- Beranda
- Stories from the Heart
Penghianatan Jin Leluhur
...
TS
afryan015
Penghianatan Jin Leluhur

BAB 1
Pagi hari itu dimana awal hari sudah dibuka dengan cuaca yang begitu mendung, padahal jam baru menunjukan pukul 05.30, dengan cuaca yang seperti ini membuatku sangat tidak bergairah untuk melakukan apapun di pagi hari ini, ku Tarik lagi selimut yang sudah aku singkirkan dari tubuhku.
“Loh, mas kok malah tidur lagi, katanya mau jalan - jalan terus mampir kerumah mbah Margono?”tanya istriku keheranan.
“sebentar nduk, mas jadi malas mau keluar, lihat cuaca diluar jendela sudah mendung seperti itu”jawabku meringkuk sambil membelakangi istriku.
“oalah mas, cuaca kok dijadikan alasan buat males bangun tho, setidaknya kalo nggak jadi jalan – jalan keluar mbok yo bantuin aku beres – beres rumah ini lho”ucap istriku sambil menyapu kamar.
“iya nduk, sebentar ya, mas lagi bener – bener males banget, tunggu 5 menit lagi, nanti mas bantuin, mas juga perasaannya lagi nggak enak banget”ucapku bernego waktu pada nya.
“ya sudah nanti tapi bantuin beberes ya mas, dan yang udah terjadi ya sudah mas jangan disesali, pokoknya harus semangat lagi”ucap istriku memberi semangat.
Setelah kejadian beberapa saat lalu memang membuatku menjadi terlihat sedikit lesu, ditambah mulai saat ini “dia” sudah benar – benar tidak akan menemuiku lagi, karena tugas yang diberikan kepadanya sudah selesai, mungkin “dia” masih bisa menemuiku namun tapi sepertinya sudah tidak bisa seperti dulu karena ucapan perpisahan waktu itu yang sangat terasa begitu mendalam bagiku.
Kini aku hanyalah Ryan pemuda penakut seperti di awal ceritaku yang lalu, ya!! Itulah aku sekarang, harus memulai semua dari awal lagi, mempelajari semua ilmu yang pernah aku rasakan dulu, bakat itu memang masih ada, namun sekarang seolah kembali ke titik terendah dimana aku hanya bisa merasakan kehadiran sosok, dan setiap akan ada kehadiran suatu sosok, itu pasti ditandai dengan kepalaku yang tiba - tiba merasa pusing atau sakit.
“tok tok tok”suara ketukan pintu terdengar dari ruang tamu.
Siapa lah pagi – pagi seperti ini sudah bertamu, apa tidak merasa malas dengan suasana mendung seperti ini, pikirku dalam hati sambil meringkuk diselimuti tebalnya selimut.
Tak lama setelah ketukan pintu itu, istriku pun membukakan pintu untuk menyambut tamu yang berkunjung itu, tak berselang lama pintu pun ditutup kembali dan istriku kembali kekamar untuk memberikan kabar.
“mas mbok ndang bangun tho”istriku menyuruhku untuk segera bangkit dari Kasur nyamanku.
“siapa tho nduk yang datang barusan?”tanyaku masih dalam posisi meringkuk di hangatnya selimut
“itu rewangnya mbah Margono, katanya mas disuruh kesana sama mbah Margono, udah tho makanya buruan bangun”istriku memberitahu dengan sedikit kesal karena kau tidak lekas bangkit dari Kasur.
“iya iya ini aku bangun, tumben banget mbah Margono menyuruhku kesana sepagi ini”dengan terpaksa aku bangun dengan malasnya
Aku segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan mukaku, dalam hati sedikit heran karena tidak biasa biasanya mbah Margono menyuruhku untuk datang sepagi ini, karena biasanya dipagi hari seperti ini dia masih bermeditasi hingga nanti paling tidak pukul 09.00 baru bisa aku temui.
Setelah selesai dari kamar mandi aku pun mengganti pakaian ku dengan yang lebih wangi, biarlah belum mandi yang penting bauku tidak mengganggu yang lain nantinya, setalah rapi aku langsung pergi kerumah mbah Margono.
Kubuka gerbang rumah mbah Margono, terlihat sangat sepi seperti biasanya, sama sekali tidak ada tanda – tanda ada aktifitas didalam rumah maupun, sambil melihat kesekelilingi kudekati pintu utama rumah untuk kemudian aku ketuk.
“tuk tuk tuk”aku mengetuk tapi seperti bukan mengetuk pintu, dan saat aku melihat ke arah pintu ternyata….
“Apa sih yan, jidat mbah diketuk gini, kamu pikir ini pintu?”ucap mbah Margono yang ternyata sudah membuka pintu tanpa ku sadari, sehingga yang ku ketuk adalah kening mbah margono.
