- Beranda
- Stories from the Heart
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
...
TS
benbela
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi bikin thread di kaskus setelah mendapat bisikan dari @makgendhis. Cerita kali ini ane angkat dari pengalaman temannya bini ane yang punya pengalaman agak ngeri-ngeri sedap di tanah Borneo. Beberapa hal ane samarkan demi privasi pihak tertentu.
Jadi, ceritanya bakal ane bongkar pelan-pelan.
Quote:
Dilarang memproduksi ulang cerita ini dalam bentuk tulisan/ audio/ audio visual tanpa ijin penulis. Semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan bisa menghargai karya orang lain. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-12-2023 01:33
jenggalasunyi dan 64 lainnya memberi reputasi
65
24.8K
Kutip
308
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.5KThread•41.7KAnggota
Tampilkan semua post
TS
benbela
#187
Quote:
Bab 17 : Kariau
Malam terasa hening di desa ini. Hanya ada satu dua orang yang lalu lalang menyusuri jalan. Tidak ada lampu penerang jalan dan hanya ada sinar lampu temaram di teras rumah warga membuat jarak pandang terbatas.
Aku sedikit tenang dengan telah kembalinya Galih dan Ilham. Setidaknya ada tambahan lelaki muda untuk mengawali jalannya ritual nanti. Malam itu kami bertiga berbincang di teras, menikmati rokok, minuman hangat serta singkong goreng. Sedangkan pak Wardoyo dan bu Lastri ada di dalam, membantu mina Kurik memandikan Retno.
"Dib, jangan melamun!" tegur Galih.
Aku tersentak.
"Ada apa?"
"Eh, tidak apa-apa," jawabku terbata.
Galih mendelik, menatapku curiga.
"Serius, gak apa-apa, Lih. Cuman gugup aja buat ritual nanti," sambungku lagi.
"Ya sudah. Semoga tidak ada kendala. Besok atau lusa kita berangkat ke Banjarmasin. Setelah menginjakan kaki di Jawa, semua masalah ini selesai. Semoga ingatan Retno tentangmu juga bisa kembali," tutur Galih sambil menyesap rokok.
"Semoga saja," sahutku datar.
Sebenarnya aku masih bingung akan perkataan pak Wardoyo siang tadi. Entah apa yang ia dan bu Lastri rencanakan, mereka tidak berkata rinci. Mereka juga melarangku untuk menyampaikan kepada orang lain, terutama Galih. Mereka hanya bilang akan membutuhkan bantuanku bila tiba saatnya.
Katanya, semua itu mereka lakukan demi Retno. Entah kenapa, aku juga menurut saja meski lidah ini gatal untuk berbagi cerita kepada Galih. Aku seperti terhipnotis tanpa bisa membantah.
"Kenapa harus malam ritualnya? Kenapa tidak sekarang atau besok siang saja?" tanya Galih pada Ilham.
"Memang harus seperti itu. Harus tepat tengah malam, saat keadaan benar-benar senyap. Saat tengah malam, gerbang ke alam roh akan terbuka. Dan Retno harus berhasil di bawa pulang sebelum kokok ayam jantan pertama. Jika tidak…"
Ilham tidak melanjutkan kalimatnya. Ada getir di nada suaranya. Kami lantas membisu. Tanpa perlu ia jelaskan, kami tahu apa yang akan terjadi dengan mina Kurik. Ia akan terjebak di alam gaib selamanya. Mendadak aku terperangah. Jantungku seketika berdebar.
"Ilham, sebentar. Ada yang harus kubicarakan dengan Galih."
Aku beranjak, menyeret Galih menjauh. Ia kaget dan hendak menolak, tapi segera paham ada hal penting yang ingin kusampaikan. Kami melangkah cepat ke bawah pohon jambu, meninggalkan Ilham yang terheran. Namun, entah kenapa lidahku mendadak kelu. Kata-kata yang sudah di ujung lidah sulit untuk terucap.
"Kenapa? Ada yang penting?" desak Galih.
Aku membisu, ragu untuk mengatakan isi pikiran yang menggelayut sejak siang tadi.
"Pasti pak Wardoyo dan bu Lastri, iya, kan?!" tebak Galih.
Aku mengangguk lemah lalu menatap mata Galih dalam-dalam. Kuceritakan tentang kejadian di pinggir sungai siang tadi, Galih terperanjat.
"Sepertinya aku tahu apa yang mereka rencanakan. Kita harus memberi tahu Ilham," kata Galih dengan tatapan nanar.
"Memangnya, apa yang mereka rencanakan?"
Galih menghela napas lalu memegang bahuku. Sorot matanya tajam menghujam jantung.
"Mereka ingin menjebak mina di alam sana dan menukar rohnya dengan roh Retno."
"Tapi, kenapa?"
