- Beranda
- Stories from the Heart
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
...
TS
benbela
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan

Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi bikin thread di kaskus setelah mendapat bisikan dari @makgendhis. Cerita kali ini ane angkat dari pengalaman temannya bini ane yang punya pengalaman agak ngeri-ngeri sedap di tanah Borneo. Beberapa hal ane samarkan demi privasi pihak tertentu.
Jadi, ceritanya bakal ane bongkar pelan-pelan.
Quote:
Dilarang memproduksi ulang cerita ini dalam bentuk tulisan/ audio/ audio visual tanpa ijin penulis. Semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan bisa menghargai karya orang lain. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-12-2023 08:33
jenggalasunyi dan 64 lainnya memberi reputasi
65
26.5K
Kutip
308
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
benbela
#98
Quote:
Bab 9 : Mantra Pengikat Roh
"Ret…Retno…ini aku, Ret," bujukku.
Retno bergeming, ia tetap mengunyah daging mayat dengan rakus. Ia bahkan menggigit tiga jari sekaligus hingga percikan darah muncrat dan membuat mulutnya belepotan. Retno dengan santai mengunyah potongan jari itu lalu menelannya.
Aku merasa jijik, secepatnya keluar dari kamar mayat. Di pojok teras aku berjongkok, mengeluarkan isi perut. Aku muntah banyak sekali hingga hanya cairan kuning yang keluar. Tubuhku melemah dan perutku rasanya ditusuk, karena sudah tidak ada lagi isi di dalam perut.
Beberapa meter di samping, Galih dan beberapa orang yang tadi masuk ke dalam kamar mayat juga mengalami hal yang sama denganku. Mereka sama-sama jijik dan muntah sepertiku.
Sejurus kemudian, pak Wardoyo dan bu Lastri sudah tiba. Mereka menatapku terheran-heran.
"Dimana Retno?" tanya pak Wardoyo.
Aku tak sanggup menjawab karena masih merasa perih di perut, kecuali memberikan petunjuk dengan gerakan kepala dan tangan. Mereka berdua bergegas masuk dan aku menyusul sambil berpegangan pada tiang dan tembok.
"Aaaarrgggghhhh…"
Bu Lastri menjerit, lalu limbung dan hilang kesadaran. Aku dan pak Wardoyo bergegas menyambut tubuhnya sebelum membentur lantai lalu membawanya keluar ruangan. Beberapa orang bergegas membantu, membawa bu Lastri ke tempat aman.
Pak Wardoyo kebingungan, apakah terlebih dahulu menolong istri atau anaknya.
"Pak, jenengan temani ibu. Retno biar saya yang mengurus."
Aku bergegas kembali ke dalam kamar mayat, Retno masih di situ. Wajah dan tubuhnya telah penuh dengan cipratan darah mayat yang mengeluarakan bau anyir. Takut-takut aku mendekat, mengeluarkan rosario dan memegang kalungnya dengan tangan kanan sedangkan tangan kiriku menutup hidung dengan kerah baju.
"Dibyo, hati-hati. Jangan gegabah," tegur Galih dari belakang.
Aku mendekat selangkah demi selangkah dengan detak jantung tidak karuan. Kalung salib kuarahkan ke Retno dan ia seketika terdiam. Ia justru menatapku tajam dengan wajah seram. Bola matanya berputar, berubah hitam sempurna. Jujur, aku bergidik ngeri tapi tak ada pilijan. Retno hanya mematung, menanti gerakanku selanjutnya. Kepalanya bergerak pelan mengikuti gerakanku.
"Atas nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Enyahkanlah daripadanya segala kekuatan jahat…"
Retno justru tertawa kencang. Tertawa mengejek. Bulu kudukku merinding, doaku tak mempan. Retno tertawa semakin kencang. Kaca jendela bahkan bergetar akibat suara tawanya yang membikin kuping sakit. Aku dan Galih secara reflek menutup telinga.
Buuk…!
Retno melempar potongan tangan ke wajahku. Tak sempat menghindar, aku hempas dengan posisi kepala terlebih dahulu membentur lantai. Aku menjerit kesakitan, tapi segera terperanjat. Potongan tangan dengan daging goyak bergelinding persis hanya sejengkal di depan mukaku. Aku merasa ngeri sekaligus jijik.
Untung saja Galih dengan sigap menendang potongan tangan itu dan membantuku berdiri. Kepalaku mulai berdenyut dan sakit terasa di bagian belakang kepala. Tubuhku juga mulai terasa panas, menjalar dari tengkuk lalu ke dada dan seluruh badan. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa letih dan keringat dingin mulai membasahi badan.
