- Beranda
- Stories from the Heart
Dalam Dekapan Kabut
...
TS
meta.morfosis
Dalam Dekapan Kabut

Izinkan saya kembali bercerita tentang sebuah kejadian di masa lalu
dalam dekapan kabut, aku terhangatkan oleh kalimat cintamu, kalimat sederhana penuh makna yang terucap diantara hamparan bunga bunga edelweis yang menjadi simbol keabadian...
Chapter :
Chapter :
DDK - Chapter 1
DDK - Chapter 2
DDK - Chapter 3
DDK - Chapter 4
DDK - Chapter 5
DDK - Chapter 6
DDK - Chapter 7
DDK - Chapter 8
DDK - Chapter 9
DDK - Chapter 10
DDK - Chapter 11
DDK - Chapter 12
DDK - Chapter 13
DDK - Chapter 14
DDK - Chapter 15
DDK - Chapter 16
Diubah oleh meta.morfosis 03-09-2024 12:35
indrag057 dan 13 lainnya memberi reputasi
14
1.8K
48
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
meta.morfosis
#2
Chapter 2
Kabar Berita Yang Tidak Terduga
“ yaa tuhan... ”
Dalam kegundahan hatiku saat ini aku hanya bisa memeluk tubuh ibu dengan pelukanku yang erat, butiran air mata yang telah menggenang di kedua kelopak mataku semenjak ibu menginformasikan penyakit yang dideritanya itu secara perlahan kini mulai mengalir keluar dari kedua kelopak mataku.
“ ibu harus berobat bu... ibu bisa menggunakan gaji apang dan juga gaji bapak untuk mengobati penyakit yang ibu derita itu dan jikalau semuanya itu kurang, ibu masih bisa menjual rumah ini untuk— ”
“ pang ”
Dalam posisiku yang saat ini masih memeluk tubuh ibu, ibu membelai kepalaku dengan gerakan tangannya yang sangat perlahan, getaran halus yang aku rasakan pada telapak tangannya kini telah memicu bergejolaknya emosiku yang pada akhirnya membuatku menangis layaknya seorang anak kecil yang tengah mencari perhatian dari orang tuanya.
“ kamu harus kuat pang, jangan pernah mengambil sebuah keputusan yang akan merugikan keluarga kita ini ”
“ tapi bu— ”
“ ingat pang... adik adik kamu itu masih membutuhkan biaya yang banyak untuk menyelesaikan pendidikannya ” ibu menghentikan belaian tangannya, ekspresi ketegaran yang terpancar di wajahnya menunjukan rasa keikhlasan ibu untuk menghadapi jalan hidup yang harus dilaluinya.
“ hidup dan mati kita itu hanya tuhan yang menentukan, kamu harus yakin dengan kepastian itu ” ujar ibu sambil mengembangkan senyumnya.
“ bu, apakah bapak, anti dan anto sudah mengetahui penyakit yang ibu derita ini ? ”
“ mereka itu enggak perlu tahu pang, kamu harus berjanji kepada ibu... jangan sampai mereka mengetahuinya ”
Ingin rasanya saat ini aku menolak permintaan ibu yang aku yakini akan menempatkanku dalam posisi orang yang paling bersalah apabila sesuatu yang buruk terjadi dan menimpa diri ibu, hanya saja kini begitu aku mendapati ekspresi wajah ibu yang memintaku untuk memenuhi permintaannya itu, sulit rasanya bagiku saat ini untuk menolak permintaannya itu, hingga akhirnya kini selepas dari anggukan kepalaku yang menandakan aku bersedia untuk memenuhi permintaannya itu, dari mulut ibu kembali terucap perkataan yang menurutku sangatlah tidak tepat untuk ditanyakan oleh ibu saat ini, dalam perkataannya itu ibu menanyakan tentang kapan aku akan menikah.
“ bu... sebaiknya ibu jangan menyakan pertanyaan seperti itu dulu, lebih baik sekarang ini ibu berkonsentrasi untuk menyembuhkan penyakit ibu ” ujarku sambil melepaskan pelukanku pada tubuh tubuh ibu dan kini tanpa memperdulikan perkataan yang terucap dari mulutku, ibu kembali mengulangi pertanyaan yang sama dan hal itu kini telah membuatku hanya bisa terdiam seraya menatap ke arah wajah ibu yang saat ini tengah mengembangkan senyumnya.
