- Beranda
- Stories from the Heart
Thread Horor: MENJEMPUT GELAP
...
TS
saujanastory
Thread Horor: MENJEMPUT GELAP
Halo Agan semua, salam kenal. Ane Jana, yang biasa menceritakan dan kisah horor baik berdasarkan kisah nyata, atau terinspirasi dari kisah nyata. Monggo disimak, jangan lupa diramaikan.

Sekian Agan-Agan semua, malam Minggu depan ceritanya akan dilanjutkan.
MENJEMPUT GELAP

Quote:
Original Posted By Bab 1: Kontrakan Bangsal Tiga
Hari ini kondisi cuaca cukup cerah dengan sedikit gumpalan awan berarak yang menjadi tanda bahwasanya hujan tidak akan turun. Dari balik kaca, lelaki itu memandangi jalanan sambil menyesap segelas kopi yang tak lagi panas.
Siang ini ia terpikir beberapa hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Sebuah misi yang seharusnya ia lakukan bertahun-tahun lalu. Mengunjungi tanah leluhurnya. Namun yang ia temukan adalah hal mengerikan yang seharusnya tak pernah terungkap. Sebuah rahasia masa lalu yang disimpan rapat oleh seluruh penduduk desa.
Kemal, 32 tahun. Seorang pemuda medioker yang masih terus berkutat dengan segala hobi dan kegemarannya. Kehidupan keluarganya yang sangat sederhana membuat masa kecilnya lebih terbatas jika dibandingkan dengan kawan sebayanya.
Ayahnya yang ketika itu masih berada di posisi cukup rendah di tempat kerjanya membuat hidup keluarga sangat sederhana. Ayah Kemal yang memulai karir di sebuah BUMN sebagai sekuriti hanya mendapatkan gaji 275 ribu rupiah per bulan. Saat itu masih sekitar tahun 1991.
Ibunya sedang mengandung sang adik. Sementara Kemal yang statusnya ‘disembunyikan’ berada di desa asal sang ibu. Sebuah desa tertinggal di provinsi paling timur di pulau Jawa. Sebuah desa yang pada saat itu hanya dihuni para petani, dengan kehidupan miskin dan jauh dari kata cukup.
Pada saat itu, ayah Kemal baru saja mendapatkan pekerjaanya. Dan menurut peraturan, pegawai tidak boleh menikah sebelum 3 tahun masa kerja. Karena ayah dan ibu Kemal menikah di luar ketentuan itu, maka kelahiran Kemal terpaksa disembunyikan dari rekan kerja sang ayah.
Dan ia pun dirawat oleh sang nenek, si mbok dari sang ibu.
Dalam rumah bangsal petak itu Harti sedang menggigil ketakutan. Keringat dingin membasahi tubuhnya, sementara ia hanya berada di kontrakan itu sendirian. Husin sedang bertugas sebagai sekuriti dan akan pulang pukul 11 malam. Yang mana akan tiba di rumah 20 hingga 30 menit setelah shift jaga selesai.
Sedari pukul 10, Harti mendengar ada sosok yang sedang tertawa cekikikan di depan pintu rumahnya. Sementara ia sangat tahu, bahwa lingkungan tempat tinggalnya adalah lingkungan yang sepi setelah shalat Isya.
Di dalam rumah, Harti tak bisa melakukan apa pun. Hanya bisa duduk meringkuk diatas ranjang sambil melindungi kandungannya yang sudah cukup besar. Ia hanya berdoa semampu yang ia ingat, diiringi kucuran keringat dan tubuhnya yang menggigil ketakutan.
Hingga pukul 11.25, hampir tengah malam suara vespa memecah keheningan malam itu. Husin datang dan langsung memarkirkan motornya tepat di depan rumah. Ia masuk dan disambut dengan tangisan yang memecah keheningan malam.
“Pak, di situ!! Tadi ada orang ketawa nyaring, cekikikan gak berhenti.” Harti tergagap sambil memeluk erat pinggang suaminya.
“Di mana?! Bentar, biar ku bacok kalo emang ada.” Husin langsung mengambil sebilah golok dan kembali mengecek teras rumah mereka. Dan yang ia temukan hanyalah sepinya malam dengan suara jangkrik dari
seberang jalan yang lebarnya tak lebih dari 2 meter.
Malam itu Harti terselamatkan, ia kembali tenang setelah sang suami memastikan tidak ada yang bisa ia temukan di depan rumahnya. Mereka akhirnya bisa terlelap sambil ditemani beberapa benda tajam seperti jarum, silet, gunting dan bulu landak sebagai proteksi sang jabang bayi.
Sore itu, Harti merasa sakit perut dan ingin buang hajat. Ia lalu keluar rumah melalui pintu belakang dan menuju toilet bersama yang berada tepat di belakang kontrakannya. Perlahan ia turun menuju belakang rumah, sambil memegangi perut besarnya dan melihat toilet dalam kondisi tertutup.
Harti menunggu sejenak. Karena tak ada suara, ia memutuskan untuk mendorong pintu toilet tersebut. Ia terkejut, pintu itu tak terkunci, namun di dalamnya ada seorang nenek yang sedang duduk berjongkok di atas kloset seperti sedang membuang hajat.
“Maaf, saya kira gak ada orang.” Ucapnya sambil langsung menutup pintu dan menunggu di mulut pintu rumahnya.
Beberapa menit berlalu, tak ada tanda bahwa sang nenek sudah selesai. Bahkan tidak ada suara sama sekali dari dalam toilet. Sementara hajat Harti sudah sulit untuk ditahan. Ia pun kembali mengetuk pintu toilet tersebut, seketika toilet itu terbuka. Di dalamnya tak ada orang, nenek yang sedang berjongkok di atas toilet sudah hilang.
Karena sudah menunggu lama dan tak bisa ditahan lagi. Maka Harti langsung saja masuk ke dalam toilet dan menuntaskan hajatnya yang sudah hampir tak terbendung. Sore itu, adalah pertama kali Harti melihat sosok tak asing yang mungkin saja bukan manusia.
Pagi menyingsing, hawa dingin dan sejuk mengiringi niat Harti yang ingin berjalan-jalan. Kumpulan tumbuhan pandan tumbuh di depan rumahnya yang di bawahnya merupakan genangan air. Kontrakan 3 pintu yang hanya memilik satu toilet bersama. Toilet yang berada tepat di belakang dapur rumah Harti.
Ditemani sang suami, Harti berjalan-jalan sambil menikmati udara pagi
yang segar. Disambut dengan sapaan para tetangga yang mayoritas adalah warga suku lokal. Dengan logat Kutai dan Banjar yang kental, mereka menyapa sembari menyapu atau menyiram tanaman.
“Hendak ke mana kita? Gaknya tumat lagi lahir ni. – Mau kemana? Sepertinya sebentar lagi lahiran.” ucap seorang wanita penjual kue-kue basah yang biasa dipanggil dengan sebutan Mbok Joi dengan logat Kutai
yang kental.
“Ohh, bejalanan aja. Biar kena kalo lahiran lancar, – Mau jalan-jalan saja. Supaya nanti lahiran lancar,” jawab Husin dengan logat Banjar.
“Bulu landak ngan gunting jangan lupa dibawa, biar ndik dilirik kuyang, – Bulu landak sama gunting jangan lupa dibawa, supaya tidak dilirik (hantu) kuyang,” timpal Mbok Joi lagi sambil tersenyum sembari merapikan kue dagangannya.
“Iya, makasih, Mbok Joi.” Husin tersenyum sambil melanjutkan menemani Harti berjalan berkeliling.
Di kota ini, mitos dan rumor tentang kuyang memang sangat dipercaya. Terutama oleh para warga asli yang memang sangat memegang teguh kepercayaan lokal. Dan entah, percaya/tidak percaya semua itu diceritakan turun-temurun dan kabarnya memang sudah ada yang pernah membuktikan keberadaan dan kebenarannya.
