- Beranda
- Stories from the Heart
Thread Horor: MENJEMPUT GELAP
...
TS
saujanastory
Thread Horor: MENJEMPUT GELAP
Halo Agan semua, salam kenal. Ane Jana, yang biasa menceritakan dan kisah horor baik berdasarkan kisah nyata, atau terinspirasi dari kisah nyata. Monggo disimak, jangan lupa diramaikan.

Sekian Agan-Agan semua, malam Minggu depan ceritanya akan dilanjutkan.
MENJEMPUT GELAP

Quote:
Original Posted By Bab 1: Kontrakan Bangsal Tiga
Hari ini kondisi cuaca cukup cerah dengan sedikit gumpalan awan berarak yang menjadi tanda bahwasanya hujan tidak akan turun. Dari balik kaca, lelaki itu memandangi jalanan sambil menyesap segelas kopi yang tak lagi panas.
Siang ini ia terpikir beberapa hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Sebuah misi yang seharusnya ia lakukan bertahun-tahun lalu. Mengunjungi tanah leluhurnya. Namun yang ia temukan adalah hal mengerikan yang seharusnya tak pernah terungkap. Sebuah rahasia masa lalu yang disimpan rapat oleh seluruh penduduk desa.
Kemal, 32 tahun. Seorang pemuda medioker yang masih terus berkutat dengan segala hobi dan kegemarannya. Kehidupan keluarganya yang sangat sederhana membuat masa kecilnya lebih terbatas jika dibandingkan dengan kawan sebayanya.
Ayahnya yang ketika itu masih berada di posisi cukup rendah di tempat kerjanya membuat hidup keluarga sangat sederhana. Ayah Kemal yang memulai karir di sebuah BUMN sebagai sekuriti hanya mendapatkan gaji 275 ribu rupiah per bulan. Saat itu masih sekitar tahun 1991.
Ibunya sedang mengandung sang adik. Sementara Kemal yang statusnya ‘disembunyikan’ berada di desa asal sang ibu. Sebuah desa tertinggal di provinsi paling timur di pulau Jawa. Sebuah desa yang pada saat itu hanya dihuni para petani, dengan kehidupan miskin dan jauh dari kata cukup.
Pada saat itu, ayah Kemal baru saja mendapatkan pekerjaanya. Dan menurut peraturan, pegawai tidak boleh menikah sebelum 3 tahun masa kerja. Karena ayah dan ibu Kemal menikah di luar ketentuan itu, maka kelahiran Kemal terpaksa disembunyikan dari rekan kerja sang ayah.
Dan ia pun dirawat oleh sang nenek, si mbok dari sang ibu.
Dalam rumah bangsal petak itu Harti sedang menggigil ketakutan. Keringat dingin membasahi tubuhnya, sementara ia hanya berada di kontrakan itu sendirian. Husin sedang bertugas sebagai sekuriti dan akan pulang pukul 11 malam. Yang mana akan tiba di rumah 20 hingga 30 menit setelah shift jaga selesai.
Sedari pukul 10, Harti mendengar ada sosok yang sedang tertawa cekikikan di depan pintu rumahnya. Sementara ia sangat tahu, bahwa lingkungan tempat tinggalnya adalah lingkungan yang sepi setelah shalat Isya.
Di dalam rumah, Harti tak bisa melakukan apa pun. Hanya bisa duduk meringkuk diatas ranjang sambil melindungi kandungannya yang sudah cukup besar. Ia hanya berdoa semampu yang ia ingat, diiringi kucuran keringat dan tubuhnya yang menggigil ketakutan.
Hingga pukul 11.25, hampir tengah malam suara vespa memecah keheningan malam itu. Husin datang dan langsung memarkirkan motornya tepat di depan rumah. Ia masuk dan disambut dengan tangisan yang memecah keheningan malam.
“Pak, di situ!! Tadi ada orang ketawa nyaring, cekikikan gak berhenti.” Harti tergagap sambil memeluk erat pinggang suaminya.
“Di mana?! Bentar, biar ku bacok kalo emang ada.” Husin langsung mengambil sebilah golok dan kembali mengecek teras rumah mereka. Dan yang ia temukan hanyalah sepinya malam dengan suara jangkrik dari
seberang jalan yang lebarnya tak lebih dari 2 meter.
Malam itu Harti terselamatkan, ia kembali tenang setelah sang suami memastikan tidak ada yang bisa ia temukan di depan rumahnya. Mereka akhirnya bisa terlelap sambil ditemani beberapa benda tajam seperti jarum, silet, gunting dan bulu landak sebagai proteksi sang jabang bayi.
Sore itu, Harti merasa sakit perut dan ingin buang hajat. Ia lalu keluar rumah melalui pintu belakang dan menuju toilet bersama yang berada tepat di belakang kontrakannya. Perlahan ia turun menuju belakang rumah, sambil memegangi perut besarnya dan melihat toilet dalam kondisi tertutup.
