- Beranda
- Stories from the Heart
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
...
TS
benbela
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan

Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi bikin thread di kaskus setelah mendapat bisikan dari @makgendhis. Cerita kali ini ane angkat dari pengalaman temannya bini ane yang punya pengalaman agak ngeri-ngeri sedap di tanah Borneo. Beberapa hal ane samarkan demi privasi pihak tertentu.
Jadi, ceritanya bakal ane bongkar pelan-pelan.
Quote:
Dilarang memproduksi ulang cerita ini dalam bentuk tulisan/ audio/ audio visual tanpa ijin penulis. Semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan bisa menghargai karya orang lain. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-12-2023 08:33
jenggalasunyi dan 64 lainnya memberi reputasi
65
26.5K
Kutip
308
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
benbela
#138
Quote:
Bab 12 : Kaki Di Kolong Mobil
Aku balik badan dan menarik napas lega. Ternyata Retno anteng dengan earphone terpasang di telinga. Sepertinya ia tengah menikmati musik dari handphone yang ia genggam. Ia tampak tenang seolah tidak sedang mengalami masalah sedikitpun.
Mengetahui aku menatapnya, Retno merengut. Dengan berat hati aku kembali menoleh ke depan, menatap nanar jalan yang gelap gulita.
Setidaknya Retno baik-baik saja, gumamku dalam hati.
*****
Sedari tadi aku merasa gelisah dalam perjalanan ini. Aku merasa terlalu beresiko seperti yang disampaikan mina Kurik sebelumnya. Namun, entah kenapa orang-orang ini tampaknya terlalu bersemangat dan terkesan meremehkan peringatan mina.
"Dib, jangan khawatir. Setelah tanjakan panjang di depan, kita akan sampai ke tempat mina. Setelah itu, besok pagi kalian akan bisa kembali ke Jawa," Galih berusaha meyakinkan.
"Bukankah mina bilang, salah satunya harus mati. Bagaimana kalau ia gagal, dan Retno…" Aku tak sanggup melanjutkan kalimatku. Aku tak berani membayangkan jika ada hal buruk menimpa Retno.
"Dib, mina kan bilang, roh Retno bisa dijemput saat ikatan mantranya tipis. Siapapun pelakunya, ia pasti tidak tahu rencana mina. Rencana ini pasti berhasil tanpa ada yang harus meninggal."
Aku tak mengiyakan dan juga tidak membantah. Aku hanya diam, melihat barisan pohon-pohon yang terkena sorotan lampu mobil. Beberapa menit berlalu tidak ada seorangpun yang kami temui di jalan, kecuali sesekali tupai atau musang yang menyeberang.
Pepohonan yang menjulang tinggi seolah seperti bayangan hitam yang menakutkan karena langit yang begitu gelap. Ranting dan dedaunan bergoyang pelan tertiup angin, membuatku memikirkan yang bukan-bukan. Entah kenapa, aku merasa ada anak kecil yang duduk di ranting itu.
"Dib, jangan melamun," tegur Galih.
Aku gelagapan, lalu menepis berbagai pikiran buruk yang hinggap di kepala. Aku membaca doa di dalam hati, meminta perlindungan agar perjalanan kami tak menemui kendala.
Di belakang, Retno dan orang tuanya terus mengobrol dan sesekali Galih menimpali. Mobil terhentak-hentak saat melintasi jalan cor semen yang banyak terkelupas. Kami beberapa kali cumiik lantaran kepala terantuk atap mobil yang keras. Mobil terasa melaju semakin cepat saat melewati jalanan yang menurun.
Di kejauhan, tepat di tikungan, lampu mobil tiba-tiba menyorot sosok mengerikan yang berdiri di pinggir jalan. Terlihat seperti manusia, tapi jelas sekali bahwa itu bukan manusia.
Sosok itu berwarna hitam pekat dan hanya diam di antara rerumputan, menatap ke arah mobil kami yang kian mendekat.
Jantungku rasanya melompat-lompat ketika lampu mobil dengan jelas menyorot sosok itu. Wajahnya terlihat aneh dan kaku, benar-benar mengerikan. Sedetik kemudian, aku menarik napas lega ketika mobil melewatinya.Ternyata hanya patung berwujud manusia yang terbuat dari kayu ulin.
