- Beranda
- Stories from the Heart
Dalam Dekapan Kabut
...
TS
meta.morfosis
Dalam Dekapan Kabut

Izinkan saya kembali bercerita tentang sebuah kejadian di masa lalu
dalam dekapan kabut, aku terhangatkan oleh kalimat cintamu, kalimat sederhana penuh makna yang terucap diantara hamparan bunga bunga edelweis yang menjadi simbol keabadian...
Chapter :
Chapter :
DDK - Chapter 1
DDK - Chapter 2
DDK - Chapter 3
DDK - Chapter 4
DDK - Chapter 5
DDK - Chapter 6
DDK - Chapter 7
DDK - Chapter 8
DDK - Chapter 9
DDK - Chapter 10
DDK - Chapter 11
DDK - Chapter 12
DDK - Chapter 13
DDK - Chapter 14
DDK - Chapter 15
DDK - Chapter 16
Diubah oleh meta.morfosis 03-09-2024 12:35
indrag057 dan 13 lainnya memberi reputasi
14
1.8K
48
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
meta.morfosis
#3
Chapter 3
Petunjuk Dari Halaman Buku
Berjeda sepuluh menit dari kepergian anindia dan ismed, aku kembali melanjutkan perjalanan menuju ke rumah arif bersama dengan ida dan tidak seperti apa yang aku rasakan di saat aku memboncengi anindia, di saat aku memboncengi ida aku sama sekali tidak merasakan adanya rasa berat pada sepeda motor yang aku kendarai ini, hingga akhirnya kini selepas dari dua puluh menit lamanya aku kembali menapaki sepeda motorku ini di jalan yang menuju ke rumah arih, sesampainya kami di rumah arif, kami langsung bersambut banyaknya warga kampung yang tengah bertakziah, aroma wangi kemenyan yang tercium begitu menyengat kini bisa aku rasakan di saat aku memarkirkan sepeda motor.
“ kita langsung masuk saja pang sepertinya ismed dan ida sudah berada di dalam rumah ” ajak ida yang berbalas dengan persetujuanku dan kini diantara keberadaan kami yang telah memasuki rumah, terlihat ismed tengah duduk bersila di belakang beberapa warga kampung yang saat ini tengah mengajikan jenazah arif, mendapati hal itu kami langsung menghampiri ismed.
“ loh... kok kamu hanya sendirian saja med, aninnya kemana ? ” tanya ida yang berbalas dengan jawaban ismed bahwa saat ini anindia tengah berada di dalam kamar bersama dengan ibunya arif.
“ da... sebaiknya kita lihat dulu jenazah almarhum arif sekalian kita mendoakannya ” ida menganggukan kepalanya, tatapan matanya tertuju ke arah jenazah arif yang diletakan tepat di tengah ruangan.
“ pang... da, kalau aku sarankan sih sebaiknya kalian itu jangan melihat wajah jenazah almarhum arif karena wajahnya itu— ”
“ ahh... kamu ini bicara apa sih med seperti sedang menakuti anak kecil saja ”
Mendapati saat ini ismed hendak menanggapi perkataanku, aku segera mengajak ida berjalan menghampiri jenazah arif, dalam balutan kain kafan yang membungkus tubuhnya, wajah jenazah arif tertutupi oleh sehelai kain putih yang sesekali terlihat bergerak gerak karena dipermainkan oleh hembusan angin.
“ benar benar brengsek si ismed... gara gara perkataannya itu aku jadi merasa penasaran untuk melihat wajahnya ” gerutuku di dalam hati seraya mengambil posisi duduk bersila dihadapan jenazah arif dan entah yang terjadi saat ini apakah disebabkan oleh hembusan angin atau bukan, secara tiba tiba kain putih yang menutupi wajah jenazah arif tersingkap dari wajah jenazah arif hingga memperlihatkan kondisi wajah jenazah arif yang hampir sebagian besar kulitnya terkelupas dan masih mengeluarkan rembesan darah segar, mendapati situasi itu, aku langsung memutuskan menggerakan tanganku untuk menutupi kembali wajah jenazah arif dengan kain yang tersingkap itu, hanya saja kini belum sempat aku menyentuhkan jari jemari tanganku pada kain yang tersingkap itu, ida sudah terlebih dahulu menahan pergerakan tanganku, dari ekspresi wajah yang diperlihatkan oleh ida saat ini sepertinya ida mempertanyakan latar belakang dari perbuatan yang saat ini aku lakukan.
“ kamu itu mau ngapain pang ? ” tanya ida dengan nada suaranya yang pelan, tatapan matanya terlihat memperhatikan keadaan sekitar dan kini kini begitu aku mendapati pertanyaan ida itu, entah yang aku lihat saat ini apakah sesuatu yang nyata atau tidak, dalam pengelihatanku ini aku melihat wajah jenazah arif masih tertutupi oleh sehelai kain putih dan hal itu sangatlah berbanding terbalik dengan apa yang aku lihat di saat aku memutuskan untuk menutupi kembali wajah jenazah arif dengan kain putih.