“ ibu selalu mendoakan kamu segera cepat menikah pang dan ibu sangat merasa yakin dalam waktu yang enggak lama lagi kamu pasti akan mendapatkan jodoh ”
Mungkin inilah yang dinamakan ikatan batin antara seorang ibu dengan anaknya, perkataan ibu yang mengatakan bahwa aku akan menemukan jodoh dalam waktu yang tidak lama lagi kini mengingatkanku akan sosok anindia dan kini dalam bayang bayang tatapan mata ibu yang menatapku dengan sorot matanya yang lembut, aku mulai menceritakan segala sesuatu yang terhubung dengan anindia dan di saat itulah ibu memintaku untuk mengajak anindia berkunjung ke rumahku ini agar ibu bisa mengenal anindia lebih dekat lagi.
“ maaf bu, sepertinya untuk permintaan ibu yang satu ini apang merasa sulit untuk mengabulkannya, jujur saja bu... saat ini apang masih dalam tahap pendekatan dengan anindia ”
Tiga hari sudah waktu berlalu dari percakapanku dengan ibu, diantara cerahnya langit sabtu sore ini yang berhiaskan lembayung senja berwarna jingga, aku memacu sepeda motorku dengan laju yang cukup kencang, bayangan akan apa yang harus aku lakukan di saat berada di rumah anindia kini bermain main di dalam pikiranku.
“ kok sepertinya ada yang aneh ya ? ” tanyaku di dalam hati karena saat ini aku melihat adanya tanda tanda yang tidak biasa di jalan yang tengah aku lalui saat ini, dalam pengelihatanku ini terlihat adanya taburan pasir di tengah jalan yang aku yakini dipergunakan untuk menutupi keberadaan sesuatu, mendapati hal itu aku segera menepikan sepeda motor di pinggir jalan lalu kembali mengarahkan tatapan mataku ke arah taburan pasir yang saat ini tengah dilintasi oleh beberapa kendaraan.
“ sedang mencari apa kang ? ” tanya seorang penjaja rokok keliling yang tanpa aku sadari kini telah berdiri disamping sepeda motorku, tatapan matanya tertuju ke arah tumpukan pasir yang saat ini tengah aku amati.
“ saya enggak sedang mencari apa apa pak, tapi saya merasa penasaran saja dengan taburan pasir itu ”
“ ohh begitu ”
“ apakah di jalan ini telah terjadi kecelakaan pak ? ”
“ iya kang, lebih tepatnya sih kecelakaan yang aneh ”
“ hah... kecelakaan yang aneh ? kecelakaan yang aneh bagaimana pak ? ”
“ bagaimana enggak aneh kang, coba saja akang bayangkan... tadi itu ada seorang pemuda yang secara tiba tiba menghentikan laju sepeda motornya di tengah jalan lalu berlari ke arah bus yang tengah melaju dengan sangat kencang, kalau melihat dari gerak geriknya sih sepertinya pemuda itu tengah merasa ketakutan dengan sesuatu, tapi... ” bapak penjaja rokok menghentikan perkataannya, kerutan halus yang terlihat di dahinya menunjukan bahwa saat ini bapak penjaja rokok tengah memikirkan sesuatu yang bisa jadi terhubung dengan kejadian kecelakaan yang telah disaksikannya itu.
“ tapi kenapa pak ? ”
“ tapi saya bingung kang, sebenarnya pemuda itu merasa ketakutan dengan apa yaa... karena berdasarkan apa yang saya lihat di saat kecelakaan itu terjadi saya sama sekali enggak melihat adanya sesuatu yang menakuti pemuda itu ”
Janggal, hanya kata itulah yang hadir di dalam pikiranku saat ini, berdasarkan penuturan yang telah diberikan oleh bapak penjaja rokok, rasanya sangatlah tidak mungkin pemuda yang mengalami kecelakaan itu berlari ke arah bus yang tengah melaju kencang tanpa dilatarbelakangi oleh sesuatu dan kini begitu aku mendapati penuturan bapak penjaja rokok itu, dikarenakan saat ini hari telah beranjak semakin sore, aku memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan ke rumah anindia.
“ hahh ! yang benar kamu med ? ”
Dalam posisiku yang saat ini baru saja tiba di rumah anindia, sebuah kabar berita tidak terduga yang saat ini aku dengar telah membuatku menunda sejenak keinginanku yang ingin menanyakan tentang keberadaan anindia dan ida saat ini yang tidak terlihat keberadaannya di ruang tamu, sebuah tas wanita yang diletakan di sebuah kursi yang berada tidak jauh dari kursi yang ismed duduki sudah cukup untuk meyakinkanku bahwa saat ini ida sudah berada di rumah anindia ini.
“ benar pang, berdasarkan informasi yang anin dapatkan sih, almarhum arif langsung menghembuskan nafas terakhirnya di lokasi dimana dirinya tertabrak oleh bus yang melaju kencang itu ”
“ yaa tuhan... jangan jangan lokasi kecelakaan yang telah aku lihat tadi itu adalah lokasi dimana almarhum arif mengalami kecelakaan ” ujarku dalam rasa tidak percaya.