"Grrrrgghhhhh…"
Keadaan bertambah mencekam ketika Retno menggeram bak anjing yang sedang marah. Ia bahkan mulai bertopang pada tangan dan kaki, benar-benar seperti anjing. Ia merangkak pelan, sementara giginya bergemelutuk karena ditekan sangat kuat.
Bruuk…!
Retno tiba-tiba melompat, menerjang ke arahku. Aku tersungkur, Retno mencengkram leherku sangat kuat. Aku tercekak, leherku mulai tersedak. Galih dan dua orang lainnya sekuat tenaga melepaskan cengkraman Retno. Sungguh di luar nalar, tenaga tiga orang dewasa tidak membuatnya goyah. Bahkan, Retno dengan mudah melempar mereka ke samping hingga mengeluarkan bunyi gedebuk yang cukup kencang.
Retno makin beringas, ia mencekikku semakin kuat. Kepalaku dibentur-benturkan ke lantai yang keras. Upaya perlawananku kian melemah, pipiku memerah dan dadaku bertambah sesak karena tidak ada oksigen yang masuk ke paru-paru. Pandanganku juga mulai berkunang-kunang. Retno benar-benar ingin membunuhku.
Buuk…!
Retno terpelanting ke belakang, sepasang tangan melempar tubuhnya hingga membentur tembok lalu hempas ke lantai. Retno kembali merangkak, hendak menerjang. Namun ia kembali mundur sembari berteriak. Tampaknya ia dicekam ketakutan yang luar biasa.
Di hadapanku sudah berdiri seorang wanita paruh baya dengan rambut sebahu. Ia mengenakan tas punggung yang terbuat dari anyaman rotan. Matanya nyalang menatap Retno yang merangkak mundur. Haji Barkat yang baru saja tiba membantuku berdiri. Sedangkan pak Wardoyo sudah kembali, mungkin ia yang mengantar dua orang ini kemari.
Galih dan dua orang yang tadi terlempar berdiri sambil menahan sakit. Wajah mereka meringis dan bibir mereka pecah mengeluarkan darah. Mereka terpincang, mengeluarkan sumpah serapah.
"Yaweh ikau? Balua!" ucap wanita tadi sembari terus mengawasi Retno. Ia melangkah mendekat dengan tenang hingga jaraknya hanya dua meter dengan Retno.
"Siapa kamu? Cepat keluar dari badannya!" kata wanita tadi sekali lagi.
Retno justru tertawa dengan sorot mata mengerikan. Urat-urat di wajah dan lehernya bahkan menonjol keluar. Ia kembali menggeram, tapi seakan takut untuk menerjang.
Lantaran tak mendapat jawaban, wanita paruh baya itu mengeluarkan sebotol air mineral ukuran sedang dari tasnya. Ia lantas komat-kamit membaca doa, lalu menyipratkan air tadi sedikit demi sedikit ke wajah Retno.
Retno menjerit, berteriak-teriak dengan bahasa yang tak kumengerti.
"Balasut…balasut…!"
"Keluar, atau kau akan terbakar." Wanita itu mengancam.
Retno seketika melemah, ia mengambil posisi duduk meringkuk dan bersandar di tembok. Wajahnya mengkerut seperti orang ketakutan, sedangkan sorot matanya kembali seperti semula tapi tatapannya kosong. Ia kemudian menangis bak anak kecil dan terus-terusan menggeleng.
"Keluar, ya. Kamu keluar. Kasihan dia."
Wanita itu terus membujuk, tapi Retno hanya menggelang sambil terisak.
"Aku mau di sini. Aku mau di sini. Hu…hu..hu…"
"Kau dari mana? Kau siapa?"
Retno lagi-lagi menggeleng. "Haus…haus…" ucapnya.
"Mau kopi?"
"Teh…teh manis…"
Wanita itu menatap kearahku, "carikan dia teh hangat manis."
Setelah meminta tolong kepada perawat, aku kembali membawa segelas teh hangat. Wanita tadi bergegas menyerahkannya kepada Retno.
"Setelah minum, kau harus keluar dari badannya!"
Retno mengangguk, lalu menenggak teh tadi hingga habis. Sejurus kemudian, Retno terkulai tak berdaya.
Wanita paruh baya yang datang bersama haji Barkat itu meminta kami memegangi Retno agar tidak terjatuh. Retno duduk berselonjor sedangkan aku memegang pundaknya dari belakang.
Entah apa yang dilakukan wanita itu, ia mengeluarkan sebuah kunyit dari dalam tasnya. Dengan santai ia menggigit kunyit itu hingga terpotong dan melempar dari mulut sisanya.
Ia tampak memejam mata lalu komat-kamit. Galih dan beberapa petugas jaga hanya diam, menyaksikan ritual aneh dukun itu. Potongan kunyit kemudian ia oles membentuk garis tanda tambah di dahi, telapak dan punggung tangan Retno.