“ ya tuhan... bukankah tadi itu kain itu— ”
“ sudahlah pang, kamu itu jangan berbuat yang aneh aneh ”
Dengan sedikit memaksa ida menarik tanganku untuk beranjak bangun lalu mengajakku berjalan menghampiri ismed, beberapa warga kampung yang saat ini tengah mengajikan jenazah arif terlihat memperhatikan kami sepertinya mereka terusik oleh tingkah laku kami yang terkesan tengah menyembunyikan sesuatu.
“ kalian itu kenapa sih ? kok wajah kamu terlihat kesal seperti itu da ? ” tanya ismed sambil melirikan matanya ke arah ida yang saat ini telah mengambil posisi duduk di sampingnyanya dan kini begitu ida mendapati pertanyaan ismed tersebut, ida langsung memberikan jawaban bahwa dirinya merasa kesal karena melihat aku yang hendak membuka kain putih penutup wajah jenazah arif.
“ astaga da, bukan itu yang ingin aku lakukan, tadi itu— ”
Belum sempat aku mengakhiri penjelasanku itu, ismed sudah terlebih dahulu memotong penjelasanku itu dengan melontarkan candaannya sepertinya saat ini ismed tengah berusaha untuk mencairkan suasana, mendapati hal itu, beberapa warga kampung yang sedari tadi memperhatikan kami kini mulai kembali tersibukan oleh aktifitasnya.
Hampir satu setengah jam lamanya kami berada di rumah arif, hingga akhirnya kini selepas dari keputusan keluarga besar arif yang memutuskan untuk memakamkan arif tepat pada pukul sembilan malam, kami memutuskan untuk meninggalkan rumah arif dan tidak mengikuti prosesi pemakaman itu.
“ sumpah pang... tingkah laku kamu hari ini kok terlihat aneh banget sih ” gerutu ida memecah keterfokusanku yang saat ini tengah memperhatikan medan jalan yang aku lalui, menyadari saat ini sepeda motor ismed telah begitu jauh meninggalkanku, aku memutuskan untuk sedikit memperlambat kecepatan sepeda motorku.
“ sebaiknya kamu jujur saja pang, kamu itu sebenarnya sedang mengalami masalah apa sih ? ”
“ ibuku, da... ”
“ ibumu ?, ibumu kenapa pang ? ”
“ kamu janji yaa da untuk enggak memberitahukan apa yang akan aku beritahukan ini kepada orang lain ”
“ aku janji pang ” melalui kaca spion motor aku bisa melihat ida menganggukan kepalanya.
“ ibuku sakit da, ternyata selama ini ibuku telah menyembunyikan penyakit berat yang di deritanya itu ”
“ hahh... penyakit berat ? ” aku menganggukan kepala.
“ penyakit berat apa pang ? ”
“ ibuku menderita penyakit kanker hati yang sudah kronis da dan hanya aku yang mengetahui penyakit yang deritanya itu ”
“ yaa ampun... ” ida terdiam, cengkraman jari jemari tangannya pada bahuku menandakan bahwa saat ini ida tengah berusaha untuk merasakan apa yang aku rasakan di saat aku mendapatkan kabar berita yang kurang baik itu dan kini diantara keterdiamannya itu, aku memutuskan untuk memberanikan diri menceritakan tentang permintaan ibuku yang memintaku untuk segera menikah.
“ aku khawatir da permintaan ibuku itu adalah pertanda— ”
“ jangan asal bicara kamu pang ” ujar ida memotong perkataanku sepertinya saat ini ida sudah bisa menebak akan ke arah mana perkataanku itu berakhir.
“ bisa jadi ibumu itu memang sudah sejak dulu mengharapkanmu untuk menikah pang, kalau saran aku sih lebih baik kamu turuti saja permintaannya itu ”
“ ahh... gila kamu da ” gumamku sambil menggeleng gelengkan kepala.
“ aku ini akan menikah dengan siapa ? menikah dengan batang pisang yang sudah pasti enggak akan menolak permintaanku untuk menikah denganku ? ”
Ida tertawa akibat mendengar candaanku itu dan kini seiring dengan tepukan telapak tangannya yang menyentuh bahuku ida mengatakan bahwa besar kemungkinannya anindia adalah jodoh yang telah dipersiapkan oleh tuhan untuk diriku.
“ ahh ngaco kamu da, dengan alasan apa kamu bisa mengatakan anindia itu adalah jodohku ? ”
“ pang... jujur saja aku melihat semua kejadian ini seperti kejadian yang saling berhubungan, keinginan kamu yang ingin memiliki anin, keinginan anin yang ingin menikah di saat usianya masih muda dan keinginan ibu kamu yang ingin melihat kamu secepatnya menikah, semuanya itu seperti sebuah pertanda pang, pertanda kamu berjodoh dengan anin ” ida mengembangkan senyumnya sepertinya saat ini ida merasa puas karena telah berhasil membuatku terdiam di dalam menanggapai perkataannya itu.
