawabnya terlalu besar bagiku,” kata Ibrahim.
“Kamu bisa menanggungnya wahai pengikut Muhammad. Semoga Allah SWT melindungimu, Ibrahim,” tutup Grandmaster Ordo. Ditinggalkannya bawahannya itu sendirian di pelataran café. Grandmaster menyimpan uang di mejanya lantas pergi menuju ke arah museum.
Di malam itu ada acara tertutup di Museum Opera Dell Duomo, Florence (atau biasa juga disebut Florentia). Terdapat acara pertemuan khusus. Mobil-mobil mewah mereka terparkir agak jauh dari museum di daerah Jalan Via Ricasoli No 18, yang memang merupakan tempat area parkir berbentuk gedung. Sekumpulan orang itu berjalan dengan pakaian mewah resmi. Prianya mengenakan jas yang dibalut jaket hitam panjang di bawah lutut dan memiliki tudung kepala di belakang lehernya. Wanita yang mengenakan gaun seksi--notabene memperlihatkan belahan dada, itu ditutupi oleh muffler hitam di pundaknya sampai munutupi dadanya. Untuk yang mengenakan gaun indah tanpa lengan, mereka gunakan jas musim salju katun berwarna hitam panjang. Wanita yang memakai gaun dengan belahan rok tinggi, setinggi pinggang memperlihatkan pahanya, mereka gunakan juga jubah hitam panjang bertudung yang panjangnya sampai terseret di jalan, sehingga mereka menutup pakaian indah itu.
Ada hukum untuk memasuki Area Duomo untuk mengenakan pakaian pantas dan tidak terbuka, aturan itu dijalankan oleh peserta pertemuan. Mereka masing-masing membawa surat putih invitasi yang dicap lilin merah, bukan dengan lambang organisasi, kelompok, atau lembaga, melainkan dengan ukiran cagar budaya yang menggambarkan Gedung Santa Maria Del Fiore--dengan kubah besarnya, yang merupakan cagar budaya di Florentia. Ordo melakukan pertemuan di tempat ini malam ini.
Sebagaimana gathering komunitas, itu yang juga terjadi. Di salah satu Hall Museum Opera del Duomo. Para peserta pertemuan berdiri memegangi gelas sampanye berisi sirup merah--bukan anggur ataupun alkohol, sambil melihat patung-patung yang ada di kiri-kanan mereka. Patung besar itu yang bergaya Yunani-Romawi ditempatkan cukup tinggi di atas dinding. Di sisi lain diperlihatkan arsitektur gothic dinding interior gereja yang terpajang juga banyak patung-patung berukuran lebih kecil. Ada yang bercengkrama, berdiskusi, chit-chat sambil melihat karya karya seni itu di ruangan putih yang terang ini.
Ordo, tidak seperti kelompok khusus lainnya yang memiliki simbol organisasi atau tempat pertemuan sendiri seperti loji/lodge. Mereka melakukan pertemuan di tempat umum, seperti museum tempat cagar budaya. Karena Ordo diawali oleh orang-orang yang tertarik pada benda-benda kuno, arkeologis, yang kemudian memiliki tujuan untuk menjaga warisan budaya dan cagar alam. Banyak artifak, senjata kuno, yang biasa menjadi pajangan di museum merupakan tanggung jawab Ordo. Rank di antara member juga tidak terlihat. Tidak ada pin, bros, cincin, ataupun medali. Mereka semua sama mengenakan pakaian hitam dengan berbagai macam jenis gaya. Mereka masih bicara santai antar member, muka temu satu sama lain yang sudah lama kenal dan yang belum kenal. Untuk anggota baru pun mereka hadir di sana. Bedanya untuk mengetahui rank tiap orang, seseorang harus mengenal karena tidak ada patch yang membedakan seperti yang ada di jaket geng motor. Jika ingin mengenal rank atas, maka member baru harus mencari tahu dan bersosialisasi di sana.
Bisa terlihat member yang merupakan Kardinal Roma di sana karena topi merah yang digunakan, walaupun pakaian gerejanya tertutupi dibalut jaket panjang hitam musim dingin. Ada Mullah juga yang sudah cukup sepuh berkumis dan berjanggut panjang. Berpakaian putih dibalut juga sama dengan jaket hitam panjang, ia mengenakan selendang putih pada kepalanya seperti tudung. Begitu juga pria paruh baya yang kumis dan janggutnya panjang dan telah semuanya memutih. Ia mengenakan pakaian hitam keseluruhannya dibalut blazer panjang hitam dan juga kain tallit yudaisme yang dipakai dikepalanya sebagai tudung.