“ bisa jadi memang itu lokasinya pang ”
Mengakhiri perkataannya itu ismed mengambil gelas berisikan air teh yang terhidang di atas meja lalu meminumnya.
“ sekarang anin dan ida sedang berada dimana med ? ”
“ mereka sedang berada di dalam kamar pang, tengah bersiap siap untuk takziah ke rumah almarhum arif ”
Mengiringi penantianku akan kehadiran anindia dan ida yang saat ini tengah mempersiapakan diri untuk bertakziah ke rumah almarhum arif, tatapan mataku ini kini termanjakan oleh suasana nyaman di dalam rumah anindia, sebuah lemari besar yang penempatannya berada tidak jauh dari ruang tamu dimana aku dan ismed berada, terlihat menyimpan beberapa benda kuno yang mungkin memiliki nilai sejarah bagi keluarga anindia.
“ ehh med... aku kok enggak melihat orang tuanya anin sih, apakah tadi itu sebelum aku datang kamu melihatnya med ?”
“ aku enggak melihatnya pang, menurut penuturan anin sih... mereka tengah ke jakarta untuk menghadiri acara pernikahan ” ujar ismed dengan tatapan mata memandang ke arah lemari besar yang saat ini tengah aku perhatikan dan kini begitu aku mendapati jawaban ismed itu, aku beranjak bangun dari dudukku untuk mengamati secara lebih jelas lagi benda benda kuno yang tersimpan di dalam lemari besar, hanya saja kini belum sempat aku melangkahkan kakiku ini ke arah lemari besar, kehadiran ida dan juga anindia yang saat ini baru saja keluar dari dalam kamar kini telah membuatku memutuskan untuk kembali duduk seraya memperhatikan anindia dan ida yang saat tengah berbincang bincang dengan tatapan mata tertuju ke arahku.
“ ehh apang... ternyata kamu sudah datang ” tegur anindia sambil mengembangkan senyumnya, di sisi yang lain terlihat ida dan ismed tengah bermain mata untuk menggoda kecanggungan sikapku saat ini.
“ kamu sudah lama pang datangnya ? maaf yaa... tadi itu aku tengah mempersiapkan diri untuk bertakziah ke rumah almarhum arif ”
“ belum begitu lama sih nin, mungkin baru sekitar sepuluh menitan ” anindia menganggukan kepalanya, tatapan matanya tertuju ke arah jam dinding yang saat ini telah menunjukan pukul lima sore hari.
“ kamu sudah tahu kan pang kejadian kecelakaan yang menimpa almarhum arif ? ”
“ sudah nin, tadi ismed yang memberitahukannya ”
“ ohh begitu... ya sudah kalau begitu sebaiknya kita berangkat ke rumah almarhum arif sekarang agar kita terhidar dari sholat magrib di jalan ”
Entah saat ini ida dan ismed tengah merencanakan apa, selepas dari perkataan anindia yang mengajak kami untuk meninggalkan rumahnya, ida langsung mengusulkan agar aku berboncengan sepeda motor dengan anindia dan apa yang diusulkan oleh ida itu kini bersambut dengan persetujuan anindia dengan alasan bahwa dirinya saat ini tengah berada di dalam suasana hati yang kurang baik selepas dari dirinya yang mendapati kabar berita tentang kecelakaan maut yang menimpa arif.
“ pelan pelan saja bawa sepeda motornya pang, ingat kita ini mau bertakziah bukan ditakziahkan ” bisik ismed menggodaku, diantara posisiku yang saat ini telah menaiki sepeda motor terlihat anindia tengah mengunci pintu rumah lalu setelah itu berjalan menghampiriku.
“ kamu baik baik saja kan nin ? ”
“ aku baik baik saja pang, tadi itu aku hanya sedikit terkejut karena mendapati kabar berita yang tidak terduga itu ” jawab anindia sambil menaiki sepeda motor, mendapati saat ini anindia telah menaiki sepeda motor, aku segera menjalankan sepeda motor meninggalkan rumah anindia, hingga akhirnya kini diantara keberadaan kami yang telah menempuh setengah perjalanan dari empat puluh menit lamanya waktu yang kami butuhkan untuk sampai di rumah arif, aku terpaksa mengurangi kecepatan sepeda motorku akibat dari kendala yang sulit untuk aku jelaskan dengan akal sehatku ini, entah mengapa saat ini aku merasakan sepeda motor yang aku kendarai ini terasa begitu berat seperti sebuah sepeda motor yang tengah berjalan dengan membawa beban yang teramat berat.