Harti menunggu sejenak. Karena tak ada suara, ia memutuskan untuk mendorong pintu toilet tersebut. Ia terkejut, pintu itu tak terkunci, namun di dalamnya ada seorang nenek yang sedang duduk berjongkok di atas kloset seperti sedang membuang hajat.
“Maaf, saya kira gak ada orang.” Ucapnya sambil langsung menutup pintu dan menunggu di mulut pintu rumahnya.
Beberapa menit berlalu, tak ada tanda bahwa sang nenek sudah selesai. Bahkan tidak ada suara sama sekali dari dalam toilet. Sementara hajat Harti sudah sulit untuk ditahan. Ia pun kembali mengetuk pintu toilet tersebut, seketika toilet itu terbuka. Di dalamnya tak ada orang, nenek yang sedang berjongkok di atas toilet sudah hilang.
Karena sudah menunggu lama dan tak bisa ditahan lagi. Maka Harti langsung saja masuk ke dalam toilet dan menuntaskan hajatnya yang sudah hampir tak terbendung. Sore itu, adalah pertama kali Harti melihat sosok tak asing yang mungkin saja bukan manusia.
Pagi menyingsing, hawa dingin dan sejuk mengiringi niat Harti yang ingin berjalan-jalan. Kumpulan tumbuhan pandan tumbuh di depan rumahnya yang di bawahnya merupakan genangan air. Kontrakan 3 pintu yang hanya memilik satu toilet bersama. Toilet yang berada tepat di belakang dapur rumah Harti.
Ditemani sang suami, Harti berjalan-jalan sambil menikmati udara pagi
yang segar. Disambut dengan sapaan para tetangga yang mayoritas adalah warga suku lokal. Dengan logat Kutai dan Banjar yang kental, mereka menyapa sembari menyapu atau menyiram tanaman.
“Hendak ke mana kita? Gaknya tumat lagi lahir ni. – Mau kemana? Sepertinya sebentar lagi lahiran.” ucap seorang wanita penjual kue-kue basah yang biasa dipanggil dengan sebutan Mbok Joi dengan logat Kutai
yang kental.
“Ohh, bejalanan aja. Biar kena kalo lahiran lancar, – Mau jalan-jalan saja. Supaya nanti lahiran lancar,” jawab Husin dengan logat Banjar.
“Bulu landak ngan gunting jangan lupa dibawa, biar ndik dilirik kuyang, – Bulu landak sama gunting jangan lupa dibawa, supaya tidak dilirik (hantu) kuyang,” timpal Mbok Joi lagi sambil tersenyum sembari merapikan kue dagangannya.
“Iya, makasih, Mbok Joi.” Husin tersenyum sambil melanjutkan menemani Harti berjalan berkeliling.
Di kota ini, mitos dan rumor tentang kuyang memang sangat dipercaya. Terutama oleh para warga asli yang memang sangat memegang teguh kepercayaan lokal. Dan entah, percaya/tidak percaya semua itu diceritakan turun-temurun dan kabarnya memang sudah ada yang pernah membuktikan keberadaan dan kebenarannya.
Harti dan Husin berjalan menikmati pagi dengan santai. Embun masih terasa membasahi kulit, juga meninggalkan titik-titik bulir air di atas dedaunan di kiri-kanan gang. Banyak orang berlalu-lalang membawa keranjang belanjaan karena pasar juga masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Juga anak-anak sekolah yang sedang jalan bergerombol menuju tempat mereka menuntut ilmu. Juga beberapa ibu yang sedang berjalan berlainan arah. Salah satunya menggunakan kerudung dengan ujung yang melilit di lehernya.
Mereka bercakap sambil salah satunya menatap Harti yang dengan pandangan yang menyelidik. Hingga saat perpapasan, ia bahkan sampai menolehkan kepalanya memandang Harti yang sedang berjalan sambil memegangi perutnya Wanita itu menelan ludahnya sambil menjilat bibirnya sendiri.
“Hmmm.. Wangi..” batinnya.
Siang ini ia terpikir beberapa hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Sebuah misi yang seharusnya ia lakukan bertahun-tahun lalu. Mengunjungi tanah leluhurnya. Namun yang ia temukan adalah hal mengerikan yang seharusnya tak pernah terungkap. Sebuah rahasia masa lalu yang disimpan rapat oleh seluruh penduduk desa.
***
Kemal, 32 tahun. Seorang pemuda medioker yang masih terus berkutat dengan segala hobi dan kegemarannya. Kehidupan keluarganya yang sangat sederhana membuat masa kecilnya lebih terbatas jika dibandingkan dengan kawan sebayanya.
Ayahnya yang ketika itu masih berada di posisi cukup rendah di tempat kerjanya membuat hidup keluarga sangat sederhana. Ayah Kemal yang memulai karir di sebuah BUMN sebagai sekuriti hanya mendapatkan gaji 275 ribu rupiah per bulan. Saat itu masih sekitar tahun 1991.
