- Beranda
- Stories from the Heart
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan
...
TS
benbela
Mantra Pengikat Roh Di Pedalaman Kalimantan

Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi bikin thread di kaskus setelah mendapat bisikan dari @makgendhis. Cerita kali ini ane angkat dari pengalaman temannya bini ane yang punya pengalaman agak ngeri-ngeri sedap di tanah Borneo. Beberapa hal ane samarkan demi privasi pihak tertentu.
Jadi, ceritanya bakal ane bongkar pelan-pelan.
Quote:
Dilarang memproduksi ulang cerita ini dalam bentuk tulisan/ audio/ audio visual tanpa ijin penulis. Semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan bisa menghargai karya orang lain. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-12-2023 08:33
jenggalasunyi dan 64 lainnya memberi reputasi
65
26.5K
Kutip
308
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
benbela
#51
Quote:
Bab 3 : Genangan Darah Di Atas Tanah
Sewaktu membuka mata, ternyata aku sudah berada di kamar yang nyaman. Suhu AC yang sejuk membuat tidurku nyenyak sekali. Apalagi badanku masih terasa pegal setelah menempuh perjalanan panjang. Aku coba bangkit, seluruh sendi tubuhku terasa sakit semua. Saat ini rasanya aku sangat membutuhkan jasa seorang tukang pijat.
Setelah meregangkan otot, susah payah aku duduk di tepi ranjang. Aku merenung beberapa saat, memikirkan kejadian dini hari tadi. Kepalaku benar-benar pusing untuk mencerna apa yang sebenarnya yang telah terjadi. Entah kenapa Sikap Retno begitu berubah. Sungguh perubahan yang sangat drastis. Ia yang biasanya lembut mendadak kasar. Sorot matanya yang dahulu teduh, kini penuh amarah dan kebencian. Aku sampai merinding bila teringat sorot mata itu.
Kelebatan demi kelebatan kejadian di kontrakan Retno masih membekas jelas di benakku. Masih teringat jelas ia membentaku dengan kasar.
"Retno, ini aku. Calon bojomu. Aku Dibyo."
"Pergi…! Lungo…! Aku ra kenal karo kowe!"
"Ret…kwe ki ngopo?!"
"Pergi…! Aku gak kenal siapa kamu. Pergi…!"
Amarah Retno yang tanpa sebab semakin tidak terkendali. Orang tuanya berusaha menenangkan, tapi Retno tetap bersikukuh untuk mengusirku. Sorot matanya nyalang dengan emosi yang menggelegak. Aku sampai merinding, sorot matanya terlalu mengerikan.
Orang-orang yang tadi masuk ke dalam kontrakan masing-masing kembali berhamburan keluar. Seorang bapak-bapak pemilik kontrakan tampak menggenggam mandau sembari mengawasi keributan yang sedang terjadi. Aku tidak peduli, aku berusaha merangkul Retno tapi tamparan kembali mendarat di pipiku.
Bu Lastri merangkul putrinya sangat erat dengan air mata berlinang. Pak Wardoyo lantas membawa keduanya ke dalam kontrakan lantaran keadaan semakin tidak kondusif.
"Retno, kui Dibyo. Calon suamimu nak," kata Bu Lastri lemah sembari menggandeng Retno yang masih penuh emosi.
Galih menahan pundakku, mencegah langkahku yang ingin menyusul.
"Dibyo…wes, jangan sekarang. Gak enak diliatin orang. Nanti dikira pengacau," tegur Galih.
Benar saja, para tetangga kontrakan Retno makin berdatangan karena mendengar keributan. Beberapa orang pria menggenggam senjata tajam, mengira ada perkelahian atau pencurian.
Galih dengan sigap menyeretku ke dalam mobil, menyuruhku untuk menenangkan diri dan menunggu.
"Wes, nang kene wae. Tenangno pikirmu. Ingat, kita di kampung orang. Kau gak ingin kan, kita pulang tanpa kepala?!"
