- Beranda
- Stories from the Heart
Cerita Tentang Mereka
...
TS
netrakala
Cerita Tentang Mereka
Quote:
Awal Melihat Mereka
-Part 1-
“Bim, besok kamu mau kan tinggal sementara dirumah budhe?” ucap Sekar yang tidak lain adalah ibunya sendiri. “Kenapa memangnya Bu?” tanya Bima. “Besok seminggu kedepan, Ibu sama Bapak ada keperluan diluar kota, jadi kamu sementara seminggu ini tidur di rumah Budhe ya? Tidak apa-apa kan?” ucapnya sambil membelai rambut anak laki-lakinya.
Terbiasa dengan ditinggal kedua orang tuanya untuk bekerja, Bima tidak mempermasalahkan itu semua. Hanya anggukan yang dilakukannya sebagai tanda kalau dia setuju dengan apa yang diminta oleh wanita yang disebutnya sebagai Ibu.
*****
“Assalamualaikum” ucap Sekar saat sudah tiba dirumah kakaknya Yanti. “waalaikumsalam, sini masuk” ucap budhe mempersilahkan kami masuk kedalam rumahnya. “ini mbak, aku mau minta tolong seminggu ini, biar Bima tinggal disini ya, kasihan kalau dia dirumah sendirian” ucap Sekar yang langsung to the poin dengan maksud kedatangannya.
“Kamu ini, ya tidak masalah Bima mau tinggal disini selamanya, tapi kamu itu juga mesti bisa bagi waktu buat anakmu, bukan cuma kerjaan yang dipikirkan” tegur Yanti kepada adiknya tersebut.
Sedangkan Bima saat itu sudah disibukan dengan buku-bukunya. Memang Bima suka sekali dengan yang namanya membaca. Bahkan dia sudah meminta untuk dibuatkan ruang pribadi untuk koleksi buku-bukunya.
“Bim, nanti kamu pakai kamarnya Mbak Santi ya, kan sekarang dia sudah sama suaminya jadi kamar itu kosong” ucap Budhe disela-sela obrolan mereka. “Iya Budhe” hanya itu yang diucapkan Bima sembari masuk ke dalam kamar yang Budhe Yanti bilang. Sudah terbiasa dengan semua ini, tidak ada rasa canggung yang muncul dari diri Bima.
“Kamarnya belum dibersihkan ya Budhe?” Kata Bima yang menjulurkan kepalanya menghadap ruang kearah dimana Ibu dan kakaknya sedang berbincang. “belum Bim, sebentar nanti Budhe bersihkan” ucapnya sambil lalu. “Biar Bima aja yang bersihin Budhe” katanya sambil keluar untuk mengambil perlengkapan untuk membersihkan kamar tersebut. Sedang Budhe dan Ibu hanya mengiyakan apa yang ingin Bima lakukan.
Sudah beberapa waktu Bima membersihkan kamar tersebut, masih terdengar obrolan diantara kedua wanita kakak beradik itu. “Bim, Ibu pulang dulu yaa jangan bandel kamu disini” ucap Sekar berpamitan dengan anaknya. “Bima sudah besar Bu, tau apa yang harus dilakukan” ucapnya sembari menerima uluran tangan Sekar.
Saat ini memang Bima sudah menjadi siswa SMA walau baru kelas 1 tetapi dengan sifatnya yang pendiam membuat dia terlihat lebih dewasa. Mungkin karena keterbiasaannya mandiri membuat dia tumbuh menjadi pribadi yang jauh lebih tangguh dari penampilannya.
Malam sudah beranjak, bulan sudah menampilkan cahayanya yang sendu. Bima memang hobi duduk sendiri melamun merasakan kesunyian. Baginya sungguh kenikmatan yang tidak bisa ia dapatkan dari hal lainnya.
“Kamu ngerokok Bim” sapa Pakdhe Wawan yang sudah duduk di sebelah Bima. “iya Pakdhe, cuma Ayah sama Ibu tidak tau kalau Bima merokok” ucap Bima memberikan senyum simpul. “kamu ini Bim, masih kecil kok sudah merokok” tegurnya.
“Kamu kesepian ya Bim, kalau kamu memang mau tinggal disini terus, Pakdhe juga tidak masalah, sekalian malah bisa jadi temennya Pakdhe” ujar Pakdhe Wawan yang ikut menyalakan sebatang rokok.