Harti dan Husin berjalan menikmati pagi dengan santai. Embun masih terasa membasahi kulit, juga meninggalkan titik-titik bulir air di atas dedaunan di kiri-kanan gang. Banyak orang berlalu-lalang membawa keranjang belanjaan karena pasar juga masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Juga anak-anak sekolah yang sedang jalan bergerombol menuju tempat mereka menuntut ilmu. Juga beberapa ibu yang sedang berjalan berlainan arah. Salah satunya menggunakan kerudung dengan ujung yang melilit di lehernya.
Mereka bercakap sambil salah satunya menatap Harti yang dengan pandangan yang menyelidik. Hingga saat perpapasan, ia bahkan sampai menolehkan kepalanya memandang Harti yang sedang berjalan sambil memegangi perutnya Wanita itu menelan ludahnya sambil menjilat bibirnya sendiri.
“Hmmm.. Wangi..” batinnya.
Siang ini ia terpikir beberapa hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Sebuah misi yang seharusnya ia lakukan bertahun-tahun lalu. Mengunjungi tanah leluhurnya. Namun yang ia temukan adalah hal mengerikan yang seharusnya tak pernah terungkap. Sebuah rahasia masa lalu yang disimpan rapat oleh seluruh penduduk desa.
***
Kemal, 32 tahun. Seorang pemuda medioker yang masih terus berkutat dengan segala hobi dan kegemarannya. Kehidupan keluarganya yang sangat sederhana membuat masa kecilnya lebih terbatas jika dibandingkan dengan kawan sebayanya.
Ayahnya yang ketika itu masih berada di posisi cukup rendah di tempat kerjanya membuat hidup keluarga sangat sederhana. Ayah Kemal yang memulai karir di sebuah BUMN sebagai sekuriti hanya mendapatkan gaji 275 ribu rupiah per bulan. Saat itu masih sekitar tahun 1991.
Ibunya sedang mengandung sang adik. Sementara Kemal yang statusnya ‘disembunyikan’ berada di desa asal sang ibu. Sebuah desa tertinggal di provinsi paling timur di pulau Jawa. Sebuah desa yang pada saat itu hanya dihuni para petani, dengan kehidupan miskin dan jauh dari kata cukup.
Pada saat itu, ayah Kemal baru saja mendapatkan pekerjaanya. Dan menurut peraturan, pegawai tidak boleh menikah sebelum 3 tahun masa kerja. Karena ayah dan ibu Kemal menikah di luar ketentuan itu, maka kelahiran Kemal terpaksa disembunyikan dari rekan kerja sang ayah.
Dan ia pun dirawat oleh sang nenek, si mbok dari sang ibu.
***
Dalam rumah bangsal petak itu Harti sedang menggigil ketakutan. Keringat dingin membasahi tubuhnya, sementara ia hanya berada di kontrakan itu sendirian. Husin sedang bertugas sebagai sekuriti dan akan pulang pukul 11 malam. Yang mana akan tiba di rumah 20 hingga 30 menit setelah shift jaga selesai.
Sedari pukul 10, Harti mendengar ada sosok yang sedang tertawa cekikikan di depan pintu rumahnya. Sementara ia sangat tahu, bahwa lingkungan tempat tinggalnya adalah lingkungan yang sepi setelah shalat Isya.
Di dalam rumah, Harti tak bisa melakukan apa pun. Hanya bisa duduk meringkuk diatas ranjang sambil melindungi kandungannya yang sudah cukup besar. Ia hanya berdoa semampu yang ia ingat, diiringi kucuran keringat dan tubuhnya yang menggigil ketakutan.
Hingga pukul 11.25, hampir tengah malam suara vespa memecah keheningan malam itu. Husin datang dan langsung memarkirkan motornya tepat di depan rumah. Ia masuk dan disambut dengan tangisan yang memecah keheningan malam.
“Pak, di situ!! Tadi ada orang ketawa nyaring, cekikikan gak berhenti.” Harti tergagap sambil memeluk erat pinggang suaminya.
“Di mana?! Bentar, biar ku bacok kalo emang ada.” Husin langsung mengambil sebilah golok dan kembali mengecek teras rumah mereka. Dan yang ia temukan hanyalah sepinya malam dengan suara jangkrik dari
seberang jalan yang lebarnya tak lebih dari 2 meter.
Malam itu Harti terselamatkan, ia kembali tenang setelah sang suami memastikan tidak ada yang bisa ia temukan di depan rumahnya. Mereka akhirnya bisa terlelap sambil ditemani beberapa benda tajam seperti jarum, silet, gunting dan bulu landak sebagai proteksi sang jabang bayi.
***
Sore itu, Harti merasa sakit perut dan ingin buang hajat. Ia lalu keluar rumah melalui pintu belakang dan menuju toilet bersama yang berada tepat di belakang kontrakannya. Perlahan ia turun menuju belakang rumah, sambil memegangi perut besarnya dan melihat toilet dalam kondisi tertutup.
Harti menunggu sejenak. Karena tak ada suara, ia memutuskan untuk mendorong pintu toilet tersebut. Ia terkejut, pintu itu tak terkunci, namun di dalamnya ada seorang nenek yang sedang duduk berjongkok di atas kloset seperti sedang membuang hajat.
“Maaf, saya kira gak ada orang.” Ucapnya sambil langsung menutup pintu dan menunggu di mulut pintu rumahnya.
Beberapa menit berlalu, tak ada tanda bahwa sang nenek sudah selesai. Bahkan tidak ada suara sama sekali dari dalam toilet. Sementara hajat Harti sudah sulit untuk ditahan. Ia pun kembali mengetuk pintu toilet tersebut, seketika toilet itu terbuka. Di dalamnya tak ada orang, nenek yang sedang berjongkok di atas toilet sudah hilang.
Karena sudah menunggu lama dan tak bisa ditahan lagi. Maka Harti langsung saja masuk ke dalam toilet dan menuntaskan hajatnya yang sudah hampir tak terbendung. Sore itu, adalah pertama kali Harti melihat sosok tak asing yang mungkin saja bukan manusia.
***
Pagi menyingsing, hawa dingin dan sejuk mengiringi niat Harti yang ingin berjalan-jalan. Kumpulan tumbuhan pandan tumbuh di depan rumahnya yang di bawahnya merupakan genangan air. Kontrakan 3 pintu yang hanya memilik satu toilet bersama. Toilet yang berada tepat di belakang dapur rumah Harti.
Ditemani sang suami, Harti berjalan-jalan sambil menikmati udara pagi
yang segar. Disambut dengan sapaan para tetangga yang mayoritas adalah warga suku lokal. Dengan logat Kutai dan Banjar yang kental, mereka menyapa sembari menyapu atau menyiram tanaman.
“Hendak ke mana kita? Gaknya tumat lagi lahir ni. – Mau kemana? Sepertinya sebentar lagi lahiran.” ucap seorang wanita penjual kue-kue basah yang biasa dipanggil dengan sebutan Mbok Joi dengan logat Kutai
yang kental.
“Ohh, bejalanan aja. Biar kena kalo lahiran lancar, – Mau jalan-jalan saja. Supaya nanti lahiran lancar,” jawab Husin dengan logat Banjar.
“Bulu landak ngan gunting jangan lupa dibawa, biar ndik dilirik kuyang, – Bulu landak sama gunting jangan lupa dibawa, supaya tidak dilirik (hantu) kuyang,” timpal Mbok Joi lagi sambil tersenyum sembari merapikan kue dagangannya.
“Iya, makasih, Mbok Joi.” Husin tersenyum sambil melanjutkan menemani Harti berjalan berkeliling.
Di kota ini, mitos dan rumor tentang kuyang memang sangat dipercaya. Terutama oleh para warga asli yang memang sangat memegang teguh kepercayaan lokal. Dan entah, percaya/tidak percaya semua itu diceritakan turun-temurun dan kabarnya memang sudah ada yang pernah membuktikan keberadaan dan kebenarannya.