“ sekali lagi aku ingatkan pang... kuncinya itu adalah waktu dan lokasi yang tepat untuk mengungkapkan perasaan hatimu itu kepada anin ”
Waktu dan lokasi yang tepat untuk mengungkapkan perasaan hatiku ini kepada anindia, kalimat yang terucap dari mulut ida tersebut kini kembali lagi bermain main di dalam pikiranku ini dan kini diantara keberadaan kami yang telah tiba kembali di rumah anindia, keinginanku yang ingin mencari cara agar aku bisa mendekatkan diri dengan anindia kini telah berbuah dengan keberanianku untuk membuka pembicaraan dengan anindia, beberapa benda pusaka yang tersimpan di dalam lemari besar sepertinya kini telah menjadi pintu gerbang bagiku untuk lebih mendekatkan diri dengan anindia.
“ kamu itu suka apa enggak pang berkunjung ke museum ? ”
“ suka nin, dulu itu aku memiliki keinginan untuk berkunjung ke museum (menyebutkan nama salah satu museum yang berlokasi di jakarta ) tapi sampai dengan saat ini keinginanku itu enggak pernah terlaksana ”
“ loh... kenapa ? ”
“ enggak usah merasa bingung nin, apang itu adalah orang yang paling malas kalau jalan jalan sendirian ” sela ismed mendahului jawabanku yang baru saja hendak terucap, di saat yang bersamaan dengan selaan ismed tersebut ida mengembangkan senyumnya.
“ apa benar pang yang dikatakan oleh ismed itu ? ”
“ iya nin... benar, aku memang enggak terbiasa jalan jalan sendirian, mengajak ismed dan ida berkunjung ke museum rasanya sangat enggak mungkin karena mereka itu enggak suka berkunjung ke museum ”
“ ohh... begitu ” gumam anindia sambil mengangguk anggukan kepalanya.
“ bagaimana kalau kamu berkunjung ke museumnya itu bersama denganku saja pang ? ”
Dari banyaknya pembicaraan yang telah aku lakukan hari ini, penawaran yang terucap dari mulut anindia sepertinya adalah pembicaraan terbaik yang telah aku lakukan hari ini dan kini begitu aku mendapati penawaran anindia itu, tanpa berbasa basi lagi aku langsung menyetujuinya.
“ baiklah pang, kalau begitu besok pagi kamu jemput aku sekitar pukul sembilan pagi, kita berkunjung ke museum yang hendak kamu kunjungi itu ”
Kesokan harinya seperti apa yang telah aku sepakati dengan anindia, aku menjemput anindia sekitar pukul sembilan pagi, rasa kekhawatiranku atas kemungkinan motor yang aku kendarai ini akan kembali bermasalah ketika memboncengi anindia kini menghilang begitu saja seiring dengan keinginan anindia yang ingin membawa sepeda motor kesayangannya.
“ akhirnya kita tiba juga pang ”
Mengawali keberadaan kami di museum yang berlokasi di jakarta pusat, aku layangkan tatapan mataku ke halaman museum, dalam pengelihatanku ini terlihat sebuah patung hewan berukuran besar yang menjadi maskot dari museum yang kami kunjungi ini.
“ sebaiknya kita masuk sekarang pang, aku yakin kamu pasti akan betah berlama lama di museum ini ” anindia mengembangkan senyumnya, mendapati saat ini anindia telah melangkahkan kakinya untuk memasuki museum, aku segera mengikutinya.
“ ohh iya nin, bapak kamu itu semenjak kapan sih mempunyai hoby mengkoleksi benda benda pusaka itu ? ” dalam posisinya yang saat ini tengah mengamati salah satu benda kuno dari banyaknya benda kuno yang menjadi koleksi museum, anindia melayangkan tatapan matanya ke arahku, dari mulutnya kini terucap jawaban bahwa bapaknya telah mengkoleksi benda benda pusaka itu semenjak dirinya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
“ wahh ternyata sudah cukup lama juga yaa nin, aku enggak bisa membayangkan sudah berapa banyak uang yang telah dikeluarkan oleh bapakmu itu untuk mendapatkan benda benda pusaka itu ”
“ aku enggak tahu pang sudah berapa banyak bapakku itu mengeluarkan uang untuk membeli benda benda pusaka itu tapi kalau melihat dari pekerjaan bapakku yang hanya berprofesi sebagai pekerja biasa, rasanya sangat enggak mungkin bapakku itu membeli benda benda pusaka itu, maklumlah pang keuangannya kan terbatas ”
Entah sudah berapa lama kami berkeliling di dalam museum, rasa antusias kami pada beberapa benda kuno yang tersimpan di dalam museum kini telah membuat menit demi menit yang berlalu tidaklah memenuhi harapan kami untuk mengamati seluruh benda kuno yang menjadi koleksi museum dan kini diantara rasa lelah yang mulai menghinggapi kami, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak untuk menikmati suasana di dalam museum yang saat ini terasa begitu hening akibat dari minimnya pengunjung museum.
“ ohh iya pang... mengenai bapakku yang suka mengkoleksi benda benda pusaka itu, bapakku itu mengkoleksi benda benda pusaka itu bukan karena di motivasi oleh hal hal yang lain jadi aku harap kamu jangan menduga yang bukan bukan ” ujar anindia sambil menduduki sebuah kursi kayu panjang yang berada berada tidak jauh dari sebuah kotak kaca besar yang menampilkan beberapa benda kuno koleksi museum dan kini begitu aku mendapati perkataannya itu, aku hanya menanggapinya dengan menganggukan kepala.