“ ada apa pang ? ” tanya anindia karena merasakan adanya penurunan kecepatan dari sepeda motor yang aku kendarai ini, melalui kaca spion motor, aku bisa melihat ekspresi wajah anindia yang sepertinya menaruh rasa kecurigaan akan kemungkinan telah terjadi sesuatu yang menyebabkan aku mengurangi kecepatan sepeda motorku dan kini begitu aku mendapati pertanyaannya itu, aku memberikan jawaban yang mana jawabanku itu tidaklah memuaskan rasa keingintahuan anindia yang ingin mengetahui penyebab mengapa aku mengurangi kecepatan sepeda motorku.
“ kamu itu yaa pang ditanyanya apa kok malah menjawabnya apa ” gerutu anindia merujuk pada pertanyaanku yang menanyakan tentang hubungan dirinya dengan arif, walaupun saat ini anindia menanggapi pertanyaanku itu dengan gerutuannya, dari nada suaranya yang terdengar aku menduga anindia tidaklah sepenuhnya merasa jengkel karena mendapati pertanyaanku itu.
“ maaf nin, kalau kamu memang enggak mau menjawabnya, aku enggak akan memaksanya kok ”
“ astaga pang... pang... ” anindia tertawa kecil, tepukan telapak tangannya pada bahuku seperti mengisyaratkan agar aku menghilangkan kecanggunganku di dalam perbincangan ini.
“ dengan alasan apa enggak mau menjawab pertanyaanmu itu, kalau kamu mau tahu pang... aku itu sebenarnya— ”
Belum sempat anindia menyelesaikan perkataannya itu, perkataannya itu kini terhenti seiring dengan terdengarnya suara raungan keras pada sepeda motorku akibat dari aku yang telah menarik tali gas, mendapati saat ini adanya kepulan asap putih yang bersumber dari bagian belakang sepeda motorku, aku segera menepikan sepeda motorku di pinggir jalan lalu memeriksanya.
“ ada apa pang ? ”
“ enggak tahu nih nin, aku juga bingung ” jawabku seraya memperhatikan keadaan ban sepada motor yang mana di salah satu bagiannya memperlihatkan adanya bekas yang menunjukan bahwa ban sepeda motor telah bergesekan secara kasar dengan aspal jalan, mendapati hal itu, aku kini hanya bisa terdiam seraya menduga duga penyebab mengapa tadi itu aku merasakan seperti ada sesuatu yang menahan laju pergerakan sepeda motorku ini.
“ apakah mungkin pang asap putih yang aku lihat tadi itu bersumber dari ban motormu ini ? ”
“ sepertinya sih memang bersumber dari ban ini nin ”
“ pantas saja dari tadi itu kamu membawa motor ini dengan sangat pelan ternyata ada permasalahan pada ban motormu itu ”
Ingin rasanya saat ini aku memberitahukan kepada anindia penyebab mengapa aku membawa sepeda motor dengan kecepatan yang pelan, namun dikarenakan saat ini aku tidak ingin informasi yang aku berikan itu akan memberikan dampak negatif di dalam pikiran anindia, aku kini memilih untuk tidak memberitahukannya.
“ pang, itu ismed dan ida ”
Dalam posisiku yang saat ini masih berjongkok di dalam memperhatikan ban sepeda motor, ismed menghentikan sepeda motornya tidak jauh dari lokasiku menghentikan sepeda motor dan kini diantara keberadaan dirinya yang telah berjongkok di sampingku, ismed melontarkan pertanyaan yang menanyakan penyebab mengapa aku menghentikan sepeda motor secara tiba tiba.
“ enggak tahu nih med... kok ban motorku bisa seperti ini yaa ”
“ mungkin kamu jarang mencuci motor kali pang, perputaran ban motormu ini jadi bermasalah ” aku terdiam, di sisi yang lain terlihat anindia dan ida tengah berbincang bincang.
“ med... sebaiknya kita bertukaran penumpang yaa, kamu yang memboncengi anin, aku yang memboncengi ida ” ismed mengernyitkan dahinya, ekspresi wajahnya menunjukan rasa ketidakpercayaannya karena telah mendengar permintaanku itu.
“ waduhh pang, kamu ini enggak lagi kesambet kan ? kamu yakin nih aku yang memboncengi anin ? ” tanya ismed dengan nada suaranya yang pelan, aku menganggukan kepala.
“ seratus persen aku yakin med, lebih baik sekarang ini kamu berangkat duluan bersama dengan anin nanti aku akan menyusul bersama dengan ida ”
“ pang... pang... memang benar benar aneh kamu ini ”
Sambil menggeleng gelengkan kepalanya ismed beranjak bangun dari jongkoknya lalu berjalan menghampiri anindia dan ida, hingga akhirnya kini selepas dari pembicaraan singkat yang telah dilakukannya, anindia langsung berjalan menghampiriku untuk menanyakan alasan mengapa aku memutuskan untuk berganti penumpang dan di saat itulah aku memberikan jawaban yang mana jawabanku itu pada akhirnya dapat diterima dengan baik oleh anindia.
