- Beranda
- Stories from the Heart
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
...
TS
benbela
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan

Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi bikin thread di kaskus setelah mendapat bisikan dari @makgendhis. Cerita kali ini ane angkat dari pengalaman temannya bini ane yang punya pengalaman agak ngeri-ngeri sedap di tanah Borneo. Beberapa hal ane samarkan demi privasi pihak tertentu.
Jadi, ceritanya bakal ane bongkar pelan-pelan.
Quote:
Dilarang memproduksi ulang cerita ini dalam bentuk tulisan/ audio/ audio visual tanpa ijin penulis. Semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan bisa menghargai karya orang lain. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-12-2023 08:33
jenggalasunyi dan 64 lainnya memberi reputasi
65
26.5K
Kutip
308
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
benbela
#76
Quote:
Bab 6 : Menuntaskan Amarah
"Nak…ini ibu, nak," tegur bu Lastri.
Retno memalingkan muka, menatap ibunya seraya tersenyum misterius. Ibu dan bapaknyq terus memanggil, tetapi Retno hanya mematung. Sedetik kemudian tubuhnya melemah lalu limbung begitu saja. Ia kembali tak sadarkan diri dengan wajah pucat pasi. Bu Lastri merangkul anaknya, diciumnya dengan mesra. Ia kembali terisak dengan suara getir yang menyayat hati.
Dibyo, ayo!" ajak Galih.
Aku mengangguk.
"Permisi, bu, pak. Aku dan Galih akan mencari orang yang bisa menyembuhkan Retno," jawabku singkat.
Mereka mengangguk lemah, menatapku penuh harap.
Aku bangkit berdiri dengan penuh keyakinan. Aku melangkah dengan tekat bulat. Aku takkan meninggalkan tanah Kalimantan kecuali bersama Retno. Tentu saja, aku akan membuat perhitungan kepada seseorang yang telah mencelakakannya
*****
Sekitar pukul 4 sore, aku dan Galih kembali melaju di ruas jalan kota yang lengang. Mobil double gardan berbagai merk terlihat berseliweran. Meski daerah perkotaan, jalan aspal yang kami lalui banyak tanjakan dan turunan. Selain itu, jalannya sempit dan satu jalur. Hanyalah area komplek perkantoran pemda dan rumah jabatan bupati yang landai dan dua jalur. Hutan belantara yang lebat terlihat mengelilingi kota berbukit ini. Informasi dari Galih, kabupaten ini merupakan pemekaran dari kabupaten induk 17 tahun lalu.
Ibu kota kabupaten ini juga tidak terlalu besar. Kurang dari setengah hari, siapapun akan hapal ruas jalan di sini. Aku mengedarkan pandang, memperhatikan aktifitas masyarakat sekitar. Meski berada di daerah pelosok, ternyata kota ini tidak seperti yang kubayangkan.
Selain harga barang yang mahal, kehidupan masyarakat tampak normal. Mereka mengenakan baju dan pakaian layaknya orang kebanyakan. Awalnya, kukira orang Dayak akan mengenakan pakaian tradisional dalam kehidupan sehari-hari. Kusangka mereka akan menenteng tombak dan mandau kemana-mana. Namun, ternyata semuanya salah. Ternyata di sini tidak jauh berbeda dengan kecamatan di Gunung Kidul.
Aku menatap mesjid dan gereja tampak berdiri di tiap sudut kota kecil ini. Bahkan ada yang berdampingan dan hanya berbatas pagar.
"Di sini, tidak hanya idul fitri, natal pun meriah. Orang-orang akan saling berkunjung meski berbeda keyakinan. Tidak seperti di Jawa, membangun gereja saja sulitnya minta ampun. Di sini, orang-orang Dayak lebih mementingkan persaudaraan daripada hanya ribut masalah cara menyembah Tuhan dengan cara yang berbeda," ungkap Galih seraya memegang setir.
Aku tersenyum getir sekaligus malu. Perkataan Galih terasa menampar wajahku. Jawa yang katanya lebih maju, justru sering ribut hanya karena perbedaan keyakinan.
"Sebenarnya kita mau kemana, Lih?"
"Ke gereja katolik. Hanya ada satu gereja katolik di sini, lainnya protestan. Mungkin ada pastur yang bisa melakukan eksorsis."
Aku kembali diam, dan menurut saja kemana Galih membawaku.