“ bapakku itu pang hanya merawat benda benda pusaka itu sesuai dengan arahan yang diberikan oleh pemberi benda pusaka dengan kata lain tanpa adanya arahan dari pemberi benda pusaka, bapakku itu hanya merawat benda pusaka seperti benda biasa saja, enggak ada yang istimewa ”
“ yang kamu maksud dengan istimewa itu apa nin ? ” tanyaku dalam rasa bingung.
“ banyak loh pang orang yang mengistimewakan benda benda pusaka karena dipercayai menjadi tempat bersemayamnya kekuatan ghaib, mereka mengistimewakan benda benda pusaka itu dan merawatnya dengan perawatan yang khusus ”
“ benar benar di luar nalar ” gumamku sambil menggeleng gelengkan kepala.
“ apakah kamu mempercayainya nin ? ” anindia mengembangkan senyumnya, sebuah buku yang tersimpan di dalam tasnya kini dikeluarkannya.
“ aku ini adalah jenis orang yang enggak terlalu percaya dengan hal hal yang seperti itu pang tapi jujur saja aku telah menjadi korban yang tersugesti oleh kepercayaan itu ”
“ tersugesti ? ”
“ iya pang... sampai dengan saat ini aku masih terus mencoba untuk menghilangkan sugesti yang bersarang di dalam pikiranku ini ” jawab anindia sambil membuka salah satu halaman buku, mendapati saat ini anindia mulai terfokus pada halaman buku yang dibukanya, aku membatalkan keinginanku yang ingin menanyakan lebih lanjut tentang sugesti yang telah meracuni pikirannya itu.
“ kamu sedang membaca buku tentang apa nin ? ” tanyaku memberanikan diri untuk kembali membuka pembicaraan, dalam posisinya yang saat ini telah melipat halaman buku yang dibukanya itu, anindia memberikan jawaban bahwa buku yang dibacanya itu adalah sebuah novel yang mengisahkan tentang petualangan.
“ wah berarti kamu suka berpetualang dong nin ? ”
“ sangat suka pang... aku memiliki keinginan untuk mendaki gunung, semoga saja— ” anindia menghentikan perkataannya, ekspresi wajahnya menunjukan bahwa saat ini dirinya tengah merasakan sesuatu dan kini belum sempat aku menyakan apa yang saat ini tengah dirasakannya, anindia sudah terlebih dahulu menyerahkan buku yang dibacanya kepadaku lalu memberitahukanku bahwa saat ini dirinya hendak ke toilet untuk menuntaskan keinginannya buang air kecil dan kini tanpa menunggu adanya tanggapan dariku untuk menanggapi pemberitahuannya itu, anindia sudah berlari kecil meninggalkanku, mendapati hal itu dikarenakan saat ini aku merasa enggan untuk melanjutkan kembali melihat lihat koleksi meseum tanpa adanya anindia, aku kini lebih memilih untuk mengisi kesendirianku ini dengan aktifitas melihat lihat isi dari halaman buku yang telah anindia baca dan di saat itulah tanpa sengaja aku mendapati adanya rangkaian kalimat yang telah diberikan tanda oleh anindia, besar kemungkinannya anindia sangat menyukai rangkaian kalimat itu.
...dalam dekapan kabut, aku terhangatkan oleh kalimat cintamu, kalimat sederhana penuh makna yang terucap diantara hamparan bunga edelweis yang menjadi simbol keabadian...
“ astaga, apakah mungkin... ”
Perkataanku itu terhenti diantara pikiranku yang saat ini dipenuhi oleh berbagai macam dugaanku yang menduga anindia sengaja menandai rangkaian kalimat itu dengan maksud tujuan tertentu dan besar kemungkinannya dari gambaran yang tertulis dari rangkaian kalimat itu bisa jadi anindia menginginkan berada di dalam situasi itu di saat seseorang menyatakan perasaan cintanya kepada dirinya dan kini dalam posisiku yang belum sepenuhnya meyakini dugaanku itu, kehadiran anindia yang telah selesai menuntaskan keinginannya untuk buang air kecil kini telah membuatku memutuskan untuk menutup halaman buku lalu memberikannya kepada anindia.
“ ayo pang kita lanjut lagi melihat lihat koleksi museumnya, masih banyak benda benda kuno itu yang belum kita lihat ”
Hampir dua jam lamanya aku dan anindia kembali melanjutkan melihat benda benda kuno koleksi museum, menyadari saat ini sudah tidak ada lagi benda benda kuno yang belum kami lihat, kami memutuskan untuk meninggalkan museum, hanya saja kini diantara keberadaan kami yang baru saja keluar dari ruangan museum, keinginan kami untuk meninggalkan museum terpaksa harus kami tunda sejenak karena saat ini aku merasakan sesuatu yang mengharuskanku untuk segera ke ruangan toilet.