"Aku tidak peduli. Aku tidak takut. Orang-orang itu gak bakal menebas leherku. Palingan hanya gertak sambal."
"Dibyo, wes! Jangan cari perkara! Kau belum sehari di sini. Kalau ada masalah, bukan cuma kamu yang kena. Tapi juga aku dan orang tuanya Retno."
Aku terdiam. Perkataan Galih membuka pikiranku. Dengan berat hati aku mengalah dan menuruti sarannya.
Galih lantas melangkah ke arah bapak pemilik kontrakan. Ia sepertinya sedang meminta maaf atas kegaduhan yang kami perbuat. Selang beberapa saat, ia kembali dan membuka bagasi mobil. Aku hendak membantu tapi ia melarang.
"Gak usah Dib. Nanti Retno emosi lagi melihatmu. Biar aku saja."
Setelah menurunkan tas koper orang tuanya Retno dan meletakkannya di depan pintu, Galih kembali ke mobil. Kami kemudian beranjak pergi, melaju ke arah mess Galih yang berada di area perusahaan tambang.
*****
Aku membuka pintu kamar, ternyata Galih sedang santai di ruang tamu seraya menonton siaran berita di televisi. Siaran yang didapat melalui parabola satelit. Di meja di hadapannya, terdapat beberapa puntung rokok di dalam asbak serta kopi yang sudah dingin.
Aku mengedarkan pandangan, rumah dinas Galih ini ukurannya lumayan besar. Terdapat dua kamar tidur, sebuah dapur dan ruang tamu. Selain itu, fasilitasnya lumayan lengkap. Aku menduga, jabatan Galih lumayan tinggi di perusahaan ini.
"Eh, Dib, udah bangun?! Sini, nyantai sambil ngerokok," sapa Galih.
"Kamu gak kerja?" tanyaku seraya mengambil posisi duduk di sebelahnya.
"Kan aku sedang cuti. Kalo gak cuti, gak mungkin aku bisa jemput kalian. Urusan ijin di perusahaan sangat repot. Ijin untuk melayat orang tua yang meninggal aja cuman dapat 3 hari. Edan."
Aku tersenyum mendengar penuturannya sambil melirik jam dinding yang menunjukan pukul 11.30.
"Kamu kerja bagian apa sih sebenarnya? Kayaknya jabatanmu lumayan tinggi."
"Yeah.. Lumayan. Sesuai jurusan kita. Aku bagian yang ngurus maintainance alat berat. Bagian perbengkelan. Kalau mobil kecil atau pribadi, bukan urusanku. Biasanya, kantor malah membawa ke bengkel luar kalo mobil kantor rusak atau mogok," ungkap Galih penuh rasa bangga.
"Eh, Dib, mau minum apa? Biar kubikinkan. Teh susu kan?! Kebiasaanmu kalo bangun tidur," lanjut Galih.
"Gausah, Lih. Biar kubikin sendiri. Masa ngerepotin kamu terus."
"Yo wes sakarepmu. Kalo mau masak air panas, nyalain aja kompor di dapur. Atau kalo mau air dari dispenser juga bisa, tapi tunggu dulu beberapa menit agar airnya panas."
"Wes…gampang."
*****
Aku dan Galih kini sedang menikmati rokok dan minuman kami masing-masing di ruang tamu. Beberapa kue kering telah terhidang di meja untuk menemani obralan kami siang itu.
"Bagaimana rencanamu, Dib?"
Aku menarik napas seraya menyesap rokok yang baru menyala.
"Aku mau bertemu Retno lagi hari ini, sekaligus berembuk dengan orang tuanya terkait rencana kepulangan kami. Hanya saja…"
"Hanya saja, apa?"
"Retno…kamu lihat Retno subuh tadi, kan?! Kenapa ia lupa padaku? Bukan hanya tak mengenalku, ia seolah begitu membenciku. Jika ia memang tak ingin menikah denganku, aku masih bisa memahami. Tapi…tak mengenalku sekaligus membenciku, sungguh aneh."