*****
"Maaf, mas, kami tidak bisa berbuat banyak. Di sini tidak ada fasilitas pengusiran setan. Sebaiknya berdoa, meminta perlindungan kepada Bapak. Tuhan Yesus akan menyertai jika kalian sungguh-sungguh. Selain itu, cobalah hidup harmonis dengan mereka yang tak kasat mata."
Jawaban dari pastor membuatku kecewa.
"Kenapa gak ke psikiater aja mas. Di Palangkaraya atau Banjarmasin kan ada. Dan, sudah ditanggung BPJS," tambah pastur lagi, sembari membenarkan jubah putihnya yang sudah mulai pudar dan lusuh.
Aku melenguh pelan, "gimana mau ke psikiater pak. Baru keluar kota beberapa meter saja, Retno langsung sakit."
Galih menendang kakiku, menyuruhku untuk tidak bicara lagi.
"Inggih pak, maaf mengganggu. Kalau begitu, kami permisi dulu," ujar Galih bernada sopan.
Sejurus kemudian, kami pergi meninggalkan area gereja dengan tangan kosong. Mobil bergerak perlahan, melewati patung Bunda Maria dan Tuhan Yesus yang menghiasi taman yang tertata rapi.
Mobil berbelok ke arah kiri, kembali menyusuri jalan yang menanjak dan menurun. Hari kian sore, senja kuning kemerahan tampak menggantung di langit. Di pinggir jalan, para remaja berjalan dengan membawa gayung berisi sabun dan sampo. Handuk tersampir di pundak mereka. Sedangkan anak-anak terlihat berlarian dan saling kejar sambil tertawa. Dugaanku, mereka akan mandi di sungai.
"Lih, sebenarnya kau yakin Retno terkena guna-guna? Atau, hanya depresi saja?"
Mendengar pertanyaanku kali ini, Galih tampak terkejut. Ia mengernyitkan dahi, menatapku dengan sorot mata kebingungan. Menyadari aku serius, Galih akhirnya menyahut.
"Entahlah, Dib. Melihat Retno tadi dan mendengar cerita pak Wardoyo, kemungkinannya seperti itu. Kita harus mencoba segala kemungkinan. Apa yang terjadi dengan Retno, aku berusaha membantu sebisanya. Apa yang terbaik bagi kalian, pasti akan kulakukan."
Aku tercenung mendengar jawaban Galih. Aku merasa beruntung punya sahabat setia di tempat asing ini. Ia sudah banyak membantu sejak awal kedatangan kami. Tidak hanya waktu dan tenaga, tapi juga biaya. Ia menolak jika kukasih uang untuk mengganti ongkos bensin atau sekedar membayar makan.
"Lih, makasih banyak," desahku pelan.
Galih menatapku sambil tersenyum, mengangguk pelan, lalu kembali konsentrasi ke jalan.
"Lih, sekarang kita kemana? Apa kita ke mesjid saja. Mungkin ada ustad atau kyai yang bisa membantu."
Galih berdehem pelan, seperti sedang berpikir.
"Kita ke haji Barkat saja. Kalau ia tidak bisa membantu, siapa tahu bisa memberi petunjuk."
Mobil terus melaju dengan kecepatan sedang, menyusuri jalan kota yang sudah mulai ramai dengan aktifitas penduduk menyambut pergantian siang menuju malam.
*****
Akhirnya kami kembali lagi memasuki gang menuju kontrakan Retno. Di langit, senja kian redup dan suara mengaji dari pengeras suara mesjid melantun merdu. Mobil bergerak kian lambat dan berhenti sepenuhnya di depan kontrakan Retno. Seorang bapak-bapak yang memakai sarung dan peci, mengawasi dari teras rumahnya yang ada di samping kontrakan.
Begitu kami turun dari mobil, matanya yang tajam tak pernah lepas memperhatikan. Ia mengernyitkan dahi melihat kami mendekat kearahnya. Setelah mengetahui maksud kedatangan kami, barulah ia tersenyum. Aku dan Galih dipersilahkan duduk, agar lebih leluasa mengobrol.
"Pak, saya minta maaf atas kegaduhan dini hari tadi. Saya… " Belum selesai kalimatku, ia sudah memotong.
"Gak apa-apa, dek. Par Wardoyo sudah cerita banyak tadi pagi. Hanya saja, Retno sudah kuanggap anak sendiri. Takut kalo dia kenapa-kenapa."