“ya Allah mbah maaf, serius maaf, nggak niat aku mbah, la mbah Margono buka pintu nggak ada suaranya”ucapku meminta maaf pada mbah Margono.
“Ya udah nggak papa, ayo buruan masuk, aku aku mau ngobrol sama kamu”ucap mbah Margono menyuruhku masuk.
Suasana rumah mbah Margono masih sama seperti yang dahulu, lembab dan terasa ramai walau dirumah ini hanya ditinggali hanya dia saja, namun aku yakin Ningrum masih ada disini walau aku tidak bisa melihatnya untuk saat ini.
Aku sedikit menanyakan tentang keberadaan Ningrum di sekitaran sini karena aku merasakan sedikit aura keberadaannya, mbah Margono pun mengatakan dia sekarang sedang melihatku denga senyuman haru, aku balas senyum walaupun aku tidak bisa melihatnya sekarang.
Setalah sampai diruang tengah mbah Margono menyuruhku untuk duduk, dan diapun memberikan beberapa nasehat mengenai apa yang terjadi padaku, dia memintaku untuk tidak terlalu terpuruk dengan apa yang sudah terjadi dikejadian besar kala itu, ditambah lagi dengan waktu yang berdekatan setelah kejadian itu ibuku harus meninggalkan ku untuk selamanya.
Mbak Margono pasti sudah tahu separah apa aku terpuruk untuk saat ini, ujian yang diberikan oleh-Nya begitu bertubi tubi, dalam keadaan sedang diberi nasehat, ditengah ucapannya aku memotong “mbah kulo niki sakniki pun kiyambakan, mboten enten sinten sinten, bapak ibu sampun mboten enten, terus “sek niko”……”tanpa terasa karena emosi yang sedang kurasakan aku tidak bisa melanjutkan ucapanku.
Setelah menunggu keadaanku tenang, mbah Margono kembali melanjutkan nasehatnya, kali ini dia sambil bertanya padaku “meh tekan kapan?”namun aku hanya terdiam dengan kepala tertunduk, “sepisan meneh tak takon, meh tekan kapan ha?” tanya mbah Margono yang kali ini dengan nada sedikit meninggi, namun aku masih belum bisa menjawab pertanyaannya, aku takut menjawab karena masih diselimuti emosi.
“Kenapa nggak dijawab pertanyaan ku, sekali lagi aku tanya, MAU SAMPAI KAPAN KAMU MAU SEPERTI INI???!!!”kali ini mbah Margono bertanya dengan nada benar benar marah sambil membanting asbak ke arah meja kaca didepannya, dan otomatis membuat meja tersebut pecah berantakan.
“TERUS AKU INI KAMU ANGGAP APA, kamu ngomong sudah tidak punya siapa siapa terus aku ini dianggep apa? Kamu udah mbah anggap cucu sendiri le, terus anggep aku ini simbahmu juga, walaupun aslinya tidak seperti itu”dengan suara bergetar mbah Margono berkata, dan tanpa disadari akupun meneteskan air mata.
Sejenak setelah mbah Margono berkata demikian, kita sama sama saling terdiam diruang tengah itu mencoba menenangkan dirikita masing masing, kaki mbah Margono terlihat bergetar mungkin sedang mencoba untuk menenangkan emosinya yang sedang meluap karena tingkahku ini.
Ku coba mengatur nafas sembari memikirkan kata – kata mbah Margono yang baru saja disampaikan, iya memang benar kedua orang tuaku memang sudah tidak ada, kemudian “mereka” aku mencoba menghilangkan pikiran tentang “mereka” karena jika terus memikirkannya kondisiku terutama mentalku akan terus seperti ini.
Tapi mau bagaimanapun itu memang sangat lah susah, kehilangan orang tua dengan jeda waktu yang tidak begitu jauh itu serasa kehilangan seluruh dunia, ditambah lagi salah satu diantara “mereka” gugur saat kejadian besar itu, bagaimana aku tidak tersiksa mentalnya.
Cukup lama kami saling diam ditemani pecahan kaca – kaca yang berserakan dilantai, karena suasana cukup canggung untuk saat ini, aku mencoba untuk membuat suasana sedikit cair dengan meminta maaf kepada mbah Margono, iya, dia memang benar, masih ada dia yang hampir setiap hari dan setiap waktu menjenguku setelah kepergian ibuku, dan memang dia sangat perhatian kepadaku.
“sudah lah, nggak usah minta maaf, aku paham rasa yang kamu rasakan sekarang, tapi jangab kebablasan, diniamu nggak berheti di situ saja, jalan hidupmu masih panjang, pikirkan hidupmu, kasihan orang tuamu disana”ucap mbah Margono memberikan nasihat.
“tapi mbah, serius, aku minta maaf, aku lupa masih ada mbah Margono, aku minta maaf mbah”dengan nada bergetar aku meminta maaf pada mbah Margono.
