- Beranda
- Stories from the Heart
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
...
TS
benbela
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan

Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi bikin thread di kaskus setelah mendapat bisikan dari @makgendhis. Cerita kali ini ane angkat dari pengalaman temannya bini ane yang punya pengalaman agak ngeri-ngeri sedap di tanah Borneo. Beberapa hal ane samarkan demi privasi pihak tertentu.
Jadi, ceritanya bakal ane bongkar pelan-pelan.
Quote:
Dilarang memproduksi ulang cerita ini dalam bentuk tulisan/ audio/ audio visual tanpa ijin penulis. Semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan bisa menghargai karya orang lain. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-12-2023 08:33
jenggalasunyi dan 64 lainnya memberi reputasi
65
26.5K
Kutip
308
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
benbela
#114
Quote:
Bab 10 : Lelaki Misterius
"Masih hidup?" sergah pak Wardoyo tak percaya.
Mina Kurik tak langsung menjawab. Ia menatap lurus ke arah Retno yang terbaring lemah. Ia tampak prihatin atas nasib yang menimpa tunangangku itu.
"Pelakunya masih berkeliaran di luar sana, mengawasi gerak-gerik Retno dari kejauhan."
"Kenapa, mina? Kenapa ada orang yang tega mengikat Retno di sini? Apakah orang itu sangat membenci Retno?" cecarku kemudian.
Mina Kurik menggeleng, "Entahlah.. Kejahatan tidak muncul begitu saja. Suatu kejahatan, kerap kali diawali oleh kejahatan lainnya. Apalagi, jika sudah menggunakan ilmu hitam. Bisa jadi, ada perbuatan atau kata-katanya yang membuat orang lain sakit hati dan menyimpan dendam."
Ucapan mina Kurik benar-benar menohok dan menyudutkan. Retno yang kukenal, bukanlah wanita judes atau galak. Tutur katanya lembut dan tingkah lakunya sopan. Layaknya wanita Jawa pada umumnya. Rasanya, tak mungkin ada tingkah lakunya yang bisa membuat orang lain sakit hati.
"Sudah waktunya kami permisi. Nanti akan kulihat keadaannya, mungkin ada sesuatu yang bisa kulakukan."
Mina Kurik dan haji Barkat lantas berlalu, menulusuri lorong rumah sakit yang sepi lalu menghilang di balik salah satu gedung yang berwarna putih pucat.
*****
Pukul 06.00 pagi aku dan Galih sudah kembali ke mess. Sebenarnya tubuhku masih lelah akibat kurang tidur, ditambah lagi tidur seadanya di lantai yang dingin. Selain kami, juga ada beberapa keluarga pasien lainnya yang setia menunggu keluarga mereka yang sakit.
Berbeda dengan rumah sakit di kota besar yang punya jam besuk, di sini sepertinya bebas jam kunjung. Lagi pula, kalau bukan keluarga pasien, siapa lagi yang bisa mengantarkan mereka ke wc atau menyediakan makan dan minum saat tengah malam.
Kami tidak lama di mess Galih, hanya mandi dan ganti baju. Setelah itu kami kembali lagi ke rumah sakit. Rencananya ayah dan ibunya akan bergantian menjaga Retno, lalu mereka akan bergantian mandi dan ganti pakaian di kontrakan. Namun, sewaktu aku dan Galih tiba di depan ruang inap, kami sempat mencuri mendengar perbincangan mereka yang sedikit mencurigakan.
"Bu, jika itu yang terbaik, aku sudah siap untuk menukar nyawaku demi Retno," kata Pak Wardoyo lirih.
Perbincangan terhenti saat mereka melihat kedatangan kami. Mereka tampak gelagapan, seolah ada yang disembunyikan. Mereka bergegas menyapa. Galih melirik, tapi aku pura-pura tak tahu.
"Lih, kamu antar ibu dulu, ya. Ibu mau mandi dan ganti pakaian. Biar Dibyo sama bapak di sini dulu. Nanti, setelah itu baru bapak yang gantian mandi."
Setelah mereka pergi, aku dan Pak Wardoyo menunggu Retno yang belum terbangun dari tidur. Aktifitas pagi lumayan ramai. Sebagian besar pasien ternyata berasal dari kecamatan atau desa sekitar.
Tak berapa lama, seorang perawat mengajak kami ke ruangan manajemen. Ternyata di sana sudah ada beberapa orang polisi, beberapa petinggi rumah sakit, serta pihak keluarga dari mayat yang dini hari tadi dagingnya dimakan Retno.
Pihak keluarga mayat tak terima atas perlakuan Retno dan berniat menempuh jalur hukum. Untung saja, pihak rumah sakit menengahi. Sepertinya mereka juga tak mau reputasi mereka hancur dan tersebar ke media. Kami akhirnya sepakat memberikan kompensasi dan masalah diselesaikan secara kekeluargaan. Prosesnya pun lumayan cepat, setelah Pak Wardoyo menstranfer sejumlah uang, kami menandatangani surat pernyataan damai.
