- Beranda
- Stories from the Heart
Dalam Dekapan Kabut
...
TS
meta.morfosis
Dalam Dekapan Kabut

Izinkan saya kembali bercerita tentang sebuah kejadian di masa lalu
dalam dekapan kabut, aku terhangatkan oleh kalimat cintamu, kalimat sederhana penuh makna yang terucap diantara hamparan bunga bunga edelweis yang menjadi simbol keabadian...
Chapter :
Chapter :
DDK - Chapter 1
DDK - Chapter 2
DDK - Chapter 3
DDK - Chapter 4
DDK - Chapter 5
DDK - Chapter 6
DDK - Chapter 7
DDK - Chapter 8
DDK - Chapter 9
DDK - Chapter 10
DDK - Chapter 11
DDK - Chapter 12
DDK - Chapter 13
DDK - Chapter 14
DDK - Chapter 15
DDK - Chapter 16
Diubah oleh meta.morfosis 03-09-2024 12:35
indrag057 dan 13 lainnya memberi reputasi
14
1.8K
48
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
meta.morfosis
#1
Chapter 1
Pengakuan Ibu
Bogor, 2001
Waktu belum beranjak dari pukul sembilan malam, helaan nafasku yang terasa begitu dalam terhembus diantara tugas praktikumku yang saat ini baru saja aku selesaikan.
“ sabar pang... sabar... sebentar lagi kamu akan terbebas dari tugas tugas yang menyebalkan ini ” gumamku seraya membayangkan tiga semester lagi yang harus aku lalui untuk meraih gelar sarjanaku di jurusan ekonomi pada salah satu kampus swasta yang berlokasi di kota bogor.
Apang Surapang, itulah namaku, nama yang sarat dengan intonasi pengulangan itu adalah nama yang biasa dipergunakan oleh golongan rakyat biasa di jawa barat yang bukan terlahir dari golongan darah biru. Bapakku bekerja di salah satu perkebunan teh yang bisa dikatakan adalah salah satu perkebunan teh terbesar di jawa barat, minimnya gaji yang bapakku dapatkan dari hasil pekerjaannya itu telah membuat ibuku memutuskan untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga di salah satu keluarga yang lokasi rumahnya itu berada tidak jauh dari dari rumahku, dilatarbelakangi oleh begitu minimnya pendapatan yang didapatkan orang tuaku dari hasil perkerjaannya itu, aku memutuskan untuk bekerja di sebuah pabrik selepas aku lulus dari sekolah menengah atas dan apa yang aku putuskan itu kini telah berbuah dengan kemampuanku untuk membantu membiayai pendidikan kedua adik kembarku yang saat ini masih menempuh pendidikan di salah satu sekolah menengah atas yang berada tidak jauh dari kampungku dan untuk saat ini aku tengah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta yang memberikanku keringanan dalam hal pembayaran biaya perkuliahan.
“ pang ! ” panggil ismed sambil mengembangkan senyumnya, lirikan matanya tertuju ke arah salah seorang mahasiswi yang saat ini masih sibuk menyelesaikan tugas praktikumnya dan kini diantara keterfokusan di dalam memandang sosok gadis yang telah mencuri rasa simpatiku semenjak aku berada di semester tiga, ismed kembali menegurku seraya memberikan isyarat tangan yang menandakan bahwa dirinya saat ini tengah dalam keadaan lapar.
Lima belas menit sudah waktu berlalu dari perbincanganku dengan ismed, selepas dari jam praktikum yang saat ini telah berakhir, aku langsung mengajak ismed ke sebuah warung kopi yang berada tidak jauh dari kampusku, rasa dingin yang tercipta akibat dari hujan yang telah turun semenjak dimulainya jam praktikum kini telah membuat aku dan ismed langsung memesan dua mangkok mie yang diharapkan dapat menghilangkan rasa lapar yang saat ini kami rasakan.
“ bagaimana kabar ibumu med ? ” tanyaku merujuk pada pengobatan yang saat ini tengah dijalani oleh ibunya ismed, selepas dari musibah yang telah dialami oleh keluarga ismed sepuluh tahun yang lalu, kebangkrutan usaha keluarga yang dialami oleh keluarga ismed telah membuat keluarga ismed terjerat hutang usaha yang cukup besar dan akibat dari hutang usaha yang tidak kunjung terselesaikan, bapaknya ismed memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri, sedangkan ibunya ismed, ibunya ismed mengalami gangguan jiwa yang sampai dengan saat ini belum juga dapat disembuhkan.
“ yaa... seperti biasa pang, ibuku itu hanya bisa menjalani pengobatan tanpa adanya kepastian kesembuhan ” ismed mengembangkan senyumnya, dari ekspresi wajah yang diperlihatkan oleh ismed saat ini sepertinya ismed sudah bisa menerima dengan ikhlas kejadian buruk yang menimpa keluarganya.
“ kamu jangan berbicara seperti itu med, aku doakan ibumu itu— ”
“ silahkan kang ” ujar bapak penjaga warung memotong perkataanku, mendapati saat ini telah terhidang di hadapan kami dua mangkok mie yang masih memperlihatkan uap panasnya, aku dan ismed langsung menyantapnya.
“ ohh iya pang, kelanjutan hubunganmu dengan anin itu bagaimana ? ”
“ maksud kamu med ? ”
“ mau sampai kapan sih pang kamu memendam perasaan kamu itu ”
“ ahh... entahlah med, aku— ”
“ jangan menjadi orang yang penakut pang, ingat... kuliah kita ini hanya menyisakan tiga semester lagi dan itu adalah waktu yang kamu miliki untuk mendekati anin ” ujar ismed seraya melayangkan tatapan matanya ke arah wajahku.
