- Beranda
- Stories from the Heart
Kisah Seorang Pramugari (True Story)
...
TS
aymawishy
Kisah Seorang Pramugari (True Story)
Di saat kau merasa hidup sendiri
Dalam kerasnya dunia
Tersenyumlah
Bila kau pun harus berputus asa
Berpikir semua kan berakhir
Tersenyumlah
Kau tak sendiri aku di sini
Menantimu bersama hangatnya mentari
Kau tak sendiri aku di sini
Berikan tanganmu mari kita hadapi
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kau inginkan yang kau harapkan
Hadapilah dengan hati tenang dan tetap melangkah
Kau tak sendiri
Perhatikan sekitar coba kau amati
Hidup bukan sekedar tentang patah hati
Dan semua yang terjadi ambil hikmahnya
Om Iwan pun berkata "ambil indahnya"
Kau tak sendiri aku di sini
Memanggilmu bersama hangatnya mentari
Kau tak sendiri kami di sini
Raihlah tanganku bersama kita lewati
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kau inginkan yang kau harapkan
Hadapilah dengan hati tenang teruskan melangkah
Kau tak sendiri
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kita inginkan yang kita harapkan
Hadapilah dengan hati tenang
Yakinkan dirimu
Kau tak sendiri yeah yeah yeaah
Dalam kerasnya dunia
Tersenyumlah
Bila kau pun harus berputus asa
Berpikir semua kan berakhir
Tersenyumlah
Kau tak sendiri aku di sini
Menantimu bersama hangatnya mentari
Kau tak sendiri aku di sini
Berikan tanganmu mari kita hadapi
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kau inginkan yang kau harapkan
Hadapilah dengan hati tenang dan tetap melangkah
Kau tak sendiri
Perhatikan sekitar coba kau amati
Hidup bukan sekedar tentang patah hati
Dan semua yang terjadi ambil hikmahnya
Om Iwan pun berkata "ambil indahnya"
Kau tak sendiri aku di sini
Memanggilmu bersama hangatnya mentari
Kau tak sendiri kami di sini
Raihlah tanganku bersama kita lewati
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kau inginkan yang kau harapkan
Hadapilah dengan hati tenang teruskan melangkah
Kau tak sendiri
Hidup memang tak selalu seperti
Yang kita inginkan yang kita harapkan
Hadapilah dengan hati tenang
Yakinkan dirimu
Kau tak sendiri yeah yeah yeaah
Quote:
Hai, aku Anes, nama panggilan dari pemilik akun aymawishy ini. Semasa sekolah, aku tinggal di sebuah Kabupaten di Jawa Timur bagian timur.
Mungkin yang sudah membaca threadku yang menceritakan bagaimana kisahku semasa SMPakan lebih tahu bagaimana kejamnya orang-orang di sekitarku memperlakukanku.
Tapi, seperti yang Papaku bilang, aku harus tetap semangat dan harus terus berperilaku baik meski dijahatin.
Selepas SMA, aku merantau ke Surabaya. Disaat itulah aku benar-benar ingin hidup mandiri tanpa bantuan dari Papa. Karenanya, aku harus bekerja agar bisa kuliah.
Awal kehidupanku di perantauan, sangatlah penuh perjuangan.
Ngekos di kosan kumuh, aku pernah. Disana aku ngerasain tidur diatas kasur yang basah karena atap kamarku bocor selama musim penghujan. Dan juga kamar mandi yang lantainya meski disikat berkali-kali pakai WPC, tetap berwarna hitam karena lumutan.
Selain itu, selama 3 bulan berturut-turut, tiap harinya hanya makan roti seharga seribuan yang aku beli di warung kopi dekat kantor tempat aku magang. Yaa meski, alhamdulillahnya ada aja orang baik yang ngasih aku makan. Ohya, karena sering banget makan roti tanpa makan nasi, aku jadi punya “maag” hehehe.
Rasanya jika diingat, masih banyak perjuangan-perjuangan yang aku lalui sejak tahun 2012.