"Ia sedang kelelahan. Biarkan ia beristirahat dulu," kata dukun itu.
Akhirnya Retno dibawa menggunakan kursi roda kembali ke kamar inapnya. Ia terpaksa dibaringkan di ranjang sebelahnya yang kebetulan kosong, lantaran di ranjangnya tergeletak bu Lastri yang masih pingsan. Seorang perawat kembali memasang infus yang tadi terlepas. Ia merengut, karena waktu istirahatnya terganggu.
"Hati-hati, mbak, bisa-bisa hantu itu mendatangi kamu," tegur si dukun.
Perawat itu kecut, ia lantas memasang infus dengan tangan gemetar. Setelah tugasnya selesai, ia beranjak buru-buru meninggalkan ruangan. Dukun tadi tersenyum penuh kepuasan, melihat si perawat melangkah ketakutan.
Setelah beberapa menit, Retno masih belum sadarkan diri. Kami lantas berkenalan sekaligus bercengkrama dengan dukun tadi. Ia berpenampilan biasa saja, layaknya ibu-ibu pada umumnya. Tidak ada satupun pakaian atau benda aneh yang menandakan ia memiliki kemampuan supranatural. Sangat berbeda dengan tampilan dukun yang kulihat di tv.
Dari obrolan kami, ternyata wanita ini adalah kerabat jauh haji Barkat. Mertua dari keponakan yang ia sampaikan tadi sore. Masyarakat setempat memanggilnya mina Kurik. Mina adalah panggilan bagi wanita yang lebih tua dalam bahasa Dayak, yang artinya tante. Ia juga berpesan, jangan pernah sekalipun memanggilnya dukun.
"Cukup panggil mina Kurik saja. Atau, mina sudah cukup," ucapnya seraya mengupas pinang lalu membungkusnya dengan daun sirih yang dioleskan kapur. Pinang itu kemudian ia kunyah hingga menimbulkan suara berdecak.
Sepanjang obrolan, aku menangkap gelagat aneh mina Kurik. Tatapannya tak pernah lepas dari pak Wardoyo, seolah ada yang mengganjal. Ia sedikit terpaku, memikirkan sesuatu.
"Bagaimana kejadiannya, sampai ia seperti ini?"
Pak Wardoyo pun menceritakan awal mula kejadian yang menimpa Retno. Berawal dari mereka yang hendak pulang ke Jawa, tapi Retno mendadak kesurupan di jalan hingga hampir membuat mereka kecelakaan. Cerita pun berlanjut sampai akhirnya Retno ditemukan di kamar mayat dalam kondisi menakutkan.
"Kalau ia sudah sadar, nanti kita keluarkan daging mayat itu dari perutnya. Kalau tidak, anak perempuanmu akan basaluh."
"Basaluh?" tanya Pak Wardoyo.
Mina Kurik mengangguk sambil mengunyah sirih di mulut.
"Iya, basaluh. Berubah wujud menjadi hantu dan bergentayangan di hutan. Bisa juga menjadi binatang, tergantung wujud mahluk halus yang ada di badannya."
Aku bergidik mendengar penuturan mina Kurik. Bulu-bulu halus di tangan dan tengkukku tanpa sadar berdiri tegak. Memang terdengar konyol dan tak masuk akal, tapi apa yang kulihat di kamar mayat tadi sudah cukup untuk membuatku percaya dunia gaib itu memang ada.
"Mina, sebenarnya apa yang terjadi dengan Retno? Terus, apa bisa disembuhkan?"
Mina Kurik menoleh ke arahku, masih mengunyah sirih dan pinang.
"Mendengar cerita pakde barusan, sepertinya Retno terkena panglarangan. Ia terkena mantra pengikat roh."
"Pe-pengikat roh?" Raut wajah pak Wardoyo tampak diselemuti kekhawatiran.
"Orang yang terkena panglarangan, biasanya akan kesulitan mendapatkan jodoh. Atau, bisa juga seperti putrimu. Rohnya diikat menggunakan mantra, disimpan di dalam guci dan dikubur di dalam tanah. Berbeda dengan sihir lainnya, orang yang terkena panglarangan akan bisa menjalani hari dengan normal.
Hanya saja, mantra pengikatnya akan menguat jika ia hendak menikah dengan orang lain. Atau, saat ia hendak meninggalkan tanah Kalimantan. Ia bisa saja terkena sakit, atau yang lebih berbahaya, ia akan gila. Yang lebih mengerikan, nyawa Retno akan terancam."
Mendadak suasana menjadi hening. Semua terdiam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hari semakin larut dan cuaca begitu dingin membekukan tulang. Suara cicak bersahutan menciutkan nyali, karena terdengar seperti suara orang yang tertawa mengikik.