“ jujur saja med, aku benar benar enggak berani untuk mendekati anin entah mengapa baru kali ini aku merasakan rasa takut untuk mendekati seorang wanita ”
“ wahh bagus itu pang karena itu artinya kamu benar benar menyukai anin, kalau saran aku sih sebaiknya kamu jangan menunda nunda lagi keinginanmu untuk mengungkapkan perasaan hatimu itu ”
“ tapi med, aku— ”
“ enggak usah pakai alasan tapi tapian lagi pang, lebih baik kamu ikuti saja saranku itu daripada nantinya itu kamu menyesal ”
“ menyesal ? ” tanyaku memepertegas perkataan ismed, ismed menganggukan kepalanya.
“ kamu itu kenal arif kan pang ? ”
“ arif ? ”
“ iya, arif yang anak tehnik itu ”
“ ohh... arif arifin ”
“ iya, arif arifin ”
Mengakhiri suapan terakhirnya yang mengkandaskan mie di dalam mangkok, ismed meletakan mangkok di atas meja, dari mulutnya kini terucap perkataan yang menginformasikan tentang usaha usaha yang telah dilakukan arif untuk mendekati anindia, dan kini begitu aku mendapati informasinya itu, aku hanya bisa menanggapinya dengan terdiam tanpa bisa menyembunyikan ekspresi wajahku yang menunjukan rasa kekecewaan.
“ halahh... baru begitu saja kamu telah kecewa pang, tunjukan dong kalau kamu itu memang benar benar menyukai anin ”
“ arghhh... sumpah med sekarang ini aku benar benar jadi bingung ”
“ astaga pang... pang..., ternyata jatuh cinta itu bisa membuat kamu jadi dungu yaa ” ismed mengembangkan senyumnya, gelengan kepalanya yang dilakukan secara berulang ulang seperti menunjukan rasa kegeraman ismed atas kebuntuan pikiranku saat ini dan kini selepas dari perkataannya itu, dari mulut ismed kembali terucap perkataan yang yang menyarankan agar aku mendekati anindia melalui ida karena berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan oleh ismed, bisa dikatakan ida merupakan salah satu teman dekat anindia diantara beberapa teman dekat anindia lainnya yang bukan merupakah teman dekat kami.
“ kamu yakin med, ida bisa membantuku ? ”
“ aku yakin pang, kalau aku boleh sarankan lagi sih... besok itu kan kita libur kuliah, bagaimana kalau besok itu kita ke rumah ida ? ”
“ ke rumah ida ? ” ismed menganggukan kepalanya.
“ besok itu kamu langsung saja ke rumah ida, kita berjumpa di sana ”
Apa yang terjadi maka terjadilah, mungkin hanya kalimat itulah yang terbersit di dalam pikiranku saat ini selepas dari anggukan kepalaku yang menyetujui saran ismed untuk berkunjung ke rumah ida, hingga akhirnya kini seiring dengan menit demi menit yang terus berjalan, keesokan harinya sesuai dengan apa yang telah aku sepakati dengan ismed, selepas dari aku yang telah menyelesaikan aktifitas pekerjaanku aku langsung menuju ke rumah ida dan berjumpa dengan ismed dan ida yang sepertinya telah menantikan kehadiranku ini untuk membicarakan tentang hubunganku dengan anindia.
“ sudah lama kamu datangnya med ? ” tanyaku mengiringi beranjaknya ida memasuki rumah untuk mengambil air minum yang diperuntukan bagi diriku.
“ sudah hampir satu jam pang, maklumlah aku inikan pengangguran ” aku tertawa kecil lalu menghempaskan tubuhku di kursi yang berada tidak jauh dari ismed.
“ kamu itu bukan pengangguran med, pengangguran kok punya usaha ” ujarku sambil mengeluarkan bungkusan rokok yang tersimpan di dalam tas kerjaku, selepas dari sebatang rokok yang kini telah aku sulutkan, aku melemparkan bungkusan rokok ke arah ismed.
“ semoga saja usaha yang tengah kamu rintis itu akan semakin bertambah maju med dan kamu akan bisa menjadi pengusaha besar seperti bapakmu itu ” ismed menghisap batangan rokoknya dalam dalam, gumpalan asap rokok yang terhembus dari mulutnya terlihat menari nari udara.
“ kamu itu ada ada saja pang, perkataanmu itu seperti sebuah mimpi yang enggak akan pernah bisa aku capai ”
“ loh... kamu kok malah berkata seperti itu med, aku yakin kok suatu saat nanti kamu itu pasti akan bisa seperti— ”
Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku itu, perkataanku itu kini terhenti seiring dengan kehadiran ida yang telah kembali hadir dengan turut serta membawa segelas kopi panas yang diperuntukan bagi diriku, mengiringi diletakannya kopi panas di atas meja, ida mengatakan bahwa dirinya selama ini telah banyak menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan diriku kepada anindia.
“ hahh... berarti da selama ini kamu telah mengetahui— ”
“ iya pang, aku memang mengetahuinya, ismed yang memberitahukanku”
Diantara ekspresi wajahku yang masih menunjukan rasa keterkejutanku karena aku tidak menduga ida telah mengetahui apa yang selama ini telah aku sembunyikan dari dirinya, ismed mengembangkan senyumnya, di wajahnya sama sekali aku tidak melihat adanya ekspresi rasa penyesalan karena dirinya telah menceritakan sesuatu yang seharusnya tidak diceritakannya, mendapati hal itu aku segera memberikan teguran kepada ismed agar dirinya menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya.