“ ohh jadi begitu pang ”
“ iya nin, aku enggak ingin permasalah motorku ini akan menghambat keinginanmu untuk bertakziah, ingat nin... kamu itu adalah orang yang paling dekat dengan almarhum arif ”
Dalam kegundahan hatiku saat ini aku hanya bisa memeluk tubuh ibu dengan pelukanku yang erat, butiran air mata yang telah menggenang di kedua kelopak mataku semenjak ibu menginformasikan penyakit yang dideritanya itu secara perlahan kini mulai mengalir keluar dari kedua kelopak mataku.
“ ibu harus berobat bu... ibu bisa menggunakan gaji apang dan juga gaji bapak untuk mengobati penyakit yang ibu derita itu dan jikalau semuanya itu kurang, ibu masih bisa menjual rumah ini untuk— ”
“ pang ”
Dalam posisiku yang saat ini masih memeluk tubuh ibu, ibu membelai kepalaku dengan gerakan tangannya yang sangat perlahan, getaran halus yang aku rasakan pada telapak tangannya kini telah memicu bergejolaknya emosiku yang pada akhirnya membuatku menangis layaknya seorang anak kecil yang tengah mencari perhatian dari orang tuanya.
“ kamu harus kuat pang, jangan pernah mengambil sebuah keputusan yang akan merugikan keluarga kita ini ”
“ tapi bu— ”
“ ingat pang... adik adik kamu itu masih membutuhkan biaya yang banyak untuk menyelesaikan pendidikannya ” ibu menghentikan belaian tangannya, ekspresi ketegaran yang terpancar di wajahnya menunjukan rasa keikhlasan ibu untuk menghadapi jalan hidup yang harus dilaluinya.
“ hidup dan mati kita itu hanya tuhan yang menentukan, kamu harus yakin dengan kepastian itu ” ujar ibu sambil mengembangkan senyumnya.
“ bu, apakah bapak, anti dan anto sudah mengetahui penyakit yang ibu derita ini ? ”
“ mereka itu enggak perlu tahu pang, kamu harus berjanji kepada ibu... jangan sampai mereka mengetahuinya ”
Ingin rasanya saat ini aku menolak permintaan ibu yang aku yakini akan menempatkanku dalam posisi orang yang paling bersalah apabila sesuatu yang buruk terjadi dan menimpa diri ibu, hanya saja kini begitu aku mendapati ekspresi wajah ibu yang memintaku untuk memenuhi permintaannya itu, sulit rasanya bagiku saat ini untuk menolak permintaannya itu, hingga akhirnya kini selepas dari anggukan kepalaku yang menandakan aku bersedia untuk memenuhi permintaannya itu, dari mulut ibu kembali terucap perkataan yang menurutku sangatlah tidak tepat untuk ditanyakan oleh ibu saat ini, dalam perkataannya itu ibu menanyakan tentang kapan aku akan menikah.
“ bu... sebaiknya ibu jangan menyakan pertanyaan seperti itu dulu, lebih baik sekarang ini ibu berkonsentrasi untuk menyembuhkan penyakit ibu ” ujarku sambil melepaskan pelukanku pada tubuh tubuh ibu dan kini tanpa memperdulikan perkataan yang terucap dari mulutku, ibu kembali mengulangi pertanyaan yang sama dan hal itu kini telah membuatku hanya bisa terdiam seraya menatap ke arah wajah ibu yang saat ini tengah mengembangkan senyumnya.
“ ibu selalu mendoakan kamu segera cepat menikah pang dan ibu sangat merasa yakin dalam waktu yang enggak lama lagi kamu pasti akan mendapatkan jodoh ”
Mungkin inilah yang dinamakan ikatan batin antara seorang ibu dengan anaknya, perkataan ibu yang mengatakan bahwa aku akan menemukan jodoh dalam waktu yang tidak lama lagi kini mengingatkanku akan sosok anindia dan kini dalam bayang bayang tatapan mata ibu yang menatapku dengan sorot matanya yang lembut, aku mulai menceritakan segala sesuatu yang terhubung dengan anindia dan di saat itulah ibu memintaku untuk mengajak anindia berkunjung ke rumahku ini agar ibu bisa mengenal anindia lebih dekat lagi.