“ ingat pang patokan ruangan toiletnya itu berada di sebelah kanan, nanti kamu akan menemui lorong pendek yang akan mengantarkanmu ke ruangan toilet ”
Berbekal petujuk yang telah diberikan oleh anindia, aku kembali memasuki ruangan museum untuk mencari lokasi ruangan toilet, hingga akhirnya kini diantara keberadaanku yang telah memasuki ruangan toilet dan hendak menuntaskan keinginanku yang ingin buang besar, pendengaranku yang menangkap adanya suara seseorang yang tengah kesulitan untuk bernafas kini telah membuatku memutuskan untuk menunda sejenak keinginanku itu dan lebih memilih untuk memastikan apakah saat ini ada seseorang yang tengah membutuhkan pertolonganku atau tidak, hanya saja kini diantara keberadaanku yang telah keluar dari ruangan yang dikhususkan untuk buang air besar, ketiadaan seseorang di dalam ruangan toilet kini telah membuatku mulai meragukan kebenaran dari suara yang telah aku dengar di saat aku hendak buang air besar.
“ kita langsung masuk saja pang sepertinya ismed dan ida sudah berada di dalam rumah ” ajak ida yang berbalas dengan persetujuanku dan kini diantara keberadaan kami yang telah memasuki rumah, terlihat ismed tengah duduk bersila di belakang beberapa warga kampung yang saat ini tengah mengajikan jenazah arif, mendapati hal itu kami langsung menghampiri ismed.
“ loh... kok kamu hanya sendirian saja med, aninnya kemana ? ” tanya ida yang berbalas dengan jawaban ismed bahwa saat ini anindia tengah berada di dalam kamar bersama dengan ibunya arif.
“ da... sebaiknya kita lihat dulu jenazah almarhum arif sekalian kita mendoakannya ” ida menganggukan kepalanya, tatapan matanya tertuju ke arah jenazah arif yang diletakan tepat di tengah ruangan.
“ pang... da, kalau aku sarankan sih sebaiknya kalian itu jangan melihat wajah jenazah almarhum arif karena wajahnya itu— ”
“ ahh... kamu ini bicara apa sih med seperti sedang menakuti anak kecil saja ”
Mendapati saat ini ismed hendak menanggapi perkataanku, aku segera mengajak ida berjalan menghampiri jenazah arif, dalam balutan kain kafan yang membungkus tubuhnya, wajah jenazah arif tertutupi oleh sehelai kain putih yang sesekali terlihat bergerak gerak karena dipermainkan oleh hembusan angin.
“ benar benar brengsek si ismed... gara gara perkataannya itu aku jadi merasa penasaran untuk melihat wajahnya ” gerutuku di dalam hati seraya mengambil posisi duduk bersila dihadapan jenazah arif dan entah yang terjadi saat ini apakah disebabkan oleh hembusan angin atau bukan, secara tiba tiba kain putih yang menutupi wajah jenazah arif tersingkap dari wajah jenazah arif hingga memperlihatkan kondisi wajah jenazah arif yang hampir sebagian besar kulitnya terkelupas dan masih mengeluarkan rembesan darah segar, mendapati situasi itu, aku langsung memutuskan menggerakan tanganku untuk menutupi kembali wajah jenazah arif dengan kain yang tersingkap itu, hanya saja kini belum sempat aku menyentuhkan jari jemari tanganku pada kain yang tersingkap itu, ida sudah terlebih dahulu menahan pergerakan tanganku, dari ekspresi wajah yang diperlihatkan oleh ida saat ini sepertinya ida mempertanyakan latar belakang dari perbuatan yang saat ini aku lakukan.
“ kamu itu mau ngapain pang ? ” tanya ida dengan nada suaranya yang pelan, tatapan matanya terlihat memperhatikan keadaan sekitar dan kini kini begitu aku mendapati pertanyaan ida itu, entah yang aku lihat saat ini apakah sesuatu yang nyata atau tidak, dalam pengelihatanku ini aku melihat wajah jenazah arif masih tertutupi oleh sehelai kain putih dan hal itu sangatlah berbanding terbalik dengan apa yang aku lihat di saat aku memutuskan untuk menutupi kembali wajah jenazah arif dengan kain putih.
“ ya tuhan... bukankah tadi itu kain itu— ”
“ sudahlah pang, kamu itu jangan berbuat yang aneh aneh ”
Dengan sedikit memaksa ida menarik tanganku untuk beranjak bangun lalu mengajakku berjalan menghampiri ismed, beberapa warga kampung yang saat ini tengah mengajikan jenazah arif terlihat memperhatikan kami sepertinya mereka terusik oleh tingkah laku kami yang terkesan tengah menyembunyikan sesuatu.
“ kalian itu kenapa sih ? kok wajah kamu terlihat kesal seperti itu da ? ” tanya ismed sambil melirikan matanya ke arah ida yang saat ini telah mengambil posisi duduk di sampingnyanya dan kini begitu ida mendapati pertanyaan ismed tersebut, ida langsung memberikan jawaban bahwa dirinya merasa kesal karena melihat aku yang hendak membuka kain putih penutup wajah jenazah arif.