"Bagaimana? Sudah beres?" tanya Galih ketika kami tiba di ruangan rawat.
"Puji Tuhan, Lih. Semua bisa diselesaikan baik-baik. Tapi, lumayan mahal kompensasinya. Yeaah…gimana lagi. Yang penting beres."
Galih terlihat lega seraya menepuk pundakku.
Ternyata ia dan bu Lasti baru saja sampai, dan sempat kebingungan ketika melihat kami tidak ada. Setelah itu, giliran pak Wardoyo yang diantar Galih ke kontrakan Retno.
*****
Tidak banyak hal yang kuperbincangkan dengan bu Lastri, hanya seputar masalah yang menimpa Retno. Ia juga menanyakan kabar orang tuaku, yang kujawab bahwa aku selalu mengabari mereka tentang kondisi yang kami alami di Kalimantan.
Retno terbangun sewaktu perawat mengganti infusnya yang sisa beberapa tetes. Wajahnya masih pucat, tapi tidak ada lagi raut wajah seperti orang linglung. Dengan lunglai aku keluar ruangan, tak ingin penyakit Retno kumat lagi.
"Sing sabar, yo, Dib," tandas bu Lastri dengan raut wajah tak enak.
"Nggeh, bu. Gak apa-apa. Yang penting Retno lekas sehat," jawabku dengan senyum getir.
Aku terpaksa menunggu di selasar, memperhatikan bu Lastri merawat Retno penuh kasih sayang. Aku termenung, memikirkan segala hal yang telah menimpa kami. Kini, kami hanya bisa mengandalkan mina Kurik, orang asing yang baru kami kenal. Alasannya mau membantu pun masih belum jelas, apakah tulus mau menolong atau ada maksud terselubung.
Tak berselang lama, Galih dan Pak Wardoyo sudah kembali. Mereka juga membawa beberapa bungkus nasi kuning untuk kami sarapan. Aku dan Galih rencananya sarapan di luar ruangan sedangkan Pak Wardoyo dan bu Lastri di dalam. Namun, tak seorangpun di antara kami yang berniat menyentuh makanan. Kami masih mual, teringat bagaimana Retno menyantap mayat dini hari tadi. Hanya Retno yang lahap disuapi ibunya.
Sesekali aku melirik, Retno tetap tak mengacuhkanku. Meski tak lagi marah, ia tetap menganggapku orang asing. Galih ternyata menangkap isi hatiku, ia menyuruhku bersabar hingga mina Kurik datang.
*****
Sekitar pukul 9 pagi, mina Kurik dan seorang lelaki muda berkaca mata hitam sudah tiba. Lelaki yang bersama mina Kurik ternyata menantunya. Ia berbadan gempal dan berperut buncit. Kutaksir, ia berusia awal 30an. Ia lantas memperkenalkan diri dengan nama Ilham.
Mina Kurik mendekati Retno yang terheran dengan kehadirannya. Sekilas, Retno terlihat normal dan hanya sakit biasa. Tak ada satupun tanda-tanda ia terkena sakit parah atau baru saja mengalami kesurupan. Mungkin, hanya orang-orang tertentu yang tahu ia terkena guna-guna atau ilmu hitam.
Bu Lastri mendekat, duduk di samping anaknya. Dibelainya rambut Retno dengan pelan seraya mengecup keningnya. Retno merangkul lengan bu Lastri, menyandarkan kepala di pundak ibunya.
"Nak, kamu semalam sakit tak wajar. Kalau bukan mina yang membantu, kamu mungkin sampai sekarang belum sadar. Apa kamu tak ingat, semalam mengamuk dan hampir mencelakai orang lain?" ucap bu Lastri lirih.
Retno terperanjat dan mengernyitkan dahi. Ia menatap bu Lastri dangan pupil membesar.
"Serius bu? Memangnya, apa yang sudah kulakukan? Aku hanya ingat kita hampir kecelakaan. Setelah itu, tiba-tiba aku terbangun di sini."
"Iya, nak. Untung ada mina. Ia telah banyak membantu dini hari tadi."
Retno menoleh ke arah mina Kurik dalam keadaan bingung.
"Nak, kau sudah lima tahun tak pulang ke Jawa. Kau ingat, apa yang terjadi?" tanya mina Kurik tanpa basa basi.
Retno menarik napas lalu menggeleng dan sorot matanya berubah sayu.
"Entahlah…aku juga bingung. Aku juga lupa kenapa aku bisa ke Kalimantan. Alasanku pergi dari Jawa, aku benar-benar tak ingat. Semua tampak samar. Setiap kali aku mencoba mengingatnya, kepalaku rasanya sakit seperti ditusuk jarum. Seperti ada tembok tebal yang menghalangi."
Retno mulai menerawang, mengumpulkan kepingan memori di benaknya.
