- Beranda
- Stories from the Heart
Cerita Tentang Mereka
...
TS
netrakala
Cerita Tentang Mereka
Quote:
Awal Melihat Mereka
-Part 1-
“Bim, besok kamu mau kan tinggal sementara dirumah budhe?” ucap Sekar yang tidak lain adalah ibunya sendiri. “Kenapa memangnya Bu?” tanya Bima. “Besok seminggu kedepan, Ibu sama Bapak ada keperluan diluar kota, jadi kamu sementara seminggu ini tidur di rumah Budhe ya? Tidak apa-apa kan?” ucapnya sambil membelai rambut anak laki-lakinya.
Terbiasa dengan ditinggal kedua orang tuanya untuk bekerja, Bima tidak mempermasalahkan itu semua. Hanya anggukan yang dilakukannya sebagai tanda kalau dia setuju dengan apa yang diminta oleh wanita yang disebutnya sebagai Ibu.
*****
“Assalamualaikum” ucap Sekar saat sudah tiba dirumah kakaknya Yanti. “waalaikumsalam, sini masuk” ucap budhe mempersilahkan kami masuk kedalam rumahnya. “ini mbak, aku mau minta tolong seminggu ini, biar Bima tinggal disini ya, kasihan kalau dia dirumah sendirian” ucap Sekar yang langsung to the poin dengan maksud kedatangannya.
“Kamu ini, ya tidak masalah Bima mau tinggal disini selamanya, tapi kamu itu juga mesti bisa bagi waktu buat anakmu, bukan cuma kerjaan yang dipikirkan” tegur Yanti kepada adiknya tersebut.
Sedangkan Bima saat itu sudah disibukan dengan buku-bukunya. Memang Bima suka sekali dengan yang namanya membaca. Bahkan dia sudah meminta untuk dibuatkan ruang pribadi untuk koleksi buku-bukunya.
“Bim, nanti kamu pakai kamarnya Mbak Santi ya, kan sekarang dia sudah sama suaminya jadi kamar itu kosong” ucap Budhe disela-sela obrolan mereka. “Iya Budhe” hanya itu yang diucapkan Bima sembari masuk ke dalam kamar yang Budhe Yanti bilang. Sudah terbiasa dengan semua ini, tidak ada rasa canggung yang muncul dari diri Bima.
“Kamarnya belum dibersihkan ya Budhe?” Kata Bima yang menjulurkan kepalanya menghadap ruang kearah dimana Ibu dan kakaknya sedang berbincang. “belum Bim, sebentar nanti Budhe bersihkan” ucapnya sambil lalu. “Biar Bima aja yang bersihin Budhe” katanya sambil keluar untuk mengambil perlengkapan untuk membersihkan kamar tersebut. Sedang Budhe dan Ibu hanya mengiyakan apa yang ingin Bima lakukan.
Sudah beberapa waktu Bima membersihkan kamar tersebut, masih terdengar obrolan diantara kedua wanita kakak beradik itu. “Bim, Ibu pulang dulu yaa jangan bandel kamu disini” ucap Sekar berpamitan dengan anaknya. “Bima sudah besar Bu, tau apa yang harus dilakukan” ucapnya sembari menerima uluran tangan Sekar.
Saat ini memang Bima sudah menjadi siswa SMA walau baru kelas 1 tetapi dengan sifatnya yang pendiam membuat dia terlihat lebih dewasa. Mungkin karena keterbiasaannya mandiri membuat dia tumbuh menjadi pribadi yang jauh lebih tangguh dari penampilannya.
Malam sudah beranjak, bulan sudah menampilkan cahayanya yang sendu. Bima memang hobi duduk sendiri melamun merasakan kesunyian. Baginya sungguh kenikmatan yang tidak bisa ia dapatkan dari hal lainnya.
“Kamu ngerokok Bim” sapa Pakdhe Wawan yang sudah duduk di sebelah Bima. “iya Pakdhe, cuma Ayah sama Ibu tidak tau kalau Bima merokok” ucap Bima memberikan senyum simpul. “kamu ini Bim, masih kecil kok sudah merokok” tegurnya.