Ibunya sedang mengandung sang adik. Sementara Kemal yang statusnya ‘disembunyikan’ berada di desa asal sang ibu. Sebuah desa tertinggal di provinsi paling timur di pulau Jawa. Sebuah desa yang pada saat itu hanya dihuni para petani, dengan kehidupan miskin dan jauh dari kata cukup.
Pada saat itu, ayah Kemal baru saja mendapatkan pekerjaanya. Dan menurut peraturan, pegawai tidak boleh menikah sebelum 3 tahun masa kerja. Karena ayah dan ibu Kemal menikah di luar ketentuan itu, maka kelahiran Kemal terpaksa disembunyikan dari rekan kerja sang ayah.
Dan ia pun dirawat oleh sang nenek, si mbok dari sang ibu.
***
Dalam rumah bangsal petak itu Harti sedang menggigil ketakutan. Keringat dingin membasahi tubuhnya, sementara ia hanya berada di kontrakan itu sendirian. Husin sedang bertugas sebagai sekuriti dan akan pulang pukul 11 malam. Yang mana akan tiba di rumah 20 hingga 30 menit setelah shift jaga selesai.
Sedari pukul 10, Harti mendengar ada sosok yang sedang tertawa cekikikan di depan pintu rumahnya. Sementara ia sangat tahu, bahwa lingkungan tempat tinggalnya adalah lingkungan yang sepi setelah shalat Isya.
Di dalam rumah, Harti tak bisa melakukan apa pun. Hanya bisa duduk meringkuk diatas ranjang sambil melindungi kandungannya yang sudah cukup besar. Ia hanya berdoa semampu yang ia ingat, diiringi kucuran keringat dan tubuhnya yang menggigil ketakutan.
Hingga pukul 11.25, hampir tengah malam suara vespa memecah keheningan malam itu. Husin datang dan langsung memarkirkan motornya tepat di depan rumah. Ia masuk dan disambut dengan tangisan yang memecah keheningan malam.
“Pak, di situ!! Tadi ada orang ketawa nyaring, cekikikan gak berhenti.” Harti tergagap sambil memeluk erat pinggang suaminya.
“Di mana?! Bentar, biar ku bacok kalo emang ada.” Husin langsung mengambil sebilah golok dan kembali mengecek teras rumah mereka. Dan yang ia temukan hanyalah sepinya malam dengan suara jangkrik dari
seberang jalan yang lebarnya tak lebih dari 2 meter.
Malam itu Harti terselamatkan, ia kembali tenang setelah sang suami memastikan tidak ada yang bisa ia temukan di depan rumahnya. Mereka akhirnya bisa terlelap sambil ditemani beberapa benda tajam seperti jarum, silet, gunting dan bulu landak sebagai proteksi sang jabang bayi.
***
Sore itu, Harti merasa sakit perut dan ingin buang hajat. Ia lalu keluar rumah melalui pintu belakang dan menuju toilet bersama yang berada tepat di belakang kontrakannya. Perlahan ia turun menuju belakang rumah, sambil memegangi perut besarnya dan melihat toilet dalam kondisi tertutup.
Harti menunggu sejenak. Karena tak ada suara, ia memutuskan untuk mendorong pintu toilet tersebut. Ia terkejut, pintu itu tak terkunci, namun di dalamnya ada seorang nenek yang sedang duduk berjongkok di atas kloset seperti sedang membuang hajat.
“Maaf, saya kira gak ada orang.” Ucapnya sambil langsung menutup pintu dan menunggu di mulut pintu rumahnya.
Beberapa menit berlalu, tak ada tanda bahwa sang nenek sudah selesai. Bahkan tidak ada suara sama sekali dari dalam toilet. Sementara hajat Harti sudah sulit untuk ditahan. Ia pun kembali mengetuk pintu toilet tersebut, seketika toilet itu terbuka. Di dalamnya tak ada orang, nenek yang sedang berjongkok di atas toilet sudah hilang.
Karena sudah menunggu lama dan tak bisa ditahan lagi. Maka Harti langsung saja masuk ke dalam toilet dan menuntaskan hajatnya yang sudah hampir tak terbendung. Sore itu, adalah pertama kali Harti melihat sosok tak asing yang mungkin saja bukan manusia.
***
Pagi menyingsing, hawa dingin dan sejuk mengiringi niat Harti yang ingin berjalan-jalan. Kumpulan tumbuhan pandan tumbuh di depan rumahnya yang di bawahnya merupakan genangan air. Kontrakan 3 pintu yang hanya memilik satu toilet bersama. Toilet yang berada tepat di belakang dapur rumah Harti.
Ditemani sang suami, Harti berjalan-jalan sambil menikmati udara pagi
yang segar. Disambut dengan sapaan para tetangga yang mayoritas adalah warga suku lokal. Dengan logat Kutai dan Banjar yang kental, mereka menyapa sembari menyapu atau menyiram tanaman.
