Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

afryan015Avatar border
TS
afryan015
Penghianatan Jin Leluhur
Penghianatan Jin Leluhur

BAB 1

Pagi hari itu dimana awal hari sudah dibuka dengan cuaca yang begitu mendung, padahal jam baru menunjukan pukul 05.30, dengan cuaca yang seperti ini membuatku sangat tidak bergairah untuk melakukan apapun di pagi hari ini, ku Tarik lagi selimut yang sudah aku singkirkan dari tubuhku.

“Loh, mas kok malah tidur lagi, katanya mau jalan - jalan terus mampir kerumah mbah Margono?”tanya istriku keheranan.

“sebentar nduk, mas jadi malas mau keluar, lihat cuaca diluar jendela sudah mendung seperti itu”jawabku meringkuk sambil membelakangi istriku.

“oalah mas, cuaca kok dijadikan alasan buat males bangun tho, setidaknya kalo nggak jadi jalan – jalan keluar mbok yo bantuin aku beres – beres rumah ini lho”ucap istriku sambil menyapu kamar.

“iya nduk, sebentar ya, mas lagi bener – bener males banget, tunggu 5 menit lagi, nanti mas bantuin, mas juga perasaannya lagi nggak enak banget”ucapku bernego waktu pada nya.

“ya sudah nanti tapi bantuin beberes ya mas, dan yang udah terjadi ya sudah mas jangan disesali, pokoknya harus semangat lagi”ucap istriku memberi semangat.

Setelah kejadian beberapa saat lalu memang membuatku menjadi terlihat sedikit lesu, ditambah mulai saat ini “dia” sudah benar – benar tidak akan menemuiku lagi, karena tugas yang diberikan kepadanya sudah selesai, mungkin “dia” masih bisa menemuiku namun tapi sepertinya sudah tidak bisa seperti dulu karena ucapan perpisahan waktu itu yang sangat terasa begitu mendalam bagiku.

Kini aku hanyalah Ryan pemuda penakut seperti di awal ceritaku yang lalu, ya!! Itulah aku sekarang, harus memulai semua dari awal lagi, mempelajari semua ilmu yang pernah aku rasakan dulu, bakat itu memang masih ada, namun sekarang seolah kembali ke titik terendah dimana aku hanya bisa merasakan kehadiran sosok, dan setiap akan ada kehadiran suatu sosok, itu pasti ditandai dengan kepalaku yang tiba -  tiba merasa pusing atau sakit.

“tok tok tok”suara ketukan pintu terdengar dari ruang tamu.

Siapa lah pagi – pagi seperti ini sudah bertamu, apa tidak merasa malas dengan suasana mendung seperti ini, pikirku dalam hati sambil meringkuk diselimuti tebalnya selimut.

Tak lama setelah ketukan pintu itu, istriku pun membukakan pintu untuk menyambut tamu yang berkunjung itu, tak berselang lama pintu pun ditutup kembali dan istriku kembali kekamar untuk memberikan kabar.

“mas mbok ndang bangun tho”istriku menyuruhku untuk segera bangkit dari Kasur nyamanku.

“siapa tho nduk yang datang barusan?”tanyaku masih dalam posisi meringkuk di hangatnya selimut

“itu rewangnya mbah Margono, katanya mas disuruh kesana sama mbah Margono, udah tho makanya buruan bangun”istriku memberitahu dengan sedikit kesal karena kau tidak lekas bangkit dari Kasur.

“iya iya ini aku bangun, tumben banget mbah Margono menyuruhku kesana sepagi ini”dengan terpaksa aku bangun dengan malasnya

 Aku segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan mukaku, dalam hati sedikit heran karena tidak biasa biasanya mbah Margono menyuruhku untuk datang sepagi ini, karena biasanya dipagi hari seperti ini dia masih bermeditasi hingga nanti paling tidak pukul 09.00 baru bisa aku temui.

Setelah selesai dari kamar mandi aku pun mengganti pakaian ku dengan yang lebih wangi, biarlah belum mandi yang penting bauku tidak mengganggu yang lain nantinya, setalah rapi aku langsung pergi kerumah mbah Margono.