“Kamu kesepian ya Bim, kalau kamu memang mau tinggal disini terus, Pakdhe juga tidak masalah, sekalian malah bisa jadi temennya Pakdhe” ujar Pakdhe Wawan yang ikut menyalakan sebatang rokok.
Memang Pakdhe dan Budhe belum diberikan kesempatan untuk memiliki anak laki-laki, ke 3 anaknya semua perempuan. Mungkin Pakdhe merasa butuh teman sesama laki-laki untuk saling bercerita nantinya.
“Sudah biasa Pakdhe, Ayah dan Ibu sibuk dengan kegiatan mereka. Ya Bima sudah tidak mempermasalahkan itu semua” ujar Bima yang masih suka memandangi bulan yang ada diatasnya. Mendengar itu semua Pakdhe hanya tersenyum dan beranjak kembali masuk kedalam rumah.
Semilir angin malam terasa lembut menerpa tubuh Bima, malam makin larut ia masih saja betah dengan posisinya dari tadi. Entah malam ini terasa begitu aneh, seolah dia sedang menantikan sesuatu, sesuatu yang memang sudah lama ingin bertemu dengannya. Menyadari bahwa sudah terlalu lama dia duduk disini, Bima beranjak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan sebelum tidur.
Kreeeekkkk….. terdengar suara pintu yang dibuka tepat didepan Bima. Heran karena dia sama sekali belum menyentuh pintu tersebut, dilihatnya juga tidak ada siapapun didalam kamar itu. Bima mencoba untuk memeriksa siapa tau ada tikus yang masuk kedalam kamarnya, karena tidak mungkin angin bisa mendorong daun pintu yang tertutup rapat.
Sudah 10 menit Bima mencari-cari penyebab dari kejadian tadi, tapi tidak satupun hewan yang ditemukannya. "Mungkin memang angin, atau tadi aku nutupnya kurang kenceng” batin Bima sambil merebahkan tubuhnya. Lelah dengan aktivitas yang dilaluinya seharian, Bima langsung bisa terlelap menuju alam mimpi.
Entah apa yang terjadi tiba-tiba Bima tersentak terbangun, badannya tidak bisa digerakan. Tubuhnya kaku namun matanya benar-benar terbuka lebar. Yang lebih mengagetkan lagi, dia melihat ada sosok hitam kurus yang sedang jongkok berada tepat di sisi badannya.
Satu tangan panjangnya memegangi bagian bawah satu tangannya memegangi bagian atas tubuh Bima. Bentuk makhluk itu tinggi besar, dengan warna kulit hitam legam, kuping yang runcing dan memiliki mata merah menyala.
Takut dengan apa yang dia liat, Bima seketika memejamkan mata. Tubuhnya masih tidak bisa bergerak. Nafasnya memburu dan hanya doa yang bisa dia ucapkan dalam hati. Teriak pun dia tidak bisa mulutnya benar-benar terkunci. Hingga dalam sekali sentakan akhirnya Bima bisa bergerak, nafasnya masih memburu, tubuhnya basah oleh keringat.
“Astaghfirulloh, Astaghfirulloh, apa itu tadi” ucap Bima yang masih ketakutan dengan apa yang dia lihat barusan. Jelas tadi bukan mimpi, sosok itu benar-benar nyata. Dilihatnya jam sudah menunjukan pukul 2 dini hari. Kembali dia membaringkan badannya, bayang-bayang sosok tadi masih tertera jelas dalam ingatannya. Kembali tidurnya terasa tidak nyaman, dia memimpikan sesuatu yang aneh, bertemu dengan kakek-kakek yang bisa terbang, manusia setengah hewan dan yang lainnya.
Paginya dia terbangun dengan badan yang cukup panas, sejenak dia ingin bangun untuk bisa pergi kesekolah, namun baru saja dia beranjak. Kepalanya begitu berputar hingga dia menabrak kursi dan terjatuh.
“Astaghfirulloh,kamu kenapa Bim?, badan kamu panas banget” ucap Budhe Yanti yang mencoba membangunkan Bima untuk kembali ketempat tidur. “Gak tau budhe, tiba-tiba badan Bima gak enak rasanya, buat berdiri pusing,” ucapnya dengan lirih. Huek…huekkk… seketika Bima muntah, tetapi yang keluar hanya cairan bening. Melihat itu semua Budhe Yanti segera memanggil suaminya.