“ kamu itu enggak usah marah pang, aku yakin kok... kemarahan kamu itu pasti akan meluntur setelah kamu itu mengetahui respon apa yang telah diberikan anin di saat dirinya itu mendengar kabar kabar yang berhubungan dengan dirimu itu ” ismed kembali mengembangkan senyumnya, lirikan matanya tertuju ke arah ida.
“ kamu masih marah apa enggak nih pang, kalau kamu masih marah aku jadi merasa malas untuk memberitahukannya ” ujar ida menggodaku, dikarenakan saat ini aku merasa sudah tidak tahan lagi untuk mengetahui informasi yang saat ini masih dirahasiakan oleh ida dan ismed, aku segera meminta kepada ida untuk menceritakan respon apa yang telah diberikan oleh anindia di saat dirinya itu mendengar kabar kabar yang berhubungan dengan diriku dan kini begitu ida mendapati permintaanku itu, ida mulai menceritakan saat saat dirinya memberitahukan kabar berita yang berhubungan dengan diriku kepada anindia, berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan oleh ida, besar kemunungkinannya anindia menaruh rasa simpati kepadaku hal itu dapat terlihat dari tingkah laku dan perkataan anindia yang begitu antusias di dalam menyikapi setiap kabar berita yang berhubungan dengan diriku.
“ ishh... sepertinya teman kita ini sudah enggak marah lagi nih med, hatinya sedang berbunga bunga ” ismed tertawa kecil, batangan rokok yang berada di jari jemari tangannya kini kembali dihisapnya.
“ percuma da kalau hanya berbunga bunga saja karena tanpa adanya tindakan nyata dari apang bunga itu pasti akan layu ”
“ iya sih med... yang apang butuhkan saat ini hanyalah keberanian, keberanian untuk mengungkapkan perasaan hatinya itu ” ismed menganggukan kepalanya, tatapan matanya tertuju ke arahku yang saat ini hanya bisa terdiam di dalam menanggapi perkataan ida.
“ kamu membutuhkan waktu dan lokasi yang tepat pang untuk mengungkapkan perasaan hatimu itu ”
“ waktu dan lokasi yang tepat ? ” tanyaku mempertegas perkataan ida, ida menganggukan kepalanya.
“ setiap wanita itu pang pasti menginginkan adanya momen terindah di dalam perjalanan hidupnya dan salah satunya adalah saat saat dimana seseorang yang mencintai dirinya mengungkapkan perasaan hatinya di waktu dan di lokasi yang sesuai dengan imajinasi terindah yang ada di dalam pikirannya ”
“ astaga da... kenapa jadi seribet ini sih urusannya ” gerutuku dalam rasa putus asa, ismed yang sepertinya bisa merasakan apa yang saat ini tengah aku pikirkan terlihat menggeleng gelengkan kepalanya.
“ kamu enggak usah pusing pang memikirkan bagaimana caranya kamu mendapatkan informasi tentang waktu dan lokasi yang anin inginkan di saat seorang pria menyatakan perasaan hatinya kepadanya, serahkan saja semuanya kepada ida ”
“ hahh... serius nih da ? ” ida menganggukan kepalanya.
“ iya pang... kalau aku boleh usul bagaimana kalau malam minggu ini kita berkunjung ke rumah anin ? ”
“ berkunjung ke rumah anin ? ” kembali ida mengganggukan kepalanya.
“ kamu yakin da ? aku ini kan belum terlalu akrab dengan— ”
“ sebaiknya kamu ikuti saja rencanaku itu pang, percayalah... kunjungan yang akan kita lakukan itu akan lebih mengakrabkan kamu dengan anin dengan begitu peluang kamu untuk mendapatkan informasi tentang waktu dan lokasi yang anin inginkan di saat seorang pria menyatakan perasaan hatinya kepadanya akan semakin besar ”
“ aku setuju dengan rencanamu itu da, sejujurnya aku juga ingin memastikan kebenaran dari perkataanmu tadi itu, semoga saja anin memang menaruh rasa simpati kepada apang ” aku hanya bisa terdiam di dalam menanggapi pembicaraan antara ida dan ismed, ketiadaan rencana di dalam pikiranku ini kini telah membuatku berada dalam posisi untuk menyetujui rencana yang ida ajukan dan pada akhirnya kini selepas dari perbincangan panjang kami yang membahas tentang apa yang akan kami lakukan di saat berkunjung ke rumah anindia, tepat pada pukul setengah sebelas malam, aku dan ismed memutuskan untuk berpamitan pulang.
“ brengsek... kenapa hujannya enggak turun sewaktu aku masih berada di rumah ida sih ” gerutuku selepas dari sepuluh menit perjalanan meninggalkan rumah ida dan kini berbekal sehelai jas hujan yang kini telah aku kenakan, aku kembali melanjutkan perjalanan menuju ke rumah, hingga akhirnya kini sesampainya aku di rumah, diantara curah hujan yang saat ini masih turun dengan saat lebatnya, aku mendapati situasi yang tidak biasa terjadi di rumahku yaitu berupa keberadaan anto yang saat ini masih berada di teras rumah.