Memang Pakdhe dan Budhe belum diberikan kesempatan untuk memiliki anak laki-laki, ke 3 anaknya semua perempuan. Mungkin Pakdhe merasa butuh teman sesama laki-laki untuk saling bercerita nantinya.
“Sudah biasa Pakdhe, Ayah dan Ibu sibuk dengan kegiatan mereka. Ya Bima sudah tidak mempermasalahkan itu semua” ujar Bima yang masih suka memandangi bulan yang ada diatasnya. Mendengar itu semua Pakdhe hanya tersenyum dan beranjak kembali masuk kedalam rumah.
Semilir angin malam terasa lembut menerpa tubuh Bima, malam makin larut ia masih saja betah dengan posisinya dari tadi. Entah malam ini terasa begitu aneh, seolah dia sedang menantikan sesuatu, sesuatu yang memang sudah lama ingin bertemu dengannya. Menyadari bahwa sudah terlalu lama dia duduk disini, Bima beranjak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan sebelum tidur.
Kreeeekkkk….. terdengar suara pintu yang dibuka tepat didepan Bima. Heran karena dia sama sekali belum menyentuh pintu tersebut, dilihatnya juga tidak ada siapapun didalam kamar itu. Bima mencoba untuk memeriksa siapa tau ada tikus yang masuk kedalam kamarnya, karena tidak mungkin angin bisa mendorong daun pintu yang tertutup rapat.
Sudah 10 menit Bima mencari-cari penyebab dari kejadian tadi, tapi tidak satupun hewan yang ditemukannya. "Mungkin memang angin, atau tadi aku nutupnya kurang kenceng” batin Bima sambil merebahkan tubuhnya. Lelah dengan aktivitas yang dilaluinya seharian, Bima langsung bisa terlelap menuju alam mimpi.
Entah apa yang terjadi tiba-tiba Bima tersentak terbangun, badannya tidak bisa digerakan. Tubuhnya kaku namun matanya benar-benar terbuka lebar. Yang lebih mengagetkan lagi, dia melihat ada sosok hitam kurus yang sedang jongkok berada tepat di sisi badannya.
Satu tangan panjangnya memegangi bagian bawah satu tangannya memegangi bagian atas tubuh Bima. Bentuk makhluk itu tinggi besar, dengan warna kulit hitam legam, kuping yang runcing dan memiliki mata merah menyala.
Takut dengan apa yang dia liat, Bima seketika memejamkan mata. Tubuhnya masih tidak bisa bergerak. Nafasnya memburu dan hanya doa yang bisa dia ucapkan dalam hati. Teriak pun dia tidak bisa mulutnya benar-benar terkunci. Hingga dalam sekali sentakan akhirnya Bima bisa bergerak, nafasnya masih memburu, tubuhnya basah oleh keringat.
“Astaghfirulloh, Astaghfirulloh, apa itu tadi” ucap Bima yang masih ketakutan dengan apa yang dia lihat barusan. Jelas tadi bukan mimpi, sosok itu benar-benar nyata. Dilihatnya jam sudah menunjukan pukul 2 dini hari. Kembali dia membaringkan badannya, bayang-bayang sosok tadi masih tertera jelas dalam ingatannya. Kembali tidurnya terasa tidak nyaman, dia memimpikan sesuatu yang aneh, bertemu dengan kakek-kakek yang bisa terbang, manusia setengah hewan dan yang lainnya.
Paginya dia terbangun dengan badan yang cukup panas, sejenak dia ingin bangun untuk bisa pergi kesekolah, namun baru saja dia beranjak. Kepalanya begitu berputar hingga dia menabrak kursi dan terjatuh.
“Astaghfirulloh,kamu kenapa Bim?, badan kamu panas banget” ucap Budhe Yanti yang mencoba membangunkan Bima untuk kembali ketempat tidur. “Gak tau budhe, tiba-tiba badan Bima gak enak rasanya, buat berdiri pusing,” ucapnya dengan lirih. Huek…huekkk… seketika Bima muntah, tetapi yang keluar hanya cairan bening. Melihat itu semua Budhe Yanti segera memanggil suaminya.
“Kita ke dokter sekarang” ucap Pakdhe yang melihat kondisi Bima begitu pucat dan panas. Kawatir dengan ponakannya mereka berdua lantas langsung pergi menuju rumah sakit. Sedang Bima di jok belakang hanya bisa mengerang karena badannya begitu panas. Sesekali dia membuka mata, dilihatnya sepanjang jalan banyak sekali makhluk aneh yang dia liat.