"Aku hanya ingat ada seseorang yang membantuku kemari. Ia juga membantuku mencari kerja. Setelah itu, semua menjadi kabur. Aku tahu, aku punya orang tua di Jawa. Namun, setiap kali ingin mudik, entah kenapa aku mendadak sakit ataupun linglung. Aku lupa begitu saja pada ayah dan ibu. Rasanya aku seperti hidup di dunia mimpi."
"Yang membantumu, laki-laki atau perempuan?" cecar mina Kurik.
Retno menggeleng lemah.
"Kau ingat namanya? Atau ciri-cirinya?"
"Maaf mina, aku benar-benar lupa."
Mina Kurik menatap Retno dengan sorot mata penuh kecemasan. "Rupanya, bukan hanya rohnya yang ditawan. Ingatannya pun dihilangkan. Benar-benar kejam," gumamnya.
Kami yang mendengar terperangah. Setelah sempat hening, mina Kurik kembali bersuara.
"Kau punya tunangan. Kau punya calon suami yang kau tinggalkan begitu saja. Apa kau ingat?"
Retno tercengang, "tunangan?"
Mina Kurik mengangguk lalu menoleh kearahku. Retno juga menoleh, menatapku heran. Hatiku berdebar, sudah lama aku tak menatap mata indah itu. Andai ia tahu betapa aku terus merindukannya selama ini.
"Maaf, aku tidak ingat siapa dia." Retno memalingkan muka.
Hatiku kembali terasa sakit. Benar-benar remuk redam. Rasanya saat itu aku ingin teriak, tapi dengan segenap hati kutahan.
"Nak, sekarang kau turuti mina, supaya kita segera pulang ke Jawa," ujar bu Lastri seraya mengenggam jemari Retno.
"Carikan ember, ia akan muntah yang sangat banyak," perintah mina Kurik.
Tanpa diminta dua kali, aku sigap mencari ember di kamar mandi.
*****
Mina Kurik mengeluarkan sebotol air beras kuning dari dalam tas rotan, dan menuangkan ke dalam gelas kecil. Gelas itu kemudian ia serahkan kepada Retno.
"Habiskan!"
Retno sekilas ragu. Setelah melihat anggukan dari kedua orang tuanya, barulah ia meminum air itu sedikit demi sedikit hingga habis tak tersisa.
Kami menanti dengan gelisah reaksi air beras kuning tadi, dan benar saja. Retno menunjukkan gejala sakit kepala berat. Wajahnya mulai berkeringat dan napasnya terdengar ngos-ngosan.
Sedetik kemudian, ia muntah banyak sekali di dalam ember. Suara muntahnya membuat yang mendengar bergidik, seperti sapi yang digorok lehernya. Benar-benar kencang dan membikin ngeri yang mendengar. Para keluarga pasien lain terheran, tapi tak enak menegur.
Aku terbelalak, potongan demi potongan daging mayat berjatuhan ke dalam ember, lembek dan berwarna hitam pekat. Daging mayat itu bercampur dengan ludah, lendir, sisa bubur dan cairan kental. Yang lebih mengagetkan, muntahan Retno mengeluarkan
dua bongkah kapas berwarna hitam pekat
berbau busuk yang menyengat. Mina Kurik kaget bukan kepalang demi melihat kapas
yang bergumpal darah.
Orang-orang mulai memencet hidung, bau amis mayat menyeruak ke segala penjuru ruangan. Beberapa keluarga pasien malah ikutan muntah. Mereka berhamburan kesana kemari, ada yang ke wc dan ada yang ke selasar.
Pak Wardoyo memijat-mijat tengkuk anaknya, sementara bu Lastri semakin khawatir melihat keadaan Retno yang kian melemah.
Retno mulai kehilangan tenaga, matanya berair dan hidungnya kembang kempis. Isi perutnya telah habis keluar, hanya menyisakan cairan kuning bercambur darah.
Dengan sisa tenaga, Retno memegang erat sisi ranjang, menatap mina Kurik dengan tajam. Ia mengatur napas, ada sesuatu yang penting hendak ia sampaikan.
"Lelaki…aku ingat ada lelaki yang menjemputku di Jawa, lalu membawaku ke Kalimantan," ucapnya dengan suara parau dan napas tersengal.
Aku dan Galih saling lirik, mengira-ngira siapakah lelaki misterius itu.
…bersambung…
Terima Kasih sudah mampi. Insha Allah berjumpa lagi di malam senin.
Moon maap bila banyak komeng belum terbalas karena emang lagi hectic.
Trima kasih yg mendukung saya di karyakarsa. Semoga sehat selalu, murah rejeki dan dilimpahkan kebaikan dan dijauhkan dari marabahaya. 😇🙏
Yang ingin baca duluan, bab 11 dan 12 tersedia di link ini
👇👇
https://karyakarsa.com/benbela/mantr...ngikat-roh-bqb
jenggalasunyi dan 30 lainnya memberi reputasi
31
Kutip
Balas