“ maaf bu, sepertinya untuk permintaan ibu yang satu ini apang merasa sulit untuk mengabulkannya, jujur saja bu... saat ini apang masih dalam tahap pendekatan dengan anindia ”
Tiga hari sudah waktu berlalu dari percakapanku dengan ibu, diantara cerahnya langit sabtu sore ini yang berhiaskan lembayung senja berwarna jingga, aku memacu sepeda motorku dengan laju yang cukup kencang, bayangan akan apa yang harus aku lakukan di saat berada di rumah anindia kini bermain main di dalam pikiranku.
“ kok sepertinya ada yang aneh ya ? ” tanyaku di dalam hati karena saat ini aku melihat adanya tanda tanda yang tidak biasa di jalan yang tengah aku lalui saat ini, dalam pengelihatanku ini terlihat adanya taburan pasir di tengah jalan yang aku yakini dipergunakan untuk menutupi keberadaan sesuatu, mendapati hal itu aku segera menepikan sepeda motor di pinggir jalan lalu kembali mengarahkan tatapan mataku ke arah taburan pasir yang saat ini tengah dilintasi oleh beberapa kendaraan.
“ sedang mencari apa kang ? ” tanya seorang penjaja rokok keliling yang tanpa aku sadari kini telah berdiri disamping sepeda motorku, tatapan matanya tertuju ke arah tumpukan pasir yang saat ini tengah aku amati.
“ saya enggak sedang mencari apa apa pak, tapi saya merasa penasaran saja dengan taburan pasir itu ”
“ ohh begitu ”
“ apakah di jalan ini telah terjadi kecelakaan pak ? ”
“ iya kang, lebih tepatnya sih kecelakaan yang aneh ”
“ hah... kecelakaan yang aneh ? kecelakaan yang aneh bagaimana pak ? ”
“ bagaimana enggak aneh kang, coba saja akang bayangkan... tadi itu ada seorang pemuda yang secara tiba tiba menghentikan laju sepeda motornya di tengah jalan lalu berlari ke arah bus yang tengah melaju dengan sangat kencang, kalau melihat dari gerak geriknya sih sepertinya pemuda itu tengah merasa ketakutan dengan sesuatu, tapi... ” bapak penjaja rokok menghentikan perkataannya, kerutan halus yang terlihat di dahinya menunjukan bahwa saat ini bapak penjaja rokok tengah memikirkan sesuatu yang bisa jadi terhubung dengan kejadian kecelakaan yang telah disaksikannya itu.
“ tapi kenapa pak ? ”
“ tapi saya bingung kang, sebenarnya pemuda itu merasa ketakutan dengan apa yaa... karena berdasarkan apa yang saya lihat di saat kecelakaan itu terjadi saya sama sekali enggak melihat adanya sesuatu yang menakuti pemuda itu ”
Janggal, hanya kata itulah yang hadir di dalam pikiranku saat ini, berdasarkan penuturan yang telah diberikan oleh bapak penjaja rokok, rasanya sangatlah tidak mungkin pemuda yang mengalami kecelakaan itu berlari ke arah bus yang tengah melaju kencang tanpa dilatarbelakangi oleh sesuatu dan kini begitu aku mendapati penuturan bapak penjaja rokok itu, dikarenakan saat ini hari telah beranjak semakin sore, aku memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan ke rumah anindia.
“ hahh ! yang benar kamu med ? ”
Dalam posisiku yang saat ini baru saja tiba di rumah anindia, sebuah kabar berita tidak terduga yang saat ini aku dengar telah membuatku menunda sejenak keinginanku yang ingin menanyakan tentang keberadaan anindia dan ida saat ini yang tidak terlihat keberadaannya di ruang tamu, sebuah tas wanita yang diletakan di sebuah kursi yang berada tidak jauh dari kursi yang ismed duduki sudah cukup untuk meyakinkanku bahwa saat ini ida sudah berada di rumah anindia ini.
“ benar pang, berdasarkan informasi yang anin dapatkan sih, almarhum arif langsung menghembuskan nafas terakhirnya di lokasi dimana dirinya tertabrak oleh bus yang melaju kencang itu ”
“ yaa tuhan... jangan jangan lokasi kecelakaan yang telah aku lihat tadi itu adalah lokasi dimana almarhum arif mengalami kecelakaan ” ujarku dalam rasa tidak percaya.
“ bisa jadi memang itu lokasinya pang ”
Mengakhiri perkataannya itu ismed mengambil gelas berisikan air teh yang terhidang di atas meja lalu meminumnya.
“ sekarang anin dan ida sedang berada dimana med ? ”
“ mereka sedang berada di dalam kamar pang, tengah bersiap siap untuk takziah ke rumah almarhum arif ”
Mengiringi penantianku akan kehadiran anindia dan ida yang saat ini tengah mempersiapakan diri untuk bertakziah ke rumah almarhum arif, tatapan mataku ini kini termanjakan oleh suasana nyaman di dalam rumah anindia, sebuah lemari besar yang penempatannya berada tidak jauh dari ruang tamu dimana aku dan ismed berada, terlihat menyimpan beberapa benda kuno yang mungkin memiliki nilai sejarah bagi keluarga anindia.
