- Beranda
- Stories from the Heart
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
...
TS
benbela
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan

Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi bikin thread di kaskus setelah mendapat bisikan dari @makgendhis. Cerita kali ini ane angkat dari pengalaman temannya bini ane yang punya pengalaman agak ngeri-ngeri sedap di tanah Borneo. Beberapa hal ane samarkan demi privasi pihak tertentu.
Jadi, ceritanya bakal ane bongkar pelan-pelan.
Quote:
Dilarang memproduksi ulang cerita ini dalam bentuk tulisan/ audio/ audio visual tanpa ijin penulis. Semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan bisa menghargai karya orang lain. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-12-2023 08:33
jenggalasunyi dan 64 lainnya memberi reputasi
65
26.5K
Kutip
308
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
benbela
#61
Quote:
Bab 4 : Ilmu Mistis Pedalaman
Galih meraih handphoneku, lalu mencoba bicara dengan Pak Wardoyo di seberang sana.
"Halo…hallo, pak…!"
Rupanya sambungan telepon telah terputus. Dengan raut wajah kecewa, Galih mengembalikan handphone padaku.
"Kenapa dibanting?" tanya Galih seraya mengerutkan dahi.
Aku tercekat, handphoneku baik-baik saja. Tidak ada layar retak, juga tak ada genangan darah. Sepertinya aku sedang berhalusinasi. Mungkin karena terlalu kalut membuatku berkhayal yang bukan-bukan.
"Entahlah, mungkin aku hanya kelelahan," jawabku lemah sambil menggelengkan kepala.
"Sepertinya pak Wardoyo yang menelponmu. Ada apa?"
"Kalau tidak salah, Retno ada di rumah sakit. Di IGD. Kau tahu tempatnya?"
"Hanya ada satu rumah sakit di sini. Ayo! "
*****
Aku dan Galih menanyakan pada petugas jaga IDG, ternyata Retno sudah pindah ke ruangan kelas dua. Kami berdua dengan tergesa-gesa menyusuri lorong rumah sakit dan berujung kesasar. Kami kemudian bertanya pada perawat jaga di salah satu ruangan, tapi rupanya mereka tidak profesional.
Meja informasi yang semestinya ada petugas jaga malah kosong melompong. Para petugas yang semestinya berjaga justru asyik nonton televisi di ruang istirahat petugas di belakang meja informasi. Aku mulai kesal, kupanggil-panggil mereka tidak peduli. Para perawat itu malah semakin asyik tertawa di depan televisi.
Kugebrak meja, barulah seorang perawat lelaki keluar dengan wajah cemberut.
"Ada apa?" sahutnya ogah-ogahan.
"Ruang kelas dua dimana?"
"Keluar dari ruangan ini belok kanan. Nanti belok kanan lagi lalu belok kiri. Di sana ada tulisannya, baca aja. Kalo gak, tanyain aja orang lewat," ujarnya seraya balik kanan lalu kembali menghampiri petugas lain yang menonton televisi.
"Sudah…sudah," Galih menarik lenganku, menenangkanku yang dilanda emosi.
"Rumah sakit kelas C pelayanannya memang kayak sampah. Makanya warga sini lebih senang berobat ke kabupaten tetangga, atau sekalian ke Banjarmasin. Sekarang, kita lebih penting mengkhawatirkan Retno," ungkap Galih sambil melangkah.
Petunjuk yang diberikan perawat tadi ternyata membingungkan. Kami tidak tahu harus berbelok di persimpangan mana dan lurus di lorong yang mana. Papan petunjuk arah juga tampak menyesatkan. Setelah bertanya kepada beberapa pengunjung yang lewat, ruangan yang kami cari akhirnya ketemu.
Di dalam ruangan, terdapat beberapa pasien yang tengah terbaring tak berdaya di atas ranjang. Masing-masing pasien ditemani oleh pihak keluarga. Mereka sibuk dengan aktifitas masing-masing, ada yang berdoa dan ada yang bercengkrama.
Di salah satu sudut, pak Wardoyo duduk di sebuah kursi dengan wajah cemas. Barang bawaan mereka tersusun berantakan di antara kakinya. Di sampingnya Retno terkulai lemah sementara jarum infus menusuk lengan kiri. Pak Wardoyo membelai lembut rambut putrinya seraya mengenggam jemarinya. Sudut matanya memancarkan kesedihan yang mendalam. Di sebelahnya, bu Lastri menangis sesenggukan, menelungkupkan wajah di ranjang. Bahunya berguncang karena isak.
Pak Wardoyo mendongak, melihatku dan Galih yang mendekat. Ia lantas berdiri, menyambut kedatangan kami. Ekspresi wajahnya terlihat penuh kekhawatiran, sedangkan matanya berkaca-kaca. Gurat kelelah tampak jelas di sudut pipinya yang sudah mulai keriput.