Setelah sampai di rumah sakit keadaan Bima tidak jauh lebih baik, dia hanya bisa menutup matanya. Baru kali ini dia melihat begitu banyak hal-hal diluar nalar. “apa yang sebenarnya terjadi dengannya, apakah ini semua halusinasinya?” batin Bima. Kepalanya benar-benar pusing dan serasa hampir meledak.
Setelah masuk UGD Bima langsung mendapatkan perawatan, beberapa kali suster keluar masuk membawa beberapa barang seperti infus dan lainnya. “bagaimana kondisi Bima Dok?” tanya Budhe yang masih terlihat kawatir dengan kondisi Bima.
“Tidak ada yang perlu dikawatirkan, Bima hanya kecapean, untuk sementara bisa rawat jalan dan tidak boleh terlalu banyak pikiran ya” ucap salah satu dokter yang memeriksa Bima, namun tetap Bima harus menghabiskan 1 kantung infus sebelum diperbolehkan pulang. Seharian dia tidak berani membuka mata, bahkan ketika diajak bicara oleh budhenya.
“Pakdhe dimana, budhe?” tanya Bima masih dengan memejamkan matanya. “lagi beli makan Bim, kamu kenapa masih merem gitu? Pusing?” ujar Budhe Yanti. “iya budhe, tiap matanya dibuka seperti melayang-layang” kilah Bima yang tidak mau menceritakan apa yang dilihatnya. “itu Pakdhe uda balik, abis ini Budhe pulang duluan ya, kasian kakak mu kalau dirumah tidak ada orang” ucapnya. “Iya Budhe, maaf merepotkan” kata Bima dengan sedikit membuka matanya.
“Pakdhe, ada yang mau Bima ceritakan” ujar Bima setelah Budhenya pergi meninggalkan mereka berdua, Bima langsung mencerikatan kejadian yang dia alami. Dia yakin Pakdhe akan lebih bisa dengan bijak menerima apa yang Bima ceritakan.
“Serius kamu Bim?” ucap Pakdhe Wawan yang masih antara percaya dan tidak percaya dengan apa yang Bima tuturkan. “Benar Pakdhe bahkan saat ini… entah kenapa aku bisa melihat mereka” kata Bima yang masih terlihat ketakutan dengan sekitarnya.
Pakdhe Wawan sejenak berfikir, prihatin dengan apa yang terjadi dengan keponakannya segera dia membuka Handphone dan keluar ruangan untuk menghubungi seseorang. Kembali Bima memejamkan matanya. Selang beberapa menit terdengar tirai disibakan, dan seseorang berjalan menuju brankar Bima. Mengira itu Pakdhenya Bima segera membuka mata untuk meminta segera pulang.
Tetapi betapa terkejudnya dia, yang dia lihat adalah sosok laki-laki dengan muka hancur penuh darah, lehernya patah dan matanya hampir keluar. Seketika Bima teriak dengan kencang, buru-buru suster yang ada disana mendatangi Bima yang histeris sambil menunjuk-nunjuk sosok yang tidak bisa mereka lihat.
“Bima kamu kenapa? Bim” ucap Pakdhe yang langsung berlari masuk ke dalam ruangan. “Bima mau pulang pakdhe, sekarang Bima mau pulang” kata Bima histeris. Karena memang kondisi Bima yang baik-baik saja, akhirnya setelah selesai menyelesaikan administrasi Bima diperbolehkan untuk pulang.
“Kita mampir ke tempat temen pakdhe dulu ya Bim, kamu kuat kan?” ujar Pakdhe sambil menyetir mobilnya. “Kuat pakdhe asal jangan kerumah sakit” kata Bima yang masih ngeri dengan kejadian yang dia alami. Bahkan di dalam mobil pun dia masih sering memejamkan matanya.
Entah sudah berapa lama mereka mengendarai mobil dan menembus jalanan. Hingga terasa mobil yang mereka tumpangi mulai melambat, Pakdhe sudah menghentikan dan memarkirkan mobil di salah satu rumah yang cukup modern dan megah.
Terlihat laki-laki paruh baya sudah menunggu mereka di teras rumah, “Assalamualaikum, Rif” salam Pakdhe Wawan kepada temannya, “Waalaikumsalam, silahkan duduk kalian” ucap Pak Arif.