“ loh... kamu kok belum tidur to ? ” tanyaku seraya menuntun sepeda motor menaiki teras rumah lalu memarkirkannya, dalam posisinya yang saat ini tengah memandang ke halaman rumah, anto hanya terdiam di dalam menanggapi pertanyaanku itu dan hal itu kini telah menghadirkan dugaan di hatiku atas kemungkinan adanya permasalahan berat yang saat ini tengah dipikirkannya.
“ to... kamu itu kenapa ?, kok ditanya malah diam saja sih ” kembali anto terdiam, tatapan matanya yang semula tertuju ke halaman rumah kini tertuju ke arahku.
“ ibu sedang sakit kang, sekarang ibu tengah tidur ditemani oleh teh anti ”
Mendapati informasi yang diberikan oleh anto tersebut, tanpa berpikir panjang lagi aku langsung memasuki rumah untuk memastikan kondisi kesehatan ibu, firasatku yang mengatakan ada sesuatu yang kurang baik pada kondisi kesehatan ibu pada akhirnya kini menjadi kenyataan, dalam posisiku yang saat ini telah berdiri tepat di pintu kamar ibu, aku melihat ibu tengah tertidur dalam balutan sehelai kain tua yang diperuntukan sebagai selimut, diantara wajahnya yang terlihat begitu pucat, aku bisa melihat adanya gerakan gerakan halus pada wajahnya hal itu seperti mengisyaratkan adanya rasa sakit yang saat ini tengah dirasakanannya.
“ ti ” tegurku kepada anti yang saat ini tengah berada di dalam kamar ibu, dalam posisinya yang saat ini tengah tertidur di sebuah kursi yang berada tidak jauh dari tempat tidur ibu, anti terbangun karena mendengar suara teguranku itu.
“ kang apang ” ujar anti seraya memberikan isyarat tangan agar aku memelankan suaraku dan kini selepas dari perkataannya itu anti beranjak bangun dari duduknya lalu berjalan menghampiriku.
“ ibu sakit apa ti ? ”
“ kita bicaranya di luar kamar saja kang, khawatir nanti ibu akan terbangun ” aku menganggukan kepala, mendapati saat ini anti telah berjalan meninggalkan kamar, aku segera berjalan menghampiri anti setelah terlebih dahulu kembali melayangkan tatapan mataku ke arah ibu.
“ tadi itu ibu muntah muntah kang ”
“ muntah muntah ? ” anti menganggukan kepalanya.
“ muntah muntah seperti orang masuk angin ti ? ”
“ bukan kang, ibu memuntahkan darah berwarna hitam ”
“ astaga... yang benar kamu ti ? ” tanyaku dalam ekspresi wajah yang menunjukan rasa keterkejutanku, rasa lega yang tadi sempat hadir di saat anti memberitahukan tentang kondisi kesehatan ibu yang hanya mengalami muntah muntah kini mendadak sirna akibat dari pemberitahuannya itu.
“ benar kang, anti juga kaget melihatnya ”
Mengakhiri jawaban anti tersebut anto terlihat memasuki rumah lalu berjalan memasuki kamarnya, mendapati hal itu aku kembali berjalan ke arah pintu kamar ibu untuk melihat keadaan ibu saat ini.
“ kang... apakah akang sudah makan ?, kalau akang belum makan biar anti menyiapkannya ”
“ akang masih kenyang ti, lebih baik sekarang ini kamu beristirahat saja bukankah besok itu kamu masih harus bersekolah ”
“ tapi kang bagaimana dengan ibu ? ”
“ kamu tenang saja ti, malam ini biar akang yang menjaga ibu ” anti terdiam, mendapati hal itu aku segera masuk ke dalam kamar ibu lalu menghempaskan tubuhku ini di kursi, rasa lelah yang aku rasakan akibat dari aktifitasku seharian ini kini telah membuatku begitu mudah untuk tertidur dan entah telah berapa lama aku tertidur, aku kembali terjaga akibat dari aku yang mendengar suara ibu yang memanggil namaku.
“ bu... ” gumamku pelan seraya membangun kembali kesadaranku yang saat ini belum sepenuhnya pulih akibat dari tidur lelapku, dalam pengelihatanku saat ini terlihat ibu tengah terbaring dengan tatapan mata tertuju ke arahku.
“ pang... ” panggil ibu kembali seraya memberikan isyarat tangan agar aku menghampirinya, mendapati permintaannya itu, aku segera berjalan menghampiri ibu lalu menempatkan diriku ini dalam posisi duduk di tepi tempat tidur ibu.
“ ibu kenapa ?, tadi itu anti mengatakan— ”
“ pang... ada sesuatu yang ingin ibu sampaikan kepadamu ”
“ sesuatu ? ” tanyaku mempertegas perkataan ibu, dalam posisinya yang saat ini masih terbaring, ibu menganggukan kepalanya.
“ sesuatu apa bu ? ”
“ maafkan ibu pang karena selama ini ibu telah menyembunyikan penyakit yang ibu derita ini kepada kalian ”
Sulitnya rasanya bagiku saat ini untuk berkata kata, perkataan ibu yang mengisyaratkan adanya penyakit berat yang tengah di deritanya kini telah membuatku hanya bisa terpaku dengan pandangan menatap ke arah wajah ibu yang saat ini tengah mengarahkan pandangannya ke arah langit langit kamar, dari ekspresi wajah yang diperlihatkan oleh ibu saat ini besar kemungkinannya ibu telah merasa pasrah dengan penyakit berat yang di deritanya itu.