“udah, sini mendekat, nggak papa, yang sabar, kamu harus jadi orang yang kuat, masalah bakatmu bisa di asah lagi”mbah Margono mencoba menenangkan ku.
“nggak mbah, maaf, aku sudah cukup segini saja, aku pingin normal saja, sudah cukup aku melihat orang yang dekat denganku gugur, aku sudah tidak mau mengenal dengan hal yang seperti itu”jawabku memberi tanggapan pada mbah Margono.
“apa nggak sayang yan, auramu itu bagus dan kuat, sayang kalau tidak dimanfaatkan, tapi ya aku nggak bisa maksa, kalau memang itu keputusanmu yan jalani saja”dengan bijaksana mbah Margono merestui keputusanku itu.
Iya memang berat sebenarnya untuk melepas itu semua, namun bagiku semua yang sudah aku lalui selama ini sudah cukup, aku mau menjalani hidup normal seperti dulu, tidak mengenal sosok – sosok aneh seperti kemarin.
Setelah suasana kembali mencair, dan aku berjanji untuk memulai kehidanku seperti dulu lagi, mbah Margono bangkit dari duduknya dan hendak menuju kearah dapur untuk mengambil sapu dan membersih kan pecahan kaca yang berserakan dilantai, sebenarnya aku sempat menawarkan diri supaya aku saja yang mengambil sapu dan membersihkan pecahan kaca itu, dilain karena sopan santunku kepada mbah Margono, pecahan kaca itu juga disebabkan karena aku membuat mbah Magono marah.
Saat mbah Margono mulai melangkah, ternyata ada pecahan kaca yang membuat langkah kaki nya selip hingga membuat mbah Margono terpeleset.
“eh eh eh, aduh, lah malah dadi lecet”ucap mbah Margono tersungkur dilantai.
Aku pun dengan sigap langsung membantu mbah Margono untuk segera bangkit dari lantai, dengan perlahan aku mengangkat tubuh mbah Margono untuk berdiri lagi, “pelan – pelan mbah, awas ada yang lecet atau nggak”sambil melihat tubuh nya memastikan dia tidak apa – apa, ya walau sudah dipastikan tidak akan lecet sih, karena kemampuan yang dia miliki.
“udah - udah yan, aku bisa sendiri, sudah sana duduk dan dimakan jajannya”mbah Margono menyuruhku untuk duduk kembali setelah berhasil bangkit.
“lah mbah disuruh makan apa, la jajannya saja toplesnya ikut pecah tuh”sambil nunjuk toples yang juga berantakan di lantai.
“yo salahmu sendiri, buat aku marah, yo sudah seadanya saja itu dilantai kamu makan”ucap mbah Margono sedikit menekan sambil tertawa.
Sambil tersenyum akupun mengarahkan tanganku ke arah makanan yang berantakan dilantai untuk dibersihkan dan dikumpulkan sehinga bisa dimakan lagi, tanganku terus memungut makanan itu sambil sesekali melihat kearah mbah Margono dan baru ku sadari, sarung yang dipakainya ternyata robek dibagian belakangnya, dan itu cukup panjang dari pantan hingga turun kebawah setelah dengkul, aku hanya tersenyum saja melihat sarung yang dikenakan nya itu karena memperlihatkan celana bagian dalam dengan motif bergaris biru putih.
Tak lama setelah mengambil sapu didapur, mbah Margono pun kembali keruang tengah untuk membersihkan pecahan kaca, namun setelah kulihat kearah raut muka mbah Margono terlihat sedikit aneh, seolah dia sedang menahan sebuah rasa.
Aku merebut sapu yang digenggamnya, supaya aku saja yang menyapu kaca kaca ini, dan tidak ada perlawanan dari mbah Margono saat itu, namun dia malah bertanya padaku, “yan, kamu merasakan hawa dingin apa nggak sih, aku kok dingin banget ya?” tanya mbah Margono sedikit keheranan, langsung saja aku menjawab biasa saja, karena memang tidak merasakan dingin, dan sambil menyapu pecahan kaca aku memberi tahu mbah Margono bahwa sarung bagian belakangnya robek cukup lebar dan memang berasa dingin karena yang tersisa hanya jelana motif garis itu saja.
“waduh ciloko, onderdilku kkelihatan, walah udah aku ganti sarung dulu, lanjutkan ya nyapunya yang bersih” ucap mbah Margono bergegas menuju kamarnya.
Sedikit demi sedikit serpihan kaca yang berantakan dilantaipun mulai terkumpul, dari dalam kamar, mbah Margono mengajaku berbicara, dalam pembicaraan itu dia mengatakan permintaan maaf, karena sebenarnya urusan dia memanggilku kerumahnya ini adalah untuk berpamita.