Kulihat suasana rumahnya begitu sejuk, ada beberapa sosok yang sedang berdiri mengawasi mereka tapi bentuknya sama saja dengan manusia, bahkan Bima pikir itu adalah manusia biasa sampai salah satu dari mereka berjalan menembus dinding.
“Liat apa nak?” ujar Pak Arif yang mengikuti arah pandang Bima. “Eh tidak Pak, maaf” ucap Bima yang tidak enak jika terlihat tidak sopan. “jadi ini keponakanku Rif semalam dia…” kemudian Pakdhe menceritakan apa yang sudah terjadi kepaku.
“yah, memang ada sesuatu yang unik dari anak ini Wan, dan… aku sendiri tidak bisa menutup mata batin yang sudah terbuka, sosok yang kamu.. dia temui itu salah satu penjaga dari keluarganya, dan memang itu sudah menjadi perjanjian dari leluhurnya dengan sosok tersebut” jelas Pak Arif.
“Perjanjian?” Ucap Pakdhe Wawan, “ Iya leluhurnya punya perjanjian, bahwa dia harus menjaga anak turunannya hingga yang terakhir” Kata Pak Arif.
Buat Agan-agan yang mau baca duluan bisa langsung mampir ke Karyakarsa ya.
https://karyakarsa.com/netrakala/cer...-mereka-gendis
ryothomas01987 dan 19 lainnya memberi reputasi
20
3.1K
Kutip
72
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.5KAnggota
Tampilkan semua post
TS
netrakala
#46
Cerita Tentang Mereka part 5 bag 2
Quote:
“Nanti kita cari solusinya ya Mbak, Bima nanti enggak pulang ke rumah dulu” ujar Bima. Sedang Mbak Maya hanya mengangguk. Berdiri, Bima keluar ruangan segera menuju kamar mandi dan membersihkan diri.
“Bima mau nginep disini beberapa hari lagi ya Bu?” ucap Bima saat sudah berada di depan Sekar. “Loh, kenapa?” tanya Sekar heran.
“Mbak Maya minta ditemenin dulu, biar ada temen katanya” jawab Bima mencari alasan. “oh yauda engga papa, nanti kalau mau pulang telp Bapak, biar nanti dijemput” ujar Banyu.
Waktu berjalan dengan cepat, tedengar suara Adzan isya berkumandang. Orang tua Bima belum pulang mereka masih menunggu kedatangan Pakdhe, sekalian untuk makan malam bersama. Terlihat Ibu dan Budhe sibuk di dapur sedang Bapak dan pakdhe berada di taman belakang.
Bima kawatir kalau Pakdhe memberitahu semua kejadian yang Bima alami. Pasti Bapaknya Banyu akan segera membawa Bima untuk pulang ke rumah. Tidak mau itu terjadi karena Mbak Maya masih butuh bantuan darinya segera dia menuju taman belakang.
“Bim, sini” panggil Banyu saat Bima mendekat menuju mereka, duduk didepan Bapak dan Pakdhe seolah dia sedang di sidang. “Pakdhe bilang ke Bapak, bener kamu ngerokok?” ucap Bapak yang saat ini menatap Bima.
Merasa percuma berbohong dia langsung mengiyakan semuanya, Bapak berdiri sedang Pakdhe terlihat tersenyum melihat kepanikan di wajah Bima. “Pakdhe jangan cerita ke mereka soal apa yang Bima lihat ya” ujar Bima buru-buru “Kenapa, mereka orang tuamu lo Bim?” ujar Pakdhe. “Iya Pakde, Bima tau, tapi tolong jangan bilang ya?” mohon Bima kepada Pakdhe Wawan.
“Bener Bim, kamu ngerokok?” ucap Sekar yang kini datang dengan Budhe dan Bapak. Budhe yang sama sekali tidak tau hanya melihat suaminya yang hanya mengangkat bahunya.
“iya Bu” Kata Bima tertunduk, sedang malah Bapaknya tertawa melihat Bima yang seperti ini, sontak Bima mengadahkan wajahnya, terlihat Sekar Ibunya menempelkan tangannya di jidad sedang Budhe hanya geleng-geleng kepala.
“jangan banyak-banyak gimanapun itu salah Ibu” ujarnya sambil kembali ke arah dapur. Melihat itu semua Bima terheran melihat Bapaknya “Dulu Bapak, waktu SMP uda ngerokok, jadi ya Bapak ga bisa marahin kamu” kekehnya sambil mengusap-usap kepala anak semata wayangnya.