"Maka dari itu, mang, kami kemari mau minta tolong," sambung Galih.
"Tolong apa?"
"Anu, pak. Retno sekarang di rumah sakit," timpalku.
"Hah?!"
Haji Barkat kaget setengah mati mendengar ucapanku. Dua bola matanya membesar di bawah dahinya. Kuceritakan semua yang terjadi, lelaki paruh baya di hadapanku ini mengangguk-angguk. Beberapa kali juga ia mengelus dada, ikut merasa prihatin.
"Aduh…gimana ya. Saya juga bingung. Kalau orang kesurupan, saya masih bisa membantu. Tapi, kasus Retno ini agak berbeda. Ia bukan sekedar kesurupan. Arwah penasaran yang di badannya terlalu kuat. Kalau salah penanganan, bisa-bisa membawa umur."
Aku menarik napas dalam-dalam. Kata-kata yang ia sampaikan membuatku resah. Aku melirik Galih, dan ia pun mengangguk.
"Begini, mang haji, maksud kami, apa pian tahu ada orang yang bisa membantu menyembuhkan Retno?" tanya Galih.
Haji Barkat merenung sesaat, menggaruk-garuk kepalanya yang tertutup peci putih.
"Dahulu, gak susah mencari orang yang bisa seperti itu. Sejak kampung ini berubah menjadi kota, orang yang punya kebisaan dengan dunia gaib semakin langka. Kebanyakan sudah meninggal," keluhnya.
Aku dan Galih jadi ikutan lemas melihat haji Barkat yang tak bersemangat. Sejurus kemudian, istri beliau membuka pintu. Rupanya ia mencuri dengar perbincangan kami. Tanpa diminta, wanita yang mengenakan jilbab itu langsung nyerocos.
"Anu, bah, coba pian hubungi mina Kurik. Dia kan bisa badewa dan sangiang. Coba telpon dia, siapa tahu bisa membantu."
Haji Barkat menatap istrinya seraya mengernyitkan dahi. "Mina Kurik? Mina siapa?"
"Itu… mertuanya keponakanmu. Mertua si Ilham."
"Owwhh… . Si Kurik. Iya…iya… aku baru ingat. Tapi kampungnya jauh di hulu sana. Gak ada jalur darat. Harus lewat sungai. Mana gak ada sinyal."
"Beliau kan sedang di kampung atas. Ada acara tiwah di sana. Ilham ada cerita kemarin."
Haji Barkat mengangguk-angguk, sedangkan aku dan Galih hanya bisa menyimak obrolan sepasang suami istri ini. Haji Barkat kemudian menatap kami sambil sumringah.
"Oke, bisa diatur. Kalian di rumah sakit kan? Nanti kutelpon pak Wardoyo untuk menanyakan ruangannya."
Aku dan Galih akhirnya menarik napas lega mendengar ucapan haji Barkat. Setidaknya, ada harapan bagi Retno. Kami kemudian pamit undur diri, menanti kedatangan mina Kurik untuk menyembuhkan Retno.
*****
Adzan magrib berkumandang, saling bersahutan antara mesjid dan mushola di kota ini. Aku terheran saat Galih menepikan mobilnya dan berhenti di pinggir jalan.
"Lih, kok berhenti? Kenapa?"
"Kamu mau, dianggap kurang ajar? Ini kota kecil, bukan kota besar. Masyarakat di sini biasanya jarang keluar saat magrib. Kalo berkendara, mereka berhenti sebentar hingga adzan usai."
"Kita kan di dalam mobil, mereka pasti tidak melihat kita. Lagian, mereka juga tak mengenal siapa kita."
"Itulah, aku sudah terbiasa dengan adat di sini. Apalagi, mess ku kan dekat dengan desa. Adatnya semakin kental. Kayaknya, kebiasaan itu kebawa kemana-mana meski saat aku ke Palangka atau Banjar. Otomatis aja berhenti kalau dengar adzan magrib."
"Yeaah…terserah kamu aja Lih," keluhku.
Mengisi waktu, aku dan Galih merokok di dalam mobil. Kami lantas berdiskusi, memikirkan rencana selanjutnya.
"Sebaiknya kita cari makan dulu. Kau kan belum makan dari siang. Bapak dan ibu juga pasti sudah lapar berat. Kita bungkus aja, terus beli air mineral satu dus. Nanti kita makan bareng aja di rumah sakit," usul Galih.
