Epilog
Seminggu setelah peristiwa mengerikan yang kualami, beredar berita yang menggemparkan kotaku. Bahkan, beritanya diliput berhari-hari oleh media nasional. Sang Komandan, perwira pemilik lapak judi, ditangkap oleh satgas dari pusat.
Ia ditangkap lantaran jadi otak pembunuhan istri simpanannya. Yang mencengangkan, ternyata bisnis ilegalnya cukup banyak. Tidak hanya sebagai pemilik arena judi, tapi juga boss tambang emas ilegal. Karirnya dibunuh dan hartanya dirampas. Tersiar kabar, kalau si komandan tidak menyetorkan upeti kepada pimpinan yang jabatannya lebih tinggi lagi.
Waktu terus berlalu, tidak terasa sudah tiga bulan aku berhenti sebagai sopir travel. Aku sekarang bekerja di sebuah moulding, memanfaatkan keahlian mengolah kayu yang dulu kudapatkan selama di penjara.
Di suatu sore, sebuah mobil keluarga berwarna putih berhenti di depan tempatku bekerja. Kaca jendela gelap membuatku tak bisa mengetahui siapa yang di dalam. Seorang lelaki berlagak tampan, berperawakan tambun memakai kaca mata hitam melangkah keluar. Awalnya kukira seorang pelanggan yang hendak memesan furtniture, hingga aku tersadar ia adalah kawan lama, si Ilham.
"Ncah…apa kabar?" tanya Ilham seraya tersenyum lebar.
Serpihan kayu yang menempel di telapak tangan kukibas-kibaskan pada celana lalu menyambut uluran tangannya.
"Yeah.. Beginilah. Kamu lihat sendiri, aku jadi pembuat kursi dan lemari sekarang. Mau pesan?" sahutku sekenanya.
Ilham menggeleng, "susah sekali mencarimu. Pakai ganti nomor segala sih."
Ilham menyalakan rokok, lalu menyodorkan sebatang untukku.
"Tumben, ada apa mencariku?" tanyaku ketus.
"Gak ada apa-apa. Cuman pengen ketemu saja. Sudah lama kita gak ngobrol-ngobrol. Eh, berapa gajimu di sini? Dua juta? Paling mentok tiga juta."
Aku menangkap ada maksud tersembunyi dari arah pembicaraannya. Kutatap matanya, ia malah tersenyum makin lebar sehingga pipi tembemnya membuat kedua bola matanya tenggelam.
"Yeah…lumayan. Gak banyak, tapi cukup. Kadang ada bonus kalau terima order yang banyak. Yang penting halal. Aku sedang mengumpulkan uang untuk biaya sekolah anakku."
Mendengar perkataanku, Ilham malah terkekeh.
"Kayak ustad saja kamu sekarang, bisa bedakan halal dan haram. Hahahahaha."
Aku mendengus kesal. Melihatku serius, Ilham akhirnya berhenti basa-basi kemudian mengutarakan niat sesungguhnya.
"Gini, Ncah. Aku mencarimu memang ada keperluan. Aku butuh bantuan sopir hebat sepertimu. Sopir yang kalo nyetir mobil, ngebutnya kayak setan. Huahahahaha."
"Gak ah. Aku sudah kapok," balasku singkat.
Mendengar jawabanku, Ilham mendadak menghentikan gelak tawanya. Wajahnya langsung merengut dan masam, tak percaya dengan yang ia dengar.
"Hei, Ncah. Duitnya gede. Lima kali lipat dari gajimu. Kau hanya perlu mengantarkan penumpang ke…"
"Ke pelabuhan, kan?!" selahku, "aku sudah kapok. Terakhir kali aja aku hampir mati. Aku gak berminat. Cari aja sopir lain."
Aku mematikan rokok dengan menginjaknya di tanah, lalu kembali ke pekerjaanku yang sempat terhenti.
Ilham tercenung, raut kekecewaan jelas terpancar di wajahnya yang bulat. Ia menghela napas, membetulkan kacamatanya yang hampir terlepas.
"Eh, itu dijual?" tanya Ilham lagi.
Kuikuti arah pandangnya, ternyata ia menatap sepeda mini yang kubeli tempo hari. Tulisan "dijual" pada kerta karton yang tergantung menarik perhatiannya.
"Iya, kujual. Kau belilah. Sudah tiga bulan tapi gak laku-laku. Baru itu, belum pernah dipakai. Tadinya untuk hadiah anakku, tapi rupanya kekecilan."
"Ya sudah, berapa duit?"
"500 ribu. Di toko 800 ribu."
"Ya sudah. Sini, aku yang beli. Sepertinya cocok untuk anakku."
Ilham lantas mendekat, mengeluarkan enam lembar uang merah dari dompetnya.
"Nih, kulebihkan 100 ribu. Hitung-hitung bantu teman. Soalnya semenjak bertaubat, semakin kere saja kau kulihat," racau Ilham semaunya.
Aku hanya tersenyum getir menerima uangnya. Kubantu ia membawa sepeda kecil itu ke dalam mobil. Setelah semua beres, Ilham kemudian menurunkan kaca depan sepenuhnya. Ia menjulurkan wajah, menatap ke arahku lalu berkata, "Eh, Ncah, tahu gak? Kebahagiaan seorang ayah adalah ketika melihat anak-anaknya tersenyum menerima hadiah."
Aku hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Senyum getir tersungging di bibirku. Ilham lantas berlalu, meninggalkanku begitu saja yang menatap kepergiannya. Tiba-tiba ada seseorang melempar benda dari jendela belakang. Benda itu tergeletak di tengah jalan, sepertinya sengaja untuk diberikan kepadaku.
Aku setengah berlari mengambil benda itu. Saat digenggam, detik itu juga aku tersadar. Benda di tanganku sangat familiar. Benda yang sangat kukenal siapa pemiliknya.
"Dohong…" desahku takjub.
Tamat
.