Kubuka gerbang rumah mbah Margono, terlihat sangat sepi seperti biasanya, sama sekali tidak ada tanda – tanda ada aktifitas didalam rumah maupun, sambil melihat kesekelilingi kudekati pintu utama rumah untuk kemudian aku ketuk.

“tuk tuk tuk”aku mengetuk tapi seperti bukan mengetuk pintu, dan saat aku melihat ke arah pintu ternyata….

“Apa sih yan, jidat mbah diketuk gini, kamu pikir ini pintu?”ucap mbah Margono yang ternyata sudah membuka pintu tanpa ku sadari, sehingga yang ku ketuk adalah kening mbah margono.

“ya Allah mbah maaf, serius maaf, nggak niat aku mbah, la mbah Margono buka pintu nggak ada suaranya”ucapku meminta maaf pada mbah Margono.

“Ya udah nggak papa, ayo buruan masuk, aku aku mau ngobrol sama kamu”ucap mbah Margono menyuruhku masuk.

Suasana rumah mbah Margono masih sama seperti yang dahulu, lembab dan terasa ramai walau dirumah ini hanya ditinggali hanya dia saja, namun aku yakin Ningrum masih ada disini walau aku tidak bisa melihatnya untuk saat ini.

Aku sedikit menanyakan tentang keberadaan Ningrum di sekitaran sini karena aku merasakan sedikit aura keberadaannya, mbah Margono pun mengatakan dia sekarang sedang melihatku denga senyuman haru, aku balas senyum walaupun aku tidak bisa melihatnya sekarang.

Setalah sampai diruang tengah mbah Margono menyuruhku untuk duduk, dan diapun memberikan beberapa nasehat mengenai apa yang terjadi padaku, dia memintaku untuk tidak terlalu terpuruk dengan apa yang sudah terjadi dikejadian besar kala itu, ditambah lagi dengan waktu yang berdekatan setelah kejadian itu ibuku harus meninggalkan ku untuk selamanya.

Mbak Margono pasti sudah tahu separah apa aku terpuruk untuk saat ini, ujian yang diberikan oleh-Nya begitu bertubi tubi, dalam keadaan sedang diberi nasehat, ditengah ucapannya aku memotong “mbah kulo niki sakniki pun kiyambakan, mboten enten sinten sinten, bapak ibu sampun mboten enten, terus “sek niko”……”tanpa terasa karena emosi yang sedang kurasakan aku tidak bisa melanjutkan ucapanku.

Setelah menunggu keadaanku tenang, mbah Margono kembali melanjutkan nasehatnya, kali ini dia sambil bertanya padaku “meh tekan kapan?”namun aku hanya terdiam dengan kepala tertunduk, “sepisan meneh tak takon, meh tekan kapan ha?” tanya mbah Margono yang kali ini dengan nada sedikit meninggi, namun aku masih belum bisa menjawab pertanyaannya, aku takut menjawab karena masih diselimuti emosi.

“Kenapa nggak dijawab pertanyaan ku, sekali lagi aku tanya, MAU SAMPAI KAPAN KAMU MAU SEPERTI INI???!!!”kali ini mbah Margono bertanya dengan nada benar benar marah sambil membanting asbak ke arah meja kaca didepannya, dan otomatis membuat meja tersebut pecah berantakan.

“TERUS AKU INI KAMU ANGGAP APA, kamu ngomong sudah tidak punya  siapa siapa terus aku ini dianggep apa? Kamu udah mbah anggap cucu sendiri le, terus anggep aku ini simbahmu juga, walaupun aslinya tidak seperti itu”dengan suara bergetar mbah Margono berkata, dan tanpa disadari akupun meneteskan air mata. 

Sejenak setelah mbah Margono berkata demikian, kita sama sama saling terdiam diruang tengah itu mencoba menenangkan dirikita masing masing, kaki mbah Margono terlihat bergetar mungkin sedang mencoba untuk menenangkan emosinya yang sedang meluap karena tingkahku ini.