“ bu... sebaiknya ibu jujur, memangnya ibu tengah mengidap penyakit apa ? ” tanyaku dengan nada suara yang bergetar, tatapan mata ibu yang semula tertuju ke arah langit langit kamar kini tertuju ke arahku.
“ sudah hampir setahun ibu berobat secara diam diam pang dan menurut keterangan dokter yang memeriksa penyakit ibu ini, penyakit kanker hati yang ibu derita ini sudah memasuki stadium yang buruk, hingga besar kemungkinannya ibu— ”
Waktu belum beranjak dari pukul sembilan malam, helaan nafasku yang terasa begitu dalam terhembus diantara tugas praktikumku yang saat ini baru saja aku selesaikan.
“ sabar pang... sabar... sebentar lagi kamu akan terbebas dari tugas tugas yang menyebalkan ini ” gumamku seraya membayangkan tiga semester lagi yang harus aku lalui untuk meraih gelar sarjanaku di jurusan ekonomi pada salah satu kampus swasta yang berlokasi di kota bogor.
Apang Surapang, itulah namaku, nama yang sarat dengan intonasi pengulangan itu adalah nama yang biasa dipergunakan oleh golongan rakyat biasa di jawa barat yang bukan terlahir dari golongan darah biru. Bapakku bekerja di salah satu perkebunan teh yang bisa dikatakan adalah salah satu perkebunan teh terbesar di jawa barat, minimnya gaji yang bapakku dapatkan dari hasil pekerjaannya itu telah membuat ibuku memutuskan untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga di salah satu keluarga yang lokasi rumahnya itu berada tidak jauh dari dari rumahku, dilatarbelakangi oleh begitu minimnya pendapatan yang didapatkan orang tuaku dari hasil perkerjaannya itu, aku memutuskan untuk bekerja di sebuah pabrik selepas aku lulus dari sekolah menengah atas dan apa yang aku putuskan itu kini telah berbuah dengan kemampuanku untuk membantu membiayai pendidikan kedua adik kembarku yang saat ini masih menempuh pendidikan di salah satu sekolah menengah atas yang berada tidak jauh dari kampungku dan untuk saat ini aku tengah menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta yang memberikanku keringanan dalam hal pembayaran biaya perkuliahan.
“ pang ! ” panggil ismed sambil mengembangkan senyumnya, lirikan matanya tertuju ke arah salah seorang mahasiswi yang saat ini masih sibuk menyelesaikan tugas praktikumnya dan kini diantara keterfokusan di dalam memandang sosok gadis yang telah mencuri rasa simpatiku semenjak aku berada di semester tiga, ismed kembali menegurku seraya memberikan isyarat tangan yang menandakan bahwa dirinya saat ini tengah dalam keadaan lapar.
Lima belas menit sudah waktu berlalu dari perbincanganku dengan ismed, selepas dari jam praktikum yang saat ini telah berakhir, aku langsung mengajak ismed ke sebuah warung kopi yang berada tidak jauh dari kampusku, rasa dingin yang tercipta akibat dari hujan yang telah turun semenjak dimulainya jam praktikum kini telah membuat aku dan ismed langsung memesan dua mangkok mie yang diharapkan dapat menghilangkan rasa lapar yang saat ini kami rasakan.
“ bagaimana kabar ibumu med ? ” tanyaku merujuk pada pengobatan yang saat ini tengah dijalani oleh ibunya ismed, selepas dari musibah yang telah dialami oleh keluarga ismed sepuluh tahun yang lalu, kebangkrutan usaha keluarga yang dialami oleh keluarga ismed telah membuat keluarga ismed terjerat hutang usaha yang cukup besar dan akibat dari hutang usaha yang tidak kunjung terselesaikan, bapaknya ismed memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri, sedangkan ibunya ismed, ibunya ismed mengalami gangguan jiwa yang sampai dengan saat ini belum juga dapat disembuhkan.
“ yaa... seperti biasa pang, ibuku itu hanya bisa menjalani pengobatan tanpa adanya kepastian kesembuhan ” ismed mengembangkan senyumnya, dari ekspresi wajah yang diperlihatkan oleh ismed saat ini sepertinya ismed sudah bisa menerima dengan ikhlas kejadian buruk yang menimpa keluarganya.
“ kamu jangan berbicara seperti itu med, aku doakan ibumu itu— ”
“ silahkan kang ” ujar bapak penjaga warung memotong perkataanku, mendapati saat ini telah terhidang di hadapan kami dua mangkok mie yang masih memperlihatkan uap panasnya, aku dan ismed langsung menyantapnya.
“ ohh iya pang, kelanjutan hubunganmu dengan anin itu bagaimana ? ”
“ maksud kamu med ? ”
“ mau sampai kapan sih pang kamu memendam perasaan kamu itu ”
“ ahh... entahlah med, aku— ”
“ jangan menjadi orang yang penakut pang, ingat... kuliah kita ini hanya menyisakan tiga semester lagi dan itu adalah waktu yang kamu miliki untuk mendekati anin ” ujar ismed seraya melayangkan tatapan matanya ke arah wajahku.
“ jujur saja med, aku benar benar enggak berani untuk mendekati anin entah mengapa baru kali ini aku merasakan rasa takut untuk mendekati seorang wanita ”
“ wahh bagus itu pang karena itu artinya kamu benar benar menyukai anin, kalau saran aku sih sebaiknya kamu jangan menunda nunda lagi keinginanmu untuk mengungkapkan perasaan hatimu itu ”
“ tapi med, aku— ”
“ enggak usah pakai alasan tapi tapian lagi pang, lebih baik kamu ikuti saja saranku itu daripada nantinya itu kamu menyesal ”
“ menyesal ? ” tanyaku memepertegas perkataan ismed, ismed menganggukan kepalanya.