Mungkin yang sudah membaca threadku yang menceritakan bagaimana kisahku semasa SMPakan lebih tahu bagaimana kejamnya orang-orang di sekitarku memperlakukanku.
Tapi, seperti yang Papaku bilang, aku harus tetap semangat dan harus terus berperilaku baik meski dijahatin.
Selepas SMA, aku merantau ke Surabaya. Disaat itulah aku benar-benar ingin hidup mandiri tanpa bantuan dari Papa. Karenanya, aku harus bekerja agar bisa kuliah.
Awal kehidupanku di perantauan, sangatlah penuh perjuangan.
Ngekos di kosan kumuh, aku pernah. Disana aku ngerasain tidur diatas kasur yang basah karena atap kamarku bocor selama musim penghujan. Dan juga kamar mandi yang lantainya meski disikat berkali-kali pakai WPC, tetap berwarna hitam karena lumutan.
Selain itu, selama 3 bulan berturut-turut, tiap harinya hanya makan roti seharga seribuan yang aku beli di warung kopi dekat kantor tempat aku magang. Yaa meski, alhamdulillahnya ada aja orang baik yang ngasih aku makan. Ohya, karena sering banget makan roti tanpa makan nasi, aku jadi punya “maag” hehehe.
Rasanya jika diingat, masih banyak perjuangan-perjuangan yang aku lalui sejak tahun 2012.
Ohya..
Saat nanti aku berbagi cerita di thread ini, tolong jangan dihujat ya.
Sebab..
Aku bukanlah seorang penulis, jadi jangan pernah berharap lebih terhadap tulisan yang aku bagi.
Aku juga bukanlah orang hebat yang hanya ingin berbagi pengalaman yang aku alami.
Saat nanti aku berbagi cerita di thread ini, tolong jangan dihujat ya.
Sebab..
Aku bukanlah seorang penulis, jadi jangan pernah berharap lebih terhadap tulisan yang aku bagi.
Aku juga bukanlah orang hebat yang hanya ingin berbagi pengalaman yang aku alami.
Pokok Isi Cerita
Quote:
#Bagian 1
-Part 1 : Awal Mula
-Part 2 : Menjemput Restu
-Part 3 : Tahap Awal
-Part 4 : Pantang Mundur
-Part 5 : Tentang Cinta Pertama
-Part 6 : Terjebak Nostalgia
-Part 7 : Mungkin Nanti
-Part 8 : Undangan?
-Part 1 : Awal Mula
-Part 2 : Menjemput Restu
-Part 3 : Tahap Awal
-Part 4 : Pantang Mundur
-Part 5 : Tentang Cinta Pertama
-Part 6 : Terjebak Nostalgia
-Part 7 : Mungkin Nanti
-Part 8 : Undangan?
Quote:
#Bagian 2 : Proses Perekrutan Pramugari
-Part 9 : Hi, Jakarta! Be Nice Please!
-Part 10 : Hall of Fame
-Part 11 : Berpisah dengan Shasa, Bertemu dengan Wildan!
-Part 12 : Papa Yang Makin Menua
-Part 13 : Manis Dan Pahit
-Part 14 : Yok Opo Seh!
-Part 15 : Dikirim Malaikat Baik Yang Menjelma Menjadi Manusia
-Part 16 : Medical Examination
-Part 17 : Curhat Dadakan, Berujung Menyesakkan
-Part 18 : Menjelang Tahun Baru
-Part 19 : Selamat Datang Tahun 2017!
-Part 20 : Made Darma
-Part 21 : Hari Yang Kutunggu
-Part 22 : PANTUKHIR!
-Part 9 : Hi, Jakarta! Be Nice Please!
-Part 10 : Hall of Fame
-Part 11 : Berpisah dengan Shasa, Bertemu dengan Wildan!
-Part 12 : Papa Yang Makin Menua
-Part 13 : Manis Dan Pahit
-Part 14 : Yok Opo Seh!