Ku coba mengatur nafas sembari memikirkan kata – kata mbah Margono yang baru saja disampaikan, iya memang benar kedua orang tuaku memang sudah tidak ada, kemudian “mereka” aku mencoba menghilangkan pikiran tentang “mereka” karena jika terus memikirkannya kondisiku terutama mentalku akan terus seperti ini.

Tapi mau bagaimanapun itu memang sangat lah susah, kehilangan orang tua dengan jeda waktu yang tidak begitu jauh itu serasa kehilangan seluruh dunia, ditambah lagi salah satu diantara “mereka” gugur saat kejadian besar itu, bagaimana aku tidak tersiksa mentalnya.

Cukup lama kami saling diam ditemani pecahan kaca – kaca yang berserakan dilantai, karena suasana cukup canggung untuk saat ini, aku mencoba untuk membuat suasana sedikit cair dengan meminta maaf kepada mbah Margono, iya, dia memang benar, masih ada dia yang hampir setiap hari dan setiap waktu menjenguku setelah kepergian ibuku, dan memang dia sangat perhatian kepadaku.

“sudah lah, nggak usah minta maaf, aku paham rasa yang kamu rasakan sekarang, tapi jangab kebablasan, diniamu nggak berheti di situ saja, jalan hidupmu masih panjang, pikirkan hidupmu, kasihan orang tuamu disana”ucap mbah Margono memberikan nasihat.

“tapi mbah, serius, aku minta maaf, aku lupa masih ada mbah Margono, aku minta maaf mbah”dengan nada bergetar aku meminta maaf pada mbah Margono.

“udah, sini mendekat, nggak papa, yang sabar, kamu harus jadi orang yang kuat, masalah bakatmu bisa di asah lagi”mbah Margono mencoba menenangkan ku.

“nggak mbah, maaf, aku sudah cukup segini saja, aku pingin normal saja, sudah cukup aku melihat orang yang dekat denganku gugur, aku sudah tidak mau mengenal dengan hal yang seperti itu”jawabku memberi tanggapan pada mbah Margono.

“apa nggak sayang yan, auramu itu bagus dan kuat, sayang kalau tidak dimanfaatkan, tapi ya aku nggak bisa maksa, kalau memang itu keputusanmu yan jalani saja”dengan bijaksana mbah Margono merestui keputusanku itu.

Iya memang berat sebenarnya untuk melepas itu semua, namun bagiku semua yang sudah aku lalui selama ini sudah cukup, aku mau menjalani hidup normal seperti dulu, tidak mengenal sosok – sosok aneh seperti kemarin.

Setelah suasana kembali mencair, dan aku berjanji untuk memulai kehidanku seperti dulu lagi, mbah Margono bangkit dari duduknya dan hendak menuju kearah dapur untuk mengambil sapu dan membersih kan pecahan kaca yang berserakan dilantai, sebenarnya aku sempat menawarkan diri supaya aku saja yang mengambil sapu dan membersihkan pecahan kaca itu, dilain karena sopan santunku kepada mbah Margono, pecahan kaca itu juga disebabkan karena aku membuat mbah Magono marah.

Saat mbah Margono mulai melangkah, ternyata ada pecahan kaca yang membuat langkah kaki nya selip hingga membuat mbah Margono terpeleset.

“eh eh eh, aduh, lah malah dadi lecet”ucap mbah Margono tersungkur dilantai.

Aku pun dengan sigap langsung membantu mbah Margono untuk segera bangkit dari lantai, dengan perlahan aku mengangkat tubuh mbah Margono untuk berdiri lagi, “pelan – pelan mbah, awas ada yang lecet atau nggak”sambil melihat tubuh  nya memastikan dia tidak apa – apa, ya walau sudah dipastikan tidak akan lecet sih, karena kemampuan yang dia miliki.

“udah - udah yan, aku bisa sendiri, sudah sana duduk dan dimakan jajannya”mbah Margono menyuruhku untuk duduk kembali setelah berhasil bangkit.

“lah mbah disuruh makan apa, la jajannya saja toplesnya ikut pecah tuh”sambil nunjuk toples yang juga berantakan di lantai.