“ kamu itu kenal arif kan pang ? ”
“ arif ? ”
“ iya, arif yang anak tehnik itu ”
“ ohh... arif arifin ”
“ iya, arif arifin ”
Mengakhiri suapan terakhirnya yang mengkandaskan mie di dalam mangkok, ismed meletakan mangkok di atas meja, dari mulutnya kini terucap perkataan yang menginformasikan tentang usaha usaha yang telah dilakukan arif untuk mendekati anindia, dan kini begitu aku mendapati informasinya itu, aku hanya bisa menanggapinya dengan terdiam tanpa bisa menyembunyikan ekspresi wajahku yang menunjukan rasa kekecewaan.
“ halahh... baru begitu saja kamu telah kecewa pang, tunjukan dong kalau kamu itu memang benar benar menyukai anin ”
“ arghhh... sumpah med sekarang ini aku benar benar jadi bingung ”
“ astaga pang... pang..., ternyata jatuh cinta itu bisa membuat kamu jadi dungu yaa ” ismed mengembangkan senyumnya, gelengan kepalanya yang dilakukan secara berulang ulang seperti menunjukan rasa kegeraman ismed atas kebuntuan pikiranku saat ini dan kini selepas dari perkataannya itu, dari mulut ismed kembali terucap perkataan yang yang menyarankan agar aku mendekati anindia melalui ida karena berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan oleh ismed, bisa dikatakan ida merupakan salah satu teman dekat anindia diantara beberapa teman dekat anindia lainnya yang bukan merupakah teman dekat kami.
“ kamu yakin med, ida bisa membantuku ? ”
“ aku yakin pang, kalau aku boleh sarankan lagi sih... besok itu kan kita libur kuliah, bagaimana kalau besok itu kita ke rumah ida ? ”
“ ke rumah ida ? ” ismed menganggukan kepalanya.
“ besok itu kamu langsung saja ke rumah ida, kita berjumpa di sana ”
Apa yang terjadi maka terjadilah, mungkin hanya kalimat itulah yang terbersit di dalam pikiranku saat ini selepas dari anggukan kepalaku yang menyetujui saran ismed untuk berkunjung ke rumah ida, hingga akhirnya kini seiring dengan menit demi menit yang terus berjalan, keesokan harinya sesuai dengan apa yang telah aku sepakati dengan ismed, selepas dari aku yang telah menyelesaikan aktifitas pekerjaanku aku langsung menuju ke rumah ida dan berjumpa dengan ismed dan ida yang sepertinya telah menantikan kehadiranku ini untuk membicarakan tentang hubunganku dengan anindia.
“ sudah lama kamu datangnya med ? ” tanyaku mengiringi beranjaknya ida memasuki rumah untuk mengambil air minum yang diperuntukan bagi diriku.
“ sudah hampir satu jam pang, maklumlah aku inikan pengangguran ” aku tertawa kecil lalu menghempaskan tubuhku di kursi yang berada tidak jauh dari ismed.
“ kamu itu bukan pengangguran med, pengangguran kok punya usaha ” ujarku sambil mengeluarkan bungkusan rokok yang tersimpan di dalam tas kerjaku, selepas dari sebatang rokok yang kini telah aku sulutkan, aku melemparkan bungkusan rokok ke arah ismed.
“ semoga saja usaha yang tengah kamu rintis itu akan semakin bertambah maju med dan kamu akan bisa menjadi pengusaha besar seperti bapakmu itu ” ismed menghisap batangan rokoknya dalam dalam, gumpalan asap rokok yang terhembus dari mulutnya terlihat menari nari udara.
“ kamu itu ada ada saja pang, perkataanmu itu seperti sebuah mimpi yang enggak akan pernah bisa aku capai ”
“ loh... kamu kok malah berkata seperti itu med, aku yakin kok suatu saat nanti kamu itu pasti akan bisa seperti— ”
Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku itu, perkataanku itu kini terhenti seiring dengan kehadiran ida yang telah kembali hadir dengan turut serta membawa segelas kopi panas yang diperuntukan bagi diriku, mengiringi diletakannya kopi panas di atas meja, ida mengatakan bahwa dirinya selama ini telah banyak menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan diriku kepada anindia.
“ hahh... berarti da selama ini kamu telah mengetahui— ”
“ iya pang, aku memang mengetahuinya, ismed yang memberitahukanku”
Diantara ekspresi wajahku yang masih menunjukan rasa keterkejutanku karena aku tidak menduga ida telah mengetahui apa yang selama ini telah aku sembunyikan dari dirinya, ismed mengembangkan senyumnya, di wajahnya sama sekali aku tidak melihat adanya ekspresi rasa penyesalan karena dirinya telah menceritakan sesuatu yang seharusnya tidak diceritakannya, mendapati hal itu aku segera memberikan teguran kepada ismed agar dirinya menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya.
“ kamu itu enggak usah marah pang, aku yakin kok... kemarahan kamu itu pasti akan meluntur setelah kamu itu mengetahui respon apa yang telah diberikan anin di saat dirinya itu mendengar kabar kabar yang berhubungan dengan dirimu itu ” ismed kembali mengembangkan senyumnya, lirikan matanya tertuju ke arah ida.