Galih menyeruput kopinya dan kembali menyesap rokok yang sisa separo sebelum menanggapi kalimatku.
"Aku juga merasa ada yang aneh dengan Retno. Ia bisa mengenalku dan juga orang tuanya. Tapi tidak denganmu. Ia bahkan melihatmu seperti melihat seorang musuh."
Aku mengangguk-angguk mendengar penuturan Galih.
"Jujur, aku sudah merasa curiga saat pertama kali bertemu Retno beberapa hari lalu. Ia bilang, ia selalu membatalkan niatnya tanpa sebab jika ingin pulang."
Aku mengernyitkan dahi, menatap Galih dengan penuh rasa penasaran. Ia pun kemudian lanjut bercerita.
"Katanya, kadang ia mendadak sakit demam begitu hendak pulang. Padahal barang-barangnya sudah dikemas. Ia bahkan sudah pernah ke Banjarmasin. Begitu tiba di bandara, ia lupa mau ngapain. Hasilnya, ia kembali lagi ke sini. Ia bilang, ia seperti orang linglung. Ia tak ingat apa-apa. Karena itulah ia tak pernah berkirim kabar ke Jawa. Mungkin, karena itu juga ia lupa denganmu, calon suaminya."
Aku tercekat mendengar penjabaran Galih. Entah kenapa pikiranku tiba-tiba ke hal mistis dan gaib. Padahal, aku tidak terlalu pecaya hal itu sebelumnya. Hingga umurku 29 tahun, tak pernah sekalipun aku melihat hantu. Namun, penuturan Galih membuatku terpaksa memilih alternatif jawaban lain. Hanya itulah kemungkinan jawaban yang paling bisa diterima saat ini.
"Ilmu hitam, Lih. Retno terkena guna-guna. Entah santet, entah pelet, entah apalah namanya. Aku yakin, ada yang mengerjai Retno. Ada orang yang tak ingin melihatku hidup bahagia bersama Retno."
Galih mematikan rokoknya yang telah habis, lalu kembali menyereput kopinya. Setelah itu, ia kembali buka suara.
"Entahlah, Dib. Aku setengah percaya setengah tidak hal begituan. Bertahun-tahun aku di sini, tak pernah sekalipun aku mendapati hal gaib atau mistis. Padahal, kau tahukan stereotip orang-orang di Jawa terhadap Kalimantan. Namun, semua tampak normal di sini. Kau lihat sendiri, selain bahasa dan adat, mereka sama seperti kita."
Kami berdua kembali terdiam, mencoba menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi dengan Retno. Jauh di lubuk hati, aku tetap bersikukuh bahwa ada yang mengguna-guna Retno. Atau, sesuatu yang melibatkan ilmu hitam.
"Atau, ada penjelasan lain."
Kata-kata Galih barusan menggugah rasa penasaranku.
"Penjelasan lain?"
Galih mengangguk, "penjelasan yang paling masuk akal. Penjelasan paling logis saat ini."
Galih menggantung kalimatnya, membuatku tambah penasaran.
"Yang Retno sampaikan hanyalah karangan belaka. Ia hanya pura-pura lupa karena ada yang ia tutupi."
"Apa yang ia tutupi?" cecarku.
Galih tak langsung menjawab. Ia justru menyalakan sebatang rokok kemudian menyandarkan punggungnya pada sofa. Pandangannya menerawang, menatap langit-langit yang berwarna putih polos. Aku tahu, ada keraguan yang terselip di dadanya.
Keraguan untuk menyampaikan isi pikirannya.
"Yang tahu jawabannya adalah dirimu sendiri," tambah Galih sembari menyembulkan asap rokok dari mulut dan hidungnya secara bergantian.
Aku menoleh, menatap Galih dalam-dalam. Aku mencoba mengira-ngira isi pikirannya, tapi tetap saja tidak mengerti.
"Maksudmu, apa, Lih?"
"Tak usah pura-pura, Dib. Kau tahu maksudku. Sebaiknya kau berterus terang. Tidak mungkin Retno meninggalkanmu tanpa sebab."