“yo salahmu sendiri, buat aku marah, yo sudah seadanya saja itu dilantai kamu makan”ucap mbah Margono sedikit menekan sambil tertawa.

Sambil tersenyum akupun mengarahkan tanganku ke arah makanan yang berantakan dilantai untuk dibersihkan dan dikumpulkan sehinga bisa dimakan lagi, tanganku terus memungut makanan itu sambil sesekali melihat kearah mbah Margono dan baru ku sadari, sarung yang dipakainya ternyata robek dibagian belakangnya, dan itu cukup panjang dari pantan hingga turun kebawah setelah dengkul, aku hanya tersenyum saja melihat sarung yang dikenakan nya itu karena memperlihatkan celana bagian dalam dengan motif bergaris biru putih.

Tak lama setelah mengambil sapu didapur, mbah Margono pun kembali keruang tengah untuk membersihkan pecahan kaca, namun setelah kulihat kearah raut muka mbah Margono terlihat sedikit aneh, seolah dia sedang menahan sebuah rasa.

Aku merebut sapu yang digenggamnya, supaya aku saja yang menyapu kaca kaca ini, dan tidak ada perlawanan dari mbah Margono saat itu, namun dia malah bertanya padaku, “yan, kamu merasakan hawa dingin apa nggak sih, aku kok dingin banget ya?” tanya mbah Margono sedikit keheranan, langsung saja aku menjawab biasa saja, karena memang tidak merasakan dingin, dan sambil menyapu pecahan kaca aku memberi tahu mbah Margono bahwa sarung bagian belakangnya robek cukup lebar dan memang berasa dingin karena yang tersisa hanya jelana motif garis itu saja.

“waduh ciloko, onderdilku kkelihatan, walah udah aku ganti sarung dulu, lanjutkan ya nyapunya yang bersih” ucap mbah Margono bergegas menuju kamarnya.

Sedikit demi sedikit serpihan kaca yang berantakan dilantaipun mulai terkumpul, dari dalam kamar, mbah Margono mengajaku berbicara, dalam pembicaraan itu dia mengatakan permintaan maaf, karena sebenarnya urusan dia memanggilku kerumahnya ini adalah untuk berpamita.

Ya, dia ada rencana untuk pergi beberapa waktu ke sebuah gunung untuk kembali menguatkan ilmu yang dimilikinya, dia berkata bahwa kejadian besar kala itu membuatnya sadar bahwa apa yang dia miliki atau kuasai sekarang masihlah sangat standar dan masih ada makhluk atau musuh yang lebih hebat dari dia, itu yang membuatnya memiliki tekad untuk menguatkan ilmunya.

Aku yang baru saja dikuatkan olehnya, tiba – tiba serasa diruntuhkan lagi, bagaimana tidak, dia mengatakan kalau aku masih punya dia, tapi kenapa disaat bersamaan dia malah mengatakan akan pergi dan belum jelas waktu yang akan dia gunakan disana sampai kapan.

Mbah Margono masih terus berbicara dari dalam kamarnya, tanpa mengetahui aku sudah mulai terdiam menggenggam sapu yang tadi aku gunakan untuk membersihkan kaca. Dan tak lama pun dia keluar dari kamarnya dan langsung melihat kearahku.

“udah lho yan, aku tetep ada buat kamu, kamu nggak usah khawatir, kalau sudah selesai urusanku, aku langsung pulang, terus prang yang pertama akan aku temui ya kamu, cucuku, udah nggak usah sedih tho”ucap mbah Margono sambil mendekat kearahku.

“tapi mbah, kok ndadak banget mau bepergiannya lho, aku baru saja merasakan senang karena masih ada mbah Margono”dengan tertuntuk aku menjawab ucapan mbah Margono.

“yang tenang lho yan, aku ini pergi juga untuk siapa?, ini ya untuk kamu, aku bakal menjaga kamu pakai ilmuku besok”ucap mbah Margono meyakinkan.

“……………” aku hanya tertunduk dan diam sambil berfikir.