Tidak ada ceremonial khusus, ataupun ritual aneh, hanya ada doa universal bersama Kepada Tuhan sebelum segmen penyampaian dimulai. Pertemuan ini membahas berbagai hal yang dipimpin moderator. Tentang pengumpulan dana salah satunya untuk korban wabah, peperangan, dan juga golongan miskin yang masih membutuhkan bantuan untuk makan sehari-hari. Sejak Covid-19 meledak banyak kematian, ekonomi tidak stabil, terjadi juga beberapa bencana alam. Ordo mengatur keuangan, dana yang dikumpulkan, dan sumbangkan dengan rincian detailnya. Kabar perang Rusia-Ukraina yang juga masih terjadi menjadi perhatian karena itu membuat kestabilan ekonomi dunia terimbas. Beberapa negara miskin yang perlu bantuan sosial dan kemungkinan investasi dari member Ordo mengubah keadaan mereka.
Apa yang dialami Ibrahim dan diketahui Grandmaster Ordo tidak menjadi perbincangan umum di acara ini. Hanya segelintir masalah member divisi militia yang membutuhkan donasi senjata dan perbekalan lainnya untuk tetap bisa berada di wilayah perang untuk mengamati memantau gerak Sekte. Terutama di dalam peperangan panas. Kejahatan kemanusiaan, dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia termasuk pembantaian yang tidak dilihat masyarakat dunia, Sekte bebas melakukan sesuatu termasuk melakukan pembunuhan ritual. Sebagian besar anggota Ordo hanya tahu bahwa Sekte melakukan tindakan buruk, mereka masih melakukan ritual kuno, darah, dan pongorbanan manusia. Bahkan member dari golongan wiccan sangat mengutuk tindakan Sekte. Hanya rank master yang mengetahui konspirasi apa yang sedang Sekte lakukan seperti contohnya pengeboman di kereta bawah tanah yang menewaskan banyak korban jiwa dan juga hal lebih dalam tentang pemanggilan setan, membuka gerbang supernatural.
Seperti klub sosial tanpa ada mantra, figur topeng, ataupun hal nyeleneh lainnya. Acara itu seperti acara pertemuan biasa. Lalu acara puncak tiba. Grandmaster Ordo hadir ke tengah-tengah peserta pertemuan mengambil alih acara dari moderator perempuan yang masih muda yang rank-nya member divisi scientia. “Aku, Grandmaster Ordo, ingin menyampaikan kepada khalayak satu persaudaraan, bahwa hari ini aku akan mengangkat salah satu anggota untuk naik ke atas rank yang lebih tinggi,” ucap Grandmaster yang disambut riuh tepuk tangan oleh para peserta pertemuan.
“Jangan melihat karena dia muda. Jangan menilai orang dari umurnya. Kita masing-masing sebagai anggota Ordo punya peran yang berguna untuk masyarakat, kehidupan, dan juga Tuhan Yang Maha Esa yang kita yakini. Dia dipilih di posisi ini karena dia pantas menerimanya. Dia melakukan banyak hal untuk Ordo dan dunia, walaupun satu persekutuan tidak tahu semua tugas yang sudah di jalankan,” kata-kata itu terdengar serius yang membuat peserta pertemuan hening mendengarkan.
“Dipersilahkan kepada para hakim untuk maju dan menilai, menyetujui atau tidak menyetujui, memberikan berkatnya kepada Sa’id Ibrahim. Karena aku tunjuk dirinya menjadi Al-Hakim ketiga Ordo yang diangkat terhitung hari ini,” seru pemimpin Ordo. Para hakim maju dari kerimunan peserta dan berbaris di depan Grandmaster Ordo. Mereka terdiri dari Kardinal Roma, Mullah florence, Rabbi Tuscany, Pendeta wanita Wiccan, Menteri Luar Negeri Itali, Direktur General Publik Sekuriti Itali, dan perwakilan dari Dewan Agung dan Umum Italia, sebagai perwakilan yang hadir dari semua master yang tersebar di negara lain.