“ kamu masih marah apa enggak nih pang, kalau kamu masih marah aku jadi merasa malas untuk memberitahukannya ” ujar ida menggodaku, dikarenakan saat ini aku merasa sudah tidak tahan lagi untuk mengetahui informasi yang saat ini masih dirahasiakan oleh ida dan ismed, aku segera meminta kepada ida untuk menceritakan respon apa yang telah diberikan oleh anindia di saat dirinya itu mendengar kabar kabar yang berhubungan dengan diriku dan kini begitu ida mendapati permintaanku itu, ida mulai menceritakan saat saat dirinya memberitahukan kabar berita yang berhubungan dengan diriku kepada anindia, berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan oleh ida, besar kemunungkinannya anindia menaruh rasa simpati kepadaku hal itu dapat terlihat dari tingkah laku dan perkataan anindia yang begitu antusias di dalam menyikapi setiap kabar berita yang berhubungan dengan diriku.
“ ishh... sepertinya teman kita ini sudah enggak marah lagi nih med, hatinya sedang berbunga bunga ” ismed tertawa kecil, batangan rokok yang berada di jari jemari tangannya kini kembali dihisapnya.
“ percuma da kalau hanya berbunga bunga saja karena tanpa adanya tindakan nyata dari apang bunga itu pasti akan layu ”
“ iya sih med... yang apang butuhkan saat ini hanyalah keberanian, keberanian untuk mengungkapkan perasaan hatinya itu ” ismed menganggukan kepalanya, tatapan matanya tertuju ke arahku yang saat ini hanya bisa terdiam di dalam menanggapi perkataan ida.
“ kamu membutuhkan waktu dan lokasi yang tepat pang untuk mengungkapkan perasaan hatimu itu ”
“ waktu dan lokasi yang tepat ? ” tanyaku mempertegas perkataan ida, ida menganggukan kepalanya.
“ setiap wanita itu pang pasti menginginkan adanya momen terindah di dalam perjalanan hidupnya dan salah satunya adalah saat saat dimana seseorang yang mencintai dirinya mengungkapkan perasaan hatinya di waktu dan di lokasi yang sesuai dengan imajinasi terindah yang ada di dalam pikirannya ”
“ astaga da... kenapa jadi seribet ini sih urusannya ” gerutuku dalam rasa putus asa, ismed yang sepertinya bisa merasakan apa yang saat ini tengah aku pikirkan terlihat menggeleng gelengkan kepalanya.
“ kamu enggak usah pusing pang memikirkan bagaimana caranya kamu mendapatkan informasi tentang waktu dan lokasi yang anin inginkan di saat seorang pria menyatakan perasaan hatinya kepadanya, serahkan saja semuanya kepada ida ”
“ hahh... serius nih da ? ” ida menganggukan kepalanya.
“ iya pang... kalau aku boleh usul bagaimana kalau malam minggu ini kita berkunjung ke rumah anin ? ”
“ berkunjung ke rumah anin ? ” kembali ida mengganggukan kepalanya.
“ kamu yakin da ? aku ini kan belum terlalu akrab dengan— ”
“ sebaiknya kamu ikuti saja rencanaku itu pang, percayalah... kunjungan yang akan kita lakukan itu akan lebih mengakrabkan kamu dengan anin dengan begitu peluang kamu untuk mendapatkan informasi tentang waktu dan lokasi yang anin inginkan di saat seorang pria menyatakan perasaan hatinya kepadanya akan semakin besar ”
“ aku setuju dengan rencanamu itu da, sejujurnya aku juga ingin memastikan kebenaran dari perkataanmu tadi itu, semoga saja anin memang menaruh rasa simpati kepada apang ” aku hanya bisa terdiam di dalam menanggapi pembicaraan antara ida dan ismed, ketiadaan rencana di dalam pikiranku ini kini telah membuatku berada dalam posisi untuk menyetujui rencana yang ida ajukan dan pada akhirnya kini selepas dari perbincangan panjang kami yang membahas tentang apa yang akan kami lakukan di saat berkunjung ke rumah anindia, tepat pada pukul setengah sebelas malam, aku dan ismed memutuskan untuk berpamitan pulang.
“ brengsek... kenapa hujannya enggak turun sewaktu aku masih berada di rumah ida sih ” gerutuku selepas dari sepuluh menit perjalanan meninggalkan rumah ida dan kini berbekal sehelai jas hujan yang kini telah aku kenakan, aku kembali melanjutkan perjalanan menuju ke rumah, hingga akhirnya kini sesampainya aku di rumah, diantara curah hujan yang saat ini masih turun dengan saat lebatnya, aku mendapati situasi yang tidak biasa terjadi di rumahku yaitu berupa keberadaan anto yang saat ini masih berada di teras rumah.
“ loh... kamu kok belum tidur to ? ” tanyaku seraya menuntun sepeda motor menaiki teras rumah lalu memarkirkannya, dalam posisinya yang saat ini tengah memandang ke halaman rumah, anto hanya terdiam di dalam menanggapi pertanyaanku itu dan hal itu kini telah menghadirkan dugaan di hatiku atas kemungkinan adanya permasalahan berat yang saat ini tengah dipikirkannya.
“ to... kamu itu kenapa ?, kok ditanya malah diam saja sih ” kembali anto terdiam, tatapan matanya yang semula tertuju ke halaman rumah kini tertuju ke arahku.