“Hendak ke mana kita? Gaknya tumat lagi lahir ni. – Mau kemana? Sepertinya sebentar lagi lahiran.” ucap seorang wanita penjual kue-kue basah yang biasa dipanggil dengan sebutan Mbok Joi dengan logat Kutai
yang kental.
“Ohh, bejalanan aja. Biar kena kalo lahiran lancar, – Mau jalan-jalan saja. Supaya nanti lahiran lancar,” jawab Husin dengan logat Banjar.
“Bulu landak ngan gunting jangan lupa dibawa, biar ndik dilirik kuyang, – Bulu landak sama gunting jangan lupa dibawa, supaya tidak dilirik (hantu) kuyang,” timpal Mbok Joi lagi sambil tersenyum sembari merapikan kue dagangannya.
“Iya, makasih, Mbok Joi.” Husin tersenyum sambil melanjutkan menemani Harti berjalan berkeliling.
Di kota ini, mitos dan rumor tentang kuyang memang sangat dipercaya. Terutama oleh para warga asli yang memang sangat memegang teguh kepercayaan lokal. Dan entah, percaya/tidak percaya semua itu diceritakan turun-temurun dan kabarnya memang sudah ada yang pernah membuktikan keberadaan dan kebenarannya.
Harti dan Husin berjalan menikmati pagi dengan santai. Embun masih terasa membasahi kulit, juga meninggalkan titik-titik bulir air di atas dedaunan di kiri-kanan gang. Banyak orang berlalu-lalang membawa keranjang belanjaan karena pasar juga masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Juga anak-anak sekolah yang sedang jalan bergerombol menuju tempat mereka menuntut ilmu. Juga beberapa ibu yang sedang berjalan berlainan arah. Salah satunya menggunakan kerudung dengan ujung yang melilit di lehernya.
Mereka bercakap sambil salah satunya menatap Harti yang dengan pandangan yang menyelidik. Hingga saat perpapasan, ia bahkan sampai menolehkan kepalanya memandang Harti yang sedang berjalan sambil memegangi perutnya Wanita itu menelan ludahnya sambil menjilat bibirnya sendiri.
“Hmmm.. Wangi..” batinnya.
***
Spoiler for Bab Selanjutnya Gan!:
Spoiler for Bab Selanjutnya Gan!:
Spoiler for Bab Selanjutnya, Gan!:
Spoiler for Lanjut lagi, Gan!:
Spoiler for Selamat bermalam Minggu, Gan!:
Spoiler for Habis konser, lanjut cerita!:
Spoiler for Telat sehari.:
Spoiler for Lanjutan lagi!:
Spoiler for Malming sendu:
Spoiler for Capek motoran:
Spoiler for Habis selesein cerita untuk KUNCEN:
Spoiler for Mau nonton layar tancap:
Spoiler for Minggu pertama Oktober!! Gas!!:
Spoiler for Udah sepertiga cerita nih!:
Sekian Agan-Agan semua, malam Minggu depan ceritanya akan dilanjutkan.
Diubah oleh saujanastory 14-10-2023 19:36
itkgid dan 19 lainnya memberi reputasi
20
4.4K
Kutip
57
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
saujanastory
#21
Malam Agan² semua, dah malam Minggu lagi. Cerita siap dilanjutkan.
Bab 12. Sugeng Rawuh
Quote:
Bab 12. Sugeng Rawuh
Akbar dan Kemal terbangun di sebuah ruangan yang temaram. Di sekitar mereka ada beberapa warga yang mengelilingi. Entah bagaimana ceritanya, mereka sepertinya dibawa ke rumah salah satu tetua desa. Nampak wajah-wajah asing yang belum mereka kenal.
“Minum dulu mas.” Seorang bapak yang sudah cukup berumur membangunkan tubuh Kemal lalu menyodorkan segelas air putih yang sebelumnya sudah ia bacakan doa.
Kemal mengangguk, menyambut air itu dari tangan si Bapak lalu meminumnya hingga habis. Tenggorokannya yang tadi kering dan tercekat seketika terasa segar, rasa airnya pun berbeda dengan air putih yang biasanya ia minum. Mungkin karena sumbernya masih sangat alami.
Akbar terlihat sudah lebih dahulu bangun, namun masih sangat shock. Ia hanya terdiam sambil melotot tanpa berkedip. Sementara beberapa warga lain membacakannya doa sambil mengusap-usap punggungnya.
“Ada apa, Mas? Kenapa bisa sampe pingsan di jalan?”
Seorang pria dengan pakaian yang cukup rapi akhirnya membuka pembicaraan. Sepertinya ia adalah salah seorang terpandang yang mungkin saja memiliki jabatan di desa ini. Wajahnya terlihat lebih cerah daripada warga lain, kumisnya tipis dicukur rapi dengan tatapan mata yang tajam.
“Terimakasih Pak, kami sudah dibantu. Maaf kami ada di mana ya?” Kemal yang masih terlihat bingung langsung bertanya pada si bapak.