“Kita ke dokter sekarang” ucap Pakdhe yang melihat kondisi Bima begitu pucat dan panas. Kawatir dengan ponakannya mereka berdua lantas langsung pergi menuju rumah sakit. Sedang Bima di jok belakang hanya bisa mengerang karena badannya begitu panas. Sesekali dia membuka mata, dilihatnya sepanjang jalan banyak sekali makhluk aneh yang dia liat.
Setelah sampai di rumah sakit keadaan Bima tidak jauh lebih baik, dia hanya bisa menutup matanya. Baru kali ini dia melihat begitu banyak hal-hal diluar nalar. “apa yang sebenarnya terjadi dengannya, apakah ini semua halusinasinya?” batin Bima. Kepalanya benar-benar pusing dan serasa hampir meledak.
Setelah masuk UGD Bima langsung mendapatkan perawatan, beberapa kali suster keluar masuk membawa beberapa barang seperti infus dan lainnya. “bagaimana kondisi Bima Dok?” tanya Budhe yang masih terlihat kawatir dengan kondisi Bima.
“Tidak ada yang perlu dikawatirkan, Bima hanya kecapean, untuk sementara bisa rawat jalan dan tidak boleh terlalu banyak pikiran ya” ucap salah satu dokter yang memeriksa Bima, namun tetap Bima harus menghabiskan 1 kantung infus sebelum diperbolehkan pulang. Seharian dia tidak berani membuka mata, bahkan ketika diajak bicara oleh budhenya.
“Pakdhe dimana, budhe?” tanya Bima masih dengan memejamkan matanya. “lagi beli makan Bim, kamu kenapa masih merem gitu? Pusing?” ujar Budhe Yanti. “iya budhe, tiap matanya dibuka seperti melayang-layang” kilah Bima yang tidak mau menceritakan apa yang dilihatnya. “itu Pakdhe uda balik, abis ini Budhe pulang duluan ya, kasian kakak mu kalau dirumah tidak ada orang” ucapnya. “Iya Budhe, maaf merepotkan” kata Bima dengan sedikit membuka matanya.
“Pakdhe, ada yang mau Bima ceritakan” ujar Bima setelah Budhenya pergi meninggalkan mereka berdua, Bima langsung mencerikatan kejadian yang dia alami. Dia yakin Pakdhe akan lebih bisa dengan bijak menerima apa yang Bima ceritakan.
“Serius kamu Bim?” ucap Pakdhe Wawan yang masih antara percaya dan tidak percaya dengan apa yang Bima tuturkan. “Benar Pakdhe bahkan saat ini… entah kenapa aku bisa melihat mereka” kata Bima yang masih terlihat ketakutan dengan sekitarnya.
Pakdhe Wawan sejenak berfikir, prihatin dengan apa yang terjadi dengan keponakannya segera dia membuka Handphone dan keluar ruangan untuk menghubungi seseorang. Kembali Bima memejamkan matanya. Selang beberapa menit terdengar tirai disibakan, dan seseorang berjalan menuju brankar Bima. Mengira itu Pakdhenya Bima segera membuka mata untuk meminta segera pulang.
Tetapi betapa terkejudnya dia, yang dia lihat adalah sosok laki-laki dengan muka hancur penuh darah, lehernya patah dan matanya hampir keluar. Seketika Bima teriak dengan kencang, buru-buru suster yang ada disana mendatangi Bima yang histeris sambil menunjuk-nunjuk sosok yang tidak bisa mereka lihat.
“Bima kamu kenapa? Bim” ucap Pakdhe yang langsung berlari masuk ke dalam ruangan. “Bima mau pulang pakdhe, sekarang Bima mau pulang” kata Bima histeris. Karena memang kondisi Bima yang baik-baik saja, akhirnya setelah selesai menyelesaikan administrasi Bima diperbolehkan untuk pulang.
“Kita mampir ke tempat temen pakdhe dulu ya Bim, kamu kuat kan?” ujar Pakdhe sambil menyetir mobilnya. “Kuat pakdhe asal jangan kerumah sakit” kata Bima yang masih ngeri dengan kejadian yang dia alami. Bahkan di dalam mobil pun dia masih sering memejamkan matanya.