-Part 15 : Dikirim Malaikat Baik Yang Menjelma Menjadi Manusia
-Part 16 : Medical Examination
-Part 17 : Curhat Dadakan, Berujung Menyesakkan
-Part 18 : Menjelang Tahun Baru
-Part 19 : Selamat Datang Tahun 2017!
-Part 20 : Made Darma
-Part 21 : Hari Yang Kutunggu
-Part 22 : PANTUKHIR!
Quote:
#Bagian 3
-Part 23 : Kesempatan Kedua
-Part 24 : Accedere
-Part 25 : Tentang Rey!
-Part 26 : Become In Love
-Part 27 : Buket Mawar Merah
-Part 28 : Out Of Control
-Part 29 : Di Zangrandi
-Part 30 : Pantukhir Kedua
-Part 31 : Si Paling Inisiatif
-Part 32 : Agnes
-Part 33 : Cemburu
-Part 34 : Rey!?
-Part 35 : Ternyata…
-Part 36 : Di Puncak Bromo
-Part 37 : Berpisah
-Part 38 : Hasil Pantukhir
-Part 39 : Tyas!
-Part 40 : Di Kampung Halaman
-Part 41 : Berpamitan
-Part 23 : Kesempatan Kedua
-Part 24 : Accedere
-Part 25 : Tentang Rey!
-Part 26 : Become In Love
-Part 27 : Buket Mawar Merah
-Part 28 : Out Of Control
-Part 29 : Di Zangrandi
-Part 30 : Pantukhir Kedua
-Part 31 : Si Paling Inisiatif
-Part 32 : Agnes
-Part 33 : Cemburu
-Part 34 : Rey!?
-Part 35 : Ternyata…
-Part 36 : Di Puncak Bromo
-Part 37 : Berpisah
-Part 38 : Hasil Pantukhir
-Part 39 : Tyas!
-Part 40 : Di Kampung Halaman
-Part 41 : Berpamitan
Quote:
#Bagian 4 : Initial Flight Attendant’s Ground Training
-Briefing and Sign Contract :
-Part 42 : Sekilas Tentang Ground Training
-Part 43 : Kog Begini Amat Sih?!
###
-Part 44 : Drama Perkara Sepatu
-Part 45 - Astaga!!
-Part 46 : KACAU!
-Part 47 : Drama di Hari Pertama
-Part 48 : Apa Benar FA Harus Deketin Pilot Agar Jam Terbangnya Banyak?
-Part 49 : Jawaban Dari Pertanyaan Mia
-Part 50 : Learning By Doing
-Part 51 : Tentang Chapter Lima dan CET
-Part 52 : Rey Datang Lagi
-Part 53 : Tersimpul Luka Kedua Kali
-Part 54 : White Horse
-Part 55 : Menjelang Flight Training
-Part 56 : Overthinking!
-Briefing and Sign Contract :
-Part 42 : Sekilas Tentang Ground Training
-Part 43 : Kog Begini Amat Sih?!
###
-Part 44 : Drama Perkara Sepatu
-Part 45 - Astaga!!
-Part 46 : KACAU!
-Part 47 : Drama di Hari Pertama
-Part 48 : Apa Benar FA Harus Deketin Pilot Agar Jam Terbangnya Banyak?
-Part 49 : Jawaban Dari Pertanyaan Mia
-Part 50 : Learning By Doing
-Part 51 : Tentang Chapter Lima dan CET
-Part 52 : Rey Datang Lagi
-Part 53 : Tersimpul Luka Kedua Kali
-Part 54 : White Horse
-Part 55 : Menjelang Flight Training
-Part 56 : Overthinking!
Quote:
#Bagian 5 : Flight Training
-Part 57 : Junior Selalu Salah
-Part 58 : Briefing Before Flight
-Part 59 : About Preflight Check
-Part 60 : Company Check
-Part 61 : Berjuang Lagi!