“ ehh med... aku kok enggak melihat orang tuanya anin sih, apakah tadi itu sebelum aku datang kamu melihatnya med ?”
“ aku enggak melihatnya pang, menurut penuturan anin sih... mereka tengah ke jakarta untuk menghadiri acara pernikahan ” ujar ismed dengan tatapan mata memandang ke arah lemari besar yang saat ini tengah aku perhatikan dan kini begitu aku mendapati jawaban ismed itu, aku beranjak bangun dari dudukku untuk mengamati secara lebih jelas lagi benda benda kuno yang tersimpan di dalam lemari besar, hanya saja kini belum sempat aku melangkahkan kakiku ini ke arah lemari besar, kehadiran ida dan juga anindia yang saat ini baru saja keluar dari dalam kamar kini telah membuatku memutuskan untuk kembali duduk seraya memperhatikan anindia dan ida yang saat tengah berbincang bincang dengan tatapan mata tertuju ke arahku.
“ ehh apang... ternyata kamu sudah datang ” tegur anindia sambil mengembangkan senyumnya, di sisi yang lain terlihat ida dan ismed tengah bermain mata untuk menggoda kecanggungan sikapku saat ini.
“ kamu sudah lama pang datangnya ? maaf yaa... tadi itu aku tengah mempersiapkan diri untuk bertakziah ke rumah almarhum arif ”
“ belum begitu lama sih nin, mungkin baru sekitar sepuluh menitan ” anindia menganggukan kepalanya, tatapan matanya tertuju ke arah jam dinding yang saat ini telah menunjukan pukul lima sore hari.
“ kamu sudah tahu kan pang kejadian kecelakaan yang menimpa almarhum arif ? ”
“ sudah nin, tadi ismed yang memberitahukannya ”
“ ohh begitu... ya sudah kalau begitu sebaiknya kita berangkat ke rumah almarhum arif sekarang agar kita terhidar dari sholat magrib di jalan ”
Entah saat ini ida dan ismed tengah merencanakan apa, selepas dari perkataan anindia yang mengajak kami untuk meninggalkan rumahnya, ida langsung mengusulkan agar aku berboncengan sepeda motor dengan anindia dan apa yang diusulkan oleh ida itu kini bersambut dengan persetujuan anindia dengan alasan bahwa dirinya saat ini tengah berada di dalam suasana hati yang kurang baik selepas dari dirinya yang mendapati kabar berita tentang kecelakaan maut yang menimpa arif.
“ pelan pelan saja bawa sepeda motornya pang, ingat kita ini mau bertakziah bukan ditakziahkan ” bisik ismed menggodaku, diantara posisiku yang saat ini telah menaiki sepeda motor terlihat anindia tengah mengunci pintu rumah lalu setelah itu berjalan menghampiriku.
“ kamu baik baik saja kan nin ? ”
“ aku baik baik saja pang, tadi itu aku hanya sedikit terkejut karena mendapati kabar berita yang tidak terduga itu ” jawab anindia sambil menaiki sepeda motor, mendapati saat ini anindia telah menaiki sepeda motor, aku segera menjalankan sepeda motor meninggalkan rumah anindia, hingga akhirnya kini diantara keberadaan kami yang telah menempuh setengah perjalanan dari empat puluh menit lamanya waktu yang kami butuhkan untuk sampai di rumah arif, aku terpaksa mengurangi kecepatan sepeda motorku akibat dari kendala yang sulit untuk aku jelaskan dengan akal sehatku ini, entah mengapa saat ini aku merasakan sepeda motor yang aku kendarai ini terasa begitu berat seperti sebuah sepeda motor yang tengah berjalan dengan membawa beban yang teramat berat.
“ ada apa pang ? ” tanya anindia karena merasakan adanya penurunan kecepatan dari sepeda motor yang aku kendarai ini, melalui kaca spion motor, aku bisa melihat ekspresi wajah anindia yang sepertinya menaruh rasa kecurigaan akan kemungkinan telah terjadi sesuatu yang menyebabkan aku mengurangi kecepatan sepeda motorku dan kini begitu aku mendapati pertanyaannya itu, aku memberikan jawaban yang mana jawabanku itu tidaklah memuaskan rasa keingintahuan anindia yang ingin mengetahui penyebab mengapa aku mengurangi kecepatan sepeda motorku.