Ya, dia ada rencana untuk pergi beberapa waktu ke sebuah gunung untuk kembali menguatkan ilmu yang dimilikinya, dia berkata bahwa kejadian besar kala itu membuatnya sadar bahwa apa yang dia miliki atau kuasai sekarang masihlah sangat standar dan masih ada makhluk atau musuh yang lebih hebat dari dia, itu yang membuatnya memiliki tekad untuk menguatkan ilmunya.
Aku yang baru saja dikuatkan olehnya, tiba – tiba serasa diruntuhkan lagi, bagaimana tidak, dia mengatakan kalau aku masih punya dia, tapi kenapa disaat bersamaan dia malah mengatakan akan pergi dan belum jelas waktu yang akan dia gunakan disana sampai kapan.
Mbah Margono masih terus berbicara dari dalam kamarnya, tanpa mengetahui aku sudah mulai terdiam menggenggam sapu yang tadi aku gunakan untuk membersihkan kaca. Dan tak lama pun dia keluar dari kamarnya dan langsung melihat kearahku.
“udah lho yan, aku tetep ada buat kamu, kamu nggak usah khawatir, kalau sudah selesai urusanku, aku langsung pulang, terus prang yang pertama akan aku temui ya kamu, cucuku, udah nggak usah sedih tho”ucap mbah Margono sambil mendekat kearahku.
“tapi mbah, kok ndadak banget mau bepergiannya lho, aku baru saja merasakan senang karena masih ada mbah Margono”dengan tertuntuk aku menjawab ucapan mbah Margono.
“yang tenang lho yan, aku ini pergi juga untuk siapa?, ini ya untuk kamu, aku bakal menjaga kamu pakai ilmuku besok”ucap mbah Margono meyakinkan.
“……………” aku hanya tertunduk dan diam sambil berfikir.
“udah lho percaya sama mbah, kita ini sudah banyak melalui banyak hal bersama, makanya aku mau cari ilmu buat kita bisa bersama terus, ya? Tenang aku bakal terus ada sampai tuhan misahkan”mbah Margono terus meyakinkanku.
Tapi setelah dipikir pikir, apa yang dikatakan mbah Margono ada benarnya juga, aku kembali ke titik nol dinama aku hanya bisa merasakan kehadiran sosok yang berada di sekitaranku, dan aku sama sekali tidak bisa melakukan apapun.
Dengan pertimbangan yang kuat, aku pun mengijinkna mbah Margono untuk pergi kemana yang dia mau, namun aku meminta satu janji darinya, aku hanya meminta untuk mbah Margono harus kembali untuk bertemu denganku, aku tidak mau kehilangan orang terdekatku lagi.
Setelah aku mengijinkan, mbah Margono kembali masuk kedalam kamarnya entah mau melakukan apa lagi, namun dengan wajah sumringahnya dia terlihat sangat semangat, mungkin karena sudah mendapat ijin dariku kali ya.
Lalu akupun menanyakan pada mbah Margono kapan sekiranya dia akan berangkat untuk pergi ketempat yang dia tuju, namun jawaban yang bagiku mengesalkan terucap dari mulut mbah Margono.
Bagaimana tidak membuatku kesal, saat aku menanyakan kapan dia akan berangkat, dengan enteng dia mengatakan, “lah ini udah siap, sebentar lagi berangkat, yang penting kan sudah dapat restu dari cucuku ini”tak lupa senyum dari bibirnya dilempar kepadaku. Dalam hatiku sedikit ngedumel, dari tadi datang dibuat naik turun terus moodnya, dan tanpa sadar aku mengucap “wooo dasar wong gendeng” namun dengan suara yang lirih.
Diubah oleh afryan015 26-01-2024 19:16
bonek.kamar dan 31 lainnya memberi reputasi
32
12.7K
204
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
afryan015
#92
BAB 34
Saat hendak menusukkan keris itu untuk kesekian kalinya, Sesuatu langsung mengarah ketanganku yang sedang memegang keris itu kemudian mengikat dan sedikit menarik sehungga aku kesulitan untuk menusukan keris it uke tubuh Maduswara untuk kesekian kalinya, sebuah tali cambuk berbulu sekaligus berduri dengan sumber dari sosok yang sedang datang kearahku, tak mau niat terhalang aku meraih golok yang aku simpan tadi.
Setelah aku berhasil meraih golok yang aku simpan, dan berniat akan meneruskan niatku tadi, Abimantra sempat mengatakan.
“Terus lakoni ambisi elekmu, tapi eling ojo ngarep aku bakal teko nemoni koe maneh” ucap Abimantra sebelum akhirnya dia menghilang meninggalkan ku.
Sempat tindakanku terhenti karena omongan Abimantra saat itu, dan cambuk yang mengikat tanganku utnuk menghalau tindakanku pada Maduswara mulai mengendor, Pak Harjo dengan memegang gagang cambuk itu berjalan mulai mendekat kearahku.