-Part 62 : Jungle And Sea Survival Part I
-Part 63 : Jungle And Sea Survival Part II
-Part 64 : Jungle And Sea Survival Part III
-Part 65 : Jungle And Sea Survival Part IV
-Part 66 : CCFA & DGCA Check
-Part 57 : Junior Selalu Salah
-Part 58 : Briefing Before Flight
-Part 59 : About Preflight Check
-Part 60 : Company Check
-Part 61 : Berjuang Lagi!
-Part 62 : Jungle And Sea Survival Part I
-Part 63 : Jungle And Sea Survival Part II
-Part 64 : Jungle And Sea Survival Part III
-Part 65 : Jungle And Sea Survival Part IV
-Part 66 : CCFA & DGCA Check
Quote:
#Bagian 6 : Kehidupan Seorang Pramugari
-Part 67 : Persiapan Untuk Terbang
-Part 68 : My First Flight
-Part 69 : Rian dan Ihsan
-Part 70 : Setan Penjaga Kamar Vs Senior Ala Ala
-Part 71 : Kisah Kasih Tak Sampai
-Part 72 : Padaido
-Part 73 : Hubungan Tanpa Status
-Part 74 : Mimpi Aneh
-Part 75 : Putri Kebaya
-Part 76 : Kamu Mau Jadi Pramugari Yang Seperti Apa?
-Part 77 : Turbulensi
-Part 78 : Hari-hari Bersama Papa
-Part 79 : Papa, It’s My Birthday!
-Part 80 : Duka Yang Bertubi
-Part 81 : Flashback to 2017
-Part 82 : Tentang Aku dan Dia
-Part 67 : Persiapan Untuk Terbang
-Part 68 : My First Flight
-Part 69 : Rian dan Ihsan
-Part 70 : Setan Penjaga Kamar Vs Senior Ala Ala
-Part 71 : Kisah Kasih Tak Sampai
-Part 72 : Padaido
-Part 73 : Hubungan Tanpa Status
-Part 74 : Mimpi Aneh
-Part 75 : Putri Kebaya
-Part 76 : Kamu Mau Jadi Pramugari Yang Seperti Apa?
-Part 77 : Turbulensi
-Part 78 : Hari-hari Bersama Papa
-Part 79 : Papa, It’s My Birthday!
-Part 80 : Duka Yang Bertubi
-Part 81 : Flashback to 2017
-Part 82 : Tentang Aku dan Dia
Diubah oleh aymawishy 02-02-2024 01:38
snf0989 dan 45 lainnya memberi reputasi
46
60.3K
Kutip
1K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
TS
aymawishy
#298
Part 80 - Duka Yang Bertubi
Spoiler for Duka Yang Bertubi:
Mendapatkan kabar tentang kepergian Papa yang tiba-tiba, membuatku sangat sedih.
Tak pernah aku sesedih ini.
Terlintas percakapan antara aku dan Papa saat sebelum aku aktif terbang dulu.
“Papa, nanti kalau tabungan aku uda banyak, kita umroh yuk!!”
“Aamiin aamiin.. semoga Allah mudahkan segala urusanmu ya Nduk..”
Ketika itu, aku melihat dengan jelas wajah Papa yang berbinar-binar, mungkin saat itu Papa membayangkan bagaimana rasanya melakukan ibadah umroh dan melihat Ka’bah secara langsung ya?
Mengingat aku tak bisa menepati janji itu kepada Papa, membuat tangisanku makin menjadi.
Aa yang kini tengah duduk di samping sopir—duduk di depanku, memperhatikanku dari kaca spion.
Aa yang mengetahui aku menangis terus-menerus hanya bisa memperhatikanku dalam diam.
Ketika itu jam masih menunjukkan pukul delapan pagi. Aku dan Aa kini dalam perjalanan menuju kampung halamanku (lagi), untuk mengantarkan Papaku ke peristirahatan terakhirnya.
Sopir yang kini sedang mengantarkan kami, adalah sopir maskapai tempat aku kerja. Yang juga menjadi temanku saat aku masih kerja di Surabaya—Mas Agus namanya.
“Nes, kamu uda sampe mana?”, tanya Mba Dyah di telepon.