“udah lho percaya sama mbah, kita ini sudah banyak melalui banyak hal bersama, makanya aku mau cari ilmu buat kita bisa bersama terus, ya? Tenang aku bakal terus ada sampai tuhan misahkan”mbah Margono terus meyakinkanku.

Tapi setelah dipikir pikir, apa yang dikatakan mbah Margono ada benarnya juga, aku kembali ke titik nol dinama aku hanya bisa merasakan kehadiran sosok yang berada di sekitaranku, dan aku sama sekali tidak bisa melakukan apapun.

Dengan pertimbangan yang kuat, aku pun mengijinkna mbah Margono untuk pergi kemana yang dia mau, namun aku meminta satu janji darinya, aku hanya meminta untuk mbah Margono harus kembali untuk bertemu denganku, aku tidak mau kehilangan orang terdekatku lagi.

Setelah aku mengijinkan, mbah Margono kembali masuk kedalam kamarnya entah mau melakukan apa lagi, namun dengan wajah sumringahnya dia terlihat sangat semangat, mungkin karena sudah mendapat ijin dariku kali ya.

Lalu akupun menanyakan pada mbah Margono kapan sekiranya dia akan berangkat untuk pergi ketempat yang dia tuju, namun jawaban yang bagiku mengesalkan terucap dari mulut mbah Margono.

Bagaimana tidak membuatku kesal, saat aku menanyakan kapan dia akan berangkat, dengan enteng dia mengatakan, “lah ini udah siap, sebentar lagi berangkat, yang penting kan sudah dapat restu dari cucuku ini”tak lupa senyum dari bibirnya dilempar kepadaku. Dalam hatiku sedikit ngedumel, dari tadi datang dibuat naik turun terus moodnya, dan tanpa sadar aku mengucap “wooo dasar wong gendeng” namun dengan suara yang lirih.

Diubah oleh afryan015 26-01-2024 12:16
aguzblackrx
delet3
lullabystudi843
lullabystudi843 dan 30 lainnya memberi reputasi
31
11K
204
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Tampilkan semua post
afryan015Avatar border
TS
afryan015
#1
“apa yan, barusan ngomong apa?” Tanpa kusadari ternyata mbah Margono mendengar apa yang baru saja aku ucapkan.

“ah nggak mbah, salah denger palingan itu, aku hanya bilang, semoga dapat gandengan, biar bisa menemani mbah Margono” ucapku ngeles.

“oh, aku kira ngatain gendeng” dengan wajah curiga dia berkata.

Setelah mbah Margono bersiap – siap dan urusan kitapun selesai dihari itu juga, akhirnya kita berpisah, dengan berat hati aku terpaksa merelakan mbah Margono untuk pergi.

Singkat cerita akupun kembali kerumah dengan ekspresi yang sedikit lesu karena memang sejak awal aku memang belum bisa ceria seperti hari – hari biasanya sejak kepergian ibuku. Istriku menanyakan ada urusan apa tadi dirumah mbah Margono, aku hanya menjawab bahwa mbah Margono hanya ingin berpamitan karena dia akan pergi kesuatu tempat namun belum jelas kapan dia akan kembali, dan aku juga menceritakan bahwa aku baru saja diberikan wejangan untuk tetap semangat dalam menjalani hidup ku.

Setelah menjawab pertanyaan dari istriku, Aku berjalan kearah kursi yang berada diteras dan akupun duduk disana, dengan mengambil nafas panjang lalu ku hembuskan seolah aku memang sedang dihadapkan dengan sebuah masalah yang begitu berat.

Melihat rumput dihalaman yang sudah mulai meninggi, dengan inisiatifnya istriku segera mengambil peralatan untuk mencabuti rumput dan merapikan beberapa tanaman yang sudah mulai tidak enak dipandang.

Aku yang masih terduduk dikursi teras tidak lantas membantu istriku yang sedang membersihkan tanaman itu melainkan hanya melihatnya dari belakang, dan seketika pikiranku langsung teringat akan sosok ibuku yang biasanya membersihakan tanaman dan rerumputan disana, sungguh sangat susah untuk sedikit melupakan atau merelakan bahwa ibuku ini sudah tiada.

