- Beranda
- Stories from the Heart
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
...
TS
benbela
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan

Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi bikin thread di kaskus setelah mendapat bisikan dari @makgendhis. Cerita kali ini ane angkat dari pengalaman temannya bini ane yang punya pengalaman agak ngeri-ngeri sedap di tanah Borneo. Beberapa hal ane samarkan demi privasi pihak tertentu.
Jadi, ceritanya bakal ane bongkar pelan-pelan.
Quote:
Dilarang memproduksi ulang cerita ini dalam bentuk tulisan/ audio/ audio visual tanpa ijin penulis. Semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan bisa menghargai karya orang lain. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-12-2023 08:33
jenggalasunyi dan 64 lainnya memberi reputasi
65
26.5K
Kutip
308
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
benbela
#87
Quote:
Bab 8 : Pemakan Mayat
Sudah lebih dari dua jam kami melakukan upaya pencarian di sekitar rumah sakit tapi Retno tetap tidak kelihatan batang hidungnya. Setiap sudut lorong dan ruangan kami telusuri. Satpam dan perawat tampak panik meski mereka sudah berpencar melakukan pencarian.
Beberapa pengunjung rumah sakit juga turut membantu tapi belum membuahkan hasil. Kami bahkan sudah melakukan pencarian di area hutan di belakang rumah sakit tapi hasilnya nihil.
Duduk di lorong rumah sakit, Bu Lastri bergelayut pada lengan pak Wardoyo yang mencoba menenangkannya. Air matanya berurai sedangkan isaknya tertahan. Wajahnya yang lelah tampak penuh penyesalan. Ia terus mengucap doa hingga suaranya hampir tak terdengar lagi.
Kata bu Lastri, Retno menghilang dalam sekejap. Waktu itu ia tengah menyelimuti Retno yang sudah terlelap. Ia memandangi wajah anaknya dengan perasaan sedih sambil mendoakan kesembuhannya. Tiba-tiba lampu di seluruh ruangan mati, menyala, mati, lalu menyala lagi terus menerus selama beberapa detik.
Bu Lastri kemudian terperanjat, Retno yang tadi terbaring sudah tidak terlihat lagi dari pandangan mata. Yang tertinggal hanyalah cairan infus yang terus menetes. Awalnya bu Lastri tidak curiga karena mengira Retno sedang ke wc, ia lantas membenarkan cairan infus agar tidak terbuang dan membasahi lantai.
Namun, 15 menit berlalu Retno tetap tak kembali. Ia mencoba memanggil Retno di wc tapi tidak ada jawaban. Saat pintu dibuka, ternyata wc dalam keadaan kosong.
Bu Lastri yang panik bertanya pada keluarga pasien lain, tapi mereka mengaku tak melihat Retno meninggalkan ruangan.
"Bu, ada lihat anak saya gak? Tadi ia tiduran di ranjang, tapi tiba-tiba hilang?"
Seorang ibu-ibu yang sedang menjaga anaknya tampak kebingungan. Begitu juga keluarga pasien lainnya.Tidak ada seorang pun melihat Retno meninggalkan ruangan.
"Maaf bu, bukannya anak ibu tiduran di ranjang? Saya tidak melihat ada orang keluar dari ruangan. Apalagi, tadi lampu hanya berkedip sebentar. Tidak mungkin ia hilang dalam sekejap."
Kehebohan pun segera terjadi. Kabar Retno yang hilang segera menyebar. Bu Lastri dan beberapa orang lainnya segera mencari di luar ruangan tapi tak membuahkan hasil. Bu Lastri yang dicekam rasa khawatir segera menelpon pak Wardoyo hingga akhirnya kami kembali ke rumah sakit.
Sewaktu kami tiba, para petugas tampak mengelilingi bu Lastri yang dicekam kebingungan. Kami pun bergegas menghampiri, ternyata pihak rumah sakit menyanggah bahwa Retno menghilang.
Mereka mengatakan bahwa bisa jadi Retno hanya ke kamar mandi atau jalan-jalan di sekitar rumah sakit. Kami disuruh menunggu hingga Retno kembali. Namun, bu Lastri bersikeras. Para keluarga pasien lain yang jadi saksi mata juga menguatkan perkataan bu Lastri hingga akhirnya pihak rumah sakit tidak berkutik.
Kami pun diajak memeriksa rekaman CCTV tapi sia-sia. Tidak semua area terpantau kamera pengawas. Hanya ruang VIP, area parkir serta area ruang manajemen. Kami pun berinisiatif melakukan pencarian hingga malam semakin larut.
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 12 malam, suasana semakin sepi dan cuaca semakin dingin. Kami pun mulai putus asa, Retno menghilang tanpa jejak. Kami berempat kembali ke ruangan Retno dengan perasaan campur aduk. Bu Lastri masih sesenggukan di pelukan pak Wardoyo, sedangkan aku dan Galih duduk di luar ruangan dengan perasaan risau.
"Apa kita lapor polisi saja, Lih? Polsek masih buka kan?"
"Mereka takkan menerima laporan orang hilang sebelum 24 jam."
"Terus, kita hanya akan duduk-duduk saja?" Suaraku mulai meninggi.
"Kita menunggu, Dib. Kita hanya bisa menunggu saat ini. Menunggu sampai pagi, baru kita lanjutkan pencarian. Seluruh penjuru rumah sakit sudah kita cari. Tukang ojek yang mangkal di depan juga tak melihat Retno. Kita lihat perkembangan, lalu kita pikirkan lagi."