"Retno sedang tertidur," katanya, sebelum aku dan Galih sempat mengajukan pertanyaan.
Aku mengangguk. "Bagaimana kata dokter?"
"Katanya baik-baik saja. Hanya demam biasa. Besok atau lusa sudah boleh pulang jika kondisinya sudah stabil."
"Pak, tangan Retno kenapa?" potong Galih terheran-heran.
Aku terbelalak, kedua lengan Retno penuh luka bekas cakar. Bekas luka gores yang telah mengering. Aku memegang kedua tangan Retno bergantian, memperhatikan dengan seksama. Bekas luka di kedua tangannya seperti bekas luka cakaran kucing atau hewan lainnya. Penuh goresan yang memanjang dan bekasnya mulai membengkak. Selain itu, perban tampak membalut beberapa jarinya, menutup luka akibat kuku yang terlepas.
"Pak, apa yang sebenarnya telah terjadi?" tanyaku penuh rasa khawatir.
"Galih, apa kau tahu dimana orang pintar? Entah dukun, pendeta, atau ustad. Yang penting Retno bisa disembuhkan," tanya bu Lastri seketika. Ia lantas mendongak pelan seraya menghapus air mata yang tersisa. Nafasnya terdengar berat dan sesak.
"Nanti aku kucarikan," jawab Galih datar, "sebenarnya, apa yang terjadi?"
"Retno kerasukan. Ia dirasuki kuasa gelap. Kuasa gelap yang sangat jahat," terang bu Lastri sambil menahan isak. Nada suaranya terdengar serak dan lirih karena tangis yang tertahan.
Aku dan Galih saling bertatapan mendengar penuturan bu Lastri yang janggal. Kami berdua tahu, dia bukanlah tipe orang yang mudah percaya akan hal mistis. Dia adalah tipekal orang yang selalu mengedepankan logika. Lima tahun lalu, dia orang pertama yang menentang kami pergi ke paranormal untuk menanyakan keberadaan Retno.
Aku menatap pak Wardoyo, meminta penjelasan. Dugaanku, mereka baru saja mengalami kejadian diluar nalar sehingga memaksa bu Lastri tiba-tiba berubah pendirian. Atau, wanita itu telah putus asa.
Pak Wardoyo menoleh ke kanan kiri, dilihatnya banyak orang.
"Jangan di sini," ucapnya. Ia lantas melangkah keluar, aku dan Galih mengikuti seraya saling lirik. Tampaknya pak Wardoyo tak ingin pembicaraan kami didengar banyak orang.
Di lorong rumah sakit, di depan ruang rawat, kami bertiga berdiri sambil memperhatikan keadaan sekitar. Pak Wardoyo yang terlihat risau membuatku semakin tak sabar ingin tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Kenapa mereka pergi tanpa memberi kabar dan apa yang terjadi di perjalanan. Berdiri di samping, Galih juga tampak penasaran.
"Dibyo, maaf ya. Aku dan ibu tadi terpaksa pergi tanpa mengabarimu. Semua atas permintaan Retno. Kami sudah berusaha sekerasnya memberi pengertian, tapi ia tak peduli. Entah apa yang terjadi, ia tak mengingatmu. Namun.. Ada yang lebih janggal…"
Pak Wardoyo terdiam sesaat dengan tatapan kosong. Bibirnya bergetar sementara dada kurusnya kembang kempis.
"Apa yang janggal?" selidik Galih.
Setelah menghela nafas, Pak Wardoyo kembali bercerita. Katanya, Retno menangis semalaman dalam pelukan bu Lastri. Namun, tangisnya tak kunjung berhenti. Keduanya kemudian tersadar bahwa tangisan Retno bukanlah tangisan haru. Lebih terdengar seperti rintihan ketakutan.
"Yang lebih aneh, Retno seketika tertawa. Aku dan ibunya sampai merinding, itu bukanlah tawa Retno. Tawanya seperti suara nenek-nenek. Aku dan ibunya sempat kebingungan. Untung bapak pemilik kontrakan segera datang. Setelah mengusap wajah Retno dengan air yang dibacakan doa, Retno kejang-kejang sebelum akhirnya tak sadarkan diri."
Mendengar cerita pak Wardoyo aku ikutan bergidik. Apalagi, tadi siang aku sempat melihat handphoneku mengeluarkan darah. Semua sepertinya saling berkaitan.
"Kata pemilik kontrakan, Retno memang kadang bertingkah aneh. Terutama saat adzan magrib, Retno pasti menjerit kesakitan di kontrakannya. Oleh karena itu, Retno memilih tidur pukul 4 sore dan bangun selepas magrib."