“ ibu sedang sakit kang, sekarang ibu tengah tidur ditemani oleh teh anti ”
Mendapati informasi yang diberikan oleh anto tersebut, tanpa berpikir panjang lagi aku langsung memasuki rumah untuk memastikan kondisi kesehatan ibu, firasatku yang mengatakan ada sesuatu yang kurang baik pada kondisi kesehatan ibu pada akhirnya kini menjadi kenyataan, dalam posisiku yang saat ini telah berdiri tepat di pintu kamar ibu, aku melihat ibu tengah tertidur dalam balutan sehelai kain tua yang diperuntukan sebagai selimut, diantara wajahnya yang terlihat begitu pucat, aku bisa melihat adanya gerakan gerakan halus pada wajahnya hal itu seperti mengisyaratkan adanya rasa sakit yang saat ini tengah dirasakanannya.
“ ti ” tegurku kepada anti yang saat ini tengah berada di dalam kamar ibu, dalam posisinya yang saat ini tengah tertidur di sebuah kursi yang berada tidak jauh dari tempat tidur ibu, anti terbangun karena mendengar suara teguranku itu.
“ kang apang ” ujar anti seraya memberikan isyarat tangan agar aku memelankan suaraku dan kini selepas dari perkataannya itu anti beranjak bangun dari duduknya lalu berjalan menghampiriku.
“ ibu sakit apa ti ? ”
“ kita bicaranya di luar kamar saja kang, khawatir nanti ibu akan terbangun ” aku menganggukan kepala, mendapati saat ini anti telah berjalan meninggalkan kamar, aku segera berjalan menghampiri anti setelah terlebih dahulu kembali melayangkan tatapan mataku ke arah ibu.
“ tadi itu ibu muntah muntah kang ”
“ muntah muntah ? ” anti menganggukan kepalanya.
“ muntah muntah seperti orang masuk angin ti ? ”
“ bukan kang, ibu memuntahkan darah berwarna hitam ”
“ astaga... yang benar kamu ti ? ” tanyaku dalam ekspresi wajah yang menunjukan rasa keterkejutanku, rasa lega yang tadi sempat hadir di saat anti memberitahukan tentang kondisi kesehatan ibu yang hanya mengalami muntah muntah kini mendadak sirna akibat dari pemberitahuannya itu.
“ benar kang, anti juga kaget melihatnya ”
Mengakhiri jawaban anti tersebut anto terlihat memasuki rumah lalu berjalan memasuki kamarnya, mendapati hal itu aku kembali berjalan ke arah pintu kamar ibu untuk melihat keadaan ibu saat ini.
“ kang... apakah akang sudah makan ?, kalau akang belum makan biar anti menyiapkannya ”
“ akang masih kenyang ti, lebih baik sekarang ini kamu beristirahat saja bukankah besok itu kamu masih harus bersekolah ”
“ tapi kang bagaimana dengan ibu ? ”
“ kamu tenang saja ti, malam ini biar akang yang menjaga ibu ” anti terdiam, mendapati hal itu aku segera masuk ke dalam kamar ibu lalu menghempaskan tubuhku ini di kursi, rasa lelah yang aku rasakan akibat dari aktifitasku seharian ini kini telah membuatku begitu mudah untuk tertidur dan entah telah berapa lama aku tertidur, aku kembali terjaga akibat dari aku yang mendengar suara ibu yang memanggil namaku.
“ bu... ” gumamku pelan seraya membangun kembali kesadaranku yang saat ini belum sepenuhnya pulih akibat dari tidur lelapku, dalam pengelihatanku saat ini terlihat ibu tengah terbaring dengan tatapan mata tertuju ke arahku.
“ pang... ” panggil ibu kembali seraya memberikan isyarat tangan agar aku menghampirinya, mendapati permintaannya itu, aku segera berjalan menghampiri ibu lalu menempatkan diriku ini dalam posisi duduk di tepi tempat tidur ibu.
“ ibu kenapa ?, tadi itu anti mengatakan— ”
“ pang... ada sesuatu yang ingin ibu sampaikan kepadamu ”
“ sesuatu ? ” tanyaku mempertegas perkataan ibu, dalam posisinya yang saat ini masih terbaring, ibu menganggukan kepalanya.
“ sesuatu apa bu ? ”
“ maafkan ibu pang karena selama ini ibu telah menyembunyikan penyakit yang ibu derita ini kepada kalian ”
Sulitnya rasanya bagiku saat ini untuk berkata kata, perkataan ibu yang mengisyaratkan adanya penyakit berat yang tengah di deritanya kini telah membuatku hanya bisa terpaku dengan pandangan menatap ke arah wajah ibu yang saat ini tengah mengarahkan pandangannya ke arah langit langit kamar, dari ekspresi wajah yang diperlihatkan oleh ibu saat ini besar kemungkinannya ibu telah merasa pasrah dengan penyakit berat yang di deritanya itu.
“ bu... sebaiknya ibu jujur, memangnya ibu tengah mengidap penyakit apa ? ” tanyaku dengan nada suara yang bergetar, tatapan mata ibu yang semula tertuju ke arah langit langit kamar kini tertuju ke arahku.
“ sudah hampir setahun ibu berobat secara diam diam pang dan menurut keterangan dokter yang memeriksa penyakit ibu ini, penyakit kanker hati yang ibu derita ini sudah memasuki stadium yang buruk, hingga besar kemungkinannya ibu— ”
Diubah oleh meta.morfosis 23-04-2025 14:45
itkgid dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Tutup