Harti dan Husin berjalan menikmati pagi dengan santai. Embun masih terasa membasahi kulit, juga meninggalkan titik-titik bulir air di atas dedaunan di kiri-kanan gang. Banyak orang berlalu-lalang membawa keranjang belanjaan karena pasar juga masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Juga anak-anak sekolah yang sedang jalan bergerombol menuju tempat mereka menuntut ilmu. Juga beberapa ibu yang sedang berjalan berlainan arah. Salah satunya menggunakan kerudung dengan ujung yang melilit di lehernya.
Mereka bercakap sambil salah satunya menatap Harti yang dengan pandangan yang menyelidik. Hingga saat perpapasan, ia bahkan sampai menolehkan kepalanya memandang Harti yang sedang berjalan sambil memegangi perutnya Wanita itu menelan ludahnya sambil menjilat bibirnya sendiri.
“Hmmm.. Wangi..” batinnya.
***
Spoiler for Bab Selanjutnya Gan!:
Spoiler for Bab Selanjutnya Gan!:
Spoiler for Bab Selanjutnya, Gan!:
Spoiler for Lanjut lagi, Gan!:
Spoiler for Selamat bermalam Minggu, Gan!:
Spoiler for Habis konser, lanjut cerita!:
Spoiler for Telat sehari.:
Spoiler for Lanjutan lagi!:
Spoiler for Malming sendu:
Spoiler for Capek motoran:
Spoiler for Habis selesein cerita untuk KUNCEN:
Spoiler for Mau nonton layar tancap:
Spoiler for Minggu pertama Oktober!! Gas!!:
Spoiler for Udah sepertiga cerita nih!:
Sekian Agan-Agan semua, malam Minggu depan ceritanya akan dilanjutkan.
Diubah oleh saujanastory 14-10-2023 19:36
itkgid dan 19 lainnya memberi reputasi
20
4.4K
Kutip
57
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
saujanastory
#20
Quote:
Bab 11. Perjalanan Panjang
Matahari menyingsing, kondisi lalu lintas sudah cukup ramai dengan para pekerja yang berlalu-lalang. Deru motor, mobil, truk dan angkot sudah saling berlomba mengisi pagi. Tak ketinggalan para penjual sayur, donat dan penjaja bubur ayam yang berjalan kaki membawa dagangannya menuju pemukiman penduduk. Ada yang berteriak, memukul mangkok atau pun musik dari speaker bersuara sember.
Beberapa teman Akbar sudah pulang, sementara si Mas penjaga angkringan ikut tidur di dekat meja sebelah. Meskipun ia bisa saja tidur di bagian dalam, sepertinya ia memilih untuk menemani ‘tamunya’ yang hendak bepergian.
Kemal bangun mengerjap-ngerjap karena silau, matanya terasa berat dan perih. Mengingat waktu istirahat yang seharusnya maksimal justru buyar karena gangguan di kamar hotel. Dan sampai saat ini, ia masih bisa mendengarkan tawa lirih wanita jinjit di dalam kepalanya.
“Bar, tangi. Siap-siap sek, ben ra kawanen!– Bar, bangun. Siap-siap biar gak kesiangan!” Kemal menggoyang-goyang tangan Akbar, sementara si pemuda perlahan membuka kedua matanya sambil menguap.
Kemal melihat jam di handphonenya, di layar nampak angka 06.14. Lumayan, setidaknya ia sudah tidur kurang lebih 4 jam jika dijumlahkan dengan tidurnya di kamar hotel. Akbar yang akhirnya membuka mata lantas duduk untuk mengumpulkan nyawanya.
“Jam piro, Mas? – Jam berapa, Mas?”
Kemal tak menjawab, hanya menunjukkan angka di layar handphonenya sambil mencari rokok dan langsung membakarnya. Pagi itu dimulai dengan hembusan asap yang seharusnya tak dilakukan, namun itu adalah kebiasaannya.
Akbar lalu bergegas untuk menuju wastafel yang menempel di tembok, membasuh wajahnya juga menggosok gigi. Sesungguhnya ia masih sangat lelah dan cukup mengantuk. Terlebih gangguan yang ia alami juga tak kalah menyeramkan. Namun karena memang sudah dijadwalkan, mau tak mau ia bergegas.
Kemal menghembuskan asap rokok terakhirnya lalu mengambil sikat dan pasta gigi. Tak lupa sabun cuci muka berbahan mint dan charcoal lalu menyusul ikut menyegarkan diri.
“Bar iki ngopi sek, Mas. Ben ra ngantuk nang ndalan, – Habis ini ngopi dulu, Mas. Biar gak ngantuk di jalan,” ucapnya sembari memberikan giliran pada Kemal sambil berjalan menuju belakang gerobak angkringan untuk menyeduh kopi.
Terik matahari sudah mulai menyengat di kulit, juga debu yang beterbangan menambah rasa tidak nyaman. Sejauh ini mereka masih berjalan di area kota dan jalan kabupaten yang tentunya masih sangat ramai kendaraan dan pemukiman penduduk.
Untaian kabel listrik menjuntai di sepanjang jalan, altocumulusberarak mengikuti perjalanan mereka yang panjang. Semoga saja tidak ada kemacetan, kecelakaan di jalan, mau pun hujan yang tentunya bisa saja membuat perjalanan mereka semakin lama dari waktu yang sudah diperkirakan.
Jalanan yang mereka tempuh berkisar 600 kilometer dengan berbagai macam rintangan yang tentunya akan ditemui sepanjang jalan. Jika perjalanan lancar, maka mereka akan sampai setidaknya enam hingga delapan jam perjalanan. Oleh karena itu mereka harus berangkat pagi sekali.
Di awal perjalanan yang masih bisa dibilang nyaman, mereka berkendara tak lebih dari 70 km/jam. Mengingat memang masih banyak pemukiman dan kegiatan warga di sekitar jalan. Ditambah harus ekstra hati-hati karena bisa saja ada ibu-ibu yang berkendara sembarangan sambil membonceng anak.
Tadinya mereka hendak berangkat selambat-lambatnya sekitar pukul sembilan. Namun justru melenceng dari rencana karena Akbar harus diserang diare mendadak karena kebanyakan makan sambal ketika sarapan bubur ayam.
Hal tolol yang sebenarnya tak perlu terjadi, namun malang tak dapat ditolak. Selain itu sepertinya mereka tak akan terlambat sampai tujuan. Karena keterlambatan mereka tentunya bisa ditebus di perjalanan. Mengingat Akbar adalah seorang anak motor yang suka ngebut dan mengerti tentang mesin, karena ia memang berteman dengan orang bengkel.
Satu jam berlalu dengan cepat, matahari semakin meninggi. Perumahan yang tadinya ramai di kiri dan kanan jalan akhirnya mulai jarang. Digantikan deretan beberapa pohon-pohon rindang juga sawah yang terhampar hijau, yang sepertinya memang memasuki masa tanam.
Kemal teringat kali pertama kenal dengan Akbar dan beberapa teman lainnya di sebuah channel yang isinya pengguna Twitter yang memiliki ketertarikan yang sama, yaitu ngobrol. Akbar termasuk member termuda di channel tersebut, dan merupakan satu dari beberapa orang yang akrab dengan Kemal.
Sebenarnya Kemal memiliki perasaan was-was ketika memutuskan untuk mengajak Akbar bepergian bersama. Mengingat Akbar memiliki masalah emosi yang tak terkendali. Ia memang memiliki gangguan mengendalikan emosi, terutama kepada orang yang tidak ia suka. Bahkan pernah satu ketika ia berani menunggu orang yang tak ia suka dengan pisau terhunus.
Hal itu yang menyebabkan Kemal cukup berhati-hati sekaligus peduli. Orang seperti Akbar memang harus mendapat perhatian dan perlakuan yang baik. Setidaknya ia memiliki teman mengobrol santai untuk mengeluarkan segala sesuatu yang ada di kepalanya.
“Obat wis mbok ombe mau, Bar? – Obatnya sudah kamu minum, Bar?” Kemal harus sedikit berteriak mengingat mereka dalam kondisi ngebut.