“ astaga da, bukan itu yang ingin aku lakukan, tadi itu— ”
Belum sempat aku mengakhiri penjelasanku itu, ismed sudah terlebih dahulu memotong penjelasanku itu dengan melontarkan candaannya sepertinya saat ini ismed tengah berusaha untuk mencairkan suasana, mendapati hal itu, beberapa warga kampung yang sedari tadi memperhatikan kami kini mulai kembali tersibukan oleh aktifitasnya.
Hampir satu setengah jam lamanya kami berada di rumah arif, hingga akhirnya kini selepas dari keputusan keluarga besar arif yang memutuskan untuk memakamkan arif tepat pada pukul sembilan malam, kami memutuskan untuk meninggalkan rumah arif dan tidak mengikuti prosesi pemakaman itu.
“ sumpah pang... tingkah laku kamu hari ini kok terlihat aneh banget sih ” gerutu ida memecah keterfokusanku yang saat ini tengah memperhatikan medan jalan yang aku lalui, menyadari saat ini sepeda motor ismed telah begitu jauh meninggalkanku, aku memutuskan untuk sedikit memperlambat kecepatan sepeda motorku.
“ sebaiknya kamu jujur saja pang, kamu itu sebenarnya sedang mengalami masalah apa sih ? ”
“ ibuku, da... ”
“ ibumu ?, ibumu kenapa pang ? ”
“ kamu janji yaa da untuk enggak memberitahukan apa yang akan aku beritahukan ini kepada orang lain ”
“ aku janji pang ” melalui kaca spion motor aku bisa melihat ida menganggukan kepalanya.
“ ibuku sakit da, ternyata selama ini ibuku telah menyembunyikan penyakit berat yang di deritanya itu ”
“ hahh... penyakit berat ? ” aku menganggukan kepala.
“ penyakit berat apa pang ? ”
“ ibuku menderita penyakit kanker hati yang sudah kronis da dan hanya aku yang mengetahui penyakit yang deritanya itu ”
“ yaa ampun... ” ida terdiam, cengkraman jari jemari tangannya pada bahuku menandakan bahwa saat ini ida tengah berusaha untuk merasakan apa yang aku rasakan di saat aku mendapatkan kabar berita yang kurang baik itu dan kini diantara keterdiamannya itu, aku memutuskan untuk memberanikan diri menceritakan tentang permintaan ibuku yang memintaku untuk segera menikah.
“ aku khawatir da permintaan ibuku itu adalah pertanda— ”
“ jangan asal bicara kamu pang ” ujar ida memotong perkataanku sepertinya saat ini ida sudah bisa menebak akan ke arah mana perkataanku itu berakhir.
“ bisa jadi ibumu itu memang sudah sejak dulu mengharapkanmu untuk menikah pang, kalau saran aku sih lebih baik kamu turuti saja permintaannya itu ”
“ ahh... gila kamu da ” gumamku sambil menggeleng gelengkan kepala.
“ aku ini akan menikah dengan siapa ? menikah dengan batang pisang yang sudah pasti enggak akan menolak permintaanku untuk menikah denganku ? ”
Ida tertawa akibat mendengar candaanku itu dan kini seiring dengan tepukan telapak tangannya yang menyentuh bahuku ida mengatakan bahwa besar kemungkinannya anindia adalah jodoh yang telah dipersiapkan oleh tuhan untuk diriku.
“ ahh ngaco kamu da, dengan alasan apa kamu bisa mengatakan anindia itu adalah jodohku ? ”
“ pang... jujur saja aku melihat semua kejadian ini seperti kejadian yang saling berhubungan, keinginan kamu yang ingin memiliki anin, keinginan anin yang ingin menikah di saat usianya masih muda dan keinginan ibu kamu yang ingin melihat kamu secepatnya menikah, semuanya itu seperti sebuah pertanda pang, pertanda kamu berjodoh dengan anin ” ida mengembangkan senyumnya sepertinya saat ini ida merasa puas karena telah berhasil membuatku terdiam di dalam menanggapai perkataannya itu.
“ sekali lagi aku ingatkan pang... kuncinya itu adalah waktu dan lokasi yang tepat untuk mengungkapkan perasaan hatimu itu kepada anin ”
Waktu dan lokasi yang tepat untuk mengungkapkan perasaan hatiku ini kepada anindia, kalimat yang terucap dari mulut ida tersebut kini kembali lagi bermain main di dalam pikiranku ini dan kini diantara keberadaan kami yang telah tiba kembali di rumah anindia, keinginanku yang ingin mencari cara agar aku bisa mendekatkan diri dengan anindia kini telah berbuah dengan keberanianku untuk membuka pembicaraan dengan anindia, beberapa benda pusaka yang tersimpan di dalam lemari besar sepertinya kini telah menjadi pintu gerbang bagiku untuk lebih mendekatkan diri dengan anindia.
“ kamu itu suka apa enggak pang berkunjung ke museum ? ”
“ suka nin, dulu itu aku memiliki keinginan untuk berkunjung ke museum (menyebutkan nama salah satu museum yang berlokasi di jakarta ) tapi sampai dengan saat ini keinginanku itu enggak pernah terlaksana ”
“ loh... kenapa ? ”
“ enggak usah merasa bingung nin, apang itu adalah orang yang paling malas kalau jalan jalan sendirian ” sela ismed mendahului jawabanku yang baru saja hendak terucap, di saat yang bersamaan dengan selaan ismed tersebut ida mengembangkan senyumnya.