Entah sudah berapa lama mereka mengendarai mobil dan menembus jalanan. Hingga terasa mobil yang mereka tumpangi mulai melambat, Pakdhe sudah menghentikan dan memarkirkan mobil di salah satu rumah yang cukup modern dan megah.
Terlihat laki-laki paruh baya sudah menunggu mereka di teras rumah, “Assalamualaikum, Rif” salam Pakdhe Wawan kepada temannya, “Waalaikumsalam, silahkan duduk kalian” ucap Pak Arif.
Kulihat suasana rumahnya begitu sejuk, ada beberapa sosok yang sedang berdiri mengawasi mereka tapi bentuknya sama saja dengan manusia, bahkan Bima pikir itu adalah manusia biasa sampai salah satu dari mereka berjalan menembus dinding.
“Liat apa nak?” ujar Pak Arif yang mengikuti arah pandang Bima. “Eh tidak Pak, maaf” ucap Bima yang tidak enak jika terlihat tidak sopan. “jadi ini keponakanku Rif semalam dia…” kemudian Pakdhe menceritakan apa yang sudah terjadi kepaku.
“yah, memang ada sesuatu yang unik dari anak ini Wan, dan… aku sendiri tidak bisa menutup mata batin yang sudah terbuka, sosok yang kamu.. dia temui itu salah satu penjaga dari keluarganya, dan memang itu sudah menjadi perjanjian dari leluhurnya dengan sosok tersebut” jelas Pak Arif.
“Perjanjian?” Ucap Pakdhe Wawan, “ Iya leluhurnya punya perjanjian, bahwa dia harus menjaga anak turunannya hingga yang terakhir” Kata Pak Arif.
Buat Agan-agan yang mau baca duluan bisa langsung mampir ke Karyakarsa ya.
https://karyakarsa.com/netrakala/cer...-mereka-gendis
ryothomas01987 dan 19 lainnya memberi reputasi
20
3.1K
Kutip
72
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.7KAnggota
Tampilkan semua post
TS
netrakala
#32
Cerita Tentang Mereka Part 3 bag 2
Quote:
“Hentikan, sudah cukup, kalian melukainya” ujarnya sambil menghentikan teman-temannya yang sedang memukuli bocah wanita itu. “Sekarang kamu jadi pembela pribumi, Willem. Apa kamu juga berniat menjadi salah satu dari mereka?” kata salah seorang siswa yang dekat dengan mereka. “Tidak ada urusannya dengan itu semua, kalian sudah keterlaluan” ujar Willem saat ini yang sudah jongkok di sebelah gadis cilik itu.
“Pergilah, atau kubuat kakimu patah” ancam Willem dengan tatapan yang tajam. Tidak ada yang berani menentang, siapa yang berani dengan Willem, anak dari salah satu pembesar didaerah mereka. Kerumunan itu bubar dan hanya menyisakan mereka berdua. “Siti, kamu tidak apa-apa?” katanya sambil membantu gadis kecil yang dia panggil Siti. “Tidak apa!!!, kamu pergilah!, nanti mereka akan semakin mempermainkanku” kata Siti dengan tatapan penuh dengan rasa dengki.
“Baik, lain kali aku tidak akan menolongmu lagi” ujar Willem sambil beranjak kembali ke bangkunya.
Adegan berganti, kali ini Bima sedang berdiri diluar kelas. Dilihatnya ke dua bocah tadi sedang duduk mendiskusikan sesuatu. Begitu mencolok, si bocah laki-laki dengan kulit seputih susu, rambut berwana coklat muda sedang si gadis berkulit gelap dengan rambut berwarna hitam terurai.
“Ternyata kamu pandai juga Siti, siapa yang mengajarimu?” kata Willem. Saat itu mereka duduk dibawah rindangnya pohon Tanjung yang memang mendominasi tempat tersebut, sesekali Willem mengerjapkan mata saat sinar matahari menyorot mengenai bola matanya yang berwarna biru cerah. “Aku membaca dan berlajar” ucap Siti yang masih setia pada buku yang dia pegang. Willem berberapa kali berdecak kagum dengan hasil pekerjaan Siti.