“Uwis, Mas. Mau bar mangan bubur ayam, – Sudah, Mas. Tadi habis makan bubur ayam,” teriak Akbar sambil sedikit menolehkan kepalanya.
Jujur saja, obat itu memang tidak boleh ketinggalan. Bahkan harus rutin diminum dua kali sehari agar emosi Akbar tidak meledak-ledak. Meskipun terkesan seperti obat penenang, namun obat itu tidak mempengaruhi performa Akbar dalam melakukan sesuatu. Salah satunya berkendara.
Sejak kecil, Akbar sudah mengidap sebuah ‘penyakit’ yang menyebabkan ia terlalu emosional dan harus cukup berhati-hati dalam berteman. Hal itu membuat Akbar tidak melanjutkan sekolah di SMA formal. Ia harus lebih membatasi pergaulannya demi keselamatan dirinya dan orang lain.
Ia juga merupakan seorang yang tertarik dengan olahraga renang, mesin dan balap. Dulu, ia sempat menjadi atlit lompat indah junior. Dan sekarang ia lebih banyak menghabiskan waktunya di bengkel untuk mengulik mesin motor dan menjadi mekanik.
Mengingat sedikit perbedaaan di diri Akbar, akhirnya Kemal meminta Akbar untuk tidak banyak bereaksi jika melihat sesuatu. Bahkan meminta Akbar untuk membatasi interaksi kepada orang baru, karena rawan terjadi kesalahpahaman. Ditambah ia memang seorang pemuda yang cukup emosional.
Jalan yang cukup lancar membuat perjalanan seperti tak terasa. Meskipun setiap dua jam sekali mereka beristirahat sejenak untuk sekedar merokok dan meluruskan pinggang. Motor juga perlu sejenak didinginkan.
Sekarang sudah cukup sore, sementara mereka masih berada di daerah yang jaraknya sekitar dua jam lagi hingga sampai di Desa Lapengan. Sebenarnya Kemal juga sudah menghubungi salah satu sepupu ibunya yang ada di desa. Mereka juga sudah ditunggu dan disiapkan kamar untuk menginap beberapa hari ke depan.
Mereka berdua saat ini sudah berada di jalanan poros kabupaten yang bisa dibilang jarang pemukiman. Sisi kiri dan kanannya banyak pepohonan dengan beberapa gapura yang menjadi penanda desa dan dusun.
Di sebelah kanan jalan ada plang besar bertuliskan “SELAMAT DATANG DI KABUPATEN KUJANG”. Plang itu terlihat cukup baru, dengan bahan kayu yang diukir bercat hijau terang berlatar hitam agar terlihat kontras. Juga dengan logo bawang di bagian atas plang sebagai simbol komoditas utama di daerah itu.
Tak jauh dari plang, mulai terlihat hamparan sawah di kiri dan kanan jalan. Beberapa sawah terlihat mepet dengan gapura yang jalannya sudah diaspal. Dari kejauhan terlihat deretan rumah-rumah menghadap sawah. Sepertinyah itu adalah rumah pemilik lahan.
“Rodhok ngebut sitik, Bar. Koyok’e arep udan, mendung ngene,– Agak ngebut dikit, Bar. Kayaknya mau hujan, mendung begini,” Kemal menepuk pundah Akbar agar pemuda itu menggeber motornya lebih cepat.
Akbar tak menjawab, namun bergegas menarik gas sesuai permintaan Kemal. Meskipun mendung tak terlalu pekat, ada baiknya mereka segera sampai. Karena jujur, semakin mendekati senja keadaan seperti berubah drastis. Yang tadinya teduh asri dan memanjakan mata justru menjadi lebih suram.
Sejenak Kemal terpikir kalau ia salah mengambil keputusan, sepertinya ini adalah rencana yang salah. Namun semua sudah terjadi, tak mungkin ia mendadak mundur dan meminta Akbar putar balik. Ia sudah tak jauh dari tujuannya, bahkan hanya perlu satu jam lagi.
Mereka akhirnya sampai di daerah yang cukup ramai, alun-alun. Para pemuda-pemudi sedang asik berkendara menghabiskan waktu sore sambil menenteng kudapan. Juga ada yang duduk di pinggir jalan sambil makan kudapan dari street food terdekat.
Jika dilihat sekilas, Kujang hampir tak ada bedanya dengan kota dan kabupaten lain. Area yang ramai, sama kondisinya, sama hiruk-pikuknya. Perbedaan yang paling kentara hanyalah tak seramai kota lain, mungkin karena di kabupaten ini masih banyak desa yang warganya memegang teguh kepercayaan lama.
Tepat pukul lima lewat, gerimis turun membasahi tanah yang bedebu. Tidak deras, namun cukup untuk membuat mereka yang sedang santai kocar-kacir. Pedagang kaki lima langsung memasang tenda, juga paklek penjulan pentol goreng segera menutupi wajannya yang berisi minyak.
“Rokok’an sek, Bar. Wes cedak soale, – Merokok dulu, Bar. Udah dekat soalnya,” ajak Kemal sambil meminta Akbar menepikan motor di depan sebuah supermarket.
Mereka berteduh sambil menenggak kopi botol yang sedaritadi mereka bawa. Tak lupa membakar rokok favorit masing-masing, dan tentunya mengobrol tentang bagaimana perjalanan yang sedaritadi mereka tempuh.
Kemal harus mengakui, Akbar cukup kuat mengendarai motor seharian. Bahkan ia tak memperbolehkan Kemal untuk gantian, mengingat Kemal mungkin akan kagok dengan setting motornya. Lagipula, sebagai orang yang lama di Kalimantan, Kemal tentu tidak tahu gaya para pengemudi lintas-provinsi di pulau Jawa.
“Piye, Bar. Kesel? – Gimana, Bar. Capek?” Disodorkannya sebotol air putih dan sebungkus rokok.
“Lumayan, Mas. Mau ono sing aneh pas lewat alas, moso iyo aku ndelok ono wong wedhok mlaku nang uwit. – Lumayan, Mas. Tadi di sana ada yang aneh pas lewat hutan, masa iya aku lihat ada perempuan jalan di batang pohon.”
“Mlaku piye?! – Jalan gimana?!“ Kemal terkaget mendengar pengakuan Akbar yang sebenarnya tidak ia duga.
“Yoo mlaku, Mas. Duduk nang nduwur yo, tapi mlaku miring arep nang nduwur, – Yaa jalan, Mas. Bukan di atas pohon ya, tapi jalan miring (badannya horizontal) mengarah ke atas, ” ucapnya sambil menghembuskan asap rokok.
Sebelum Kemal berangkat, Akbar sudah diwanti-wanti dengan orang tuanya tentang kejadian yang mungkin saja akan mereka temui sesampainya di Kujang. Mengingat kabupaten itu memang termasuk area yang bisa dibilang wingit dan penduduknya juga masih cukup menjunjung tinggi budaya. Ditambah, di area Kujang memang sering ditemukan petilasan dan punden, juga berbagai pohon-pohon tua yang mungkin saja sama tuanya dengan area tersebut.
“Yowis, Bar. Ayo budal, selak kewengen, – Yasudah, Bar. Ayo berangkat, nanti malah kemalaman,” ajak Kemal yang baru saja menghembuskan asap rokok terakhir dan menenggak air putih dari dalam botol. Akbar mengangguk lalu bergegas kembali ke motor dan melanjutkan perjalanan.
Mereka akhirnya memakai jas hujan sambil mengganti sepatu menjadi sandal jepit. Meskipun terasa tidak nyaman, mereka tetap melanjutkan perjalanan dengan perlengkapan yang sudah disiapkan. Sementara matahari sudah cukup mendekat di garis cakrawala yang terlihat kunig samar di kejauhan. Mendung memang tidak terlalu pekat di ujung sana.