"Itu namanya pakahan. Patung peringatan bahwa tempat ini pernah terjadi kecelakaan. Jika ada satu patung, artinya ada satu nyawa melayang. Jika ada dua, berarti dua orang yang tewas, begitu terus. Jika bentuknya laki-laki, berarti korbannya laki-laki. Jika bentuknya anak kecil, berarti korban yang tewas adalah anak-anak," jelas Galih.
Aku bergidik ngeri, menyadari tikungan menurun ini telah merenggut korban jiwa.
"Patung tadi dibikin agar arwahnya tenang. Didoakan secara ritual adat. Sekaligus agar pengendara lainnya hati-hati," tambah Galih lagi.
Aku melirik ke spion, memperhatikan patung tadi yang terlihat mengecil seiring mobil menjauh. Namun aku segera terdiam, ternyata ada sosok lain di patung itu. Sosok perempuan tanpa busana duduk di atasnya dengan rambut yang meneteskan darah. Darah dari rambut membaluri seluruh kulit tubuhnya yang mengelupas dan koyak. Sosok itu kemudian melompat dan menghilang di balik belukar tinggi.
*****
Dari balik spion tengah, kulihat bu Lastri sedang konsentrasi membaca doa. Wajahnya telah basah karena keringat meski AC di dalam mobil cukup kencang. Badannya gemetaran seolah ada yang ia takutkan. Di samping, Retno tampaknya mabuk darat. Ia mengoleskan minyak kayu putih di pelipis. Pak Wardoyo yang duduk paling belakang dengan lembut memjiat kepala dan ubun-ubun anaknya.
Mesin mobil meraung-raung ketika menaiki tanjakan curam. Mobil bergerak tersendat-sendat, bagai kereta kuda yang kehabisan napas. Galih berkonsentrasi penuh agar mobil tidak keluar dari badan jalan. Kami semua menahan napas, beberapa kali mobil hampir tergelincir. Semen cor yang terkelupas membuat ban tidak bisa menggigit permukaan jalan dengan mantap. Untung saja Galih cukup lihai sehingga kami tidak terperosok atau terguling ke dalam jurang.
Kami baru menarik napas lega sewaktu tanjakan berganti dengan jalan rata. Mobil berbelok ke arah kanan, menembus gelap malam di bawah barisan pohon karet yang berjajar.
"Sebentar lagi, paling 15 menit lagi sampai," Galih berusaha menenangkan.
"Dari tadi 15 menit terus," dengus Retno kesal seraya menahan muntah.
Galih hanya tersenyum lalu mempercepat laju mobil. Cukup aneh, setahuku Retno tidak pernah mabuk darat. Mungkin karena jalan yang naik turun membuat perutnya mual.
Namun, keadaan seketika berubah mengkhawatirkan. Mobil tiba-tiba tak bisa bergerak tanpa sebab. Mobil tak mau maju ataupun mundur meski sejengkal. Galih menginjak pedal gas sedalamnya tapi mobil tetap tidak bisa bergeser. Mesin mobil meraung-raung, hutan belantara yang sunyi menjadi berisik.
"Lih, kenapa?" Aku khawatir.
"Entahlah, kayak ada yang nyangkut. Mungkin ada yang mengganjal dibawah."
Situasi bertambah memburuk tatkala mesin mendadak mati. Galih berkali-kali menstarter tapi mesin tetap tak mau menyala. Ia mulai stress hingga butir-butir keringat membasahi wajahnya. Bahkan, deru napasnya mulai terdengar kencang.
"Lih, kenapa?"
"Hamboh.. mendadak mogok."
Aku dan Galih akhirnya turun dari mobil untuk memeriksa kondisi mesin. Cuaca dingin langsung terasa meresap ke dalam kulit sewaktu kaki menapak di atas jalan yang tak rata. Aku menyesal tadi tidak membawa jaket, tubuhku mulai menggigil. Pohon-pohon rindang serta berada di area perbukitan membuat udara jauh lebih dingin dibandingkan ibu kota kabupaten.