Kembali mereka berbincang satu sama lain, sesekali Bima mencoba mengetuk kamar Mbak Maya tapi tidak ada jawaban sama sekali. Akhirnya makan malam sudah siap, semua sudah dimeja makan termasuk Mbak Maya.
“Sudah sehat May” tanya Sekar saat pertama kali melihat Maya sedari tadi datang. “Sudah Bulek” ucapnya dengan tersenyum centil. Melihat itu semua Sekar sedikit heran tidak biasanya Maya bersikap seperti itu, bahkan sekarang dia menggunakan makeup, padahal biasanya dia tidak begitu peduli dengan tampilannya saat berada di rumah.
“Kamu habis ini mau kemana emang May?” tanya Pakdhe. “enggak kemana-mana kok Pak” jawabnya singkat. Kembali mereka semua menikmati hidangan yang sudah tersaji.
Mbak Maya yang biasanya makan sedikit kali ini terlihat rakus, tanpa menggunakan sendok dia mencaplok makanan banyak-banyak membuat orang-orang disekitarnya risih dengan kelakuannya. Bukan hanya itu saja, kakinya saat ini juga sudah naik satu diatas kursi bak preman yang sedang mangkal di terminal.
“Maya, yang sopan kamu?” tegur Pakdhe saat melihat anak terakhirnya itu. Sejenak Mbak Maya berhenti dan malah membanting piring dan berjalan menuju kamarnya. Jengkel, Pakdhe Wawan segera bangkit berniat menyusul Mbak Maya namun ditahan oleh Bapak.
Melihat itu semua, Budhe yang sedari tadi diam kini berjalan menuju arah kamar anaknya itu. “Heran akhir-akhir ini aku merasa aneh dengan Maya” ucap Pakdhe yang masih terengah menahan emosinya. “Sedang ada masalah mungkin Mas, kamu yang sabar, jangan emosi” kata Bapak menenangkannya.
Brukkkkk terdengar suara bantingan barang dari arah kamar Mbak Maya, sontak mereka semua berlari menuju tempat kamar tersebut.
“May, kamu kenapa?” ucap Budhe yang sudah terduduk di bawah lantai, sedang Mbak Maya kali ini hanya berdiri memandangi mereka semua. “urusanku, arep ngopo wae” (urusanku, mau mangapain aja) ucap Mbak Maya setengah teriak.
Bima sendiri hanya diam memperhatikan di balik punggung Bapaknya. Dilihatnya sosok wanita berkebaya hitam itu kini tengah merengkuh Mbak Maya dengan senyum yang mengerikan.
“Kurang ajar” Kata Pakdhe yang emosi mendengar istrinya diperlakukan sedemikian rupa oleh anaknya sendiri.
“Jaluk mati koe?” (minta mati kamu?) Ucap Maya Saat Pakdhe mendekatinya. Melihat itu semua Bima mencoba untuk tetap tenang,
“Gendiswari” tiba-tiba Bima mengucapan itu semua, sontak mereka semua menoleh ke arah Bima yang kali ini berjalan menuju arah Mbak Maya. “Bocah wes tak omongi ojo meluk-meluk urusanku”(Bocah sudah kukasih tahu untuk tidak ikut campur urusanku) ucapnya sambil tersenyum garang.
“Ojo dumeh, koe due bolo, cah bagus” (jangan hanya karena kamu punya teman, anak ganteng). “dadi urusanku yen koe wani ngusik keluargaku” (jadi urusanku kalau kamu mengusik keluargaku) kata Bima yang suaranya tiba-tiba menjadi berat, tangannya dia taruh dipinggang seolah sedang menantang sosok Gendiswari.
“Kromosengkono” ucap Gendiswari yang masih menggunakan tubuh Mbak Maya, “Bocah ini wes dadi duwekku, koe ngerti batesan e” (anak ini sudah menjadi miliku, kamu tau batasannya) lanjutnya yang masih menatap Bima dengan tajam.
Semua orang disana terdiam dengan apa yang mereka lihat, namun hanya Pakdhe yang sadar apa yang tengah terjadi. “May, sadar May, istifar” ratap Budhe yang kini mulai menangis melihat kondisi anaknya yang sedang kesurupan.