Mereka bergegas menggeber motor kembali menghajar hitamnya aspal yang kini sudah basah terguyur derai hujan. Mereka berjalan ke arah barat, menuju pinggiran Kabupaten Kujang yang merupakan daerah sentra penghasil bawang. Mereka berjalan sedikit lebih pelan dari sebelumnya, mengingat jalanan lebih licin dan harus ekstra hati-hati karena hari sudah mulai gelap.
Hampir satu jam perjalanan, mereka akhirnya melewati berbagai macam lingkungan di Kujang, hingga mereka memasuki area dekat pasar Senengarto. Mereka berhenti sejenak dan memeriksa handphone untuk memastikan arah yang tepat. Kebetulan Desa Lapengan memang sempat dimasuki perangkat pemetaan digital, sehingga arahnya terdeteksi.
Kurang dari setengah jam seharusnya mereka sudah bisa sampai di tujuan. Keadaan sudah cukup gelap, senja yang seharusnya memerah justru tak terlihat karena mendung sudah mulai merata hingga ke ujung cakrawala. Rasanya malam tiba lebih cepat dari biasanya.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan setelah memastikan arah yang mereka tuju, juga memastikannya pada para supir dan warga setempat. Sebenarnya mereka mendapat peringatan untuk menunda sejenak perjalanan, setidaknya sampai setelah shalat Maghrib. Namun karena mereka sudah terlalu capai dan ingin segera beristirahat akhirnya memutuskan untuk tetap lanjut.
Sesuai dengan petunjuk peta, mereka memasuki kelurahan Sumberarto. Sebuah kelurahan di pingiran Kabupaten Lapengan yang letaknya tak jauh dari sungai besar. Juga ada rel kereta yang melintang lurus ke arah barat menuju kota candi.
Kelurahan Sumberarto memiliki dua jalan utama, yaitu jalanan yang membelah kelurahan dan pemukiman. Sementara jalan satunya merupakan jalanan yang membelah persawahan dan perkebunan tebu. Meskipun Desa Lapengan bisa ditempuh lewat jalan pertama, namun akan lebih lama karena jalanan itu memutar. Lagipula, jalan kedua langsung melewati Desa Lapengan tanpa harus memutar, semacam jalan poros yang menghubungkan antar-dusun.
Memasuki jalan poros, mereka disambut dengan temaram lampu jalan yang tak terlalu terang. Entah mengapa suara toa dari masjid dan mushala tidak terdengar. Diganti dengan gemerisik suara gerimis yang menghantam kebun tebu.
Dibanding daerah lain, Sumberarto memang lebih panas. Letaknya berada di dataran rendah, sehingga para warganya jarang yang bertanam padi, melainkan tebu dan bawang merah. Diantara pergantian hari yang gelap Kemal berbisik, “Bar, kalo ada denger ato liat sesuatu jangan ditegur,” ia tak menyangka kalimat itu akan keluar dari mulutnya.
Ibunya memang sudah memberi peringatan keras ketika berangkat. Salah satunya tentang sesuatu yang tak seharusnya ia tegur di perjalanan mau pun ketika sudah sampai di desa. Kalimat yang sama seperti yang pernah diucapkan Harti ketika menjemput Kemal.
Sepanjang perjalanan mendekati desa, kiri-kanan jalan kini dihiasi oleh deretan pohon trembesi, kapuk randu dan jati tua. Meskipun jarang, pohon itu cukup bisa membuat jalanan semakin teduh dari hujan. Juga sebagai pembatas antara persawahan/perkebunan dengan jalanan.
Diantara gemerisik daun yang gugur dihantam rintik hujan, Akbar dan Kemal sama-sama mendengar sesuatu. Bebunyian di antara pohon tebu yang berderak dan terlihat bergerak. Seperti ada binatang yang berlari mengikuti motor mereka dari balik deretan tebu.
“NGEBUT BAR!”
Kemal mulai merasa sedikit panik, ia ingat tentang lokasi penemuan mayat dengan kepala dan leher terpisah di dekat perkebunan tebu dan deretan pohon jati. Lokasi yang saat ini mereka lewati. Lokasi yang sama, ketika Harti dan Husin mendengar suara anak kecil tertawa kecil sambil bermain.
Entah mengapa, namun rasanya perjalanan mereka tak menemukan ujung. Perkebunan tebu ini rasanya sangat besar, perjalanan terasa semakin panjang. Menurut perhitungan, seharusnya mereka sudah sampai area pekuburan di sebelah masjid besar.
“Ono opo, Bar? Kok malah setop?– Ada apa, Bar? Kok malah berhenti?” Kemal seketika bingung karena Akbar justru memperlambat lalu menghentikan motor yang mereka kendarai. Sementara mesin terus menderu.
“Mbuh, iki malah ra iso mlaku motore, – Gak tau, ini malah gak bisa jalan motornya,” bunyi mesin motor korekan itu meraung kencang, sementara tak ada tenaga yang bisa dihasilkan. Sesuatu yang tak beres sedang terjadi.
Suara kresek-kresek terus berbunyi di antara batang-batang tebu yang sebagian daunnya sudah kering dan rontok. Suara seperti binatang sebesar anjing yang berlari seperti berputar-putar. Anehnya, suara itu tak hanya datang dari sebelah kiri, namun bisa berpindah ke sebelah kanan mereka. Suara yang bisa menyeberang jalan tanpa terlihat.
Akbar terdengar berkomat-kamit membaca doa yang ia ingat sambil terus berusaha menarik gas. Yang aneh adalah, Akbar bahkan tidak menurunkan kedua kakinya. Sementara motor itu tetap bisa berdiri tegak.
Samar terdengar suara anak-anak sedang bermain. Suara tawa dan nyanyian lirih terdengar tanpa bahasa. Tak ada kata yang tercerna. Akbar terlihat pucat, tubuh mereka terasa menggigil dan panas secara bersamaan.
Hujan yang tadinya hanya rintik kini justru semakin terasa deras. Di kejauhan terlihat seperti batu di bawa tiang lampu. Sebuah siluet seperti bola yang diam di jalur berlawanan. Sekita dua puluh meter di depan mereka.
Kemal yang sedari tadi berada di jok belakang merasa panik, seharusnya mereka sudah sampai, seharusnya motor jatuh jika dalam kondisi seperti ini. Ini bukanlah sesuatu yang baik, jelas ada sebuah acara penyambutan yang sedang terjadi.
Kemal meningkatkan kewaspadaanya, matanya memicing melihat di kejauhan. Sesuatu yang mereka kira batu ternyata bergerak. Seperti bola plastik yang sedang tertiup angin tak beraturan. Namun dari bentuknya yang tidak bulat sempurna, itu bukan bola.
Kemal yang sudah bermandi keringat makin sadar apa yang sedang mereka hadapi. Kelompok bawahan sang Si Mbahu Rekso. Lapisan terbawah penjaga Desa Lapengan.
‘Kresek.. Kresekk..’
“Ayo dolan, melok aku. Kene dolan, – Ayo main, ikut aku. Sini main,”
Sebuah suara ajakan bermain terdengar oleh Kemal dan Akbar. Suara yang entah dari mana asalnya, dan itu terdengar di dalam kepala mereka. Tanpa melewati rongga telinga seperti yang seharusnya.
Suara kresek-kresek semakin kencang. Akbar menurunkan kakinya, berdoa sebanyak yang ia bisa. Sementara Kemal memandang kiri-kanan tanpa berani memandang ke belakang. Suara-suara anak kecil semakin ramai mengajak mereka berdua bermain.
“Mas, ono sing gerak-gerak, ngglinding, – Mas, ada yang bergerak-gerak, menggelinding,” tangan Akbar menunjuk sesuatu dengan gemetar. Ujung telunjuknya mengarah kepada sesuatu bayangan yang bergerak acak.
Ada hal yang tak mereka sadari, mereka sebenarnya berada tak jauh dari lampu jalan yang remang, hanya berjarak satu meter. Dan dari kegelapan, sesuatu muncul tepat satu meter di depan mereka. Tepat di bawah lampu jalan yang kuning dan remang.