“Udah masuk tol nih Mba. InsyaAllah jam 10.00 nyampe.”
“Alhamdulillah. Kami semua nungguin kamu yaaa.”
Menurut perhitunganku, sekitar jam 10.00, kami akan tiba di rumahku. Namun kenyataannya, Mas Agus salah masuk tol dan berakhir nyasar ke daerah Malang. Karena itu, kami pun tiba di rumah sekitar jam 13.00.
Ketika aku tiba di rumah, Papa sudah dimandikan dan juga sudah dikafankan.
“Mba Anes, silahkan jika ingin mencium Papa untuk terakhir kalinya.”, ujar Pak Ustadz yang hari itu membantu proses pemakaman Papa.
Aku melihat Papa yang tubuhnya sudah ditutupi oleh kain kafan.
Wajahnya begitu tenang seperti sedang tidur dalam kedamaian.
“Pak Chairil insyaAllah meninggal dalam keadaan husnul khotimah, Mba. Lihat, almarhum tampak seperti sedang tersenyum dengan wajah berseri-seri!!”, ujar Ustadz lagi.
Tak lama kemudian, aku pun mulai mencium kedua pipi dan kening Papa.
Kulit wajah Papa sudah terasa sangat dingin.
“Pa, maafin aku baru dateng.”, ujarku menahan tangisanku.
“Maafin aku ninggalin Papa kemarin. Maafin aku ga ada di samping Papa disaat-saat terakhir Papa. Maafin aku belum bisa bahagiain Papa. Maafin aku belum bisa berangkatin Papa umroh. Maafin aku, Pa. Untuk semuanya.”
“Paaaaa, aku masih butuh Papa, kemarin aku baru ulang tahun, katanya Papa mau ucapin langsung, tapi kog Papa malah pergi? Kog Papa ninggalin aku? Terus aku sama siapa Pa?? Terus kalau aku mau cerita dan butuh saran, siapa yang mau dengerin dan ngasih saran untuk aku? Terus kalau akunya lagi mau terbang, siapa yang doain aku?? Paaa, Papa alasan aku untuk bertahan jadi pramugari. Karena aku pengen nabung untuk bahagiain Papa. Tapi kenapa Papa pergiii???”
Saat itu, aku sempat ada di momen ‘belum bisa menerima keadaan’. Semakin aku menangis dan mengeluarkan apa yang ingin aku ungkapkan kepada Papa tapi Papa hanya bisa tersenyum dalam tidurnya, tak meresponku atau bahkan memelukku, membuatku tersadar, bahwa aku harus bisa mengikhlaskan kepergian Papa.
——
14 bulan setelah Papa pergi.
Hari itu hari Jum’at.
Aku sedang terbang dari Timika menuju Makassar.
Aku yang pada awalnya dalam keadaan sehat dan baik-baik saja, tiba-tiba merasa lemas dan bagian diafragmaku seperti sedang ditusuk-tusuk.
Saat itu Senior FA-ku menyadari bahwa aku sedang tidak baik-baik saja.
“Nes, gue aja yang safety demo, lu istirahat.”, ujarnya.
“Gapapa Mas, aku masih sanggup kog!”, jawabku.
Aku pun mampu menahan rasa sakitku selama aku melakukan safety demo.
Namun, ketika pesawat sudah 15 menit lepas landas, rasa sakitku ini sungguh tak terelakkan. Kali ini rasanya jantungku seperti ditusuk-tusuk.
Aku pun duduk terjatuh di galley depan.
“Nes, gapapa?”, tanya rekanku yang lain.
“Nes lu pucet banget, asli!!”
“Gapapa gapapa.”, jawabku berbohong.
“Lu telat makan?”, tanya Seniorku.
“Engga kog.. tadi Anes makan bareng gue di belakang!”, jawab rekanku lagi.
Ada sekitar 10-15 menit aku merasakan sakit yang tiba-tiba itu. Dan setelahnya alhamdulillah aku kembali sehat sampai mendarat di Makassar.