"Tentu saja untuk pengganti tumbal, apalagi?!"
Tubuhku membeku dan pandanganku kosong. Semua seakan terang benderang. Apa yang ia sampaikan tempo hari kini bukan lagi bualan. Pak Wardoyo penganut pesugihan, dan kini ia hendak menukar Retno dengan mina Kurik. Entah bagaimana caranya masih belum pasti, yang jelas kepercayaanku padanya langsung runtuh detik ini juga.
Galih kemudian berlalu, meninggalkanku yang terdiam dan mendekat ke arah Ilham. Ilham terperangah tatkala Galih berbisik di telinganya. Sejurus kemudian ia mengangguk. Sorot matanya memendam amarah dan tinjunya terkepal erat.
*****
Mendekati jam 12 malam, mina Kurik telah berdiri di pekarangan sembari mengunyah sirih. Matanya bergerak liar, mengawasi kegelapan malam yang pekat. Saat itu ia mengenakan kebaya putih pudar, berikat kepala merah yang ditancapkan bulu burung tingang serta berselendang tapih bahalai.
Setelah berkomat-kamit, ia menyembelih seekor ayam biring-yaitu ayam kampung berwarna hitam dan merah-di pekarangan menggunakan dohong. Darahnya ia tampung di dalam mangkok malawen serta bangkainya ia bungkus menggunakan daun pisang.
Sekitar lima menit kemudian, angin malam berembus pelan menggoyang ranting dan dedaunan. Mina Kurik terdiam sesaat, menatap ke arah dedaunan lalu beralih ke Retno yang berdiri di teras. Kabut tipis yang melimuti desa mulai berarak, seolah arwah para leluhur mulai berdatangan. Namun, mina Kurik justru terlihat cemas. Keringat mulai membasahi wajahnya yang letih.
Seketika kami sadar ada yang tidak beres saat ia menyuruh kami bergegas masuk. Apalagi, suara burung kicau mendadak bersahutan disambut lolongan anjing hutan. Udara malam pun terasa bertambah dingin dari biasanya. Kami pun bergegas masuk, menanti dengan gelisah apa yang akan terjadi selanjutnya.
Beralaskan pelepah kelapa muda yang dibentuk menyerupai perahu, bangkai ayam serta darah tadi mina Kurik letakkan di luar pintu bersama sesaji lainnya. Sewaktu ia membakar kayu gaharu dalam tungku kecil, kegelisahan dalam sekejap menghinggapi kami semua.
*****
Di ruang tengah, Retno telah siap duduk di atas lesung. Ia terlihat gelisah, melirik ke arah bu Lastri untuk meminta dukungan moral. Ia kemudian menatapku dengan sorot mata sayu.
"Mas… terima kasih," ucapnya lembut.
Aku salah tingkah dan jantung berdebar tidak karuan. Kubalas dengan terbata dan anggukan. Setelah sekian lama, akhirnya ia mau bicara kepadaku. Sementara mina Kurik juga tampak gugup. Ia membakar rokok kretek, menghisapnya dalam-dalam. Jarinya yang menggamit rokok gemetar, entah kenapa ia mendadak ragu.
"Mina, bagaimana?" tegur bu Lastri.
Mina Kurik menggeleng, kembali menyesap rokok. Pandangannya menerawang, menatap Retno yang telah pasrah.
"Aku tidak tahu apakah ritual ini akan berhasil atau tidak. Terlalu beresiko. Baru pertama kali aku menjemput roh ke alam sana. Entah Retno yang kembali atau hanya aku. Bisa juga, justru kami berdua terjebak selamanya di alam arwah."
Kami semua terdiam, bahkan saling melirik pun terasa berat. Mina Kurik menghela napas, lalu mencecak rokoknya di asbak. Ia menoleh ke arahku, menatap tajam hingga membuat dadaku terasa sesak.
"Ingat janjimu, akan memberikan pekerjaan pada anakku setelah ia wisuda."
Aku mengangguk, "iya, mina. Akan kubawa ia ke Jakarta untuk bekerja di sana."
Mina Kurik kemudian menyampirkan selendang bahalai di pundak Retno, lalu memaksanya menenggak segelas kecil tuak baram. Bibir Retno mengkerut, merasakan kecutnya tuak tradisional yang menghangatkan perut.
"Peganglah, jangan sampai lepas."
Retno tak membantah, jemari lembutnya memegang lilin berwarna putih yabg beralas piring kecil.
"Kalian harus menjaga agar lilin ini tidak padam. Lilin ini sebagai petunjuk keberadaan Retno di alam arwah, dan aku harus berhasil membawanya sebelum lilin ini habis," tutur mina Kurik seraya menyulut api menggunakan korek gas.