Saat aku masih memikirkan tindakanku apakah akan ku lanjutkan atau tidak, tiba tiba Maduswara kembali mprovokasiku dengan meludah kearahku sembari berkata.
“Bocah sok kewanen, nanging asline wedi kelangan sek marai wani, koe nek ra ono leluhurmu, ra iso ngalahke aku, pateni aku nek wani!!! Hahahah!!” ucap Maduswara setelah meludah kearahku sambil tertawa lemas.
Dengan apa yang dilakukan Maduswara padaku, emosi yang tadinya sudah mulai mereda kembali naik, bukan soal perkataannya, karena itu benar adanya, namun aku tidak terima dengan ludah yang dia semburkan padaku, itu adalah sebuah penghinaan.
Karena tidak terima dengan apa yang diperbuat Maduswara, golok yang sudah siap aku tancapkan ke leher Maduswara langsung aku angkat lagi dan dengan segera mengayunkan dengan cepat kearah leher Maduswara, namun dengan sigap Shinta menahan tanganku, dia sambil menahan rasa sakit akibat bekas serangan tadi tetap mencoba menahan dan membuatku tersadar dengan apa yang akan aku lakukan.
“Wes cukup yan, nek Abimantra wes ngomong ngono, lakoni, kuwi omongan leluhurmu, mesti ono tujuan liane mergo kewan iki ra oleh dipateni” ucap Shinta menahanku sambil menahan kesakitan.
Mendengar apa yang di ucapkan Shinta, aku sempat untuk menoleh kearahnya dan sedikit protes dengan tindakannya menahanku, karena tadi dia juga sangat berambisi untuk menghabisi Maduswara tapi kini dia malah ingin membiarkan Maduswara tetap hidup.
“Ngopo saiki koe nglarang aku Ta? Mau kan koe yo nafsu banget pingin mateni makhluk iki, ngopo saiki malah ngalangi aku nggo ngrampungke kabeh iki?” tanyaku pada Shinta.
“Urip Matine makhluk hudu koe sek nentuke yan” ucap Pak Harjo yang ternyata sudah berada dihadapanku.
“Wes, ndang sadar, uculke keris kuwi, keris sek mbok cekeli kuwi nggowo pengaruh elek neng awaku, culke” ucap pak Harjo menambahi.
Entah kenapa ada rasa dibatin ini untuk memberontak kepada permintaan mereka, emosional yang tidak biasa aku rasakan sebabnya padahal biasanya kalau ada Abimantra atau Shinta aku akan sangat menuruti apa masukan dari mereka, dan andaikan saja mereka tidak berhasil membujuku, langkah akhirnya adalah Guruku yang akan memperingatkanku, biasanya adalah mbah Margono, dan harusnya kali ini aku menuruti apa yang dikatakan pak Harjo karena dia juga termasuk guruku saat ini.
Aku sama sekali belum merespon perintah dari pak Harjo untuk melepaskan keris itu, batin ini masih belum terima dengan apa yang diperlakukan Maduswara sejauh ini, apalagi dengan cara dia meludah kearahku.
“CTTASSSHHH”
Suara cambuka terdengar begitu dekat dengan telingaku, rasa nyeri, pegal dan pering langsung aku rasakan ditanganku yang sedang memegang keris, dan saat itu juga keris tersebut terlepad dari genggaman tanganku, setelah itu Shinta langsung melepaskan tangannya dari yang digunakan untuk menahan seranganku pada Maduswara, terdengar nafas lega dari Shinta.
Pak Harjo langsung mendekat kearah keris yang terjatuh ditanah, lalu dia melakukan sesuatu pada keris itu, sebuah energi keluar dari tangan pak Harjo yang kemudian menyelimuti keris itu, dan tak lama setelah itu sosok rajawali datang dan turun mendarat di Pundak pak Harjo, dia memberikan keris itu pada Rajawali yang mendarat dipundaknya, untuk kemudian dibawanya keris itu terbang ke tempat yang mungkin sudah di instruksikan pak Harjo.
“Le rene o, tak resiki awakmu, ra kudune keris mau langsung dicekel karo koe” ucap pak Harjo menyuruhku untuk mendekat padanya.
“nggih pak” aku langsung menuruti apa yang di perintahkannya.
Entah kenapa setelah keris itu terlepas dari tanganku, rasa ambisi untuk mencelakai Maduswara perlahan memudar, setelah itupun aku yang melihat kondisi Maduswara sudah biasa saja tidak merasa ada rasa ingin mengabisi dia lagi, pak Harjo langsung mengusap tubuhku dengan bacaan doa, dia mengatakan sedang menetralkan tubuhku dari pengaruh negative, ucapan pak Harjo itu menyadarkanku bahwa yang membuatku menjadi seperti itu adalah keris dari Maduswara, keris yang membawa pengaruh buruk.