"Iya, Lih," sahutku sambil menyesap rokok.
"Lih, malam ini aku tidur di rumah sakit. Aku mau menemani calon mertuaku menjaga Retno," tambahku.
"Gak ke mess dulu. Mungkin kau mau mandi atau ganti pakaian?"
Aku menggeleng sementara rokokku semakin pendek.
"Baiklah, kalau itu maumu. Nanti, aku pulang dulu, baru balik lagi ke rumah sakit. Nanti, kita pindahin aja tas mereka ke kontrakan Retno."
Adzan magrib berhenti, mobil kembali bergerak. Namun, warung makan di pinggir jalan belum buka dan toko kelontong rupanya tutup. Kata Galih, para pedagang baru kembali berjualan setelah orang-orang pulang dari mesjid. Terpaksa kami berputar-putar tak jelas di kota kecil ini.
*****
Aku dan Galih sudah menyusuri lorong rumah sakit yang sepi. Hanya ada satu dua pengunjung atau perawat yang berpapasan dengan kami. Kedua tanganku memegang erat satu dus aqua ukuran 600 ml, kusandarkan di dada. Sedangkan Galih, ia menenteng lima bungkus lalapan serta beberapa camilan yang dibungkus kantong kresek.
Begitu memasuki ruangan dimana Retno dirawat, aku terperangah. Ternyata Retno sudah sadar meski masih lemah. Beberapa orang lelaki dan perempuan tampak mengelilinginya. Dari obrolan mereka, aku tahu bahwa yang menjenguk Retno adalah rekan kerjanya.
Aku dan Galih mendekat, menaruh barang bawaan kami. Meski tidak marah, Retno tidak menanggapiku. Ia mengganggapku sebagai orang asing yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Bahkan, ia tak sudi sekedar melempar senyum kepadaku. Tak cuman sakit hati, aku juga agak tersinggung diperlakukan seperti itu.
Galih menangkap gelagatku. Untuk mencairkan suasana, ia mengajakku berkenalan dengan rekan-rekannya Retno. Ternyata, salah seorang di antaranya adalah pimpinan cabang, lelaki yang hendak membuat Retno celaka. Mataku tak pernah lepas mengawasi lelaki itu meski hanya sedetik. Kutaksir usianya awal 40an tahun. Ia berpenampilan rapi dan parlente serta berambut klimis. Ciri khas pegawai bank. Dibalik sikapnya yang ramah, aku dapat mencium sifat busuknya.
Entah kenapa, darahku terasa panas dan amarahku ingin meledak seketika.
Galih menendang kakiku dan matanya melotot. "Hussh…" ucapnya.
Dengan sigap, Galih mengajakku keluar setelah mengucapkan permisi. Dengan langkah gontai aku mengikuti Galih yang berjalan keluar ruangan.
Tanganku bergerak cepat, meraih sebuah benda yang ada di meja pasien di dekat pintu. Benda itu kupegang erat dan kusembunyikan di balik lengan. Berdiri di depan pintu, wajahku tegang menanti lelaki itu keluar ruangan. Detik demi detik terasa berlalu sangat lama. Aku gelisah dan gugup, peluhku mulai membasahi wajah dan menyatu di ujung dagu.
Jantungku berdetak lebih cepat tatkala lelaki itu melangkah keluar ruangan. Ia tersenyum lebar, bercengkrama bersama beberapa orang lain.
"Dibyo, kau mau ngapain?" tanya Galih. Ia mendelik melihatku.
Aku tak menggubris. Tangan kananku memegang pisau sangat erat. Pisau pengupas buah yang bergerigi. Dapat kurasakan adrenalin yang berpacu memompa jantung dan aliran darah. Tanganku yang menggengam pisau gemetar hebat.
Galih mulai berteriak, tapi suaranya tak terdengar, kecuali suara jantungku yang berdetak cepat.
…bersambung…
Terima kasih sudah membaca, Insha Allah kita akan berjumpa lagi di malam jumat.
Jika ingin terus mendukung saya untuk berkarya atau baca dulu, bab 7&8 sudah tersedia di karyakarsa.
👇👇
https://karyakarsa.com/benbela/mantr...kat-roh-bab-78
jenggalasunyi dan 28 lainnya memberi reputasi
29
Kutip
Balas