Ia menoleh, menatap pada Ilham yang memegang kangkanung, "jika lilinnya padam, pukulah kangkanung ini sekerasnya. Suara kangkanung akan jadi petunjuk jalanku untuk pulang."
Ilham mengganguk, menatap ibu mertua dengan cemas. "Inggih, bu," jawabnya.
Mina Kurik melantunkan doa suci, melempar beras kuning ke tubuh Retno tiga kali dari mangkok yang ia genggam. Sejurus kemudian, Retno telah terpejam. Tubuhnya mengeras seperti batang kayu, memegang lilin yang telah menyala.
Setelah Retno tak sadarkan diri, mina Kurik duduk bersila. Ia mengambil sebatang lilin lalu menyalakannya. Setelah menenggak segelas tuak baram matanya terpejam dan wajahnya perlahan memucat. Detik berikutnya, ia sudah duduk dalam keadaan tak sadar. Lilin yang ia pegang menyala terang, bergoyang-goyang dititup angin.
Sepertinya, mina Kurik dan Retno dan telah berada di alam arwah.
*****
Lima menit berlalu dan kami menanti dengan cemas. Sejauh ini tidak ada sesuatu yang terjadi meski udara terasa kian dingin dan malam semakin riuh oleh suara lolongan anjing. Sedari tadi Galih tak pernah lepas mengawasi pak Wardoyo dan bu Lastri. Aku sendiri dilanda kebingungan, antara menyelamatkan Retno atau mina Kurik jika ada sesuatu yang buruk terjadi.
Kami terkesiap tatkala mina Kurik mulai bergumam tak jelas. Suaranya sangat lirih sehingga sangat sulit ditangkap gendang telinga. Aku menajamkan kuping untuk memastikan apa yang ia ucapkan, mungkin ada petunjuk yang hendak ia sampaikan. Suara yang tadi sangat lirih perlahan mulai terdengar meski seperti orang berbisik.
"Hutan…hutan…jalan setapak…"
Bibir mina Kurik kembali terkunci rapat. Dadanya kembang kempis dan napasnya putus-putus sementara tangannya yang menggenggam lilin gemetar. Dugaanku, ia menemukan jalan setapak di tengah hutan belantara. Jalan menuju tempat dimana arwah Retno tertahan.
Lilin yang dipegang Retno telah meleleh sepertiga, apinya bergoyang ke kiri dan ke kanan, menari-menari pelan tertiup angin yang datang entah dari mana. Aku menahan gigil sekuatnya, menggigit bibir dan menggosok-gosok telapak tangan.
Kami menoleh ke arah pintu dan jendela yang berdecit, entah karena tertiup angin atau ada sesuatu yang lain. Engselnya bergetar menahan dorongan angin dari luar. Di atas atap terdengar suara pasir yang dilempar beberapa kali lalu sunyi. Aku mulai merinding dan yang lain mulai ketakutan. Alam seolah memberi pertanda bahwa sesuatu yang buruk akan datang sebentar lagi.
Pak Wardoyo mulai marapalkan untaian doa, meminta perlindungan Yang Maha Kuasa. Doa yang ia ucapkan terhenti ditengah-tengah saat lampu mulai mati lalu hidup lagi bergantian berkali-kali. Kami tercekat dan saling pandang sementara Ilham telah bersiap memukul kangkanung kapan saja. Saat ini kami benar-benar gugup, tegang dan cemas bercampur jadi satu.
Kreet… kreet…
Daun pintu dan jendela masih bergoyang pelan, sementara suara lemparan pasir di atas atap telah berubah seperti suara langkah.
Pak Wardoyo tercengang sesaat lalu kembali melanjutkan doa. Kali ini doa yang ia ucapkan lebih lantang. Bu Lastri memejam mata dengan jari saling bertaut, mengucapkan amin berkali-kali.
Nafasku terhenti sejenak melihat kejanggalan pada mina Kurik. Lilin yang ia pegang hampir mati beberapa kali. Mungkin ia sedang berlari ketakutan di alam arwah yang gelap. Kami tercekat, lilin yang dipegang mina Kurik terlempar. Tubuhnya mendadak basah bukan karena keringat, tapi air yang berwarna hitam. Saat itu bulu romaku berdiri sangat tegak. Air merembes di bajunya, membasahi bagian dada dan terus mengalir ke bawah..
Di tengah kerisauan, aku dan Galih dengan sigap hendak membantu mina Kurik tapi segera terhenti. Kata Ilham sebaiknya kami tidak melakukan apa-apa dulu karena justru bisa membahayakan upaya mina Kurik menemukan roh Retno di alam sana. Kamipun terpaksa hanya bisa pasrah seraya menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Saat itu semua orang benar-benar gelisah.