"Maksudmu, aku berselingkuh?"
Galih mengangguk. Aku ikutan menyandarkan punggung pada sofa yang empuk.
"Lih, kamu kan kenal aku. Sudah lama kita berteman. Kita bahkan tak punya rahasia. Jika aku berselingkuh, pasti kau orang pertama yang tahu. Kau sendiri saksinya atas apa yang terjadi lima tahun lalu."
Galih terdiam, kata-kataku barusan cukup menohok. Lima tahun lalu, Galih adalah orang yang paling sibuk untuk mempersiapkan pernikahanku. Ia mengkoordinir beberapa orang kawan semasa kuliah, sehingga aku dan Retno tidak perlu pusing memikirkan pernikahan kami yang minim budget.
Ia bertindak sebagai wedding organizer dadakan, mempersiapkan segala kebutuhan mulai dari menghubungi pihak gereja, dokumentasi, undangan, hingga katering. Bisa dibilang, aku dan Retno hanya bawa badan dan uang seadanya. Ia juga yang menjadi saksi, seminggu sebelum pernikahan Retno mendadak hilang tanpa kabar.
"Sudahlah," Galih menepuk pundakku, "sebaiknya kau mandi dulu, setelah itu kita makan. Setelah itu baru kita temui Retno. Bagaimana kedepannya, kita lihat saja nanti. Kita pikir sambil jalan saja."
*****
Aku dan Galih menikmati makan siang di sebuah warung dekat area perusahaan. Rupanya area perkantoran perusahaan dekat dengan desa, hanya dibatasi pagar dengan pengamanan ketat. Galih menyebutnya area ring 1. Sedangkan area tambang berada jauh di dalam hutan.
Usai mengisi perut kami kemudian melanjutkan perjalanan ke kontrakan Retno yang berada di ibu kota kabupaten. Jaraknya lumayan dekat, hanya sekitar 30 menit menggunakan mobil. Sepanjang jalan, kami melewati beberapa desa yang sangat kental dengan ornamen dayak. Hampir setiap rumah yang kami lalui terdapat sandung dan sapundu.
Jalan yang kami lewati pun sudah beraspal. Beberapa titik berupa cor semen. Yang paling mengerikan adalah bukit ular. Jalannya berkelok-kelok dengan jurang curam di kiri dan kanan. Aku bergidik ngeri saat Galih menerangkan sering terjadi kecelakaan di area ini. Terutama truk logistik yang tidak kuat menanjak. Hanya sedikit korban yang selamat, itupun dengan kondisi cacat permanen.
Dari atas bukit ini, burung elang tampak terbang berputar-putar mencari mangsa hanya beberapa meter di samping mobil. Sekeluarga monyet yang tengah asyik di jalan,
langsung berlompatan sewaktu mendengar deru mesin mobil.
Setelah jalan menurun yang curam dan lumayan panjang, sisa perjalanan kami cukup mulus dengan pemandangan hutan perawan yang memanjakan mata. Baru sekarang aku bisa menikmati pemandangan ini, karena dini hari tadi sangat gelap.
Sesudah melewati desa terakhir, kami pun akhirnya melintasi ruas jalan protokol ibu kota kabupaten. Tidak banyak kendaraan lalu lalang membuat jalanan terasa lengang. Beberapa pemotor melaju tanpa menggunakan helm dan melanggar lampu merah seenaknya.
Setelah melewati bundaran, kami kemudian berbelok ke arah gang kontrakan Retno. Ketika mobil terparkir, aku sedikit gugup. Aku masih trauma atas sikap Retno dini hari tadi.
"Ayo…!" ajak Galih yang sudah melangkah keluar.
Aku menarik napas panjang, kemudian membuat tanda salib dengan tangan di dahi dan pundak, lalu menunduk penuh khidmat dengan jemari saling bertaut.
Allah Bapa Maha Baik dan Pencipta Alam Semesta, sertailah aku. Lindungilah kami dari segala keburukan, perselisihan dan perpecahan, doaku dalam hati.