Karena hari itu aku bertugas di cabin bagian depan, jadi ketika disembark(proses penumpang turun dari pesawat), aku pun tak sempat mengaktifkan ponselku karena harus memberikan salam perpisahan kepada penumpang lebih dulu.
Setelah greeting, aku melakukan post flight check seperti biasanya.
Lalu, rekanku yang kebetulan satu angkatan denganku dan tengah terbang bersamaku, tiba-tiba berjalan ke arahku dalam keadaan menangis. Kemudian dia memelukku dengan sangat erat.
“Dedek, kenapaaaa??”, tanyaku.
“Mih, yang kuat yaa…”
“Hmm? Kenapaaa? Ada apa?”
“Mih, Kakak Mimih..”
“Hm Mba Dyah? Kenapa Mba Dyah?
“Mba Dyah meninggal jam 12 siang tadiii, Mih..”
Seketika aku tercekat dalam diam. Jantungku bergedup tak karuan.
“Ternyata tadi Mimih kesakitan jam segitu, karena Kakak Mimih ngasih tau Mimih ya?”, rekanku yang lain mulai memelukku. Dan kami pun menangis bersama-sama.
“Dedek dapet info dari siapa?”, aku mulai bertanya untuk kembali memastikan bahwa apa yang aku dengar ini bukanlah mimpi.
“Dari Aa.. tadi Aa chat aku. Karena dia ga bisa ngehubungin Mimih.”
Innalillahiwainnailaihirojiun!
Semua adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Aku sebagai makhluk-Nya tidak memiliki hak atas apa pun yang terjadi.
Setelah Papa pergi, Mba Dyah-lah yang menjadi teman cerita dan tempatku berkeluh kesah.
Tapi ternyata Allah lebih sayang padanya.
Kala itu sedihku berlipat-lipat, sebab aku tidak bisa pulang untuk mengantarkannya ke peristirahatan terakhirnya karena keadaan yang tidak memungkinkan.
Teringat curhatan terakhirku padanya…
“Nes, nanti kalau kamu nikah, aku mau didandanin juga ya?”, ujar Mba Dyah ketika aku sedang curhat mengenai rencana pernikahanku dengan Aa.
“Iyaa dong! Nanti Mba didandanin yang cantiik!! Kalau bisa nih kita bikin tamunya bingung siapa pengantinnya, aku atau Mba?!”
“Hahahaha..”
“Tapi Mba harus sembuh yaa..”
“Iyaa, insyaAllah sembuh..”
“Beneran ya?!”
“Iyaa.. tapi, kalau ternyata aku nanti ga bisa datang ke acara nikahan kamu, kamu ga boleh sedih ya?”
“Hmm?”
Kini aku mengerti apa maksud dari kalimat itu. 🥹
Kini ketika aku pulang ke kampung halaman, rasanya sepi.
Tak ada lagi yang menyambutku dengan sangat meriah seperti Papa dan Mba Dyah lakukan.
Tak ada lagi yang mengantarku ke mobil travel dan dadah-dadahin aku ketika aku kembali merantau.
Tak ada lagi suara gelak tawa dari mereka.
Yang ada hanya kesunyian dan kerinduan.
Tak pernah aku sesedih ini.
Terlintas percakapan antara aku dan Papa saat sebelum aku aktif terbang dulu.
“Papa, nanti kalau tabungan aku uda banyak, kita umroh yuk!!”
“Aamiin aamiin.. semoga Allah mudahkan segala urusanmu ya Nduk..”
Ketika itu, aku melihat dengan jelas wajah Papa yang berbinar-binar, mungkin saat itu Papa membayangkan bagaimana rasanya melakukan ibadah umroh dan melihat Ka’bah secara langsung ya?
Mengingat aku tak bisa menepati janji itu kepada Papa, membuat tangisanku makin menjadi.
Aa yang kini tengah duduk di samping sopir—duduk di depanku, memperhatikanku dari kaca spion.
Aa yang mengetahui aku menangis terus-menerus hanya bisa memperhatikanku dalam diam.