“Kamu sekarang ada di Desa Lapengan. Nama saya Soleh, saya Bayan di sini,” jawabnya sambil meminta beberapa warga untuk mundur agar Kemal bisa bernapas lega.
“Saya Kemal, itu teman saya Akbar. Saya dari Sanaksara, mau nyekar ke kuburan Mbok Jaminah. Saya anaknya Harti. Itu teman saya orang Sidoarto.”
Para warga dan Pak Bayan akhirnya ber-oh bersama-sama ketika mendengar jawaban Kemal. Akhirnya Pak Bayan bertemu sendiri anak dari Harti yang sudah lama meninggalkan desa. Anak yang dulu selalu keluar rumah bercelana pendek dengan kemeja rapi. Anak yang bermata sipit, berbeda dengan kebanyakan anak lainnya.
Pak Bayan akhirnya mengajak Kemal yang sudah cukup tenang untuk pindah ke teras bersama warga lain. Sementara Akbar masih terus dibacakan doa sambil ditenangkan. Rupanya warga desa sudah menunggu kedatangan mereka berdua.
Kemal akhirnya mengobrol dengan Pak Bayan tentang keadaan orang tuanya, juga keadaan Paklek, Bulek dan Budenya. Karena satu-satunya saudara kandung dari ibunya yang berada di Kujang hanya sisa seorang, itu pun berada di desa yang berbeda. Selebihnya merantau bersama ke Sanaksara.
Beberapa warga yang masih terbilang cukup muda akhirnya ikut menyimak pembicaraan mereka. Tak lupa, mereka juga menanyakan perihal yang dialami oleh Kemal dan Akbar. Sampai-sampai Akbar terlihat syok dan mematung seperti itu. Wajahnya pucat seperti orang yang kesurupan.
Kemal akhirnya menyulut rokok dan mulai bercerita tentang hal-hal yang ia temui sepanjang perjalanan. Bahkan ia juga menceritakan kejadian di kamar hotel, dimana mereka diteror wanita yang berjalan jinjit, wanita berdarah yang tembus tembok, juga derit trolley di depan pintu kamar mereka.
Rata-rata warga yang menyimak cerita Kemal merasa heran, takjub sekaligus bingung. Maklum, mereka adalah orang desa yang mungkin saja tidak pernah merasakan tidur di hotel. Mereka terdiam dan memperhatikan dengan seksama, terutama ketika Kemal menjelaskan tata letak perabotan di kamar itu.
“Buat hal yang baik, biasanya banyak cobaannya. Siapa tahu kamu memang dikasih cobaan karena niat baik.” Pak Bayan memberikan reaksi dengan bijak, yang ia pun akhirnya ikut menceritakan kejadian yang sebenarnya di kebun tebu.
“Dulu, mungkin di jaman mbahmu, banyak hal buruk dibuang di sini. Waktu itu Lapengan jauh lebih buruk daripada sekarang. Jalanan tanah, rumah dari gedek, tiang rumah dari bambu, lantai alasnya tanah. Kalau mandi harus ke sumur, karena ndak semua rumah punya MCK.
Dari dulu, Lapengan memang penghasil beras, gabah, tebu sama bawang. Kami yaa seperti ini, dari dulu sampai sekarang masih tani. Karena belum ada listrik, belum ada lampu, makanya kalau malam pasti sepi. Kemana-mana orang jalan bawa obor, itu juga dipake seperlunya. Sampai pas era ’65.
Pas era itu, kalau malam makin sering truk besar lewat. Ada juga mobil-mobil ndak dikenal masuk desa, trus pergi entah kemana. Makin lama, makin sering orang sini nemu mayat-mayat dalam karung goni. Lanang-wedhok, semua dikarungin.
Pernah ada yang berani buka karung karena ndak tahu. Pas karungnya dibuka, kepalanya nggelinding sambil matanya melotot. Lidahnya melet kayak habis dicekik, terus ditebas.
Mulai dari situ, akhirnya banyak kejadian glundung pringis yang nampak. Makanya orang-orang ndak ada yang berani lewat situ kalau malam. Misalnya harus lewat juga pasti rame-rame. Ndak ada yang berani sendirian atau berdua. Karena kejadian kayak kalian tuh ndak cuma ini, sebelumnya sudah pernah ada.”
Pak Bayan menarik napas sejenak sambil membakar rokok klobot lintingannya sendiri. Beberapa warga yang umurnya lebih tua dari Pak Bayan juga ikut mengamini semua cerita yang baru saja disampaikan.
Kemal hanya mengangguk sambil menghisap rokoknya. Sebenarnya ia sudah diceritakan, dan sudah diwanti-wanti oleh Harti soal kejadian ini. Itu sebabnya ia tak ingin sampai desa di malam hari.