“ apa benar pang yang dikatakan oleh ismed itu ? ”
“ iya nin... benar, aku memang enggak terbiasa jalan jalan sendirian, mengajak ismed dan ida berkunjung ke museum rasanya sangat enggak mungkin karena mereka itu enggak suka berkunjung ke museum ”
“ ohh... begitu ” gumam anindia sambil mengangguk anggukan kepalanya.
“ bagaimana kalau kamu berkunjung ke museumnya itu bersama denganku saja pang ? ”
Dari banyaknya pembicaraan yang telah aku lakukan hari ini, penawaran yang terucap dari mulut anindia sepertinya adalah pembicaraan terbaik yang telah aku lakukan hari ini dan kini begitu aku mendapati penawaran anindia itu, tanpa berbasa basi lagi aku langsung menyetujuinya.
“ baiklah pang, kalau begitu besok pagi kamu jemput aku sekitar pukul sembilan pagi, kita berkunjung ke museum yang hendak kamu kunjungi itu ”
Kesokan harinya seperti apa yang telah aku sepakati dengan anindia, aku menjemput anindia sekitar pukul sembilan pagi, rasa kekhawatiranku atas kemungkinan motor yang aku kendarai ini akan kembali bermasalah ketika memboncengi anindia kini menghilang begitu saja seiring dengan keinginan anindia yang ingin membawa sepeda motor kesayangannya.
“ akhirnya kita tiba juga pang ”
Mengawali keberadaan kami di museum yang berlokasi di jakarta pusat, aku layangkan tatapan mataku ke halaman museum, dalam pengelihatanku ini terlihat sebuah patung hewan berukuran besar yang menjadi maskot dari museum yang kami kunjungi ini.
“ sebaiknya kita masuk sekarang pang, aku yakin kamu pasti akan betah berlama lama di museum ini ” anindia mengembangkan senyumnya, mendapati saat ini anindia telah melangkahkan kakinya untuk memasuki museum, aku segera mengikutinya.
“ ohh iya nin, bapak kamu itu semenjak kapan sih mempunyai hoby mengkoleksi benda benda pusaka itu ? ” dalam posisinya yang saat ini tengah mengamati salah satu benda kuno dari banyaknya benda kuno yang menjadi koleksi museum, anindia melayangkan tatapan matanya ke arahku, dari mulutnya kini terucap jawaban bahwa bapaknya telah mengkoleksi benda benda pusaka itu semenjak dirinya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
“ wahh ternyata sudah cukup lama juga yaa nin, aku enggak bisa membayangkan sudah berapa banyak uang yang telah dikeluarkan oleh bapakmu itu untuk mendapatkan benda benda pusaka itu ”
“ aku enggak tahu pang sudah berapa banyak bapakku itu mengeluarkan uang untuk membeli benda benda pusaka itu tapi kalau melihat dari pekerjaan bapakku yang hanya berprofesi sebagai pekerja biasa, rasanya sangat enggak mungkin bapakku itu membeli benda benda pusaka itu, maklumlah pang keuangannya kan terbatas ”
Entah sudah berapa lama kami berkeliling di dalam museum, rasa antusias kami pada beberapa benda kuno yang tersimpan di dalam museum kini telah membuat menit demi menit yang berlalu tidaklah memenuhi harapan kami untuk mengamati seluruh benda kuno yang menjadi koleksi museum dan kini diantara rasa lelah yang mulai menghinggapi kami, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak untuk menikmati suasana di dalam museum yang saat ini terasa begitu hening akibat dari minimnya pengunjung museum.
“ ohh iya pang... mengenai bapakku yang suka mengkoleksi benda benda pusaka itu, bapakku itu mengkoleksi benda benda pusaka itu bukan karena di motivasi oleh hal hal yang lain jadi aku harap kamu jangan menduga yang bukan bukan ” ujar anindia sambil menduduki sebuah kursi kayu panjang yang berada berada tidak jauh dari sebuah kotak kaca besar yang menampilkan beberapa benda kuno koleksi museum dan kini begitu aku mendapati perkataannya itu, aku hanya menanggapinya dengan menganggukan kepala.
“ bapakku itu pang hanya merawat benda benda pusaka itu sesuai dengan arahan yang diberikan oleh pemberi benda pusaka dengan kata lain tanpa adanya arahan dari pemberi benda pusaka, bapakku itu hanya merawat benda pusaka seperti benda biasa saja, enggak ada yang istimewa ”
“ yang kamu maksud dengan istimewa itu apa nin ? ” tanyaku dalam rasa bingung.
“ banyak loh pang orang yang mengistimewakan benda benda pusaka karena dipercayai menjadi tempat bersemayamnya kekuatan ghaib, mereka mengistimewakan benda benda pusaka itu dan merawatnya dengan perawatan yang khusus ”
“ benar benar di luar nalar ” gumamku sambil menggeleng gelengkan kepala.