"Kata pemilik kontrakan, Retno sebenarnya kenapa?" tanyaku.
Pak Wardoyo menggeleng.
"Ia juga tidak bisa menjelaskan. Ia hanya tahu bahwa Retno tak ingin pulang ke Jawa. Katanya, ia tak mau campur masalah pribadi. Hanya saja, ia curiga Retno ada yang mengerjai."
Kata-kata dari pak Wardoyo kembali meluncur. Ia menceritakan asal mula kecurigaan pemilik kontrakan. Suatu dini hari sekitar pukul setengah 2, bapak pemilik kontrakan terbangun karena lampu di rumahnya mendadak padam.
Dalam keadaan setengah sadar, ia meraih senter untuk memeriksa sekring lampu. Saat hendak menyalakan sekring, mendadak bulu tengkuknya merinding. Ia merasa ada yang meniup pelan di bagian belakang leher. Ia merasa ada yang memperhatikannya di balik kegelapan. Ia merasa seperti sedang diintai. Ia juga mendengar bunyi kretek-kretek, seperti suara kucing mencakar kaca.
Ia bergegas menyalakan sekring lampu lalu berbalik untuk memperhatikan keadaan sekitar. Ia mengira ada maling yang hendak mencuri. Saat itulah ia melompat kaget sambil mengucap istighfar. Ternyata Retno tengah berdiri di balik jendela, memperhatikan si pemilik kontrakan sedari tadi. Retno hanya mematung di balik tirai dengan mata melotot sempurna.
Si pemilik kontrakan hendak menghampiri tapi langsung mengurungkan niat. Ia mundur perlahan sembari membaca doa. Ternyata Retno memegang pisau dan matanya tak pernah lepas dari pemilik kontrakan. Lelaki itu lantas bergegas masuk ke dalam rumah lalu mengintip dari balik jendela. Ia sekali lagi kaget setengah mati. Ia bahkan gemetaran. Ternyata mereka beradu mata. Yang lebih mengerikan, Retno tiba-tiba tersenyum dengan sorot mata menakutkan.
Mendengar cerita pak Wardoyo aku ikutan menahan napas. Galih yang tidak terlalu percaya bahkan ikutan cemas. Bulir-bulir keringat mulai menetes di wajahnya yang kelelahan.
"Pak, kata jenengan si pemilik kontrakan yang menyembuhkan Retno dini hari tadi. Apa dia tidak bisa membantu?" tanya Galih.
"Kata pemilik kontrakan, meski ia bisa sedikit kebatinan, tapi tak bisa berbuat banyak. Aku tak tahu apa maksudnya, yang jelas ia bilang ilmunya kalah tuha," jawab pak Wardoyo lemah.
Kami kemudian terdiam, hingga pak Wardoyo kembali buka suara.
"Hanya saja, ia sempat melihat mahluk yang menempel di badan Retno."
"Mahluk apa, pak?" balasku dan Galih hampir bersamaan.
"Kamiyak berambut darah."
"Ka-Kamiyak?" Aku mengernyitkan dahi.
"Iya, Kamiyak. Kamiyak berambut darah. Aku tidak tahu pasti. Hanya itu yang ia sampaikan. Katanya, ia bahkan tak berani menyebut namanya. Takut didatangi," tutup pak Wardoyo dengan suara lirih.
Hening.
Kami semua terdiam selama beberapa saat, hingga Galih kembali buka mulut.
"Pak, maksudnya, ada orang yang hendak mencelakakan Retno? Ada orang jahat yang mengirimkan mahluk halus untuk menempel di badannya?" tanya Galih memastikan.
"Dugaan begitu. Kata pemilik kontrakan, kemungkinan mahluk itu yang selama ini menghalangi Retno untuk pulang ke Jawa. Karena itulah, ibu minta dicarikan orang pintar."
Galih menjawab dengan anggukan. Ia lantas balik badan, menatap kedalam ruangan. Ia menatap lurus ke arah Retno yang terbaring di atas ranjang.
"Ilmu dayak. Kita berhadapan dengan ilmu orang dayak. Ilmu mistis orang-orang pedalaman," lanjut Galih seraya menarik napas sedalam-dalamnya.
…bersambung…
Terima Kasih sudah membaca, Insha Allah kita berjumpa lagi malam Jumat.
Yang ingin baca duluan atau sekedar mendukung saya untuk terus berkarya, bab 5&6 sudah tersedia di mari yak 👇
https://karyakarsa.com/benbela/mantr...kat-roh-bab-56
jenggalasunyi dan 31 lainnya memberi reputasi
32
Kutip
Balas