Keadaan sekonyong-konyong berubah mencekam. Lilin yang dipegang Retno mendadak padam. Kepanikan pun segera menjalar. Tanpa pikir panjang, Ilham langsung memukul kangkanung tanpa henti. Pukulannya sangat kencang cumiikan telinga. Gurat khawatir jelas terpancar di wajahnya yang letih.
Duung…duung… .
Suara kangkanung bergema, bersahutan dengan suara lolongan anjing hutan yang sayup. Keadaan tiba-tiba menjadi kacau, mina Kurik hempas membentur lantai. Tubuhnya menggelepar dan nafasnya tercekak seperti sedang tenggelam di sungai. Hidung dan telinganya mengeluarkan darah. Sontak kami semua kaget dan berusaha menyadarkan mina Kurik.
"Bangunkan dia, cepat bangunkan!" teriak Ilham.
Lampu yang terus mati menyala membuat keadaan sangat mencekam. Aku terkesiap, hawa dingin terasa lewat melalui pundak. Aku menoleh dan langsung terbelalak, Retno telah membuka mata dengan seringai mengerikan. Sebuah tawa melengking pun pecah, membuat Ilham mematung. Tangannya gemetar memegang kangkanung sementara mina Kurik masih berjibaku mencari jalan kembali.
Tanpa diduga Retno melompat kedepan dan kami semua terdiam. Mulutnya menggeram dan jarinya mencekik leher mina Kurik sangat kencang. Aku terperanjat dan bu Lastri histeris. Aku, pak Wardoyo serta Galih langsung memegang Retno yang kesetanan. Tapi apa daya, kami kalah tenaga. Semakin kencang kami berusaha melepas cekikannya, semakin kuat ia menekan leher mina Kurik.
Braak…
Kami bertiga terlempar kesana kemari, pukulan Retno teramat kuat. Dadaku terasa sesak bak dihantam godam raksasa, tulang rusukku terasa remuk. Keadaan pak Wardoyo dan Galih juga tak jauh berdeda, mereka sama-sama tersungkur di atas lantai, merintih menahan perih.
Ilham menyingkir ke pinggir, mencari tempat aman untuk memukul kangkanung. Pukulannya tak beratur, sangat kencang dan bertubi-tubi. Retno semakin beringas, ia mulai membentur-benturkan kepala mina Kurik ke lantai.
Braak…
Retno terlempar lalu terguling beberapa meter ke belakang. Kami semua menarik napas lega, mina Kurik telah tersadar. Aku bergidik, menyaksikan Retno yang berdiri dengan tampang mengerikan. Lingkar matanya menghitam dan rambutnya terurai acak-acakan.
Kami mundur perlahan saat ia melangkah pelan. Retno terbahak seperti orang gila, lalu melompat-lompat di atas nyiru. Sesaji berhamburan, terlempar kesana kemari.
Kami semua menahan napas tatkala Retno melangkah pelan ke pinggir. Mendadak ia mencabut mandau yang tergantung di dinding, lalu menatap kami seraya tersenyum.
"Celaka! Kita harus lari," seru mina Kurik gelagapan.
Benar saja, Retno langsung menghambur ke arah kami. Ia tertawa mengikik seraya menebas mandau dengan ganas ke sana kemari. Rambutnya yang berkibar membuat tampangnya tambah seram. Bu Lastri menjerit, Retno bergerak kian cepat.
Kami terbirit menyelamatkan diri, berdesakan menuju pintu depan. Jantungku berdetak cepat dan napasku memburu. Adrenalin rasanya naik ke ubun-ubun, membuat langkahku menjadi lebih ringan. Di belakang, Retno mengejar dan mengibaskan mandau serampangan. Suara tawanya benar-benar menciutkan nyali. Galih dan Ilham melompat melalui jendela dan Pak Wardoyo bersama bu Lastri berhasil duluan keluar pintu. Sedangkan mina Kurik entah di mana.
Sial…! Baru sejengkal menginjak teras, aku terjerembab karena menginjak sesaji. Aku terjungkal, terguling di atas lantai papan lalu menghempas tanah dengan sangat keras. Menahan sakit ,aku segera berbalik, merasa ada bahaya di belakang. Belum sempat menarik napas, aku tercekat dengan mata melotot.
Retno melompat, mengarahkan ujung mandau untuk menusuk wajahku. Jantungku berdebar-debar, kilatan ujung mandau yang tajam melesat membelah angin, persis di depan mata. Aku hendak berguling tapi tubuhku sudah tak bisa digerakkan. Aku membeku sebadan.
Crees…
Darah mengucur, membasahi rerumputan yang tertutup butiran embun. Samar terdengar jerit bu Lastri di tengah kegelapan malam yang semakin pekat, beradu dengan suara Retno yang terkikik.
…bersambung…
jenggalasunyi dan 25 lainnya memberi reputasi
26
Kutip
Balas
Tutup