***
Akbar yang sedari tadi berada di dalam rumah akhirnya sepenuhnya sadar dan bergabung dengan Kemal dan Pak Bayan. Ia terpaksa diberi parutan kunyit di dahi dan daun telinga karena sawan. Wajahnya dibasuh dengan air yang sudah dibacakan doa oleh salah satu ustadz.
Meskipun masih terlihat pucat, namun ia tak ingin ketinggalan cerita. Tubuhnya yang tadi terasa sakit karena mengendarai motor seharian kini sedikit lebih baik. Mungkin karena pingsan dan tertidur sejenak.
Ia ikut menyulut rokok dan langsung mengucapkan banyak terimakasih kepada si empunya rumah dan warga yang membantu mereka. Kebetulan, yang menemukan mereka adalah beberapa anak muda yang baru saja pulang dari kota untuk mengambil pupuk. Salah satunya adalah Yono.
Yono adalah pemuda putus sekolah yang hanya sempat mengenyam pendidikan hingga SD kelas 5. Keluarganya yang miskin tidak mampu menyekolahkannya karena profesi mereka hanya buruh tani harian yang menggarap lahan milik orang lain.
Pemuda ini berusia 25 tahun, berbadan kekar dengan kulit menghitam terbakar matahari. Meskipun lebih muda dari Kemal, namun wajahnya justru terlihat jauh lebih tua. Mungkin karena kulit, dan cara ia berpakaian.
Sehari-hari Yono ikut menggarap sawah milik Pak Bayan. Ia juga yang berjaga malam ketika musim panen tiba, mengingat sering terjadi pencurian ketika masa panen. Oleh karena itu, dibanding pemuda yang lain, Yono justru paling berani dan hampir tidak ada takutnya.
Akbar dan Kemal akhirnya dikenalkan dan berkenalan dengan Yono. Orang yang berinisiatif menolong mereka dan menaikkan motor mereka ke atas mobil bak, sementara rekannya yang lain takut. Barang-barang mereka juga tidak ada yang tertinggal, semua lengkap.
“Yaudah, sekarang sudah enakan semua. Dah pada tenang, kalo gitu saya haturkan “Sugeng Rawuh Wonten ing Dusun Lapengan”, semoga betah.” Pak Bayan mengucapkan selamat datang yang sempat tertunda. “Nanti bisa tanya-tanya sama Yono kalau ada apa-apa. Dia sudah tahu macam-macam, hantu jenis apa aja sudah ketemu.”
Pak Bayan menutup kalimatnya sambil tertawa. Ia juga beranjak menuju kamar mandi yang letaknya agak jauh di belakang rumah. Meninggalkan Kemal, Akbar, Yono dan beberapa warga lain yang kepo. Sementara warga yang lainnya pulang ke rumah masing-masing dengan berjalan kaki sambil sedikit berlari karena masih gerimis.
Suasana malam di Desa Lapengan memang sangat berbeda dengan suasana di Sanaksara. Bahkan perbedaannya sangat kentara, masyarakat yang guyub, taat pada pemimpin, peduli lingkungan sekitar. Yang paling berbeda adalah suasana malamnya. Ketika Kemal dan Akbar terbiasa dengan bising dan hiruk-pikuk, di sini mereka menemukan keheningan yang teramat sangat. Juga hawa yang jauh lebih sejuk daripada hawa di kota.
Mereka masih asik mengobrol, Pak Bayan mengijinkan mereka untuk tinggal. Karena ternyata sepupu Harti adalah Pak Bayan sendiri. Harti memang tidak tahu karena Pak Soleh sangat jarang berkomunikasi dengannya. Pun jika ada, itu hanya sebatas minta maaf ketika lebaran.
Di teras beralas tikar, mereka akhirnya bercengkerama sambil bertukar obrolan. Banyak hal yang akhirnya ditanyakan Kemal pada Yono, sementara Akbar mendengarkan sambil clingak-clinguk memperhatikan sekitar. Ia juga sesekali menggosok lengan dan lehernya karena merasa merinding.
Wajar saja jika ia merinding karena sekarang pun masih gerimis dan hawa di luar memang cukup dingin. Namun ada hal yang tidak mereka sadari.
Sesuatu sedang meneteskan liur di atas pohon trembesi sambil memperhatikan mereka.
– Bayan = Bisa juga disebut sebagai kepala dusun. Merupakan bawahan dari Kepala Desa.
–MCK = Mandi, cuci, kakus.
“Minum dulu mas.” Seorang bapak yang sudah cukup berumur membangunkan tubuh Kemal lalu menyodorkan segelas air putih yang sebelumnya sudah ia bacakan doa.
Kemal mengangguk, menyambut air itu dari tangan si Bapak lalu meminumnya hingga habis. Tenggorokannya yang tadi kering dan tercekat seketika terasa segar, rasa airnya pun berbeda dengan air putih yang biasanya ia minum. Mungkin karena sumbernya masih sangat alami.
Akbar terlihat sudah lebih dahulu bangun, namun masih sangat shock. Ia hanya terdiam sambil melotot tanpa berkedip. Sementara beberapa warga lain membacakannya doa sambil mengusap-usap punggungnya.