Sesuatu yang hitam dengan kotoran lumpur dan daun yang lengket. Sesuatu yang ternyata memiliki wajah, yang separuhnya ditutupi rambut panjang. “Ayo dolan bareng aku, ben tak jak nang omahe Kanjeng. – Ayo main bersamaku, biar aku ajak ke rumahnya Kanjeng.”
Sesuatu yang ternyata kepala yang menggelinding itu dengan ceria mengajak mereka bermain. Senyumnya lebar dengan bibir merah dan luka, giginya runcing dengan noda merah. Wajah itu putih pucat pasi dengan mata yang berlubang, dengan suara anak-anak. Mereka tak menyangka wajah yang kini terlihat justru lebih mirip wajah seorang wanita tua yang sudah sangat-keriput.
Pandangan mereka berdua seketika gelap, mereka baru sadar kalau yang sedaritadi mengikuti mereka adalah GLUNDUNG PRINGIS.
Matahari menyingsing, kondisi lalu lintas sudah cukup ramai dengan para pekerja yang berlalu-lalang. Deru motor, mobil, truk dan angkot sudah saling berlomba mengisi pagi. Tak ketinggalan para penjual sayur, donat dan penjaja bubur ayam yang berjalan kaki membawa dagangannya menuju pemukiman penduduk. Ada yang berteriak, memukul mangkok atau pun musik dari speaker bersuara sember.
Beberapa teman Akbar sudah pulang, sementara si Mas penjaga angkringan ikut tidur di dekat meja sebelah. Meskipun ia bisa saja tidur di bagian dalam, sepertinya ia memilih untuk menemani ‘tamunya’ yang hendak bepergian.
Kemal bangun mengerjap-ngerjap karena silau, matanya terasa berat dan perih. Mengingat waktu istirahat yang seharusnya maksimal justru buyar karena gangguan di kamar hotel. Dan sampai saat ini, ia masih bisa mendengarkan tawa lirih wanita jinjit di dalam kepalanya.
“Bar, tangi. Siap-siap sek, ben ra kawanen!– Bar, bangun. Siap-siap biar gak kesiangan!” Kemal menggoyang-goyang tangan Akbar, sementara si pemuda perlahan membuka kedua matanya sambil menguap.
Kemal melihat jam di handphonenya, di layar nampak angka 06.14. Lumayan, setidaknya ia sudah tidur kurang lebih 4 jam jika dijumlahkan dengan tidurnya di kamar hotel. Akbar yang akhirnya membuka mata lantas duduk untuk mengumpulkan nyawanya.
“Jam piro, Mas? – Jam berapa, Mas?”
Kemal tak menjawab, hanya menunjukkan angka di layar handphonenya sambil mencari rokok dan langsung membakarnya. Pagi itu dimulai dengan hembusan asap yang seharusnya tak dilakukan, namun itu adalah kebiasaannya.
Akbar lalu bergegas untuk menuju wastafel yang menempel di tembok, membasuh wajahnya juga menggosok gigi. Sesungguhnya ia masih sangat lelah dan cukup mengantuk. Terlebih gangguan yang ia alami juga tak kalah menyeramkan. Namun karena memang sudah dijadwalkan, mau tak mau ia bergegas.
Kemal menghembuskan asap rokok terakhirnya lalu mengambil sikat dan pasta gigi. Tak lupa sabun cuci muka berbahan mint dan charcoal lalu menyusul ikut menyegarkan diri.
“Bar iki ngopi sek, Mas. Ben ra ngantuk nang ndalan, – Habis ini ngopi dulu, Mas. Biar gak ngantuk di jalan,” ucapnya sembari memberikan giliran pada Kemal sambil berjalan menuju belakang gerobak angkringan untuk menyeduh kopi.
…
Terik matahari sudah mulai menyengat di kulit, juga debu yang beterbangan menambah rasa tidak nyaman. Sejauh ini mereka masih berjalan di area kota dan jalan kabupaten yang tentunya masih sangat ramai kendaraan dan pemukiman penduduk.
Untaian kabel listrik menjuntai di sepanjang jalan, altocumulusberarak mengikuti perjalanan mereka yang panjang. Semoga saja tidak ada kemacetan, kecelakaan di jalan, mau pun hujan yang tentunya bisa saja membuat perjalanan mereka semakin lama dari waktu yang sudah diperkirakan.
Jalanan yang mereka tempuh berkisar 600 kilometer dengan berbagai macam rintangan yang tentunya akan ditemui sepanjang jalan. Jika perjalanan lancar, maka mereka akan sampai setidaknya enam hingga delapan jam perjalanan. Oleh karena itu mereka harus berangkat pagi sekali.
Di awal perjalanan yang masih bisa dibilang nyaman, mereka berkendara tak lebih dari 70 km/jam. Mengingat memang masih banyak pemukiman dan kegiatan warga di sekitar jalan. Ditambah harus ekstra hati-hati karena bisa saja ada ibu-ibu yang berkendara sembarangan sambil membonceng anak.
Tadinya mereka hendak berangkat selambat-lambatnya sekitar pukul sembilan. Namun justru melenceng dari rencana karena Akbar harus diserang diare mendadak karena kebanyakan makan sambal ketika sarapan bubur ayam.
Hal tolol yang sebenarnya tak perlu terjadi, namun malang tak dapat ditolak. Selain itu sepertinya mereka tak akan terlambat sampai tujuan. Karena keterlambatan mereka tentunya bisa ditebus di perjalanan. Mengingat Akbar adalah seorang anak motor yang suka ngebut dan mengerti tentang mesin, karena ia memang berteman dengan orang bengkel.
Satu jam berlalu dengan cepat, matahari semakin meninggi. Perumahan yang tadinya ramai di kiri dan kanan jalan akhirnya mulai jarang. Digantikan deretan beberapa pohon-pohon rindang juga sawah yang terhampar hijau, yang sepertinya memang memasuki masa tanam.
Kemal teringat kali pertama kenal dengan Akbar dan beberapa teman lainnya di sebuah channel yang isinya pengguna Twitter yang memiliki ketertarikan yang sama, yaitu ngobrol. Akbar termasuk member termuda di channel tersebut, dan merupakan satu dari beberapa orang yang akrab dengan Kemal.
Sebenarnya Kemal memiliki perasaan was-was ketika memutuskan untuk mengajak Akbar bepergian bersama. Mengingat Akbar memiliki masalah emosi yang tak terkendali. Ia memang memiliki gangguan mengendalikan emosi, terutama kepada orang yang tidak ia suka. Bahkan pernah satu ketika ia berani menunggu orang yang tak ia suka dengan pisau terhunus.
Hal itu yang menyebabkan Kemal cukup berhati-hati sekaligus peduli. Orang seperti Akbar memang harus mendapat perhatian dan perlakuan yang baik. Setidaknya ia memiliki teman mengobrol santai untuk mengeluarkan segala sesuatu yang ada di kepalanya.
“Obat wis mbok ombe mau, Bar? – Obatnya sudah kamu minum, Bar?” Kemal harus sedikit berteriak mengingat mereka dalam kondisi ngebut.
“Uwis, Mas. Mau bar mangan bubur ayam, – Sudah, Mas. Tadi habis makan bubur ayam,” teriak Akbar sambil sedikit menolehkan kepalanya.
Jujur saja, obat itu memang tidak boleh ketinggalan. Bahkan harus rutin diminum dua kali sehari agar emosi Akbar tidak meledak-ledak. Meskipun terkesan seperti obat penenang, namun obat itu tidak mempengaruhi performa Akbar dalam melakukan sesuatu. Salah satunya berkendara.
Sejak kecil, Akbar sudah mengidap sebuah ‘penyakit’ yang menyebabkan ia terlalu emosional dan harus cukup berhati-hati dalam berteman. Hal itu membuat Akbar tidak melanjutkan sekolah di SMA formal. Ia harus lebih membatasi pergaulannya demi keselamatan dirinya dan orang lain.
Ia juga merupakan seorang yang tertarik dengan olahraga renang, mesin dan balap. Dulu, ia sempat menjadi atlit lompat indah junior. Dan sekarang ia lebih banyak menghabiskan waktunya di bengkel untuk mengulik mesin motor dan menjadi mekanik.