Retno dan pak Wardoyo juga ikutan keluar, meski kami sudah menyuruh mereka untuk menunggu saja di dalam. Hanya bu Lastri yang bersikeras di dalam. Ia juga berusaha menahan tapi ayah dan anak itu tak mau mendengarkan.
"Sumuk. Aku mau muntah," ujar Retno sambil melengos ke pinggir jalan.
Bu Lastri bergegas menyusul Retno, memijat tengkuknya, sedangkan pak Wardoyo menjauh ke arah rimbun belukar. Melihat gelagatnya, sepertinya lelaki setengah baya itu hendak buang air kecil.
Dengan wajah gelisah, bu Lastri membujuk Retno untuk kembali ke dalam mobil.
"Nak.. Ayo masuk. Tunggu di dalam saja."
"Pengap, bu. Aku tidak bisa bernapas."
Ibu dan anak itu terlibat keributan kecil dan aku pun medekat.
"Kenapa, bu?" tanyaku.
Bu Lastri celingukan melihat ke arah kami lewat tadi dengan wajah cemas.
"Gak apa-apa, Dib. Mungkin perasaan ibu saja. Sejak tanjakan tadi ada wajah menempel di jendela mobil. Wajah itu menghilang sewaktu mobil berhenti. Tapi sudahlah, jangan dipikirkan. Mungkin hanya halusinasi saja," ujarnya setengah berbisik.
Aku terdiam dan bulu tengkukku merinding. Karena tidak ingin membuat semua orang panik, aku hanya mengangguk dan melangkah ke arah Galih. Saat kulirik, Retno lagi-lagi membuang muka.
*****
Menggunakan senter handphone, aku membantu Galih memeriksa mesin mobil. Begitu kap terbuka, semuanya tampak normal. Tidak ada kabel yang terlepas, panel yang copot, atau radiator yang kering.
"Aneh, kok bisa mogok? Semua normal. Apalagi mobil ini rutin perawatan," ungkap Galih seraya menyeka keringat di wajah.
"Lih, apakah mungkin…"
"Mungkin apa?" potong Galih sinis dan nada sedikit meninggi.
"Ah sudahlah…" Aku mengurungkan niat dan berusaha berpikir positif.
Galih menyalakan rokok dan memberiku sebatang. Kami lantas bersandar di depan mobil, seraya menatap belukar di depan kami yang berselimut kegelapan. Dari belukar itu terdapat sebuah jurang yang cukup curam. Sedangkan di belakang kami berupa hutan belantara yang lebat. Dari arah hutan, terdengar suara anjing melolong panjang, bersahutan dengan suara burung hantu dan serangga malam.
"Dib, kalo aku jadi kamu, aku sudah lama melupakan Retno. Apalagi sekarang, ia jelas-jelas mengabaikanmu. Kenapa kamu gak ke Jawa aja sendiri dan melanjutkan hidup."
Mendengar penuturan Galih aku hanya tersenyum getir. Ada sesuatu yang sulit kuungkap meski pada sahabat sendiri.
"Lih, aku butuh jawaban. Apa yang terjadi dengan Retno bukanlah sesuatu yang wajar. Kau kan tahu, ada orang yang sengaja menjemputnya ke Jawa dan menjebaknya di sini. Aku ingin tahu siapa orang itu dan alasannya apa."
Galih tersenyum lalu menepuk pundakku, "budak cinta. Jika seandainya malam ini ritual kariau itu berhasil, dan Retno bisa pulih seperti sedia kala, apa kau akan tetap penasaran siapa pelakunya?"
Aku merenung sesaat, "gak. Aku akan melupakan semua dan memulai hidup baru bersama Retno."
"Dib, apa kau tak curiga dengan pak Wardoyo?"
Aku mendelik, menatap Galih dalam-dalam. "Maksudmu?"
Galih melirik ke arah bu Lastri dan Retno yang masih sibuk di tepi jalan, takut pembicaraan kami terdengar.
"Nduk, jangan jauh-jauh," teriak bu Lastri.