Tanpa terasa sesuatu mulai bergerak turun dipipi kananku, dan dengan reflek cepat tangan kanankupun mencoba meraih sesuatu yang bergerak dipipiku itu, ternyata adalah air mata yang secara tidak sengaja mulai menetes dipipiku karena teringat akan sosok ibu yang biasa berada disana sekarang tidak akan pernah aku lihat lagi.

“mas? mas? dengar nggak ya, wong di ajak bicara lho malah ngelamun” ucap istriku menyadarkanku yang ternyata mulai melamun memandang kearahnya

“eee eh iya nduk gimana, maaf aku hanya saja teringat ibu, biasanya ibu yang berada disitu bersihin tanaman dan rumput” ucapku sepontan sadar dari lamunan.

“sudah tho mas, diikhlaskan, sudah beberapa hari lho kamu ini seperti itu terus, kasihan ibu disana nanti malah tidak tenang jadinya” ucap istriku memberi semangat padaku.

“iya nduk, mas juga usaha seperti itu kok, tapi pelan – pelan ya, udah tadi kamu ngomong apa coba diulangi mas mau denger” jawabku meminta istriku mengulangi omongan yang tidak aku dengar tadi.

Pada intinya istriku mengajaku berkeluh kesah mengenai momongan, maklum bagiku karena usia pernikahan kita sudah menginjak ke usia pernikahan 3 tahun, namun masih belum memiliki momongan, beberpa kali aku mengatakan kepadanya untuk bersabar dan terus meminta pada Allah supaya kita segera cepat diberi momongan.

Istriku mungkin sudah merasakan sepi juga semenjak kepergian ibuku, yang tadinya masih bisa dibendung karena ada ibu, kini menjadi sepi dan itu pasti faktor utama dia mulai membahas hal ini.

Aku mencoba mengusulkan bagaimana jika kita mulai mengikuti program hamil atau promil, sebagai tanda ikhtiar kita untuk memiliki buah hati, dan kitapun sepakat, untuk kemudian kita juga langsung mencari rumah sakit yang terkenal ampuh untuk program hamilnya, dan kita temukan rumah sakit di kota sebelah yaitu di daerah kota Magelang, kita pun membuat janji dengan dokter kandungan disana untuk minggu depan.

Singkat cerita dihari yang sudah dijanjikan dengan dokter, kitapun berangkat menuju rumah sakit tersebut, kita mulai berangkat dari pagi hari, karena kita tidak mau terlalu lama kepanasan dijalan, ya maklum saja karena suhu di Wonosobo dan Magelang sangatlah berbeda, walaupun kita berdua pernah hidup beberapa tahun di Jogja tapi karena sudah terlalu lama di Wonosobo jadi perubahan suhu yang panas membuat kami sedikit tidak nyaman.

Pukul 10.00 WIB sampailah kita dirumah sakit yang kita tuju, kita langsung menuju ke bagian pendaftaran untuk melakukan pendaftaran ulang, dan untung saja kita mendapat antrian nomor 2 tidak terlalu lama menunggu pikirku, karena jam praktek mulai jam 10.30 maka kami pun menunggu diruang tunggu sambil ngobrol dan membayangkan kalau program ini berhasil kita lakukan maka akan ada suara anak anak kecil dirumah kami tidak lama lagi, maklum saja karena sudah lama kami mengidamkan seorang putra makanya disana pun yang kita obrolkan adalah hal itu juga.

Namun ditengah pembicaraan kita, tiba tiba didalam pikiranku terbesit pusaka yang berada dirumah kami, ya apalagi kalau bukan kris itu, aku pernah membaca bahwa sesuatu yang berhubungan dengan hal seperti itu percaya atau tidak percaya katanya bisa menghambat kita dalam memiliki keturunan.

Aku sempat menyinggung soal kris itu kepada istriku, bagaimana kalau kris itu kita titipkan kepada orang tua istriku, maksudku ini adalah sebagai tanda ikhtiar kita juga, bukan bermaksud menuduh kris itu adalah sumber hambatan dalam kami tidak memiliki keturunan, tapi hanya sekedar usaha saja, toh kami juga tidak menyalahkan atau membuang kris itu, hanya akan kita pindahkan saja, dan istriku menyetujui hal itu.