Ibrahim yang berada di samping grandmaster, maju melangkah ke depan saling berhadapan dengan para hakim. Mereka baru kali pertama melihat pemuda ini. Karena rank mereka adalah master, mereka memiliki informasi tentang apa yang dilakukan master lainnya walaupun detail misinya disunting spidol hitam. Mereka mengenal nama Ibrahim, nama master yang dikirim ke berbagai tempat untuk melaksanakan misi yang terlampau sulit. Apa yang menjadi desas-desus di member rank bawah sebagai kegiatan secret Intelligence service Ordo. Mereka para peserta juga tidak tahu jika pemuda di depan itu adalah Ibrahim, sekalipun sebagian dari mereka sering melihat atau berpapasan di Santa Maria Del Fiore.
Banyak yang tidak setuju dengan pengangkatan itu. Walaupun sebelumnya sudah ada dua anggota Ordo yang menerima juga gelar Al-Hakim. Dikarenakan Ibrahim masih muda, background check ibrahim sebelum masuk Ordo yang para master tahu, dan sikapnya yang lebih suka melakukan segalanya sendiri alias anti-sosial. Bahkan Mullah Florence tidak menyetujui walaupun tetap memberkatinya dalam Nama Allah. Ujarnya, ada muslimin yang lebih baik dari Ibrahim yang lebih pantas menjadi pemimpin, tetapi Ibrahim memang dibutuhkan saat ini. Semua hakim setuju Ibrahim dibutuhkan saat ini. Semua memberkati dan mengangkat Ibrahim menjadi Al-Hakim Ordo.
Berlututlah Ibrahim di depan para hakim menghadap ke arah Orandmaster Ordo. Ia berlutut dengan kepala menunduk, lalu kemudian Grandmaster mangangkat Al-quran yang dipegang di atas kepala Ibrahim, agar Ibrahim mengambil sumpah--seperti halnya yang umum dilakukan di pengadilan.
“Aku, Sa’id Ibrahim ibn Ibrahim menerima gelar Al-Hakim. Mengetahui semua tanggung jawabku dan juga tanggung jawab Al-Hakim terdahulu. Terikat oleh imanku pada islam, pada tuntunan Muhammad, pada Penghakiman Allah. Jika aku melakukan kesalahan itu murni adalah aku yang bersalah. Jika aku melakukan kebaikan itu semua murni atas kehendak Allah. Segala kebaikan kembali pada Tuhan. Biarkan Tuhan yang menghakimi semua tindakanku. Apa yang sudah kulakukan dan belum kulakukan.”
***
Di ranjangnya yang putih yang memiliki umbul-umbul berkain merah, Pemimpin Gereja Katolik sedang terbaring dengan pakaian kudusnya. Miriam yang duduk di sampingnya sedang menemaninya. Sepertinya tubuhnya yang sudah menua dan penyakit yang sudah menahun dideritanya (komplikasi paru dan juga liver) memberikannya isyarat akan tiba waktunya.
“Waktuku tidak lagi banyak, Miriam. Maukah kamu menjalankan wasiatku?” tanya Paus dengan nada lemah pada wanita muda itu, “jika aku tiada, maka asap putih akan dilepaskan di cerobong asap untuk dilihat rakyat. Para kardinal dengan agenda mereka masing-masing dan pemimpin baru mungkin tidak akan peduli padamu.”
“Mendampingi Ibrahim? Aku tidak tahu apakah dia membutuhkanku. Dia terlihat dapat bertahan sendiri. Itu pengalaman yang kualami bersamanya,” jawab Miriam pelan.
Paus Vatikan tersenyum pada Miriam. Bisa terlihat wajah lelaki paruh baya yang selama ini selalu melindunginya begitu berharap Miriam mengerti dengan keinginannya. “Wanita bisa menahan agar pria tidak bertindak keluar batas. Walaupun hanya dengan cinta kasihnya, kamu bisa membuat pria itu untuk menjadi dirinya, yang juga mencintai. Untuk mengingatkannya, dia adalah manusia yang berhak mencintai dan dicintai. Karena dunia akan lebih kelam untuknya, memaksanya berubah, dan mungkin berakhir kehilangan dirinya.”
“Aku tidak bisa memaksakan cinta, Yang Mulia,” potong Miriam mengeluh.