Dan mungkin sosok Maduswara ini juga awalnya tidak memiliki sifat seperti itu, dan karena dia mendapatkan keris itu maka dia mulai lepas kendali, cara menghasut dia mungkin menjadi lebih pandai dalam hal keburukan sehingga dapat mempengaruhi makhluk lain untuk menurutinya dalam menghalalkan segala cara.
“Piye perasaanmu sak wise ngeculake keris iku, mungkin ketmau koe ra keroso efeke tapi yo kuwi, koe mesti sadar” ucap Pak Harjo menanyaiku setelah selesai menetralkan tubuhku.
“emosi kulo pun mboten enten pak, ngapunten kulo mboten saget ngontrol emosi kulo” jawabku yang tiba tiba kelelahan.
“Wes cukup semene wae, iki bakal tak uruse, terus pembelajaran siji nggo koe le, ojo pisan pisan nuruti howo nafsu sek bakal ndadeke kuwe rugi mengkone, koe bakale kelangan sek koe senengi” ucap pak Harjo memberiku nasihat.
“Nggih pak, pangapunten” jawabku tertunduk.
Setelah mendapat masukan dari pak Harjo aku kemudian melihat kearah Shinta, tubuhnya begitu penuh dengan luka sayatan, terlebih lagi dibagian lengan kanannya yang tertikam keris dari Maduswara hingga tembus, Shinta disana sedang mencoba menyembuhkan dirinya sendiri dengan kekuatan yang dia miliki seperti yang dia sendiri lakukan saat pertempuran melawan Bajra saat banyak pasukan kita yang tergeletak terluka.
Sedangkan pak Harjo setelah memberiku masukan, dia langsung berjalan menuju ke arah Maduswara, dia melihat kondisi Maduswara seperti apa, melihat Maduswara yang tergeletak tak berdaya, Pak Harjo kemudian mencoba sediki menyembuhkan luka yang ada padanya, setelah dirasa cukup untuk sementara, pak Harjo kemudian membawa Maduswara kesuatu tempat.
“Le, koe bariki balik sek wae, enteni aku neng ruang tengah, koe ndang balik sek karo Penjagamu kuwi, Adiwilaga karo Lasmi bakal jelaske opo sek temenane kedadean, ojo langsung diseneni opo diserang, bojomu iseh iso diobati” ucap pak Harjo memintaku untuk kembali dulu.
“Nggih pak, kulo nggih jane pun kawit wingi pingin ngobrol kalih nenek Lasmi terus kalih Adiwilaga, nanging kan pun pinten dinten mboten ketingal terus nenek Lasmi nggih seringe ngindar terus” jawabku padanya.
“Wes rapopo, ngko ngenteni aku sek, aku tak nggowo iki neng Loji gawe netralke bab sek elek neng Maduswara” ucapnya langsung kemudian melesat pergi.
Setelah pak Harjo melesat pergi, akupun membawa Shinta untuk menuju ke rumah, aku memapahnya dengan niatan ingin mempermudahnya melangkah, entah kenapa setiap Bersama dengan Shinta dan dalam posisi sedekat ini, hatiku tetap tidak bisa bohong, jatung ini seolah berdetak lebih kencang dari biasanya, harum wangi dari tubuhnya juga tidak pernah berubah ataupun hilang, ingin rasanya aku membeli parfum yang harumnya mirip dengan harum badan Shinta ini namun beberpa kali aku coba cari di toko parfum, belum pernah aku mendapati harum yang sama dengannya.
Sambil memapahnya menuju rumah, sedikit aku mencuri pandang ke arahnya, wajah ayu yang kulihat beberapa tahun lalu saat pertama kali kau melihatnya sama sekali tidak berubah, dia tetap sama dan tidak terlihat menua atau berubah sedikitpun, dan saat aku sedang melihat kearahnya tiba tiba dia juga melihat kearahku, yang jatuhnya membuatku jadi salah tingkah.
“Ngopo yan, delok delok, naksir maneh ngko” ucap Shinta yang kini sudah sedikit membaik.
“Ah koe Ta, delok sitik kan rapopo, aku iseh iso nahan roso kok” jawabku sambil mengubah pandanganku kedepan.
“Rapopo yan, tenang wae nek meh ndeloke rapopo, aku yo wes iso jaga kok” jawab Shinta sambil sedikit tersenyum, aku melihatnya karena masih sedikit mencuri pandang padanya.
Tak berselang lama kitapun sampai didepan rumah, hawa rumah sudah sangat berbeda dibandingkan tadi saat aku dan Shinta bertarung dengan Maduswara, binatang – binatang menjijikan sudah menghilang dari rumahku itu, dan hanya menyisakan beberapa tumbuhan merambat yang hanya terlihat secara gaib ini saja, dan tumbuhan itu pun sudah menjadi layu, dan nantinya akan menghilang.