Sebenarnya sedikit sayang harus memindahkan kris itu, tapi bagaimanapun kita harus mencoba segala cara, andaikan ada yang menyalahkan kris itu, tapi bagaimana cara menjelaskan kenapa kris itu tidka menjadi penghambat orang tuaku untuk memiliki momongan, padahal kris itu sudah turun temurun.

“pasien selanjutnya, nyonya Via, silangkan masuk” suara lembut terdengar dari depan ruang praktek dokter.

Setelah nama istriku dipanggil, kitapun bangkit dari kursi tunggu dan langsung menuju ke ruang praktek dokter tersebut, dalam ruangan tersebut kita disambut ramah oleh satu suster dan dokter yang akan memeriksa kami disana.

Singkat cerita, pemeriksaanpun selesai, dan dari hasil pemeriksaan tersebut, memang ada sedikit masalah diarea vital dan itu masih bisa dibersihkan namun tetap harus menjalani beberapa pemeriksaan di pertemuan selanjutnya untuk memastikan kita sudah steril dari berbagai masalah.

Kitapun diarahkan ke bagian pembayaran untuk menebus obat yang sudah diresepkan tadi dan juga untuk melakukan proses pembayaran, kita diminta untuk dua minggu lagi datang kemari untuk dilakukan tes selanjutnya.

Setelah semuanya selesai kitapun bergegas untuk segera pulang, takutnya nanti kehujanan di jalan, karena dari arah timur, awan hitam sudah mulai menyelimuti dan mulai berangsung merangkak kearah kami.

Disaat perjalanan istriku terus mendongeng soal keinginannya untuk cepat cepat mengandung, dan akupun terus meladeni semua ceritanya itu, memang keinginan kita soal anak itu sudah tidak bisa dibendung lagi, kami merasa kesepian di rumah setelah meninggalnya kedua orangtua ku, dan itu sama sekali tidak bisa dipungkiri, kita membutuhkan suasana kehangatan rumah, namun saat sedang asik berkhayal, dalam pikiranku kembali terbesit soal kris itu, apakah yakin akan dititipkan sementara di orangtua isriku.

“nduk, kris itu beneran kita titipkan ke bapak ibu saja ya, nggak papa kan” tanyaku padanya

“iya mas, nggak papa, bapak juga pasti tidak keberatan, wong bapak juga nggak asing dengan barang seperti itu kok” jawab istriku memberi persetujuan.

“tapi nanti bakal ada efeknya atau tidak ya nduk, maksudnya marah tidak pemilik kris ini yaitu nenek Lasmi” tanyaku kembali pada istriku

“insyallah dia akan mengerti mas, toh kita tidak membuang tempatnya inikan, hanya saja kita pindahkan sementara” jawab istriku menguatkan.

“iya lah ya nduk, bismillah, mas juga mau coba untuk mulai membiasakan diri untuk tidak dekat dengan benda benda seperti itu lagi, mas mau normal saja” kembali aku katakan pada istriku bahwa aku ingin normal.

“sudah ikuti arus saja yang berlaku, kalo kamu mau jadi normal dan Allah merestui pasti akan kesampaian kok mas, nggak perlu ngoyo” ucap istriku memberi nasehat.

Pada hari kamis, beberapa hari setelah kami dari rumah sakit yang berada di Magelang itu, kitapun akhirnya membawa kris itu kerumah orangtua istriku, sekalian lah kita bersilaturahmi karena semenjak kita berikhtiar mengikuti program PROMIL, kita jadi jarang untuk mengunjungi orangtua istriku itu.

Sampailah kita dirumah orangtua istriku, dan kebetulan ibu dari istriku sedang duduk duduk didepan rumahnya dan sedang mengobrol dengan tetangga tetangganya, terlihat wajah terkejut dari raut mukanya karena kami memang tidak memberi kabar bahwa kita akan berkunjung kerumah.