“Cinta akan tumbuh selama bersama. Kamu adalah pengikut kristus. Mencintai, mengasihi, itu bukan hanya untuk dirimu sendiri, untuk orang lain, untuk dunia. Lalu semua keegoisan untuk menjalani hidup yang kamu mau, maafkan aku, lupakanlah. Lupakanlah itu demi kebaikan yang lebih baik. Ibrahim akan menerimamu apa adanya.”
Miriam diam mendengar perkataan paus yang sudah seperti Ayahnya sendiri. Cahaya dari luar masuk ke dalam ruangan menyinari mereka berdua, “Merpati putih sampai padaku Miriam, ia mengabarkan dalam secarik kertas bahwa Ibrahim diangkat menjadi rank tertinggi di bawah grandmaster langsung. Aku memberkati pengangkatannya dalam sakitku. Kutahu Itu adalah tanggung jawab yang berat di pundaknya. Dia terlebih dahulu membunuh hidupnya sendiri dan membaktikan dirinya pada Ordo.”
Miriam tersenyum manis. Gerai rambutnya yang hitam panjang agak bergelombang dipangkalnya, jatuh saat wanita muda ini mengangguk mengerti. “Aku akan mencobanya, Yang Mulia,” ucapnya.
Tidak lama, beberapa hari kemudian asap putih keluar dari cerobong itu yang menandakan kardinal telah memilih pemimpin baru setelah wafatnya paus sebelumnya, tempo hari yang sama Miriam bertemu bicara terakhir kali. Lapangan Santo Petrus dipenuhi orang-orang yang berduka kini mendapatkan kabar gembira dengan dipilihnya Pemimpin Gereja Katolik yang baru. Satu di antara kerumunan itu berdirilah Ibrahim Al-Hakim Ordo di dekat Obelisk di tengah-tengah lapangan. Hari itu langitnya putih kelabu tanpa cahaya matahari, dia pria palestina menegadahkan kepalanya ke atas langit, masih berduka karena temannya Paus Vatikan yang selama ini membantunya telah tiada.
“Ibrahim?” suara yang tidak asing itu terdengar pelan memanggilnya. Ibrahim melihat Miriam berdiri tidak jauh dari dirinya di antara kerumunan orang. Wanita gereja itu lalu berjalan pelan mendekat, terlihat sedih--mungkin masih berduka, tetapi juga tersenyum bahagia memandangnya. Ibrahim masih berpakaian sama serba hitam seperti bagaimana Miriam pertama kali bertemu dengannya, tidak ada yang berubah. Bedanya, Miriam yang saat ini berada di depannya tidak lagi mengenakan gaun hitam seperti Ibrahim lihat dulu.
Miriam yang tersenyum manis, ia mengenakan kaos sweater turtleneck hitam yang mencetak tubuh indahnya dan membentuk ketat payudaranya. Kaos itu tanpa lengan (di lengan kiri miriam dekat ketiaknya, bisa Ibrahim lihat tattoo tulisan sambung) yang pada lehernya terlihat kalung perak rosario dikenakan dengan tali hitam--yang dibentuk melingkar dua kali dipakai di leher. Di bagian belakang model sweaternya terbuka memperlihatkan punggung indahnya yang tertutupi ikatan tali spageti menyilang. Pada bagian pinggangnya ia kenakan rok putih panjang dengan potongan kain pada paha kiri dan di bagian belakang roknya. Kedua jenjang kakinya memakai thigh-high boots hitam dari bahan kulit. Sangat berbeda dengan Miriam yang bergaun hitam mewah dengan sepatu high-heels dulu, di pandangan Ibrahim.
“Apa yang Ordo lakukan di sini?” tanya Miriam penasaran padanya yang berada di Lapangan Santo Petrus. Ibrahim tersenyum, lantas mengambil amplop putih dengan stempel paus sebelumnya, yang sudah terbuka--dari dalam jaket hitamnya. Dipegangnya amplop berisi surat itu menggunakan tangan kanannya yang terbalut sarung tangan kulit hitam, diperlihatkan pada Miriam. “Untuk menjemputmu.”
Momen itu dilatari oleh suara lonceng gereja St. Peter. Langit memang kelabu di saat itu. Akan tetapi, kedua insan itu terlihat bahagia bisa saling bertemu lagi.
******
Diubah oleh Linecore 07-03-2024 00:13
naufal2006 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Kutip
Balas
Tutup