Jam di arlojiku menunjukkan pukul setengah dua lewat sedikit. Suasana rumah sakit sudah senyap. Sudah tidak terlihat aktifitas orang berlalu lalang.
Galih yang sedari tadi hanya menyimak akhirnya buka suara.
"Maaf, mina. Bukankah tadi mahluk yang merasuki Retno sudah pergi. Apakah mahluk itu akan kembali lagi?"
Mina Kurik menatap wajah kami satu persatu, lalu berucap.
"Iya. Mahluk itu akan kembali lagi. Mantra yang mengikat Retno sebenarnya sangat tipis, sehingga ia bisa beraktifitas normal. Namun, mantra itu akan menguat begitu ia hendak pulang ke Jawa.
Mahluk yang merasuki Retno tadi, bukan hanya satu. Mahluk yang memakan mayat, itulah mahluk yang selama ini bersemayam di tubuhnya. Mahluk yang mengunci raganya di sini. Aku tidak tahu wujudnya seperti apa. Yang jelas, ia bukan setan sembarangan. Hanyalah kambe hai ganas dan mengerikan yang memakan mayat. Ia sudah terlebih dahulu pergi sebelum kuusir. Mahluk licik yang suka menipu manusia. Sedangkan yang meminta teh tadi, hanyalah arwah iseng di sekitar sini."
Aku bergidik, mendengar ada banyak arwah berkeliaran di rumah sakit.
"Lalu, apakah putriku bisa disembuhkan?" tanya pak Wardoyo penuh harap.
Mina Kurik menatap pak Wardoyo, tampaknya ia ragu.
"Mina, berapapun biayanya akan kubayar, asal Retno bisa sembuh," bujukku.
"Terima saja, bukannya si bungsu butuh tambahan biaya yudisium. Mungkin ini jalan bagi anakmu," tambah haji Barkat.
"Aku tidak berani menjanjikan, tapi nanti dicoba dulu."
"Terima kasih, mina," sahut pak Wardoyo lega.
"Akan lebih mudah, jika tahu siapa yang mengirimnya. Siapapun pelakunya, pastilah memendam rasa sakit hati yang mendalam. Mintalah ia memaafkan, maka semua akan mudah. Retno hanya perlu menjalain ritual papandui, dibersihkan rohnya dengan cara dimandikan."
Pak Wardoyo tertunduk lesu dan matanya mulai sendu. Garis keriput di wajahnya menyiratkan tanda putus asa yang mendalam.
"Kenapa? Ada yang salah?" Mina Kurik mengernyitkan dahi.
"Pelakunya sudah meninggal," desahku.
Mina Kurik lagi-lagi terheran, "meninggal?"
Aku mengangguk, mina Kurik terdiam. Jelas sekali ia tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Matanya menatap kosong ke arah Retno yang terbaring lemah.
"Sekarang, pelakunya sudah meninggal, keadaan semakin runyam. Mantra itu akan mengikatnya seumur hidup."
Kami semua yang mendengarkan sekali lagi membisu. Bahkan, mina Kurik pun terdiam. Ia menggelengkan kepala seakan tak percaya bahwa pelakunya sudah lebih dahulu meninggal dunia. Selang beberapa saat, ia terperanjat. Bola matanya berbinar.
"Katamu, pelakunya sudah meninggal, kan?"
Aku mengangguk cepat, "iya, kenapa, mina?"
"Ada yang janggal." Mina Kurik menghela napas.
"Panglarangan, salah satu jenis parang maya yang kelihatan tak berbahaya, tapi sesungguhnya penuh tipu daya. Tidak hanya korban, pelakunya pun terikat mantra yang sama. Ikatan itu akan terlepas, jika salah satunya mati. Matinya pun bukan sembarangan. Harus mati mengenaskan karena ulah ilmu hitam.
Siapa pun yang mati terlebih dahulu, arwahnya takkan kembali ke akhirat. Arwahnya takkan bisa mencapai lewun tatau bersama para leluhur, tapi menjadi budak setan hingga hari kiamat. Jika pelakunya tewas, seharusnya Retno sudah terbebas."
Kami yang mendengar langsung merinding sekaligus tercengang, belum mengerti arah pembicaraan mina Kurik.
"Maksud jenengan?" desak pak Wardoyo.
Mina Kurik menatap tajam ke arah pak Wardoyo, raut wajahnya tegas penuh keyakinan.
"Pelakunya masih hidup."
Entah kenapa, kulihat wajah pak Wardoyo tampak memucat dan telapak tangannya gemetaran.
…bersambung…
Insha Allah berjumpa lagi di malam jumat. Tabe 😇🙏
jenggalasunyi dan 29 lainnya memberi reputasi
30
Kutip
Balas
Tutup