Ketika itu jam masih menunjukkan pukul delapan pagi. Aku dan Aa kini dalam perjalanan menuju kampung halamanku (lagi), untuk mengantarkan Papaku ke peristirahatan terakhirnya.
Sopir yang kini sedang mengantarkan kami, adalah sopir maskapai tempat aku kerja. Yang juga menjadi temanku saat aku masih kerja di Surabaya—Mas Agus namanya.
“Nes, kamu uda sampe mana?”, tanya Mba Dyah di telepon.
“Udah masuk tol nih Mba. InsyaAllah jam 10.00 nyampe.”
“Alhamdulillah. Kami semua nungguin kamu yaaa.”
Menurut perhitunganku, sekitar jam 10.00, kami akan tiba di rumahku. Namun kenyataannya, Mas Agus salah masuk tol dan berakhir nyasar ke daerah Malang. Karena itu, kami pun tiba di rumah sekitar jam 13.00.
Ketika aku tiba di rumah, Papa sudah dimandikan dan juga sudah dikafankan.
“Mba Anes, silahkan jika ingin mencium Papa untuk terakhir kalinya.”, ujar Pak Ustadz yang hari itu membantu proses pemakaman Papa.
Aku melihat Papa yang tubuhnya sudah ditutupi oleh kain kafan.
Wajahnya begitu tenang seperti sedang tidur dalam kedamaian.
“Pak Chairil insyaAllah meninggal dalam keadaan husnul khotimah, Mba. Lihat, almarhum tampak seperti sedang tersenyum dengan wajah berseri-seri!!”, ujar Ustadz lagi.
Tak lama kemudian, aku pun mulai mencium kedua pipi dan kening Papa.
Kulit wajah Papa sudah terasa sangat dingin.
“Pa, maafin aku baru dateng.”, ujarku menahan tangisanku.
“Maafin aku ninggalin Papa kemarin. Maafin aku ga ada di samping Papa disaat-saat terakhir Papa. Maafin aku belum bisa bahagiain Papa. Maafin aku belum bisa berangkatin Papa umroh. Maafin aku, Pa. Untuk semuanya.”
“Paaaaa, aku masih butuh Papa, kemarin aku baru ulang tahun, katanya Papa mau ucapin langsung, tapi kog Papa malah pergi? Kog Papa ninggalin aku? Terus aku sama siapa Pa?? Terus kalau aku mau cerita dan butuh saran, siapa yang mau dengerin dan ngasih saran untuk aku? Terus kalau akunya lagi mau terbang, siapa yang doain aku?? Paaa, Papa alasan aku untuk bertahan jadi pramugari. Karena aku pengen nabung untuk bahagiain Papa. Tapi kenapa Papa pergiii???”
Saat itu, aku sempat ada di momen ‘belum bisa menerima keadaan’. Semakin aku menangis dan mengeluarkan apa yang ingin aku ungkapkan kepada Papa tapi Papa hanya bisa tersenyum dalam tidurnya, tak meresponku atau bahkan memelukku, membuatku tersadar, bahwa aku harus bisa mengikhlaskan kepergian Papa.
🌿🌿🌿
Ternyata ini terakhir kalinya Papa menggenggam tanganku.
Ternyata ini terakhir kalinya Papa menggenggam tanganku.
——
14 bulan setelah Papa pergi.
Hari itu hari Jum’at.
Aku sedang terbang dari Timika menuju Makassar.
Aku yang pada awalnya dalam keadaan sehat dan baik-baik saja, tiba-tiba merasa lemas dan bagian diafragmaku seperti sedang ditusuk-tusuk.
Saat itu Senior FA-ku menyadari bahwa aku sedang tidak baik-baik saja.
“Nes, gue aja yang safety demo, lu istirahat.”, ujarnya.
“Gapapa Mas, aku masih sanggup kog!”, jawabku.
Aku pun mampu menahan rasa sakitku selama aku melakukan safety demo.