Mengingat sedikit perbedaaan di diri Akbar, akhirnya Kemal meminta Akbar untuk tidak banyak bereaksi jika melihat sesuatu. Bahkan meminta Akbar untuk membatasi interaksi kepada orang baru, karena rawan terjadi kesalahpahaman. Ditambah ia memang seorang pemuda yang cukup emosional.
***
Jalan yang cukup lancar membuat perjalanan seperti tak terasa. Meskipun setiap dua jam sekali mereka beristirahat sejenak untuk sekedar merokok dan meluruskan pinggang. Motor juga perlu sejenak didinginkan.
Sekarang sudah cukup sore, sementara mereka masih berada di daerah yang jaraknya sekitar dua jam lagi hingga sampai di Desa Lapengan. Sebenarnya Kemal juga sudah menghubungi salah satu sepupu ibunya yang ada di desa. Mereka juga sudah ditunggu dan disiapkan kamar untuk menginap beberapa hari ke depan.
Mereka berdua saat ini sudah berada di jalanan poros kabupaten yang bisa dibilang jarang pemukiman. Sisi kiri dan kanannya banyak pepohonan dengan beberapa gapura yang menjadi penanda desa dan dusun.
Di sebelah kanan jalan ada plang besar bertuliskan “SELAMAT DATANG DI KABUPATEN KUJANG”. Plang itu terlihat cukup baru, dengan bahan kayu yang diukir bercat hijau terang berlatar hitam agar terlihat kontras. Juga dengan logo bawang di bagian atas plang sebagai simbol komoditas utama di daerah itu.
Tak jauh dari plang, mulai terlihat hamparan sawah di kiri dan kanan jalan. Beberapa sawah terlihat mepet dengan gapura yang jalannya sudah diaspal. Dari kejauhan terlihat deretan rumah-rumah menghadap sawah. Sepertinyah itu adalah rumah pemilik lahan.
“Rodhok ngebut sitik, Bar. Koyok’e arep udan, mendung ngene,– Agak ngebut dikit, Bar. Kayaknya mau hujan, mendung begini,” Kemal menepuk pundah Akbar agar pemuda itu menggeber motornya lebih cepat.
Akbar tak menjawab, namun bergegas menarik gas sesuai permintaan Kemal. Meskipun mendung tak terlalu pekat, ada baiknya mereka segera sampai. Karena jujur, semakin mendekati senja keadaan seperti berubah drastis. Yang tadinya teduh asri dan memanjakan mata justru menjadi lebih suram.
Sejenak Kemal terpikir kalau ia salah mengambil keputusan, sepertinya ini adalah rencana yang salah. Namun semua sudah terjadi, tak mungkin ia mendadak mundur dan meminta Akbar putar balik. Ia sudah tak jauh dari tujuannya, bahkan hanya perlu satu jam lagi.
Mereka akhirnya sampai di daerah yang cukup ramai, alun-alun. Para pemuda-pemudi sedang asik berkendara menghabiskan waktu sore sambil menenteng kudapan. Juga ada yang duduk di pinggir jalan sambil makan kudapan dari street food terdekat.
Jika dilihat sekilas, Kujang hampir tak ada bedanya dengan kota dan kabupaten lain. Area yang ramai, sama kondisinya, sama hiruk-pikuknya. Perbedaan yang paling kentara hanyalah tak seramai kota lain, mungkin karena di kabupaten ini masih banyak desa yang warganya memegang teguh kepercayaan lama.
Tepat pukul lima lewat, gerimis turun membasahi tanah yang bedebu. Tidak deras, namun cukup untuk membuat mereka yang sedang santai kocar-kacir. Pedagang kaki lima langsung memasang tenda, juga paklek penjulan pentol goreng segera menutupi wajannya yang berisi minyak.
“Rokok’an sek, Bar. Wes cedak soale, – Merokok dulu, Bar. Udah dekat soalnya,” ajak Kemal sambil meminta Akbar menepikan motor di depan sebuah supermarket.
Mereka berteduh sambil menenggak kopi botol yang sedaritadi mereka bawa. Tak lupa membakar rokok favorit masing-masing, dan tentunya mengobrol tentang bagaimana perjalanan yang sedaritadi mereka tempuh.
Kemal harus mengakui, Akbar cukup kuat mengendarai motor seharian. Bahkan ia tak memperbolehkan Kemal untuk gantian, mengingat Kemal mungkin akan kagok dengan setting motornya. Lagipula, sebagai orang yang lama di Kalimantan, Kemal tentu tidak tahu gaya para pengemudi lintas-provinsi di pulau Jawa.
“Piye, Bar. Kesel? – Gimana, Bar. Capek?” Disodorkannya sebotol air putih dan sebungkus rokok.
“Lumayan, Mas. Mau ono sing aneh pas lewat alas, moso iyo aku ndelok ono wong wedhok mlaku nang uwit. – Lumayan, Mas. Tadi di sana ada yang aneh pas lewat hutan, masa iya aku lihat ada perempuan jalan di batang pohon.”
“Mlaku piye?! – Jalan gimana?!“ Kemal terkaget mendengar pengakuan Akbar yang sebenarnya tidak ia duga.
“Yoo mlaku, Mas. Duduk nang nduwur yo, tapi mlaku miring arep nang nduwur, – Yaa jalan, Mas. Bukan di atas pohon ya, tapi jalan miring (badannya horizontal) mengarah ke atas, ” ucapnya sambil menghembuskan asap rokok.
Sebelum Kemal berangkat, Akbar sudah diwanti-wanti dengan orang tuanya tentang kejadian yang mungkin saja akan mereka temui sesampainya di Kujang. Mengingat kabupaten itu memang termasuk area yang bisa dibilang wingit dan penduduknya juga masih cukup menjunjung tinggi budaya. Ditambah, di area Kujang memang sering ditemukan petilasan dan punden, juga berbagai pohon-pohon tua yang mungkin saja sama tuanya dengan area tersebut.
“Yowis, Bar. Ayo budal, selak kewengen, – Yasudah, Bar. Ayo berangkat, nanti malah kemalaman,” ajak Kemal yang baru saja menghembuskan asap rokok terakhir dan menenggak air putih dari dalam botol. Akbar mengangguk lalu bergegas kembali ke motor dan melanjutkan perjalanan.
Mereka akhirnya memakai jas hujan sambil mengganti sepatu menjadi sandal jepit. Meskipun terasa tidak nyaman, mereka tetap melanjutkan perjalanan dengan perlengkapan yang sudah disiapkan. Sementara matahari sudah cukup mendekat di garis cakrawala yang terlihat kunig samar di kejauhan. Mendung memang tidak terlalu pekat di ujung sana.
Mereka bergegas menggeber motor kembali menghajar hitamnya aspal yang kini sudah basah terguyur derai hujan. Mereka berjalan ke arah barat, menuju pinggiran Kabupaten Kujang yang merupakan daerah sentra penghasil bawang. Mereka berjalan sedikit lebih pelan dari sebelumnya, mengingat jalanan lebih licin dan harus ekstra hati-hati karena hari sudah mulai gelap.
…
Hampir satu jam perjalanan, mereka akhirnya melewati berbagai macam lingkungan di Kujang, hingga mereka memasuki area dekat pasar Senengarto. Mereka berhenti sejenak dan memeriksa handphone untuk memastikan arah yang tepat. Kebetulan Desa Lapengan memang sempat dimasuki perangkat pemetaan digital, sehingga arahnya terdeteksi.
Kurang dari setengah jam seharusnya mereka sudah bisa sampai di tujuan. Keadaan sudah cukup gelap, senja yang seharusnya memerah justru tak terlihat karena mendung sudah mulai merata hingga ke ujung cakrawala. Rasanya malam tiba lebih cepat dari biasanya.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan setelah memastikan arah yang mereka tuju, juga memastikannya pada para supir dan warga setempat. Sebenarnya mereka mendapat peringatan untuk menunda sejenak perjalanan, setidaknya sampai setelah shalat Maghrib. Namun karena mereka sudah terlalu capai dan ingin segera beristirahat akhirnya memutuskan untuk tetap lanjut.