Aku bergegas melepaskan tanganku dari badan Shinta yang tadinya untuk memapah Shinta, aku segera berlari masuk kedalam rumah untuk menuju ke arah kamarku dimana Via masih tertidur disana, dan binatang – binatang yang tadinya mengerubuti Via pun sudah tidak terlihat ada disekitar sana jug, kondisi kamar terlihat bersih selayaknya didunianyata.
Setelah puas dengan apa yang aku lihat dikamarku dan kondisi Via juga baik baik saja, lantas aku kemudian keluar dari kamar dan hendak mendatangi Shinta lagi untuk berterimakasih, aku benar benar memeluknya dan mengucapkan banyak banyak terimakasih padanya karena sudah membantu dan disaat itu juga aku meminta maaf padanya karena penilaianku kepadanya benar benar salah saat itu, aku sempat meragukan tindakannya.
Sebenarnya dia juga mengakui kalau dia kecewa padaku karena tidak mempercayainya, dia beranggapan selama ini usaha nya menjagaku sama sekali tidak dianggap dan justru malah dicap sebagai penghianat karena menyerang nenek Lasmi, padahal malah sebaliknya dialah yang melindungi keluargaku dari penghianatan nenek Lasmi, tapi dia juga mengakui kesalahan yang dilakukannya, yaitu dia tidak mengatakan yang sebenarya terjadi padaku sehingga aku bisa berfikir penghianatannya adalah Shinta.
Disaat kita sedang saling meminta maaf, sosok Adiwilaga dan Nenek Lasmi muncul disana, mereka terlihat menunduk seolah enggan untuk mendekat kepada kita, aura mereka pun sudah berbeda dari pada saat kita bertarung tadi, aura mereka sudah seperti awal aku mengenal mereka, aku rasa pak Harjo selain menetralkan rumah ini, dia juga sekaligus menetralkan Adiwilaga dan Nenenk Lasmi.
Kalau dilihat dari raut wajah Shinta, sepertinuya Shinta masih ada rasa benci pada kelakuan mereka tadi, yang sebenarnya diapun sudah mengetahui sebab dari perubahan prilaku mereka itu, tapi yang Namanya Shinta sifat emosionalnya tidak akan pernah berkurang, dan dibalik itu sepertinya Shinta akan lebih over protectif dalam menjaga ku.
“Iseh wani tho koe – koe mewujud nengarepe Ryan, opo ra isin? HA?” tanya Shinta sedikit mengejek.
“…..” mereka tidak sama sekali menjawab pertanyaan Shinta.
“Wes, wes rapopo, tunggu wae pak Harjo, Kabeh rampungke sesuai petunjuke pak Harjo mau, rampungke pas pak Harjo mbalik” ucapku sambil menuju kearah mushola dimana tubuh asliku berada.
Aku meminta bantuan Shinta untuk kembali kedalam tubuh nyataku, dan tak perlu lama akhirnya akupun kembali didalam tubuhnyataku, masih dalam keadaan terpejam, aku merasakan tubuh ini benar benar pegal disekujur badan, perlahan membuka mata, sambil memegangi tubuku yang terasa sakit, dan saat aku memegang dadaku, aku merasakan tanganku menyentuh benda cair didadaku ini, dan saat aku liat ketanganku, ternyata itu adalah darah, efek nyata dari tubuh astralku yang dibanting oleh Maduswara tadi.
Aku mencoba untuk langsung bangkit dari posisiku, dengan niatan hendak pergi kekamar mandi untuk membersihkan darah yang berada ditangan, baju, dan mulutku, namun saat aku mencoba berdiri, rasa keram dan sakit langsung menyerang ke bagian perutku, Shinta yang melihatku merasa kesusahan untuk berdiri langsung mencoba untuk membantuku bangkit, wajah kesalnya pun mulai terlihat lagi dan diarahkanke pada Adiwilaga dan nenek Lasmi.
“Wes Ta, ra usah sitik sitik nesu, wes ngko ben dijelaske pak Harjo, aku diterke neng kamar mandi sek, aku pingin ngresiki getih iki” ucapku meminta tolong pada Shinta dan mencoba meredam emosinya.
Aku akhirnya berhasil berdiri dengan bantuan Shinta, yah walaupun masih sedikit oleng karena sambil menahan rasa sakit dibagian dalam perut, dan saat akan keluar, tubuh pak Harjo yang berada dibelakangku masih tetap pada posisi awalnya, yang menandakan pak Harjo belum kembali ketubuh nyatanya, sukmanya masih mencoba untuk mengurusi Maduswara, entah mau diapakan Maduswara oleh pak Harjo.
Dengan berjalan sedikit demi sedikit, nenek Lasmi seolah ingin ikut membantuku, ada gelakat dia mau maju mendekat kearahku namun sungkan karena kesalahannya ditambah ada Shinta yang sedang membantuku, pasti membuatnya merasa takut.