“Willem?” ujar Siti setelah beberapa saat terdiam. “Ya?” “kenapa kamu mau berteman denganku?” ucap Siti yang masih tertunduk seolah-olah melihat tulisan dari buku yang ia baca. “Kenapa? hanya karena ingin kurasa” jawab Willem tersenyum sambil memandang Siti dari samping. “Ohhh....” hanya itu yang Siti ucapkan.
Melihat senyum Willem, jantung Siti merasa berbebar. Teringat bagaimana Willem selalu mencoba untuk menolongnya disaat teman-temannya berbuat seenaknya, membulinya hanya karena dia seorang pribumi.
Ada perasaan nyaman yang muncul saat dia dekat dengan anak tuannya itu. Memang kedua orang tua siti bekerja untuk Ayah Willem, sudah puluhan taun mereka mengabdi, karena kesetiaan mereka maka Siti diberikan ijin untuk bisa bersekolah disini.
Adegan tiba-tiba berganti lagi, kali ini Bima berdiri disebuah rumah yang cukup besar. Terlihat ada beberapa orang yang sedang bertengkar. “Tidak tolong, hentikan, dia tidak bersalah” ucap Willem mengiba kepada orang tuanya.
“Apa istimewanya gadis ini willem, sampai kau membelanya setengah mati” ujar salah seorang pria yang berdiri tepat di depan Willem. “Tidak, aku hanya berteman dengannya, tolong” kata Willem yang sudah memohon untuk membebaskan gadis kecil yang saat ini sudah terlihat lemas.
Badannya penuh dengan luka memar, beberapa darah sudah mengering, bahkan sesekali masih terdengar rintihan kesakitan dari gadis itu. Ayah Willem memang terkenal dengan keangkuhan dan kekejiannya. Tidak pandang bulu, siapa yang berani dengannya pasti akan langsung mendapatkan ganjaran.
Seperti saat ini, Siti sedang meringkuk kesakitan. Sudah beberapa waktu ini dia disiksa dengan keji, hanya karena berinteraksi dengan anaknya Willem.
“Kamu tidak apa-apa ?” ucap Willem saat Papanya sudah pergi dari hadapan mereka. Siti hanya mengerang dan menggeleng. Takut dengan Willem, dia mencoba menghindar saat bocah laki-laki itu mencoba menolongnya. “Pergilah, aku sudah cukup merasakan ini semua” kata Siti lirih.
Adegan berubah lagi, terlihat kali ini riuh orang-orang disekitar rumah itu. Beberapa dari mereka terlihat panik dan khawatir. Bima mendekat, kali ini yang dilihatnya Siti sudah dalam posisi menungging, kedua tangannya terikat pada balok kayu yang membentang secara horisontal. “sudah kuberi tahu untuk tidak mendekati Willem” teriak salah seorang laki-laki.
Sementara Siti hanya bisa menangis dan meratap. Dilihatnya kali ini Willem hanya berusaha untuk membebaskan diri dari orang yang sedang memeganginya. “ Tolong, tolong itu salahku, jangan dia jangan” ucap Willem serak.
“maafkan aku” dengan sekali tebas, kepala bocah itu terjatuh dengan bunyi Dug pelan di tanah rerumputan. Darah mengucur hebat dari leher gadis kecil tersebut. Sedang Willem masih teriak-teriak melihat kejadian yang terjadi didepan matanya.
“Bim..Bima... kamu kenapa, bangun Bim” ujar Panji panik saat melihat Bima teriak-teriak meminta tolong. Dilihatnya kali ini teman-temannya sudah mengelilinginya, badannya bergetar hebat tidak terkendali nafasnya memburu dan masih meronta-ronta saat di pegangi oleh Panji.
“Hoeeek....hoeeek....” seketika Bima muntah dengan hebat, kejadian yang baru saja dia alami benar-benar terasa nyata. Tubuhnya masih gemetar hebat, “Bima, kamu kenapa,.... ayo hey bantu teman kalian, bawa ke UKS dulu” perintah Pak Hanif salah seorang guru yang sedang mengajar waktu itu.
Dipapah oleh Panji dan dan Pak Hanif menuju UKS, Bima terlihat lemas kakinya tidak kuat untuk melangkah, pikirannya masih melayang dengan kejadian yang barusan dia liat.