"Gak. Aku gak mau menunggu. Hutan di belakang belum semua kita jelajahi. Aku akan masuk ke dalam hutan dan menjemput Retno!" Aku berdiri.
"Heh, mau kemana?"
Aku tak menghiraukan seruan Galih. Aku beranjak, mendatangi orang tuanya Retno untuk pamit.
Di hadapanku, bu Lastri tampak merenung dalam dekapan pak Wardoyo. Matanya sembab karena air mata yang sudah habis. Dadanya kembang kempis sementara napasnya terdengar sesak. Pandangannya kosong seperti orang yang hilang ingatan.
Aku jadi merasa sedih melihat keadaannya. Terbersit rasa sesal yang kini mulai menghantui. Bisa jadi, Retno memang tak ingin bertemu denganku. Bisa jadi, Retno teramat marah atas perbuatanku lima tahun lalu sehingga ia benar-benar ingin melupakanku.
Dengan perasaan gamang aku duduk bersimpuh di hadapan mereka. Bu Lastri membelai lembut kepalaku. Belaian penuh harap aku akan membawa Retno kembali.
Sekilas ada ragu di dalam dadaku. Mungkin sudah saatnya mereka mengetahui apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Retno lima tahun lalu. Aku juga sudah lelah dihinggapi rasa bersalah. Rasa bersalah yang ingin kutebus tapi malah bertambah runyam.
"Nak…janji sama ibu, kamu akan membawa pulang Retno. Kamu harus janji, nak," kata bu Lastri lemah di sela isak tangis.
Aku mengangguk. Aku tak berani menatap wajahnya. Tanpa terasa mataku pun berkaca-kaca.
"Saya janji, bu. Retno akan pulang apapun taruhannya..."
Aku terdiam beberapa saat, tak berani menyampaikan kalimatku selanjutnya. Dada rasanya sesak, seperti ada yang menghimpit. Sesalku semakin dalam mengingat keadaan Retno sekarang. Seharusnya aku tak memaksakan diri ke Kalimantan, karena Retno pasti takkan sudi menerimaku.
Setelah keberanianku terkumpul, aku berniat untuk berterus terang. Mungkin mereka akan membenciku setelah ini. Aku tak peduli lagi, keselamatan Retno adalah yang paling utama. Kutarik napas dalam-dalam.
"Bu, sebenarnya, Retno…"
Kalimatku terhenti tatkala mendengar suara gaduh dari luar. Orang-orang terlihat berlarian dan berteriak.
"Dibyo, ayo!"
Aku menoleh, ternyata Galih sudah berdiri di depan pintu. Di sebelahnya berdiri seorang satpam dengan wajah cemas.
"Pak, bu, ke kamar mayat. Sekarang!" ujar si satpam.
"Kamar mayat? Retno di kamar mayat?" tanya bu Lastri tak percaya.
*****
Kami langsung berdiri tanpa harus bertanya lagi. Aku langsung menepis berbagai pikiran buruk, entah kenapa Retno ada di kamar mayat. Namun, semakin kutepis, pikiranku justru semakin kemana-mana. Aku berdoa dalam hati semoga ia baik-baik saja. Aku melangkah tergesa mengiringi satpam dan Galih yang mulai berlari kecil.
Aku mempercepat langkah dan mulai berlari menyusul Galih dan satpam di depan. Kutinggalkan pak Wardoyo dan bu Lastri yang kesulitan mengejar. Kamar mayat ini ternyata berada jauh di belakang, terpisah dengan gedung utama. Beberapa orang lari dari arah berlawanan dalam keadaan panik.
Akhirnya kami tiba di kamar mayat. Sebuah ruangan yang ukurannya tidak terlalu luas. Di depan pintu, seorang satpam dan dua orang petugas berdiri dengan tegang. Pandangan mereka tak lepas sedetik pun dari pintu di depannya yang tertutup rapat. Salah seorang perawat laki-laki membaca ayat kursi terputus-putus.
Melihatku dan Galih datang, satpam yang sedari tadi waspada langsung menunjuk ke pintu kamar mayat.
"Di-di dalam. Cepat. Dia di dalam!" ucapnya gemetaran.
Meski bertanya-tanya, aku bergegas membuka pintu tanpa ragu. Galih dan beberapa orang lainnya bergerak perlahan di belakang. Saat mengedarkan pandang, jantungku rasanya berhenti berdetak.
Di depanku, Retno tengah berjongkok di atas meja mayat. Ia membelakangi dengan rambut terurai berantakan. Dari celah kakinya, kulihat ada mayat yang membujur kaku. Mulutnya mengeluarkan bunyi berdecak sedangkan bahunya bergoyang pelan. Retno tengah menyantap mayat!
"Oh Tuhan Yesus!" pekikku tertahan.
Retno langsung berbalik dengan gumpalan daging di mulut. Ia dengan rakus mengunyah daging dari lengan mayat yang sudah terlepas dari badan.
Retno dengan anteng menatapku, sementara kedua tangannya memegang tangan mayat yang berlumur darah. Mulutnya terbuka dan menutup dengan teratur, memasukan sobekan daging demi daging ke dalam perut.
Crap…crep…crap…crep…
…bersambung…
Jangan lupa like, komen dan share yak.
Yang ingin suport lebih, Bab 9 dan 10 sudah tersedia di @karyakarsa_id
See u, ciao, tabe 😇🙏
https://karyakarsa.com/benbela/mantr...-dan-10-559469
jenggalasunyi dan 32 lainnya memberi reputasi
33
Kutip
Balas
Tutup