“Pun, mboten usah direwangi, pun enten Shinta, pun tenggo mriku mawon, nunggu pak Harjo mawon” ucapku sampi perlahan berlalu meninggalkannya ke arah kamar mandi.
Singkat cerita aku selesai membersihkan badanku dari darah yang keluar, dan saat aku kembali keruang tengah ternyata pak Harjo sudah duduk di kursi tengah sambil menyeruput kopi yang sebelum Via tidur dia membuatkannya dulu, sambil tangan yang lain meremas remas sesuatu.
“Rene le, tak obati awakmu sek lara” pak Harjo datang mendekat kearahku.
Aku mendekat kearah pak Harjo dan dia memintaku untuk aku mebuka sedikit bajuku di bagian belakang, sesuatu yang diremasnya itu kemudian dibalurkan ke bagian punggung, rasa dari benda yang di balurkan ke punggungku terasa sangat dingin namun kadang seperti ada rasa tusukan menembus kedalam, dan tidak lupa juga pak Harjo memberikan olesan air yang sudah dibacakan untuk di balurkan juga dibagian punggungku.
Setelah diberikan obat itu, memang langsung kurasakan bahwa badan ini menjadi sedikit lebih enak, rasa nyeri pada bagian perut sudah sedikit mereda.
“Wes tho le, penak kan rasane?” tanya pak Harjo menyudahi pengobatannya dan menutup kembali punggungku.
“Nggih pak, niki langsung ridi ical nyerine” ucapku sambil menggerakan badanku.
“Wes, saiki rung rampung, tolong jupuke barang sek ono neng lemarimu, kene tak netralke sekalian” ucap pak Harjo yang kemudian kembali duduk untuk menikmati kopi.
“Maksude pak Harjo keris sek teng lemari niko?” tanyaku untuk memastikan.
“La mbok kiro opo sek ono neng kono, gek ndang gowo rene” ucap Pak Harjo sambil menyeruput kopi.
Akupun langsung masuk kedalam kamar, dan langsung membuka pintu lemariku dengan sangat pelan karena takut mengganggu Via yang sedang tidur, yah maklum karena lemariku ini kalau dibuka pasti akan megeluarkan suara decitan yang mungkin bisa menggangu Via tidur.
Setelah membuka pintu lemari langsung ku raih keris yang ada didalam laci itu, dan seperti yang Sudha dijelaskan di cerita yang lalu, bahwa keris ini adalah tempat milik nenek Lasmi, dia adalah penunggu keris ini, entah mau diapakan keris ini oleh pak Harjo.
Aku membawa keris itu untuk di berikan pada pak Harjo di ruang tengah, dia pun langsung menyambut keris itu dan mengamati beberapa bagian dari keris milik nenek Lasmi, dan setelah melihat beberapa bagian itu, pak Harjo dengan tangan yang satunya lagi seolah meraba namun tidak menyentuh keris itu, dengan mata terpejam dan berdiam diri seolah berfokus pada sesuatu.
Setelah itu, pak Harjo membuka mata dan meletakan keris itu sambil berkata.
“Wes, saiki iki wes netral meneh, wes resik meneh, saiki bakal tak jelaske kenangopo Lasmi iso nyerang bojomu” ucap pak Harjo.
Dan dari penjelasan pak Harjo ini bermula karena aku memiliki niatan untuk memindahkan keris itu dirumah mertua ku tanpa meminta ijin pada nenek Lasmi, sedangkan akadnya dulu adalah keris itu harus ada disana dan tidak boleh keluar dari rumah tanpa ada kesepakatan dari nenek Lasmi dan orang yang diturunkan, nah sebenarnya nenek Lasmi ini tidak terima kalau dia mau dipindahkan karena dia tidak merasa memiliki kesalahan padaku, tapi aku malah bertindak sesukanya dengan berencana memindah keris itu, yah walaupun aku tidak memiliki niat untuk mengusir nenek Lasmi karena ini bersifat hanya sementara, kemudian untung kalau bapak mertuaku tidak mengijinkan dan memintaku untuk membawanya lagi, karena kalau sampai itu benar benar disana pasti yang terjadi adalah lebih dari itu.
Dan selama keris ini keluar, energi negative akibat rasa marah dari nenek Lasmi menarik energi negative yang ada diluar termasuk energi negative dari Maduswara yang saat itu ternyata juga terpengaruhi oleh kerisnya sendiri, sempat ada hasutan untuk menyerang langsung padaku namun karena aku memiliki Shinta sebagai pelindung dan auraku yang kata pak Harjo akan susah untuk di tembus nenek Lasmi maka yang ditargetkan adalah Via.
erman123 dan 13 lainnya memberi reputasi
14
Tutup