“Saya ke ruang Guru dulu, hubungi orang tua Bima. Kamu tungguin Bima ya” pinta Pak Hanif sambil berlalu kelur ruangan. Panji sedari tadi hanya melihat keadaan Bima. Dilihatnya mata Bima masih tidak terfocus, badannya masih gemetaran bahkan keringat masih keluar dibagian pelipisnya.
“Kamu Kenapa Bim?” tanya Panji. Menoleh sesaat, Bima kembali memejamkan mata. “jauh lebih buruk Ji” ujar Bima lirih. “itu seperti... tidak... tidak seperti mimpi, aku seperti ada di waktu kejadian itu” Bima merepet dengan tidak jelas.
“Kamu ngomong apa Bim?” ucap Panji kebingungan. Sedang Bima masih terus menghela nafas, mencoba menenangkan diri. Kejadian dimana dia melihat kepala gadis kecil itu ditebas membuat Bima benar-benar terguncang.
“Ini minum dulu” kata Panji sambil menyerahkan sebotol air mineral. Setelah dirasa tenang, Bima mulai menceritakan saat dia tertidur didalam kelas tadi....
“Sumpah Bim?” ujar Panji yang sekarang juga terlihat panik. “Terus gimana, beneran kamu liat sosok itu?”. Bima hanya mengangguk dengan apa yang Panji katakan. Dia sendiri bingung dengan semua rentetan kejadian ini.
“Pak Arif” ucap Bima lirih, “siapa Bim?” “Pak Arif, Ji, teman dari Pakdhe ku, dia orang yang bisa dengan hal-hal seperti ini”
“Maksudmu? Kamu mau bertemu dengan dia?” tanya Panji “Rumahnya dimana?”, “Aku lupa jalan kearah rumahnya, yang kuingat cuma masuk kesebuah kampung, kampung Linggono” ucap Bima sambil mengingat-ingat jalan yang dilalui bersama Pakdhenya kemarin.
“Itu jauh Bim dari sini, lebih baik kamu istirahat dulu, nanti setelah kondisimu sudah baik baru kita pikiran untuk kesana” ujar Panji.
Seharian itu Bima hanya duduk rebahan di UKS, sempat Pak Hanif menawarinya untuk pulang. Tapi karena kondisi rumah Budhe yang juga tidak ada orang, Bima memilih untuk sementara beristirahat di UKS. Dia tidak mau mengambil resiko bertemu dengan wanita berkebaya Hitam itu di saat kondisinya seperti ini.
“Kalaupun itu mimpi kenapa terasa nyata” batin Bima yang masih teringat kejadian yang dilaluinya. “Siapa Willem?, siapa Siti? Kenapa aku diperlihatkan kejadian naas itu”
Tok...tok...tok... terdengar ketukan dari arah pintu yang membuyarkan lamunan Bima, tanpa menunggu jawaban Panji sudah masuk dan duduk disebelah Bima.
“Pulang aku antar Bim, aku minta dijemput sama Pak Slamet” ucap Panji. Mengangguk Bima segera beranjak untuk pergi meninggalkan sekolah bersama Panji.
*****
Sesampainya dirumah Budhe, rumah itu terlihat sepi, mobil yang biasa terparkir di garasi rumah juga tidak ada. “Belum pulang ya?” batin Bima saat mengecek jam tangannya yang sudah menunjukan pukul 3 sore.
Awalnya memang Bima merasa was-was untuk masuk kedalam rumah, takut jika harus bertemu dengan sosok wanita itu lagi. Tapi badannya begitu lelah dan ingin segera di rebahkan. Memantapkan diri, Bima akhirnya mengambil kunci yang ada di pot dan membuka pintu rumah tersebut.
Baru selangkah dia masuk kedalam rumah, semerbak bau bunga melati sudah masuk kedalam indera penciumannya. Sempat ragu untuk melangkah lebih jauh, tapi badannya benar-benar terasa letih ingin sekali dia merebahkan diri diatas kasur yang empuk.
Nekat, Bima melangkah masuk. Buru-buru dia pergi ke kamar mandi tanpa menengok kanan kiri. Bahkan saat melewati kamar Mbak Maya yang sedikit terbuka, dia memilih untuk mempercepat langkahnya. Dia tau ada sosok wanita didalam kamar tersebut.