“ kamu itu yaa pang ditanyanya apa kok malah menjawabnya apa ” gerutu anindia merujuk pada pertanyaanku yang menanyakan tentang hubungan dirinya dengan arif, walaupun saat ini anindia menanggapi pertanyaanku itu dengan gerutuannya, dari nada suaranya yang terdengar aku menduga anindia tidaklah sepenuhnya merasa jengkel karena mendapati pertanyaanku itu.
“ maaf nin, kalau kamu memang enggak mau menjawabnya, aku enggak akan memaksanya kok ”
“ astaga pang... pang... ” anindia tertawa kecil, tepukan telapak tangannya pada bahuku seperti mengisyaratkan agar aku menghilangkan kecanggunganku di dalam perbincangan ini.
“ dengan alasan apa enggak mau menjawab pertanyaanmu itu, kalau kamu mau tahu pang... aku itu sebenarnya— ”
Belum sempat anindia menyelesaikan perkataannya itu, perkataannya itu kini terhenti seiring dengan terdengarnya suara raungan keras pada sepeda motorku akibat dari aku yang telah menarik tali gas, mendapati saat ini adanya kepulan asap putih yang bersumber dari bagian belakang sepeda motorku, aku segera menepikan sepeda motorku di pinggir jalan lalu memeriksanya.
“ ada apa pang ? ”
“ enggak tahu nih nin, aku juga bingung ” jawabku seraya memperhatikan keadaan ban sepada motor yang mana di salah satu bagiannya memperlihatkan adanya bekas yang menunjukan bahwa ban sepeda motor telah bergesekan secara kasar dengan aspal jalan, mendapati hal itu, aku kini hanya bisa terdiam seraya menduga duga penyebab mengapa tadi itu aku merasakan seperti ada sesuatu yang menahan laju pergerakan sepeda motorku ini.
“ apakah mungkin pang asap putih yang aku lihat tadi itu bersumber dari ban motormu ini ? ”
“ sepertinya sih memang bersumber dari ban ini nin ”
“ pantas saja dari tadi itu kamu membawa motor ini dengan sangat pelan ternyata ada permasalahan pada ban motormu itu ”
Ingin rasanya saat ini aku memberitahukan kepada anindia penyebab mengapa aku membawa sepeda motor dengan kecepatan yang pelan, namun dikarenakan saat ini aku tidak ingin informasi yang aku berikan itu akan memberikan dampak negatif di dalam pikiran anindia, aku kini memilih untuk tidak memberitahukannya.
“ pang, itu ismed dan ida ”
Dalam posisiku yang saat ini masih berjongkok di dalam memperhatikan ban sepeda motor, ismed menghentikan sepeda motornya tidak jauh dari lokasiku menghentikan sepeda motor dan kini diantara keberadaan dirinya yang telah berjongkok di sampingku, ismed melontarkan pertanyaan yang menanyakan penyebab mengapa aku menghentikan sepeda motor secara tiba tiba.
“ enggak tahu nih med... kok ban motorku bisa seperti ini yaa ”
“ mungkin kamu jarang mencuci motor kali pang, perputaran ban motormu ini jadi bermasalah ” aku terdiam, di sisi yang lain terlihat anindia dan ida tengah berbincang bincang.
“ med... sebaiknya kita bertukaran penumpang yaa, kamu yang memboncengi anin, aku yang memboncengi ida ” ismed mengernyitkan dahinya, ekspresi wajahnya menunjukan rasa ketidakpercayaannya karena telah mendengar permintaanku itu.
“ waduhh pang, kamu ini enggak lagi kesambet kan ? kamu yakin nih aku yang memboncengi anin ? ” tanya ismed dengan nada suaranya yang pelan, aku menganggukan kepala.
“ seratus persen aku yakin med, lebih baik sekarang ini kamu berangkat duluan bersama dengan anin nanti aku akan menyusul bersama dengan ida ”
“ pang... pang... memang benar benar aneh kamu ini ”
Sambil menggeleng gelengkan kepalanya ismed beranjak bangun dari jongkoknya lalu berjalan menghampiri anindia dan ida, hingga akhirnya kini selepas dari pembicaraan singkat yang telah dilakukannya, anindia langsung berjalan menghampiriku untuk menanyakan alasan mengapa aku memutuskan untuk berganti penumpang dan di saat itulah aku memberikan jawaban yang mana jawabanku itu pada akhirnya dapat diterima dengan baik oleh anindia.
“ ohh jadi begitu pang ”
“ iya nin, aku enggak ingin permasalah motorku ini akan menghambat keinginanmu untuk bertakziah, ingat nin... kamu itu adalah orang yang paling dekat dengan almarhum arif ”
Diubah oleh meta.morfosis 23-04-2025 14:52
itkgid dan 5 lainnya memberi reputasi
6
Tutup