“ya Allah, kenapa kok nggak ngabari dulu tho yo, terlanjur belum masak lho ini” bangkit dari duduknya ibu dari istriku ini manyambut kami.

“alah nggak usah repot repot bu, saya bawa jajan ini kok, tadi beli di pasar pagi” aku turun dari motor dan langsung kuraih tangannya dan ku cium punggung tangannya.

“masyallah jan, lama banget nggak kesini, ibu kira sudah lupa dengan jalan kesini” sambil menyalamiku dan mengelus rambutku.

“ah ibu ini, baru aja berapa bulan kok masak upa sih, ya nggak lah” istriku menjawab perkataan ibunya dan bergantian menyalaminya.

“udah - udah, ayo masuk, itu bapak ada dudakan masih ngrokok palingan didapur” sambil melangkah masuh dan mengajak kami juga.

“mari bu mampir kedalam” ucapku dan istriku kepada tetangga ibu yang terpaksa ditinggal karena kedatangan kami

Kitapun akhrinya masuk kedalam rumah, dan langsung menemui bapak yang ternyata masih dengan santainya merokok di depan tunggu perapian sambil bertelanjang dada, tidak jauh dengan ekspresi ibu, bapak juga terlihat sangat terkejut dengan kehadiran kami yang tiba tiba.

Wajah bahagia tidak bisa disembunyikan dari ekspresi mukanya, kitapun akhrinya ngobrol diruang tengah sambil membicarakan beberapa hal, aku sama sekali masih belum membahas soal kris yang akan aku titipkan pada mereka, untuk berbasa basi aku menanyakan bagaimana keadaannya, bagaimana hasil panen kemarin, dan sekarang sedang menanam sayuran apa.

Panjang kali lebar bapak dan ibu menceritakan tentang ladang dan sawah mereka, mereka juga menceritakan hal hal yang menurut mereka lucu saat sedang bercocok tanam, disaat itu kembali merasakan adanya kehangatan keluarga, bagaimana tidak karena dirumah ini masih ada sosok ibu, dan masih ada juga sosok bapak, aku mencoba untuk tidak kembali terlarut dalam kesedihan, dan aku coba untuk menikmati ini, aku bertekat setiap minggu kita harus kemari dan kalau bisa sesering mungkin kita harus kemari, aku tidak mau mereka kesepian.

Setelah beberapa waktu kita ngobrol kesana kemari, akupun mulai masuk untuk menjelaskan maksud kedatangan kami kemari, dilain untuk mencoba menitipkan kris yang sudah aku bawa, kami juga meminta doa restu akan ikhtiar yang sedang kami jalani.

Bapak sempat terkejut mengenai kris yang akan aku titipkan. Dia mengatakan apakah yakin mau dititipkan, sebenarnya bapak tidak keberatan apabila kris ini dititipkan disini, tapi mungkin bapak bisa melihat aku masih sedikit ragu untuk menitipkan kris ini, tapi pikirku demi keberhasilan ikhtiar kita, aku menjawab yakin akan tetap menitipkan kris ini sementara disini.

“ini beneran le, kris ini mau kamu titipkan disini?” tanya bapak untuk kedua kalinya.

“iya pak, betul kris ini mau saya titipkan sama bapak, sementara saja, ya itung - itung ini tanda ikhtiar saya pak” jawabku dengan mantab.

“Menurut bapak nggak usah le, Kris itu nggak ada hubunganya dengan kamu punya keturunan atau belum, karena Allah yang jamin itu, itu hanya maslah waktu Allah merestui, lagian kris itu kan yang menjaga rumah kan, biarkan saja disana, nurut saja dnegan omongan simbahmu dulu, krisnya tidak usah di apa apakan.” jawab bapak ku menjelaskan.

Karena penjelasan yang diberikan oleh bapak ku, aku jadi mengurungkan niatku untuk menitipkan keris ini dirumah bapak, dan selanjutnya kita ngobrol seperti biasa, melepas kangen kepada mereka dan saling bercanda tawa disana.

Diubah oleh afryan015 26-01-2024 12:31
bebyzha
rinandya
delet3
delet3 dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.