Terengah, dia sudah berada didalam kamarnya. Dia selalu merasa aman disini. Seolah ada perlindungan yang tidak terlihat yang membuat mereka tidak bisa masuk kedalam kamarnya itu. “Bim, Bima kamu uda pulang Bim” terdengar sapaan Budhenya dari arah luar kamar.
Lega, karena ada orang lain didalam rumah ini Bima sedikit merasa rileks. “Iya Budhe, ini baru aja dateng” ucapnya. “yauda makan dulu Bim” ujar Budhe dengan suara langkah kaki menjauh dari kamar Bima.
Tidak enak jika harus diminta 2 kali, Bima beranjak menuju meja makan. Budhenya sudah duduk disana dengan raut wajah datar. “Mbak Maya sama Pakdhe kemana, Budhe?” tanya Bima yang sudah duduk di meja Makan. “Lagi keluar, sebentar lagi pulang kok, kamu makan dulu” ujarnya.
Ada yang aneh, Budhenya jarang sekali senyum senyum sendiri melihat Bima, seolah tatapannya kosong. Lagi pula sejak kapan Budhe suka menelengkan kepalanya kekanan dan kekiri. “Iya Budhe, Bima masih kenyang” ucap Bima.
Greee... greeek... greeek.. terasa Hp yang ada dikantung Bima bergetar. Didengarnya, Budhe kali ini dia sedang bersenangdung lirih dengan bahasa yang tidak Bima pahami. Penasaran siapa yang mengiriminya pesan segera Bima membuka Hp tersebut. “ Bim, Budhe sama yang lain, pulang agak sore, makanan sudah Budhe siapkan, kamu makan dulu aja” Deg.... pesan itu berasal dari Budhe.
Kalau Budhenya sedang pergi, siapa yang ada didepan Bima saat ini. Perlahan Bima mengangkat kepalanya, betapa kagetnya dia, sosok Budhe sudah berubah menjadi wanita berkebaya hitam yang selalu mengikuti Mbak Maya.
Tersenyum sosok tersebut melihat kearah Bima, “Soyo wangi wae ambumu cah” ( Makin wangi saja baumu nak ) ucapnya dengan masih menelengkan kepalanya kekanan dan kekiri. Kaget Bukan main Bima berlari menuju kamarnya. Suara tembang lagu jawa yang dia dengar semalam terdengar lagi ditelinganya dibarengi dengan aroma bunga melati yang menguar hebat.
Setres dengan kejadian beruntung yang Bima alami, kali ini dia hanya bisa meringkuk berharap Budhe dan yang lainnya segera pulang. Berfikir untuk menghubungi Panji tapi hpnya terjatuh saat dia kaget melihat sosok wanita itu.
“Bima, cah bagus, sek kuat, ojo kalah karo barang ora enak” ( Bima, anak ganteng, yang kuat, jangan kalah sama yang tidak baik ) terdengar suara laki-laki itu. Suara yang selalu menentramkan Bima saat kekalutan dan ketakutan menghantuinya.
Berulang kali Bima berdoa dan menghela nafasnya agar bisa tenang. Suara tembang jawa masih terdengar dari arah luar. Entah sudah berapa lama dia tidak tau, tidak berani untuk menengok jam yang terpasang di dinding kamarnya.
Waktu terasa begitu lama, hingga terdengar deru suara mobil yang masuk kedalam carport rumah itu. Sesaat Bima tidak menggubris, takut itu hanya tipudaya mereka agar Bima kembali keluar kamar.
“Assalamualaikum” terdengar suara Budhe dan beberapa orang yang masuk kedalam rumah. Lega sungguh lega, Bima langsung beranjak dan membuka pintu kamarnya. Benar itu adalah Budhe dan yang lainnya.
“Waalaikumsalam, gimana Mbak May uda sehat?” kata Bima yang langsung menyalami Budhe dan Pakdhenya. Sedangkan Mbak Maya justru terlihat aneh, tanpa mengucapkan apa-apa dia langsung beranjak menuju kamar tidurnya.
Buat Agan-agan yang mau baca duluan bisa mampir ke Karyakarsa ya.
https://karyakarsa.com/netrakala/kisah-tentang
habibhiev dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Kutip
Balas
Tutup