Aku kemudian keluar dari mobil, mendekati Galih yang sedari tadi mengetok pintu seraya memanggil-manggil Retno.
"Gak ada jawaban. Bapak dan ibunya juga tidak menyahut. Apa mereka sedang keluar? Coba kau telepon Pak Wardoyo."
Aku bergegas menghubungi ayahnya Retno tapi nomornya tidak aktif. Ditelpon berkali-kali tetap saja tidak tersambung. Ibunya juga sama, entah kenapa nomorku sepertinya sengaja diblokir.
Sejurus kemudian, keheranan kami segera terjawab. Pintu kontrakan yang persis bersebelahan dengan kontrakan Retno mendadak terbuka. Seorang ibu-ibu berjilbab dengan alis tebal tampak keluar dari pintu dan mendekati kami.
"Cari Retno?"
"Inggih cil. Retnonya kemana?" sahut Galih.
"Retno dan orang tuanya sudah pergi sekitar satu jam lalu. Mereka dijemput travel. Katanya pulang ke Jawa."
"Hah?!" Aku terperangah.
"Iya, katanya mbak Retno pulang ke Jawa dan gak balik lagi. Mereka pergi terburu-buru. Kuncinya sudah diserahkan ke pemilik kontrakan."
Aku tertunduk lesu. Pikiranku tiba-tiba buntu dan kedua kakiku hilang kekuatan untuk menopang tubuh. Aku duduk tersungkur di depan pintu kontrakan Retno dengan perasaan berkecamuk. Tak hanya Retno, kedua orang tuanya malah turut bersekongkol untuk meninggalkanku. Saat ini, duniaku rasanya benar-benar terasa sangat gelap.
Duduk di samping, Galih menepuk pundakku, mencoba menguatkan. Ia mengeluarkan sekotak rokok dari saku kemudian menawarkan sebatang. Kami berdua lantas menyesap rokok dan tenggelam dalam seribu pertanyaan yang tak terjawab.
"Sing kuat, yo, Dib. Semua sudah berakhir…"
Aku sudah tak mampu lagi merespon ucapan Galih. Jemariku gemetar menjepit rokok sedangkan hatiku hancur lebur. Mataku menerawang, menatap barisan rumah kayu yang berjejer di depan.
Kriing…!
Dering handphone di tas pinggang mengagetkanku. Segera kuraih, terpampang di layar nama Pakde Wardoyo. Tanpa pikir panjang langsung kuangkat panggilan itu.
"Dib… Dibyo! ……rumah sakit. …No….karat…IGD!"
Terdengar suara Pak Wardoyo dalam keadaan panik di ujung telpon. Suaranya putus-putus entah karena sinyal yang jelek atau gangguan.
"Pak…! suara jenengan putus-putus. Pak…!"
Di seberang sana, sayup-sayup terdengar suara seseorang menjerit. Suara perempuan yang sedang merintih kesakitan. Suara Retno! Suara itu perlahan terdengar semakin jelas. Bahkan, seakan berbisik langsung di telingaku. Suara itu kemudian berubah serak dengan nada penuh amarah.
"Retno milikku! Retno akan mati!"
Kaget, handphone terlempar dan hempas di atas tanah. Layarnya retak, menimbulkan garis pecah tidak beraturan. Namun, ada sesuatu yang lebih mengerikan. Aku merinding dengan apa yang kulihat di depan mata.
Dari layar handphone, darah segar tiba-tiba menyeruak. Darah merah pekat mengalir deras tanpa henti, membasahi tanah yang ditumbuhi rerumputan kering.
…bersambung…
Terima kasih sudah membaca, Insha Allah kita bertemu lagi di malam Senin.
Moon maap kalo ada komen belum terbalas karena kesibukan di real life.
Jangan lupa like, komen dan share yak, tabe 😇🙏
jenggalasunyi dan 33 lainnya memberi reputasi
34
Kutip
Balas
Tutup