Sesuai dengan petunjuk peta, mereka memasuki kelurahan Sumberarto. Sebuah kelurahan di pingiran Kabupaten Lapengan yang letaknya tak jauh dari sungai besar. Juga ada rel kereta yang melintang lurus ke arah barat menuju kota candi.
Kelurahan Sumberarto memiliki dua jalan utama, yaitu jalanan yang membelah kelurahan dan pemukiman. Sementara jalan satunya merupakan jalanan yang membelah persawahan dan perkebunan tebu. Meskipun Desa Lapengan bisa ditempuh lewat jalan pertama, namun akan lebih lama karena jalanan itu memutar. Lagipula, jalan kedua langsung melewati Desa Lapengan tanpa harus memutar, semacam jalan poros yang menghubungkan antar-dusun.
Memasuki jalan poros, mereka disambut dengan temaram lampu jalan yang tak terlalu terang. Entah mengapa suara toa dari masjid dan mushala tidak terdengar. Diganti dengan gemerisik suara gerimis yang menghantam kebun tebu.
Dibanding daerah lain, Sumberarto memang lebih panas. Letaknya berada di dataran rendah, sehingga para warganya jarang yang bertanam padi, melainkan tebu dan bawang merah. Diantara pergantian hari yang gelap Kemal berbisik, “Bar, kalo ada denger ato liat sesuatu jangan ditegur,” ia tak menyangka kalimat itu akan keluar dari mulutnya.
Ibunya memang sudah memberi peringatan keras ketika berangkat. Salah satunya tentang sesuatu yang tak seharusnya ia tegur di perjalanan mau pun ketika sudah sampai di desa. Kalimat yang sama seperti yang pernah diucapkan Harti ketika menjemput Kemal.
Sepanjang perjalanan mendekati desa, kiri-kanan jalan kini dihiasi oleh deretan pohon trembesi, kapuk randu dan jati tua. Meskipun jarang, pohon itu cukup bisa membuat jalanan semakin teduh dari hujan. Juga sebagai pembatas antara persawahan/perkebunan dengan jalanan.
Diantara gemerisik daun yang gugur dihantam rintik hujan, Akbar dan Kemal sama-sama mendengar sesuatu. Bebunyian di antara pohon tebu yang berderak dan terlihat bergerak. Seperti ada binatang yang berlari mengikuti motor mereka dari balik deretan tebu.
“NGEBUT BAR!”
Kemal mulai merasa sedikit panik, ia ingat tentang lokasi penemuan mayat dengan kepala dan leher terpisah di dekat perkebunan tebu dan deretan pohon jati. Lokasi yang saat ini mereka lewati. Lokasi yang sama, ketika Harti dan Husin mendengar suara anak kecil tertawa kecil sambil bermain.
Entah mengapa, namun rasanya perjalanan mereka tak menemukan ujung. Perkebunan tebu ini rasanya sangat besar, perjalanan terasa semakin panjang. Menurut perhitungan, seharusnya mereka sudah sampai area pekuburan di sebelah masjid besar.
“Ono opo, Bar? Kok malah setop?– Ada apa, Bar? Kok malah berhenti?” Kemal seketika bingung karena Akbar justru memperlambat lalu menghentikan motor yang mereka kendarai. Sementara mesin terus menderu.
“Mbuh, iki malah ra iso mlaku motore, – Gak tau, ini malah gak bisa jalan motornya,” bunyi mesin motor korekan itu meraung kencang, sementara tak ada tenaga yang bisa dihasilkan. Sesuatu yang tak beres sedang terjadi.
Suara kresek-kresek terus berbunyi di antara batang-batang tebu yang sebagian daunnya sudah kering dan rontok. Suara seperti binatang sebesar anjing yang berlari seperti berputar-putar. Anehnya, suara itu tak hanya datang dari sebelah kiri, namun bisa berpindah ke sebelah kanan mereka. Suara yang bisa menyeberang jalan tanpa terlihat.
Akbar terdengar berkomat-kamit membaca doa yang ia ingat sambil terus berusaha menarik gas. Yang aneh adalah, Akbar bahkan tidak menurunkan kedua kakinya. Sementara motor itu tetap bisa berdiri tegak.
Samar terdengar suara anak-anak sedang bermain. Suara tawa dan nyanyian lirih terdengar tanpa bahasa. Tak ada kata yang tercerna. Akbar terlihat pucat, tubuh mereka terasa menggigil dan panas secara bersamaan.
Hujan yang tadinya hanya rintik kini justru semakin terasa deras. Di kejauhan terlihat seperti batu di bawa tiang lampu. Sebuah siluet seperti bola yang diam di jalur berlawanan. Sekita dua puluh meter di depan mereka.
Kemal yang sedari tadi berada di jok belakang merasa panik, seharusnya mereka sudah sampai, seharusnya motor jatuh jika dalam kondisi seperti ini. Ini bukanlah sesuatu yang baik, jelas ada sebuah acara penyambutan yang sedang terjadi.
Kemal meningkatkan kewaspadaanya, matanya memicing melihat di kejauhan. Sesuatu yang mereka kira batu ternyata bergerak. Seperti bola plastik yang sedang tertiup angin tak beraturan. Namun dari bentuknya yang tidak bulat sempurna, itu bukan bola.
Kemal yang sudah bermandi keringat makin sadar apa yang sedang mereka hadapi. Kelompok bawahan sang Si Mbahu Rekso. Lapisan terbawah penjaga Desa Lapengan.
‘Kresek.. Kresekk..’
“Ayo dolan, melok aku. Kene dolan, – Ayo main, ikut aku. Sini main,”
Sebuah suara ajakan bermain terdengar oleh Kemal dan Akbar. Suara yang entah dari mana asalnya, dan itu terdengar di dalam kepala mereka. Tanpa melewati rongga telinga seperti yang seharusnya.
Suara kresek-kresek semakin kencang. Akbar menurunkan kakinya, berdoa sebanyak yang ia bisa. Sementara Kemal memandang kiri-kanan tanpa berani memandang ke belakang. Suara-suara anak kecil semakin ramai mengajak mereka berdua bermain.
“Mas, ono sing gerak-gerak, ngglinding, – Mas, ada yang bergerak-gerak, menggelinding,” tangan Akbar menunjuk sesuatu dengan gemetar. Ujung telunjuknya mengarah kepada sesuatu bayangan yang bergerak acak.
Ada hal yang tak mereka sadari, mereka sebenarnya berada tak jauh dari lampu jalan yang remang, hanya berjarak satu meter. Dan dari kegelapan, sesuatu muncul tepat satu meter di depan mereka. Tepat di bawah lampu jalan yang kuning dan remang.
Sesuatu yang hitam dengan kotoran lumpur dan daun yang lengket. Sesuatu yang ternyata memiliki wajah, yang separuhnya ditutupi rambut panjang. “Ayo dolan bareng aku, ben tak jak nang omahe Kanjeng. – Ayo main bersamaku, biar aku ajak ke rumahnya Kanjeng.”
Sesuatu yang ternyata kepala yang menggelinding itu dengan ceria mengajak mereka bermain. Senyumnya lebar dengan bibir merah dan luka, giginya runcing dengan noda merah. Wajah itu putih pucat pasi dengan mata yang berlubang, dengan suara anak-anak. Mereka tak menyangka wajah yang kini terlihat justru lebih mirip wajah seorang wanita tua yang sudah sangat-keriput.
Pandangan mereka berdua seketika gelap, mereka baru sadar kalau yang sedaritadi mengikuti mereka adalah GLUNDUNG PRINGIS.
Sekian lanjutan petualangan Akbar dan Kemal malam ini, semoga bisa jadi teman tidur. Selamat bermalam Minggu, Gan!!

namakuve dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas