- Beranda
- Stories from the Heart
Thread Horor: MENJEMPUT GELAP
...
TS
saujanastory
Thread Horor: MENJEMPUT GELAP
Halo Agan semua, salam kenal. Ane Jana, yang biasa menceritakan dan kisah horor baik berdasarkan kisah nyata, atau terinspirasi dari kisah nyata. Monggo disimak, jangan lupa diramaikan.

Sekian Agan-Agan semua, malam Minggu depan ceritanya akan dilanjutkan.
MENJEMPUT GELAP

Quote:
Original Posted By Bab 1: Kontrakan Bangsal Tiga
Hari ini kondisi cuaca cukup cerah dengan sedikit gumpalan awan berarak yang menjadi tanda bahwasanya hujan tidak akan turun. Dari balik kaca, lelaki itu memandangi jalanan sambil menyesap segelas kopi yang tak lagi panas.
Siang ini ia terpikir beberapa hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Sebuah misi yang seharusnya ia lakukan bertahun-tahun lalu. Mengunjungi tanah leluhurnya. Namun yang ia temukan adalah hal mengerikan yang seharusnya tak pernah terungkap. Sebuah rahasia masa lalu yang disimpan rapat oleh seluruh penduduk desa.
Kemal, 32 tahun. Seorang pemuda medioker yang masih terus berkutat dengan segala hobi dan kegemarannya. Kehidupan keluarganya yang sangat sederhana membuat masa kecilnya lebih terbatas jika dibandingkan dengan kawan sebayanya.
Ayahnya yang ketika itu masih berada di posisi cukup rendah di tempat kerjanya membuat hidup keluarga sangat sederhana. Ayah Kemal yang memulai karir di sebuah BUMN sebagai sekuriti hanya mendapatkan gaji 275 ribu rupiah per bulan. Saat itu masih sekitar tahun 1991.
Ibunya sedang mengandung sang adik. Sementara Kemal yang statusnya ‘disembunyikan’ berada di desa asal sang ibu. Sebuah desa tertinggal di provinsi paling timur di pulau Jawa. Sebuah desa yang pada saat itu hanya dihuni para petani, dengan kehidupan miskin dan jauh dari kata cukup.
Pada saat itu, ayah Kemal baru saja mendapatkan pekerjaanya. Dan menurut peraturan, pegawai tidak boleh menikah sebelum 3 tahun masa kerja. Karena ayah dan ibu Kemal menikah di luar ketentuan itu, maka kelahiran Kemal terpaksa disembunyikan dari rekan kerja sang ayah.
Dan ia pun dirawat oleh sang nenek, si mbok dari sang ibu.
Dalam rumah bangsal petak itu Harti sedang menggigil ketakutan. Keringat dingin membasahi tubuhnya, sementara ia hanya berada di kontrakan itu sendirian. Husin sedang bertugas sebagai sekuriti dan akan pulang pukul 11 malam. Yang mana akan tiba di rumah 20 hingga 30 menit setelah shift jaga selesai.
Sedari pukul 10, Harti mendengar ada sosok yang sedang tertawa cekikikan di depan pintu rumahnya. Sementara ia sangat tahu, bahwa lingkungan tempat tinggalnya adalah lingkungan yang sepi setelah shalat Isya.
Di dalam rumah, Harti tak bisa melakukan apa pun. Hanya bisa duduk meringkuk diatas ranjang sambil melindungi kandungannya yang sudah cukup besar. Ia hanya berdoa semampu yang ia ingat, diiringi kucuran keringat dan tubuhnya yang menggigil ketakutan.
Hingga pukul 11.25, hampir tengah malam suara vespa memecah keheningan malam itu. Husin datang dan langsung memarkirkan motornya tepat di depan rumah. Ia masuk dan disambut dengan tangisan yang memecah keheningan malam.
“Pak, di situ!! Tadi ada orang ketawa nyaring, cekikikan gak berhenti.” Harti tergagap sambil memeluk erat pinggang suaminya.
“Di mana?! Bentar, biar ku bacok kalo emang ada.” Husin langsung mengambil sebilah golok dan kembali mengecek teras rumah mereka. Dan yang ia temukan hanyalah sepinya malam dengan suara jangkrik dari
seberang jalan yang lebarnya tak lebih dari 2 meter.
Malam itu Harti terselamatkan, ia kembali tenang setelah sang suami memastikan tidak ada yang bisa ia temukan di depan rumahnya. Mereka akhirnya bisa terlelap sambil ditemani beberapa benda tajam seperti jarum, silet, gunting dan bulu landak sebagai proteksi sang jabang bayi.
Sore itu, Harti merasa sakit perut dan ingin buang hajat. Ia lalu keluar rumah melalui pintu belakang dan menuju toilet bersama yang berada tepat di belakang kontrakannya. Perlahan ia turun menuju belakang rumah, sambil memegangi perut besarnya dan melihat toilet dalam kondisi tertutup.
Harti menunggu sejenak. Karena tak ada suara, ia memutuskan untuk mendorong pintu toilet tersebut. Ia terkejut, pintu itu tak terkunci, namun di dalamnya ada seorang nenek yang sedang duduk berjongkok di atas kloset seperti sedang membuang hajat.
“Maaf, saya kira gak ada orang.” Ucapnya sambil langsung menutup pintu dan menunggu di mulut pintu rumahnya.
Beberapa menit berlalu, tak ada tanda bahwa sang nenek sudah selesai. Bahkan tidak ada suara sama sekali dari dalam toilet. Sementara hajat Harti sudah sulit untuk ditahan. Ia pun kembali mengetuk pintu toilet tersebut, seketika toilet itu terbuka. Di dalamnya tak ada orang, nenek yang sedang berjongkok di atas toilet sudah hilang.
Karena sudah menunggu lama dan tak bisa ditahan lagi. Maka Harti langsung saja masuk ke dalam toilet dan menuntaskan hajatnya yang sudah hampir tak terbendung. Sore itu, adalah pertama kali Harti melihat sosok tak asing yang mungkin saja bukan manusia.
Pagi menyingsing, hawa dingin dan sejuk mengiringi niat Harti yang ingin berjalan-jalan. Kumpulan tumbuhan pandan tumbuh di depan rumahnya yang di bawahnya merupakan genangan air. Kontrakan 3 pintu yang hanya memilik satu toilet bersama. Toilet yang berada tepat di belakang dapur rumah Harti.
Ditemani sang suami, Harti berjalan-jalan sambil menikmati udara pagi
yang segar. Disambut dengan sapaan para tetangga yang mayoritas adalah warga suku lokal. Dengan logat Kutai dan Banjar yang kental, mereka menyapa sembari menyapu atau menyiram tanaman.
“Hendak ke mana kita? Gaknya tumat lagi lahir ni. – Mau kemana? Sepertinya sebentar lagi lahiran.” ucap seorang wanita penjual kue-kue basah yang biasa dipanggil dengan sebutan Mbok Joi dengan logat Kutai
yang kental.
“Ohh, bejalanan aja. Biar kena kalo lahiran lancar, – Mau jalan-jalan saja. Supaya nanti lahiran lancar,” jawab Husin dengan logat Banjar.
“Bulu landak ngan gunting jangan lupa dibawa, biar ndik dilirik kuyang, – Bulu landak sama gunting jangan lupa dibawa, supaya tidak dilirik (hantu) kuyang,” timpal Mbok Joi lagi sambil tersenyum sembari merapikan kue dagangannya.
“Iya, makasih, Mbok Joi.” Husin tersenyum sambil melanjutkan menemani Harti berjalan berkeliling.
Di kota ini, mitos dan rumor tentang kuyang memang sangat dipercaya. Terutama oleh para warga asli yang memang sangat memegang teguh kepercayaan lokal. Dan entah, percaya/tidak percaya semua itu diceritakan turun-temurun dan kabarnya memang sudah ada yang pernah membuktikan keberadaan dan kebenarannya.
Harti dan Husin berjalan menikmati pagi dengan santai. Embun masih terasa membasahi kulit, juga meninggalkan titik-titik bulir air di atas dedaunan di kiri-kanan gang. Banyak orang berlalu-lalang membawa keranjang belanjaan karena pasar juga masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Juga anak-anak sekolah yang sedang jalan bergerombol menuju tempat mereka menuntut ilmu. Juga beberapa ibu yang sedang berjalan berlainan arah. Salah satunya menggunakan kerudung dengan ujung yang melilit di lehernya.
Mereka bercakap sambil salah satunya menatap Harti yang dengan pandangan yang menyelidik. Hingga saat perpapasan, ia bahkan sampai menolehkan kepalanya memandang Harti yang sedang berjalan sambil memegangi perutnya Wanita itu menelan ludahnya sambil menjilat bibirnya sendiri.
“Hmmm.. Wangi..” batinnya.
Siang ini ia terpikir beberapa hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Sebuah misi yang seharusnya ia lakukan bertahun-tahun lalu. Mengunjungi tanah leluhurnya. Namun yang ia temukan adalah hal mengerikan yang seharusnya tak pernah terungkap. Sebuah rahasia masa lalu yang disimpan rapat oleh seluruh penduduk desa.
***
Kemal, 32 tahun. Seorang pemuda medioker yang masih terus berkutat dengan segala hobi dan kegemarannya. Kehidupan keluarganya yang sangat sederhana membuat masa kecilnya lebih terbatas jika dibandingkan dengan kawan sebayanya.
Ayahnya yang ketika itu masih berada di posisi cukup rendah di tempat kerjanya membuat hidup keluarga sangat sederhana. Ayah Kemal yang memulai karir di sebuah BUMN sebagai sekuriti hanya mendapatkan gaji 275 ribu rupiah per bulan. Saat itu masih sekitar tahun 1991.
Ibunya sedang mengandung sang adik. Sementara Kemal yang statusnya ‘disembunyikan’ berada di desa asal sang ibu. Sebuah desa tertinggal di provinsi paling timur di pulau Jawa. Sebuah desa yang pada saat itu hanya dihuni para petani, dengan kehidupan miskin dan jauh dari kata cukup.
Pada saat itu, ayah Kemal baru saja mendapatkan pekerjaanya. Dan menurut peraturan, pegawai tidak boleh menikah sebelum 3 tahun masa kerja. Karena ayah dan ibu Kemal menikah di luar ketentuan itu, maka kelahiran Kemal terpaksa disembunyikan dari rekan kerja sang ayah.
Dan ia pun dirawat oleh sang nenek, si mbok dari sang ibu.
***
Dalam rumah bangsal petak itu Harti sedang menggigil ketakutan. Keringat dingin membasahi tubuhnya, sementara ia hanya berada di kontrakan itu sendirian. Husin sedang bertugas sebagai sekuriti dan akan pulang pukul 11 malam. Yang mana akan tiba di rumah 20 hingga 30 menit setelah shift jaga selesai.
Sedari pukul 10, Harti mendengar ada sosok yang sedang tertawa cekikikan di depan pintu rumahnya. Sementara ia sangat tahu, bahwa lingkungan tempat tinggalnya adalah lingkungan yang sepi setelah shalat Isya.
Di dalam rumah, Harti tak bisa melakukan apa pun. Hanya bisa duduk meringkuk diatas ranjang sambil melindungi kandungannya yang sudah cukup besar. Ia hanya berdoa semampu yang ia ingat, diiringi kucuran keringat dan tubuhnya yang menggigil ketakutan.
Hingga pukul 11.25, hampir tengah malam suara vespa memecah keheningan malam itu. Husin datang dan langsung memarkirkan motornya tepat di depan rumah. Ia masuk dan disambut dengan tangisan yang memecah keheningan malam.
“Pak, di situ!! Tadi ada orang ketawa nyaring, cekikikan gak berhenti.” Harti tergagap sambil memeluk erat pinggang suaminya.
“Di mana?! Bentar, biar ku bacok kalo emang ada.” Husin langsung mengambil sebilah golok dan kembali mengecek teras rumah mereka. Dan yang ia temukan hanyalah sepinya malam dengan suara jangkrik dari
seberang jalan yang lebarnya tak lebih dari 2 meter.
Malam itu Harti terselamatkan, ia kembali tenang setelah sang suami memastikan tidak ada yang bisa ia temukan di depan rumahnya. Mereka akhirnya bisa terlelap sambil ditemani beberapa benda tajam seperti jarum, silet, gunting dan bulu landak sebagai proteksi sang jabang bayi.
***
Sore itu, Harti merasa sakit perut dan ingin buang hajat. Ia lalu keluar rumah melalui pintu belakang dan menuju toilet bersama yang berada tepat di belakang kontrakannya. Perlahan ia turun menuju belakang rumah, sambil memegangi perut besarnya dan melihat toilet dalam kondisi tertutup.
Harti menunggu sejenak. Karena tak ada suara, ia memutuskan untuk mendorong pintu toilet tersebut. Ia terkejut, pintu itu tak terkunci, namun di dalamnya ada seorang nenek yang sedang duduk berjongkok di atas kloset seperti sedang membuang hajat.
“Maaf, saya kira gak ada orang.” Ucapnya sambil langsung menutup pintu dan menunggu di mulut pintu rumahnya.
Beberapa menit berlalu, tak ada tanda bahwa sang nenek sudah selesai. Bahkan tidak ada suara sama sekali dari dalam toilet. Sementara hajat Harti sudah sulit untuk ditahan. Ia pun kembali mengetuk pintu toilet tersebut, seketika toilet itu terbuka. Di dalamnya tak ada orang, nenek yang sedang berjongkok di atas toilet sudah hilang.
Karena sudah menunggu lama dan tak bisa ditahan lagi. Maka Harti langsung saja masuk ke dalam toilet dan menuntaskan hajatnya yang sudah hampir tak terbendung. Sore itu, adalah pertama kali Harti melihat sosok tak asing yang mungkin saja bukan manusia.
***
Pagi menyingsing, hawa dingin dan sejuk mengiringi niat Harti yang ingin berjalan-jalan. Kumpulan tumbuhan pandan tumbuh di depan rumahnya yang di bawahnya merupakan genangan air. Kontrakan 3 pintu yang hanya memilik satu toilet bersama. Toilet yang berada tepat di belakang dapur rumah Harti.
Ditemani sang suami, Harti berjalan-jalan sambil menikmati udara pagi
yang segar. Disambut dengan sapaan para tetangga yang mayoritas adalah warga suku lokal. Dengan logat Kutai dan Banjar yang kental, mereka menyapa sembari menyapu atau menyiram tanaman.
“Hendak ke mana kita? Gaknya tumat lagi lahir ni. – Mau kemana? Sepertinya sebentar lagi lahiran.” ucap seorang wanita penjual kue-kue basah yang biasa dipanggil dengan sebutan Mbok Joi dengan logat Kutai
yang kental.
“Ohh, bejalanan aja. Biar kena kalo lahiran lancar, – Mau jalan-jalan saja. Supaya nanti lahiran lancar,” jawab Husin dengan logat Banjar.
“Bulu landak ngan gunting jangan lupa dibawa, biar ndik dilirik kuyang, – Bulu landak sama gunting jangan lupa dibawa, supaya tidak dilirik (hantu) kuyang,” timpal Mbok Joi lagi sambil tersenyum sembari merapikan kue dagangannya.
“Iya, makasih, Mbok Joi.” Husin tersenyum sambil melanjutkan menemani Harti berjalan berkeliling.
Di kota ini, mitos dan rumor tentang kuyang memang sangat dipercaya. Terutama oleh para warga asli yang memang sangat memegang teguh kepercayaan lokal. Dan entah, percaya/tidak percaya semua itu diceritakan turun-temurun dan kabarnya memang sudah ada yang pernah membuktikan keberadaan dan kebenarannya.
Harti dan Husin berjalan menikmati pagi dengan santai. Embun masih terasa membasahi kulit, juga meninggalkan titik-titik bulir air di atas dedaunan di kiri-kanan gang. Banyak orang berlalu-lalang membawa keranjang belanjaan karena pasar juga masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Juga anak-anak sekolah yang sedang jalan bergerombol menuju tempat mereka menuntut ilmu. Juga beberapa ibu yang sedang berjalan berlainan arah. Salah satunya menggunakan kerudung dengan ujung yang melilit di lehernya.
Mereka bercakap sambil salah satunya menatap Harti yang dengan pandangan yang menyelidik. Hingga saat perpapasan, ia bahkan sampai menolehkan kepalanya memandang Harti yang sedang berjalan sambil memegangi perutnya Wanita itu menelan ludahnya sambil menjilat bibirnya sendiri.
“Hmmm.. Wangi..” batinnya.
***
Spoiler for Bab Selanjutnya Gan!:
Spoiler for Bab Selanjutnya Gan!:
Spoiler for Bab Selanjutnya, Gan!:
Spoiler for Lanjut lagi, Gan!:
Spoiler for Selamat bermalam Minggu, Gan!:
Spoiler for Habis konser, lanjut cerita!:
Spoiler for Telat sehari.:
Spoiler for Lanjutan lagi!:
Spoiler for Malming sendu:
Spoiler for Capek motoran:
Spoiler for Habis selesein cerita untuk KUNCEN:
Spoiler for Mau nonton layar tancap:
Spoiler for Minggu pertama Oktober!! Gas!!:
Spoiler for Udah sepertiga cerita nih!:
Sekian Agan-Agan semua, malam Minggu depan ceritanya akan dilanjutkan.
Diubah oleh saujanastory 14-10-2023 19:36
itkgid dan 19 lainnya memberi reputasi
20
4.4K
Kutip
57
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
saujanastory
#22
Sore, Gan. Hari ini update ceritanya agak cepet karna ntar malem mau nonton ludruk. Selamat membaca, Gan!
Sampe sini dulu, Gan. Mau siap² dulu, selamat bermalam Minggu.
Quote:
Bab 13. Napak Tilas
Hari ini Kemal dan Akbar terbangun pagi sekali. Keadaan di luar rumah terasa sejuk karena embun yang cukup pekat masih menyelimuti desa. Dedaunan dan tanah basah terhampar sejauh yang bisa mereka lihat dari teras rumah. Matahari belum sepenuhnya naik ke atas garis cakrawala.
Di jalan utama yang merupakan satu-satunya jalan aspal, terlihat lalu-lalang warga yang mengendarai sepeda, motor dan berjalan kaki menunaikan tugas sehari-hari. Banyak dari mereka terlihat memakai caping di kepala, juga cangkul yang bertengger gagah di pundak.
Akbar dan Kemal duduk di teras rumah bersama Pak Soleh, menyeruput kopi panas yang terlalu manis sambil menghisap rokok mereka masing-masing. Meskipun cukup berada, Pak Soleh lebih suka melinting rokok klobot daripada membeli rokok konvensional yang dijual di warung.
Baginya, meracik sendiri tembakau kering dengan cengkeh lebih bisa menghasilkan rasa yang jauh lebih nikmat jika dibandingkan rokok pabrikan. Selain itu, biaya untuk urusan rokok juga menjadi lebih ekonomis.
Kegiatan Pak Soleh memang tidak seperti kebanyakan warga desa yang ia pimpin. Rutinitasnya lebih banyak di rumah dan di kantor desa, itu juga hanya di hari-hari tertentu. Selebihnya ia sering di dalam kamarnya, atau mungkin ke belakang rumah untuk sekedar melukis.
Pak Soleh sebenarnya merupakan seorang seniman, namun ia harus mengubur mimpinya untuk merantau karena ia adalah anak satu-satunya yang harus meneruskan dan menjaga warisan orang tuanya. Kebetulan jabatan bayan juga diemban oleh kakek dan ayahnya. Selain itu, ia juga harus ikut mengurus sawah dan hasil panen. Meskipun tidak terjun langsung, Pak Soleh muda cukup pandai berhitung dan memiliki insting dagang yang kuat.
Untuk ukuran orang yang dituakan di desa, Pak Soleh juga salah satu dari sedikit warga Desa Lapengan yang bersekolah hingga tamat SMA kala itu. Karena itu ia dianggap bisa dan memiliki kapabilitas untuk memimpin desa. Meskipun ada juga yang tidak setuju karena merasa jabatan itu terlalu politis untuk diturunkan di satu keluarga.
“Kamu rencananya mau ke mana hari ini?” Pak Soleh yang sedari tadi asik melinting akhirnya membuka suara.
“Hari ini pengen ziarah dulu ke kuburan Mbok Jaminah. Terus rencananya mau mampir ke rumah Bude di Sebuki.” Kemal menjawab dengan mantap sambil matanya mengarah pada sang paklek.
“Yowes kalo gitu, motornya diperiksa dulu. Di deket masjid ada bengkel kalo mau servis. Jangan sampe kemalaman di jalan lagi. Aku tak ke pasar dulu, sekalian mau ke kantor desa.”
“Iya Paklek, hati-hati.”
Pak Soleh pun beranjak dari duduknya sambil membawa dua kotak alumunium berisi tembakau bercampur cengkeh dan lembaran kulit jagung kering menuju sebuah motor Jupiter MY baru di depan rumah. Dibanding warga desa lain, ia memang terlihat paling berada. Yang dikonfirmasi dari perabotan dan motor keluaran terbaru.
Kemal merokok sambil berjalan kaki menyusuri gang demi gang di Desa Lapengan. Ia berusaha mencocokkan memori terakhir yang ia ingat dengan visual yang ia lihat. Sementara Akbar sudah berangkat ke bengkel di dekat masjid.
Perkembangan yang terjadi di Desa Lapengan bisa dibilang cukup pesat. Karena kini terlihat ada warung kopi yang konsepnya dibuat seperti kafe. Meskipun isinya masih saja kopi sachet dan menu internet seperti warung-warung angkringan di tempat lain. Juga ada warnet sederhana yang menjadi sarana pembantu anak-anak sekolah untuk mengerjakan dan mencetak tugas.
Meskipun begitu, tak banyak yang berubah jika dilihat dari tata letak dan jalan. Bahkan cenderung masih sama dengan apa yang diingat oleh Kemal.
Desa Lapengan dibelah oleh satu jalan utama yang merupakan penghubung antar desa dan kelurahan. Jalan utama melintang dari utara ke selatan desa yang baru diaspal mendekati tahun 2000, sementara listrik pertama kali masuk sekitar tahun ’95. Oleh karena itu tak kaget jika warganya bisa dibilang cukup oldschool.
Di era digital seperti sekarang pun masih ada warga yang memilih untuk menggunakan kayu bakar untuk memasak. Selain lebih murah, mereka menganggap kayu bakar membuat rasa masakan cenderung lebih sedap. Padahal warga desa sudah mendapatkan bantuan kompor dan gas murah dari pemerintah.
“Jalan-jalan, Mas? Harti apa kabar?” Seorang ibu berdaster kuning motif bunga menyapa Kemal sambil menyapu halaman rumah.
“Iya, sambil ngingat-ngingat. Oh, ibu baik aja, sehat.” Kemal menoleh sambil menjawab santai, tak lupa senyum ia bubuhkan di bibirnya. “Mari, jalan-jalan dulu.”
Hampir satu jam ia berjalan-jalan, akhirnya Kemal sampai di satu pematang sawah yang letaknya di bagian barat desa. Sawah ini bisa dibilang sangat luas, meskipun terpotong jalur rel kereta api arah ke kota tetangga. Di arah barat daya terdapat sungai besar yang menjadi sumber irigasi persawahan.
Ia akhirnya meluruskan kakinya, duduk di dekat aliran irigasi sambil merokok. Di depannya terhampar sawah yang sedang diberi pupuk dan semprot pestisida. Dari tempat ia duduk, ia bisa melihat ada pergerakan di lumpur sawah. Bisa jadi itu adalah ikan lele atau belut yang sengaja disebar untuk menggemburkan tanah.
Tak jauh dari tempat ia duduk, ada sebuah sumur bor yang airnya sudah tak sederas ketika ia kecil. Sumur bor yang selalu menjadi salah satu sumber air minum warga desa selama dua dekade. Sebuah sumur yang awalnya dikira sumber minyak oleh pemerintah rezim lama.
Akbar duduk di bengkel untuk memeriksa motornya yang semalam sempat dengan terpaksa dinaikkan ke atas mobil bak. Meskipun dari suara tidak ada yang berbeda, namun tetap saja ia perlu sekedar memastikan. Terlebih motor itu adalah kesayangannya.
Di bengkel, ia mengobrol dengan Poniran. Seorang pria berumur sekitar 36 tahun yang dulu sempat merantau ke Surabaya. Sebelum akhirnya kembali ke desa untuk merawat orang tuanya yang sudah sepuh.
Akbar dan Mas Poniran terlihat akrab karena keduanya sama-sama suka dengan mesin. Mereka berdiskusi tentang mesin motor dan bagaimana cara mengakali agar laju motor lebih kencang. Sebagai seorang junior, Akbar berusaha mendengarkan dan memasukkan informasi yang ia dapatkan ke kepalanya.
Di sela semua cerita pengalaman kerjanya, akhirnya Mas Poniran bertanya pada Akbar, “rencanane arep sampe dino opo nang kene?– Rencananya mau sampe hari apa di sini?” ucapnya santai dengan rokok di bibir, sementara kedua tangannya membersihkan piston.
“Paling suwe yo seminggu, Mas. Soale bar iki arep sekalian budal nang Malang. – Paling lama ya seminggu, Mas. Soalnya setelah ini mau sekalian berangkat ke Malang”
Akbar hanya menjawab seperlunya sambil memperhatikan pekerjaan Mas Poniran yang terlihat telaten namun cepat. Ia memang tak ingin banyak bicara, supaya semakin banyak pula ia dapat informasi. Lagipula, terlalu berbahaya jika memberitahukan detail rencana yang mereka punya pada orang yang baru dikenal. Meskipun terlihat baik, namun tak ada salahnya jika ia tetap waspada.
Dua jam sudah Akbar duduk di bengkel sambil memperhatikan Mas Poniran yang asik membersihkan piston dan mesin. Motornya juga sudah diperiksa, dan ternyata memang tidak ada apa-apa. Yang Akbar dan Kemal alami semalam memang murni gangguan dari sesuatu yang tak kasat.
Sesungguhnya Akbar masih ingin bertanya banyak hal tentang yang mereka alami. Meskipun sudah diceritakan oleh Pak Soleh dan Yono, namun baginya masih kurang detail. Karena bagaimana mungkin ada glundung pringis yang biasanya dikisahkan memiliki kepala gundul justru muncul dengan rambut hitam panjang.
“Lapo, Bar? Kok malah ngowoh?– Ngapain, Bar? Kok malah melongo?” sebuah suara mengagetkan Akbar, karena ada tepukan juga di bahu kanannya. Kemal yang tadinya asik berjalan-jalan kini justru tiba-tiba muncul dan mengagetkan Akbar.
Sebenarnya Kemal tidak tahu pasti bengkel yang diinformasikan tadi pagi. Namun berhubung itu adalah bengkel satu-satunya dan tak ada orang lain yang berambut kuning di desa itu, maka ia dengan mudah menemukan rekan seperjalanannya itu.
Akbar hanya tersenyum simpul ketika dikagetkan. Ia sengaja tak mengeluarkan suara karena bisa jadi ia akan mengumpat “JANCUK!” pada Kemal. Yang bisa jadi, itu justru merupakan hal yang menjadi pantangan di desa ini. Akbar cukup mengingat berbagai petuah yang sempat disampaikan orang tuanya.
Mereka akhirnya kembali berbincang. Kemal juga berkenalan dan beramah-tamah dengan Mas Poniran. Namun Akbar justru tak banyak berbicara, ia hanya merokok sambil sesekali menganggukkan kepala seolah sedang menyimak. Padahal isi kepalanya sedang berada di tempat lain.
Dari semua cerita seram yang ia pernah dengar, sosok yang ia lihat tak seharusnya berbentuk seperti itu. Ia justru curiga, jangan-jangan yang mereka temui semalam adalah hal yang lain. Dari semua kalimat yang sosok itu ucapkan, justru mengarah pada suatu hal yang mungkin saja lebih besar. Siapakah sosok Kanjeng yang disebut oleh sosok kepala gelinding semalam? Mengapa sosok itu ingin mengajak mereka bertemu sosok yang disebut Kanjeng?
Hari ini Kemal dan Akbar terbangun pagi sekali. Keadaan di luar rumah terasa sejuk karena embun yang cukup pekat masih menyelimuti desa. Dedaunan dan tanah basah terhampar sejauh yang bisa mereka lihat dari teras rumah. Matahari belum sepenuhnya naik ke atas garis cakrawala.
Di jalan utama yang merupakan satu-satunya jalan aspal, terlihat lalu-lalang warga yang mengendarai sepeda, motor dan berjalan kaki menunaikan tugas sehari-hari. Banyak dari mereka terlihat memakai caping di kepala, juga cangkul yang bertengger gagah di pundak.
Akbar dan Kemal duduk di teras rumah bersama Pak Soleh, menyeruput kopi panas yang terlalu manis sambil menghisap rokok mereka masing-masing. Meskipun cukup berada, Pak Soleh lebih suka melinting rokok klobot daripada membeli rokok konvensional yang dijual di warung.
Baginya, meracik sendiri tembakau kering dengan cengkeh lebih bisa menghasilkan rasa yang jauh lebih nikmat jika dibandingkan rokok pabrikan. Selain itu, biaya untuk urusan rokok juga menjadi lebih ekonomis.
Kegiatan Pak Soleh memang tidak seperti kebanyakan warga desa yang ia pimpin. Rutinitasnya lebih banyak di rumah dan di kantor desa, itu juga hanya di hari-hari tertentu. Selebihnya ia sering di dalam kamarnya, atau mungkin ke belakang rumah untuk sekedar melukis.
Pak Soleh sebenarnya merupakan seorang seniman, namun ia harus mengubur mimpinya untuk merantau karena ia adalah anak satu-satunya yang harus meneruskan dan menjaga warisan orang tuanya. Kebetulan jabatan bayan juga diemban oleh kakek dan ayahnya. Selain itu, ia juga harus ikut mengurus sawah dan hasil panen. Meskipun tidak terjun langsung, Pak Soleh muda cukup pandai berhitung dan memiliki insting dagang yang kuat.
Untuk ukuran orang yang dituakan di desa, Pak Soleh juga salah satu dari sedikit warga Desa Lapengan yang bersekolah hingga tamat SMA kala itu. Karena itu ia dianggap bisa dan memiliki kapabilitas untuk memimpin desa. Meskipun ada juga yang tidak setuju karena merasa jabatan itu terlalu politis untuk diturunkan di satu keluarga.
“Kamu rencananya mau ke mana hari ini?” Pak Soleh yang sedari tadi asik melinting akhirnya membuka suara.
“Hari ini pengen ziarah dulu ke kuburan Mbok Jaminah. Terus rencananya mau mampir ke rumah Bude di Sebuki.” Kemal menjawab dengan mantap sambil matanya mengarah pada sang paklek.
“Yowes kalo gitu, motornya diperiksa dulu. Di deket masjid ada bengkel kalo mau servis. Jangan sampe kemalaman di jalan lagi. Aku tak ke pasar dulu, sekalian mau ke kantor desa.”
“Iya Paklek, hati-hati.”
Pak Soleh pun beranjak dari duduknya sambil membawa dua kotak alumunium berisi tembakau bercampur cengkeh dan lembaran kulit jagung kering menuju sebuah motor Jupiter MY baru di depan rumah. Dibanding warga desa lain, ia memang terlihat paling berada. Yang dikonfirmasi dari perabotan dan motor keluaran terbaru.
…
Kemal merokok sambil berjalan kaki menyusuri gang demi gang di Desa Lapengan. Ia berusaha mencocokkan memori terakhir yang ia ingat dengan visual yang ia lihat. Sementara Akbar sudah berangkat ke bengkel di dekat masjid.
Perkembangan yang terjadi di Desa Lapengan bisa dibilang cukup pesat. Karena kini terlihat ada warung kopi yang konsepnya dibuat seperti kafe. Meskipun isinya masih saja kopi sachet dan menu internet seperti warung-warung angkringan di tempat lain. Juga ada warnet sederhana yang menjadi sarana pembantu anak-anak sekolah untuk mengerjakan dan mencetak tugas.
Meskipun begitu, tak banyak yang berubah jika dilihat dari tata letak dan jalan. Bahkan cenderung masih sama dengan apa yang diingat oleh Kemal.
Desa Lapengan dibelah oleh satu jalan utama yang merupakan penghubung antar desa dan kelurahan. Jalan utama melintang dari utara ke selatan desa yang baru diaspal mendekati tahun 2000, sementara listrik pertama kali masuk sekitar tahun ’95. Oleh karena itu tak kaget jika warganya bisa dibilang cukup oldschool.
Di era digital seperti sekarang pun masih ada warga yang memilih untuk menggunakan kayu bakar untuk memasak. Selain lebih murah, mereka menganggap kayu bakar membuat rasa masakan cenderung lebih sedap. Padahal warga desa sudah mendapatkan bantuan kompor dan gas murah dari pemerintah.
“Jalan-jalan, Mas? Harti apa kabar?” Seorang ibu berdaster kuning motif bunga menyapa Kemal sambil menyapu halaman rumah.
“Iya, sambil ngingat-ngingat. Oh, ibu baik aja, sehat.” Kemal menoleh sambil menjawab santai, tak lupa senyum ia bubuhkan di bibirnya. “Mari, jalan-jalan dulu.”
Hampir satu jam ia berjalan-jalan, akhirnya Kemal sampai di satu pematang sawah yang letaknya di bagian barat desa. Sawah ini bisa dibilang sangat luas, meskipun terpotong jalur rel kereta api arah ke kota tetangga. Di arah barat daya terdapat sungai besar yang menjadi sumber irigasi persawahan.
Ia akhirnya meluruskan kakinya, duduk di dekat aliran irigasi sambil merokok. Di depannya terhampar sawah yang sedang diberi pupuk dan semprot pestisida. Dari tempat ia duduk, ia bisa melihat ada pergerakan di lumpur sawah. Bisa jadi itu adalah ikan lele atau belut yang sengaja disebar untuk menggemburkan tanah.
Tak jauh dari tempat ia duduk, ada sebuah sumur bor yang airnya sudah tak sederas ketika ia kecil. Sumur bor yang selalu menjadi salah satu sumber air minum warga desa selama dua dekade. Sebuah sumur yang awalnya dikira sumber minyak oleh pemerintah rezim lama.
***
Akbar duduk di bengkel untuk memeriksa motornya yang semalam sempat dengan terpaksa dinaikkan ke atas mobil bak. Meskipun dari suara tidak ada yang berbeda, namun tetap saja ia perlu sekedar memastikan. Terlebih motor itu adalah kesayangannya.
Di bengkel, ia mengobrol dengan Poniran. Seorang pria berumur sekitar 36 tahun yang dulu sempat merantau ke Surabaya. Sebelum akhirnya kembali ke desa untuk merawat orang tuanya yang sudah sepuh.
Akbar dan Mas Poniran terlihat akrab karena keduanya sama-sama suka dengan mesin. Mereka berdiskusi tentang mesin motor dan bagaimana cara mengakali agar laju motor lebih kencang. Sebagai seorang junior, Akbar berusaha mendengarkan dan memasukkan informasi yang ia dapatkan ke kepalanya.
Di sela semua cerita pengalaman kerjanya, akhirnya Mas Poniran bertanya pada Akbar, “rencanane arep sampe dino opo nang kene?– Rencananya mau sampe hari apa di sini?” ucapnya santai dengan rokok di bibir, sementara kedua tangannya membersihkan piston.
“Paling suwe yo seminggu, Mas. Soale bar iki arep sekalian budal nang Malang. – Paling lama ya seminggu, Mas. Soalnya setelah ini mau sekalian berangkat ke Malang”
Akbar hanya menjawab seperlunya sambil memperhatikan pekerjaan Mas Poniran yang terlihat telaten namun cepat. Ia memang tak ingin banyak bicara, supaya semakin banyak pula ia dapat informasi. Lagipula, terlalu berbahaya jika memberitahukan detail rencana yang mereka punya pada orang yang baru dikenal. Meskipun terlihat baik, namun tak ada salahnya jika ia tetap waspada.
…
Dua jam sudah Akbar duduk di bengkel sambil memperhatikan Mas Poniran yang asik membersihkan piston dan mesin. Motornya juga sudah diperiksa, dan ternyata memang tidak ada apa-apa. Yang Akbar dan Kemal alami semalam memang murni gangguan dari sesuatu yang tak kasat.
Sesungguhnya Akbar masih ingin bertanya banyak hal tentang yang mereka alami. Meskipun sudah diceritakan oleh Pak Soleh dan Yono, namun baginya masih kurang detail. Karena bagaimana mungkin ada glundung pringis yang biasanya dikisahkan memiliki kepala gundul justru muncul dengan rambut hitam panjang.
“Lapo, Bar? Kok malah ngowoh?– Ngapain, Bar? Kok malah melongo?” sebuah suara mengagetkan Akbar, karena ada tepukan juga di bahu kanannya. Kemal yang tadinya asik berjalan-jalan kini justru tiba-tiba muncul dan mengagetkan Akbar.
Sebenarnya Kemal tidak tahu pasti bengkel yang diinformasikan tadi pagi. Namun berhubung itu adalah bengkel satu-satunya dan tak ada orang lain yang berambut kuning di desa itu, maka ia dengan mudah menemukan rekan seperjalanannya itu.
Akbar hanya tersenyum simpul ketika dikagetkan. Ia sengaja tak mengeluarkan suara karena bisa jadi ia akan mengumpat “JANCUK!” pada Kemal. Yang bisa jadi, itu justru merupakan hal yang menjadi pantangan di desa ini. Akbar cukup mengingat berbagai petuah yang sempat disampaikan orang tuanya.
Mereka akhirnya kembali berbincang. Kemal juga berkenalan dan beramah-tamah dengan Mas Poniran. Namun Akbar justru tak banyak berbicara, ia hanya merokok sambil sesekali menganggukkan kepala seolah sedang menyimak. Padahal isi kepalanya sedang berada di tempat lain.
Dari semua cerita seram yang ia pernah dengar, sosok yang ia lihat tak seharusnya berbentuk seperti itu. Ia justru curiga, jangan-jangan yang mereka temui semalam adalah hal yang lain. Dari semua kalimat yang sosok itu ucapkan, justru mengarah pada suatu hal yang mungkin saja lebih besar. Siapakah sosok Kanjeng yang disebut oleh sosok kepala gelinding semalam? Mengapa sosok itu ingin mengajak mereka bertemu sosok yang disebut Kanjeng?
Sampe sini dulu, Gan. Mau siap² dulu, selamat bermalam Minggu.

namakuve dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Kutip
Balas