Namun, ketika pesawat sudah 15 menit lepas landas, rasa sakitku ini sungguh tak terelakkan. Kali ini rasanya jantungku seperti ditusuk-tusuk.
Aku pun duduk terjatuh di galley depan.
“Nes, gapapa?”, tanya rekanku yang lain.
“Nes lu pucet banget, asli!!”
“Gapapa gapapa.”, jawabku berbohong.
“Lu telat makan?”, tanya Seniorku.
“Engga kog.. tadi Anes makan bareng gue di belakang!”, jawab rekanku lagi.
Ada sekitar 10-15 menit aku merasakan sakit yang tiba-tiba itu. Dan setelahnya alhamdulillah aku kembali sehat sampai mendarat di Makassar.
Karena hari itu aku bertugas di cabin bagian depan, jadi ketika disembark(proses penumpang turun dari pesawat), aku pun tak sempat mengaktifkan ponselku karena harus memberikan salam perpisahan kepada penumpang lebih dulu.
Setelah greeting, aku melakukan post flight check seperti biasanya.
Lalu, rekanku yang kebetulan satu angkatan denganku dan tengah terbang bersamaku, tiba-tiba berjalan ke arahku dalam keadaan menangis. Kemudian dia memelukku dengan sangat erat.
“Dedek, kenapaaaa??”, tanyaku.
“Mih, yang kuat yaa…”
“Hmm? Kenapaaa? Ada apa?”
“Mih, Kakak Mimih..”
“Hm Mba Dyah? Kenapa Mba Dyah?
“Mba Dyah meninggal jam 12 siang tadiii, Mih..”
Seketika aku tercekat dalam diam. Jantungku bergedup tak karuan.
“Ternyata tadi Mimih kesakitan jam segitu, karena Kakak Mimih ngasih tau Mimih ya?”, rekanku yang lain mulai memelukku. Dan kami pun menangis bersama-sama.
“Dedek dapet info dari siapa?”, aku mulai bertanya untuk kembali memastikan bahwa apa yang aku dengar ini bukanlah mimpi.
“Dari Aa.. tadi Aa chat aku. Karena dia ga bisa ngehubungin Mimih.”
Innalillahiwainnailaihirojiun!
Semua adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Aku sebagai makhluk-Nya tidak memiliki hak atas apa pun yang terjadi.
Setelah Papa pergi, Mba Dyah-lah yang menjadi teman cerita dan tempatku berkeluh kesah.
Tapi ternyata Allah lebih sayang padanya.
Kala itu sedihku berlipat-lipat, sebab aku tidak bisa pulang untuk mengantarkannya ke peristirahatan terakhirnya karena keadaan yang tidak memungkinkan.
Teringat curhatan terakhirku padanya…
“Nes, nanti kalau kamu nikah, aku mau didandanin juga ya?”, ujar Mba Dyah ketika aku sedang curhat mengenai rencana pernikahanku dengan Aa.
“Iyaa dong! Nanti Mba didandanin yang cantiik!! Kalau bisa nih kita bikin tamunya bingung siapa pengantinnya, aku atau Mba?!”
“Hahahaha..”
“Tapi Mba harus sembuh yaa..”
“Iyaa, insyaAllah sembuh..”
“Beneran ya?!”
“Iyaa.. tapi, kalau ternyata aku nanti ga bisa datang ke acara nikahan kamu, kamu ga boleh sedih ya?”
“Hmm?”
Kini aku mengerti apa maksud dari kalimat itu. 🥹
Kini ketika aku pulang ke kampung halaman, rasanya sepi.
Tak ada lagi yang menyambutku dengan sangat meriah seperti Papa dan Mba Dyah lakukan.
Tak ada lagi yang mengantarku ke mobil travel dan dadah-dadahin aku ketika aku kembali merantau.
Tak ada lagi suara gelak tawa dari mereka.
Yang ada hanya kesunyian dan kerinduan.
🥹🥹🥹
Diubah oleh aymawishy 20-12-2023 03:40
baccu dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas
Tutup