“Bim, Bima kamu ngapain?” kata Banyu sambil mencoba menarik tangan Bima. Namun Bima tak bergeming. “Metuo, ojo sampe tak lumat ndasmu”(keluar, jangan sampai aku lumat kepalamu) kata Bima yang membuat semua orang merinding saat mendengar apa yang diucapkan olehnya.
“Ora, yo Ora” ( Tidak ya tidak ) ucapnya malah menantang, merasa marah Bima langsung melompat menubruk Mbak Maya dan memegangi kepala Mbak Maya, semua orang teriak melihat kejadian tersebut. Pakdhe dan Bapak mencoba untuk maju tapi Bima menyuruhnya untuk tidak mendekat.
Suasana dikamar itu begitu mencekam, 2 remaja kesurupan membuat orang dewasa disekitar mereka kebingungan. Sekar Dan Yanti menangis melihat itu semua, Bima kali ini memegani kepala Maya dan merapalkan sesuatu.
Beberapa saat kemudian tubuh Maya mulai melemas dan tertidur. Sedang Bima berdiri dan berbalik menatap mereka semua. “ Sopo wae sek wani ganggu bocah iki (Bima), bakal due urusan karo aku “ (siapa saja yang berani mengganggu anak ini (Bima), bakal punya urusan denganku) ucap Bima yang dibarengi dengan tubunya yang jatuh ke lantai.
*****
Mengerjap, Bima saat ini sedang duduk disalah satu amben ditengah hutan. “Le?” panggil kakek yang dulu pernah ditemuinya. Spontan entah kenapa Bima langsung mencium pungung tangan kakek tersebut. “Bima ting pundi Mbah” (Bima dimana mbah?) tanya Bima yang sudah mulai bisa terlihat lebih santai. “wes neng kene sek, ben bocah kae ngurusi rogomu delet” (sudah disini dulu, biar anak itu mengurus ragamu sebentar) ucapnya sambil tersenyum. Tidak paham dengan apa yang dimaksudkan oleh si Kakek, Bima hanya mengangguk.
“Niki ting pundi to Mbah” (ini dimana ya mbah) tanya Bima sekali lagi, “Opo ora betah awakmu neng kene? Omah e simbah elek yo?” (apa tidak betah kamu disini? Rumahnya simbah jelek ya?)
Mendengar itu semua Bima menggeleng kuat, tersenyum simbah “iki alas lali Jiwo, yen koe sembarangan mlebu kene simbah ora iso jamin bakal iso metu” (ini hutan lupa jiwa, kalau kamu sembarangan masuk kesini, kakek tidak bisa menjamin kamu bisa keluar) Kata kakek tersebut.
Mendengar itu semua Bima terdiam dan mengedarkan pandangan, benar saja setelah diamati lebih lanjut banyak sekali sosok yang bergentayangan disini. Menghela nafas, Bima membatin bagaimana caranya dia agar bisa pulang.
“Engko nek meh muleh tak terke, ojo sumeleng, sak iki ngombe iki disik” (nanti kalau mau pulang saya antar, jangan khawatir, sekarang ini minum ini dulu) ucap si kakek sambil menyorkan kendi kepada Bima.
Ada keraguan yang muncul, tapi dengan mantap dia menerima dan meminum air didalam kendi tersebut. Saat air menyentuh lidah dan kerongkongannya terasa begitu segar dan nikmat, air bening ini terasa manis.
Saat selesai meminum air kendi tersebut sosok kakek sudah hilang entah kemana. Tersentak kebelakang seolah sedang ditarik, Bima merasakan dirinya jatuh kedalam lubang yang dalam. “Golek ono barang sek ana hubungan e ro Gendiswari”(cari barang yang ada hubungannya dengan Gediswari) terdengar gema suara si kakek ditelinga Bima.
Terengah, Bima membuka mata. Saat ini dia sudah berbaring ditempat tidur, terlihat Sekar menungguinya. Ada sesuatu dikepala Bima yang basah dan berat, saat menyentuh benda itu ternyata handuk yang dipakai untuk mengkompres.
Sejenak dia pandangi Ibunya, dia tidak berusaha untuk membangunkannya. Didepan juga terdengar suara percakapan yang Bima pikir itu adalah Pakdhe dan Bapak. Matanya masih begitu berat, sampai akhirnya dia kembali tertidur....
Buat Agan-agan yang mau lanjut baca ceritanya bisa mampir ke Karyakarsa ya.
sydney89 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Kutip
Balas
Tutup