“ apakah kamu mempercayainya nin ? ” anindia mengembangkan senyumnya, sebuah buku yang tersimpan di dalam tasnya kini dikeluarkannya.
“ aku ini adalah jenis orang yang enggak terlalu percaya dengan hal hal yang seperti itu pang tapi jujur saja aku telah menjadi korban yang tersugesti oleh kepercayaan itu ”
“ tersugesti ? ”
“ iya pang... sampai dengan saat ini aku masih terus mencoba untuk menghilangkan sugesti yang bersarang di dalam pikiranku ini ” jawab anindia sambil membuka salah satu halaman buku, mendapati saat ini anindia mulai terfokus pada halaman buku yang dibukanya, aku membatalkan keinginanku yang ingin menanyakan lebih lanjut tentang sugesti yang telah meracuni pikirannya itu.
“ kamu sedang membaca buku tentang apa nin ? ” tanyaku memberanikan diri untuk kembali membuka pembicaraan, dalam posisinya yang saat ini telah melipat halaman buku yang dibukanya itu, anindia memberikan jawaban bahwa buku yang dibacanya itu adalah sebuah novel yang mengisahkan tentang petualangan.
“ wah berarti kamu suka berpetualang dong nin ? ”
“ sangat suka pang... aku memiliki keinginan untuk mendaki gunung, semoga saja— ” anindia menghentikan perkataannya, ekspresi wajahnya menunjukan bahwa saat ini dirinya tengah merasakan sesuatu dan kini belum sempat aku menyakan apa yang saat ini tengah dirasakannya, anindia sudah terlebih dahulu menyerahkan buku yang dibacanya kepadaku lalu memberitahukanku bahwa saat ini dirinya hendak ke toilet untuk menuntaskan keinginannya buang air kecil dan kini tanpa menunggu adanya tanggapan dariku untuk menanggapi pemberitahuannya itu, anindia sudah berlari kecil meninggalkanku, mendapati hal itu dikarenakan saat ini aku merasa enggan untuk melanjutkan kembali melihat lihat koleksi meseum tanpa adanya anindia, aku kini lebih memilih untuk mengisi kesendirianku ini dengan aktifitas melihat lihat isi dari halaman buku yang telah anindia baca dan di saat itulah tanpa sengaja aku mendapati adanya rangkaian kalimat yang telah diberikan tanda oleh anindia, besar kemungkinannya anindia sangat menyukai rangkaian kalimat itu.
...dalam dekapan kabut, aku terhangatkan oleh kalimat cintamu, kalimat sederhana penuh makna yang terucap diantara hamparan bunga edelweis yang menjadi simbol keabadian...
“ astaga, apakah mungkin... ”
Perkataanku itu terhenti diantara pikiranku yang saat ini dipenuhi oleh berbagai macam dugaanku yang menduga anindia sengaja menandai rangkaian kalimat itu dengan maksud tujuan tertentu dan besar kemungkinannya dari gambaran yang tertulis dari rangkaian kalimat itu bisa jadi anindia menginginkan berada di dalam situasi itu di saat seseorang menyatakan perasaan cintanya kepada dirinya dan kini dalam posisiku yang belum sepenuhnya meyakini dugaanku itu, kehadiran anindia yang telah selesai menuntaskan keinginannya untuk buang air kecil kini telah membuatku memutuskan untuk menutup halaman buku lalu memberikannya kepada anindia.
“ ayo pang kita lanjut lagi melihat lihat koleksi museumnya, masih banyak benda benda kuno itu yang belum kita lihat ”
Hampir dua jam lamanya aku dan anindia kembali melanjutkan melihat benda benda kuno koleksi museum, menyadari saat ini sudah tidak ada lagi benda benda kuno yang belum kami lihat, kami memutuskan untuk meninggalkan museum, hanya saja kini diantara keberadaan kami yang baru saja keluar dari ruangan museum, keinginan kami untuk meninggalkan museum terpaksa harus kami tunda sejenak karena saat ini aku merasakan sesuatu yang mengharuskanku untuk segera ke ruangan toilet.
“ ingat pang patokan ruangan toiletnya itu berada di sebelah kanan, nanti kamu akan menemui lorong pendek yang akan mengantarkanmu ke ruangan toilet ”
Berbekal petujuk yang telah diberikan oleh anindia, aku kembali memasuki ruangan museum untuk mencari lokasi ruangan toilet, hingga akhirnya kini diantara keberadaanku yang telah memasuki ruangan toilet dan hendak menuntaskan keinginanku yang ingin buang besar, pendengaranku yang menangkap adanya suara seseorang yang tengah kesulitan untuk bernafas kini telah membuatku memutuskan untuk menunda sejenak keinginanku itu dan lebih memilih untuk memastikan apakah saat ini ada seseorang yang tengah membutuhkan pertolonganku atau tidak, hanya saja kini diantara keberadaanku yang telah keluar dari ruangan yang dikhususkan untuk buang air besar, ketiadaan seseorang di dalam ruangan toilet kini telah membuatku mulai meragukan kebenaran dari suara yang telah aku dengar di saat aku hendak buang air besar.
Diubah oleh meta.morfosis 23-04-2025 14:59
itkgid dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Tutup