"Nggak, bu. Dekat-dekat bapak. Aku lapar mau cari makan," sahut Retno sambil melangkah.
"Apa kau tak curiga dengan kekayaan mereka. Kau sendiri bilang, mereka dahulu hanyalah pedagang kain biasa. Berpindah dari satu pasar malam ke pasar malam lainnya. Kemudian usaha mereka melejit. Berawal dari satu toko lalu melesat jadi juragan batik sukses," ucap Galih setengah berbisik.
"Maksudmu, pesugihan?"
"Sst.. Jangan kencang-kencang."
"Lalu, apa hubungannya dengan Retno?" desakku.
"Tumbal. Retno adalah tumbal. Ia menyembunyikan Retno ke Kalimantan agar terbebas dari tumbal. Namun, sesuatu sepertinya berakhir buruk."
Deg!
Perkataan Galih membuatku tersentak.
"Lih, jangan menuduh. Tak mungkin pak Wardoyo berbuat seperti itu."
Meski mulutku membantah, tapi batinku mengiyakan ucapannya. Apa yang ia sampaikan sepertinya masuk akal.
"Sudah, jangan dipikir. Hanya dugaanku saja, belum tentu benar. Sekarang kita periksa di bawah mobil. Mungkin tadi kita menabrak sesuatu," ujar Galih lagi.
Aku melangkah mengikuti Galih yang sudah berjongkok di samping mobil. Kami menyalakan senter handphone masing-masing, bersiap melihat benda apa yang mengganjal di bawah situ. Namun, sedetik kemudian niat kami urungkan. Dari kolong mobil terdengar suara-suara aneh.
"Dib, kau mendengarnya?"
Aku menajamkan kuping dan benar saja. Aku mendengar suara lirih, seperti suara decak mulut. Sepertinya ada orang yang sedang makan di bawah situ. Kami saling pandang, memegang handphone masing. Entah kenapa tengkukku terasa dingin dan nyaliku menciut.
Aku dan Galih terlonjak kaget, terdengar suara krasak krusuk di belakang. Serentak kami balik badan, pak Wardoyo berlari kecil mendekati kami. Bu Lastri yang berdiri di tepi jalan terlihat kaget. Ia lantas menyusul pak Wardoyo yang melangkah terburu.
Aku dan Galih berdiri, pak Wardoyo dengan wajah pucat dan napas tak teratur sudah di depan kami.
"Gimana, Lih? Mobilnya mogok? Kalau jalan kaki kira-kira masih jauh gak?"
Galih kebingungan dengan pertanyaan pak Wardoyo yang tiba-tiba.
"Lumayan pak. Sekitar lima kilo lagi. Kenapa?"
"Tadi ada yang memperhatikan di pojokan situ. Tapi begitu senter handphone diarahkan ke semak belukar, sosok itu menghilang."
"Salah liat barangkali pak. Gelap seperti ini, batang pohon memang bisa saja dikira setan," bantahku.
Pak Wardoyo menggeleng dan lututnya gemetar. Sepertinya ia sangat yakin bahwa baru saja melihat hantu.
Sejurus kemudian kami terperanjat, badan mobil mendadak berguncang-guncang. Bu Lastri menjerit karena saking kagetnya. Ia mencengkeram lengan pak Wardoyo sangat kencang.
Aku dan Galih menatap satu sama lain, mobil terhentak ke kiri dan kanan seolah ada tangan tak kasat mata yang mengangkat dan membanting. Lampu depan dan belakang mati menyala bergantian serta alarm berbunyi tanpa henti. Jalan yang sepi mendadak menjadi riuh.
"Oh Tuhan Yesus!" pekik bu Lastri.
Di kolong mobil ada sepasang kaki menjulur keluar dalam posisi menelungkup. Kaki penuh tanah dan bercak darah. Kaki itu bergerak, masuk ke kolong mobil dalam sekejap.
Sreeek…
…bersambung…
Terima kasih sudah membaca, sampai jumpa lagi di malam jumat. Tabe 😇🙏
jenggalasunyi dan 28 lainnya memberi reputasi
29
Kutip
Balas