“Ada apa, Mas? Kenapa bisa sampe pingsan di jalan?”
Seorang pria dengan pakaian yang cukup rapi akhirnya membuka pembicaraan. Sepertinya ia adalah salah seorang terpandang yang mungkin saja memiliki jabatan di desa ini. Wajahnya terlihat lebih cerah daripada warga lain, kumisnya tipis dicukur rapi dengan tatapan mata yang tajam.
“Terimakasih Pak, kami sudah dibantu. Maaf kami ada di mana ya?” Kemal yang masih terlihat bingung langsung bertanya pada si bapak.
“Kamu sekarang ada di Desa Lapengan. Nama saya Soleh, saya Bayan di sini,” jawabnya sambil meminta beberapa warga untuk mundur agar Kemal bisa bernapas lega.
“Saya Kemal, itu teman saya Akbar. Saya dari Sanaksara, mau nyekar ke kuburan Mbok Jaminah. Saya anaknya Harti. Itu teman saya orang Sidoarto.”
Para warga dan Pak Bayan akhirnya ber-oh bersama-sama ketika mendengar jawaban Kemal. Akhirnya Pak Bayan bertemu sendiri anak dari Harti yang sudah lama meninggalkan desa. Anak yang dulu selalu keluar rumah bercelana pendek dengan kemeja rapi. Anak yang bermata sipit, berbeda dengan kebanyakan anak lainnya.
Pak Bayan akhirnya mengajak Kemal yang sudah cukup tenang untuk pindah ke teras bersama warga lain. Sementara Akbar masih terus dibacakan doa sambil ditenangkan. Rupanya warga desa sudah menunggu kedatangan mereka berdua.
Kemal akhirnya mengobrol dengan Pak Bayan tentang keadaan orang tuanya, juga keadaan Paklek, Bulek dan Budenya. Karena satu-satunya saudara kandung dari ibunya yang berada di Kujang hanya sisa seorang, itu pun berada di desa yang berbeda. Selebihnya merantau bersama ke Sanaksara.
Beberapa warga yang masih terbilang cukup muda akhirnya ikut menyimak pembicaraan mereka. Tak lupa, mereka juga menanyakan perihal yang dialami oleh Kemal dan Akbar. Sampai-sampai Akbar terlihat syok dan mematung seperti itu. Wajahnya pucat seperti orang yang kesurupan.
Kemal akhirnya menyulut rokok dan mulai bercerita tentang hal-hal yang ia temui sepanjang perjalanan. Bahkan ia juga menceritakan kejadian di kamar hotel, dimana mereka diteror wanita yang berjalan jinjit, wanita berdarah yang tembus tembok, juga derit trolley di depan pintu kamar mereka.
Rata-rata warga yang menyimak cerita Kemal merasa heran, takjub sekaligus bingung. Maklum, mereka adalah orang desa yang mungkin saja tidak pernah merasakan tidur di hotel. Mereka terdiam dan memperhatikan dengan seksama, terutama ketika Kemal menjelaskan tata letak perabotan di kamar itu.
“Buat hal yang baik, biasanya banyak cobaannya. Siapa tahu kamu memang dikasih cobaan karena niat baik.” Pak Bayan memberikan reaksi dengan bijak, yang ia pun akhirnya ikut menceritakan kejadian yang sebenarnya di kebun tebu.
“Dulu, mungkin di jaman mbahmu, banyak hal buruk dibuang di sini. Waktu itu Lapengan jauh lebih buruk daripada sekarang. Jalanan tanah, rumah dari gedek, tiang rumah dari bambu, lantai alasnya tanah. Kalau mandi harus ke sumur, karena ndak semua rumah punya MCK.
Dari dulu, Lapengan memang penghasil beras, gabah, tebu sama bawang. Kami yaa seperti ini, dari dulu sampai sekarang masih tani. Karena belum ada listrik, belum ada lampu, makanya kalau malam pasti sepi. Kemana-mana orang jalan bawa obor, itu juga dipake seperlunya. Sampai pas era ’65.
Pas era itu, kalau malam makin sering truk besar lewat. Ada juga mobil-mobil ndak dikenal masuk desa, trus pergi entah kemana. Makin lama, makin sering orang sini nemu mayat-mayat dalam karung goni. Lanang-wedhok, semua dikarungin.
Pernah ada yang berani buka karung karena ndak tahu. Pas karungnya dibuka, kepalanya nggelinding sambil matanya melotot. Lidahnya melet kayak habis dicekik, terus ditebas.
Mulai dari situ, akhirnya banyak kejadian glundung pringis yang nampak. Makanya orang-orang ndak ada yang berani lewat situ kalau malam. Misalnya harus lewat juga pasti rame-rame. Ndak ada yang berani sendirian atau berdua. Karena kejadian kayak kalian tuh ndak cuma ini, sebelumnya sudah pernah ada.”
Pak Bayan menarik napas sejenak sambil membakar rokok klobot lintingannya sendiri. Beberapa warga yang umurnya lebih tua dari Pak Bayan juga ikut mengamini semua cerita yang baru saja disampaikan.
Kemal hanya mengangguk sambil menghisap rokoknya. Sebenarnya ia sudah diceritakan, dan sudah diwanti-wanti oleh Harti soal kejadian ini. Itu sebabnya ia tak ingin sampai desa di malam hari.
***
Akbar yang sedari tadi berada di dalam rumah akhirnya sepenuhnya sadar dan bergabung dengan Kemal dan Pak Bayan. Ia terpaksa diberi parutan kunyit di dahi dan daun telinga karena sawan. Wajahnya dibasuh dengan air yang sudah dibacakan doa oleh salah satu ustadz.
Meskipun masih terlihat pucat, namun ia tak ingin ketinggalan cerita. Tubuhnya yang tadi terasa sakit karena mengendarai motor seharian kini sedikit lebih baik. Mungkin karena pingsan dan tertidur sejenak.
Ia ikut menyulut rokok dan langsung mengucapkan banyak terimakasih kepada si empunya rumah dan warga yang membantu mereka. Kebetulan, yang menemukan mereka adalah beberapa anak muda yang baru saja pulang dari kota untuk mengambil pupuk. Salah satunya adalah Yono.
Yono adalah pemuda putus sekolah yang hanya sempat mengenyam pendidikan hingga SD kelas 5. Keluarganya yang miskin tidak mampu menyekolahkannya karena profesi mereka hanya buruh tani harian yang menggarap lahan milik orang lain.
Pemuda ini berusia 25 tahun, berbadan kekar dengan kulit menghitam terbakar matahari. Meskipun lebih muda dari Kemal, namun wajahnya justru terlihat jauh lebih tua. Mungkin karena kulit, dan cara ia berpakaian.
Sehari-hari Yono ikut menggarap sawah milik Pak Bayan. Ia juga yang berjaga malam ketika musim panen tiba, mengingat sering terjadi pencurian ketika masa panen. Oleh karena itu, dibanding pemuda yang lain, Yono justru paling berani dan hampir tidak ada takutnya.
Akbar dan Kemal akhirnya dikenalkan dan berkenalan dengan Yono. Orang yang berinisiatif menolong mereka dan menaikkan motor mereka ke atas mobil bak, sementara rekannya yang lain takut. Barang-barang mereka juga tidak ada yang tertinggal, semua lengkap.
“Yaudah, sekarang sudah enakan semua. Dah pada tenang, kalo gitu saya haturkan “Sugeng Rawuh Wonten ing Dusun Lapengan”, semoga betah.” Pak Bayan mengucapkan selamat datang yang sempat tertunda. “Nanti bisa tanya-tanya sama Yono kalau ada apa-apa. Dia sudah tahu macam-macam, hantu jenis apa aja sudah ketemu.”
Pak Bayan menutup kalimatnya sambil tertawa. Ia juga beranjak menuju kamar mandi yang letaknya agak jauh di belakang rumah. Meninggalkan Kemal, Akbar, Yono dan beberapa warga lain yang kepo. Sementara warga yang lainnya pulang ke rumah masing-masing dengan berjalan kaki sambil sedikit berlari karena masih gerimis.
Suasana malam di Desa Lapengan memang sangat berbeda dengan suasana di Sanaksara. Bahkan perbedaannya sangat kentara, masyarakat yang guyub, taat pada pemimpin, peduli lingkungan sekitar. Yang paling berbeda adalah suasana malamnya. Ketika Kemal dan Akbar terbiasa dengan bising dan hiruk-pikuk, di sini mereka menemukan keheningan yang teramat sangat. Juga hawa yang jauh lebih sejuk daripada hawa di kota.
Mereka masih asik mengobrol, Pak Bayan mengijinkan mereka untuk tinggal. Karena ternyata sepupu Harti adalah Pak Bayan sendiri. Harti memang tidak tahu karena Pak Soleh sangat jarang berkomunikasi dengannya. Pun jika ada, itu hanya sebatas minta maaf ketika lebaran.
Di teras beralas tikar, mereka akhirnya bercengkerama sambil bertukar obrolan. Banyak hal yang akhirnya ditanyakan Kemal pada Yono, sementara Akbar mendengarkan sambil clingak-clinguk memperhatikan sekitar. Ia juga sesekali menggosok lengan dan lehernya karena merasa merinding.
Wajar saja jika ia merinding karena sekarang pun masih gerimis dan hawa di luar memang cukup dingin. Namun ada hal yang tidak mereka sadari.
Sesuatu sedang meneteskan liur di atas pohon trembesi sambil memperhatikan mereka.
– Bayan = Bisa juga disebut sebagai kepala dusun. Merupakan bawahan dari Kepala Desa.
–MCK = Mandi, cuci, kakus.
namakuve dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Kutip
Balas