- Beranda
- Stories from the Heart
SUMPAH SEBELUM KEMATIAN - Teror Pocong Ningrat
...
TS
diosetta
SUMPAH SEBELUM KEMATIAN - Teror Pocong Ningrat

Selamat malam Gansis sekalian, perkenalkan saya Diosetta.. mohon ijin untuk sharing cerita horror ya. Sebuah kisah yang diangkat dari sebuah tempat di Jawa Tengah
SUMPAH SEBELUM KEMATIAN
Teror Pocong Ningrat
Quote:
Malam begitu sepi, sudah beberapa hari tidak ada warga desa yang berani keluar setelah adzan maghrib berkumandang. Saat itu seorang perempuan yang baru pulang dari tempat kerjanya terburu-buru melangkah menuju ke rumah setelah turun dari angkutan umum. Ia cukup tenang saat mendengar suara kentongan dari warga yang tengah menjalankan ronda. Setidaknya ia tidak sendirian malam itu.
Sebenarnya, malam belum terlalu larut. Tapi apa yang terjadi di desa belakangan ini membuat warga terpaksa mengunci pintunya rapat-rapat dan menjawalkan ronda untuk berkeliling lebih awal.
Sayangnya, sepertinya perempuan itu terlalu cepat menyimpulkan rasa leganya.
Dia yang dimaksud ada di sana..
Pocong itu ada di sana…
Kali ini sosok jasad yang terbungkus kain kafan lusuh itu tengah memandang salah satu rumah yang menjadi awal tragedi itu. Tragedi yang membuat rentetan kejadian tak masuk akal hingga membunuh satu keluarga di desa ini, Desa Danumulyo.
Spoiler for Part 1 - Keluarga Raden Sasmito:
Tahun 1994, Jawa Tengah
Katanya Tuhan itu Maha Adil, tapi mengapa takdir dan nasib tiap orang bisa begitu berbeda dan terkadang malah berbanding bagaikan bumi dan langit. Apa yang membuat itu semua begitu berbeda? Kerja keras kah? Pendidikan? Atau apa? Bahkan mereka yang lahir dari rahim yang sama dan tumbuh bersama pun bisa memiliki hidup yang jauh berbeda.
Cerita ini tentang keluarga Raden Sasmito. Keluarga terpandang yang benar-benar dikenal sangat berpunya dan berpengaruh di kota ini. Dulu, Eyang Sasmito memiliki usaha pengrajin perhiasan yang sudah berjalan turun-temurun dan menjadi kepercayaan beberapa kerabat keraton. Sedangkan Raden Ayu Sulastri, istri Eyang Sasmito memiliki pabrik batik yang sudah dikelola oleh puluhan karyawan.
Rumah keluarga Raden Sasmito cukup mencolok di desa Danumulyo. Rumah yang besar, namun terlihat sederhana dengan bangunan kayu yang mendominasi. Mereka adalah pekerja keras, bahkan sebagian sisi rumahnya pun dijadikan bengkel kerajinan perhiasan dan satu sisi rumah mereka juga sebagai tempat membatik. Sudah sepuluh tahun sejak Eyang Sasmito wafat. Ia wafat di umur delapan puluh tahun dan disusul oleh Eyang Lastri satu tahun kemudian.
Eyang Sasmito memiliki sepuluh anak, namun yang tinggal di desa ini hanya setengahnya. Hanya keluarga Bu Siti yang tinggal di rumah Eyang Sasmito yang begitu besar, dan sisanya tinggal tak jauh di sekitarnya. Mereka adalah orang-orang yang pada jaman itu dianggap terpandang karena bisa menempuh pendidikan dengan tuntas hingga sarjana.
Dengan semua kelebihan itu, ternyata tidak semua dari mereka bernasib sama. Ada yang hidup dengan harta melimpah melalui bisnisnya, ada yang merasa cukup dengan membuka warung yang sangat sederhana, dan ada juga yang hidup berkurangan seperti Lek Samin.
Desa Danumulyo tidka begitu besar. Bahkan hampir seluruh warga di desa Danumulyo sebenarnya mungkin memiliki hubungan kekerabatan walau dari garis keturunan yang cukup jauh. Hanya sebagian kecil dari pendatang yang akhirnya menetap di desa ini.
Lek Samin hanya hidup bersama istrinya Lek Indri di rumah sederhana berdinding anyaman bambu dan masih menggunakan sumur timba. Rumah layak warisan pemberian ayahnya, Raden Sasmito sudah dijual untuk biaya pengobatan Lek Samin sewaktu sakit dulu dan untuk membayar hutang almarhum orang tua istrinya. Rumah yang mereka tinggali saat ini adalah rumah peninggalan orang tua Lek Indri.
Walau hidup dengan keadaan seperti itu, Lek Samin mungkin salah satu anak Raden Sasmito yang paling dihargai oleh warga desa. Ia tidak segan membantu berbagai kegiatan di desa tidak seperti kakak-kakaknya yang seperti memiliki jarak dengan warga. Hanya pada setiap acara-acara keraton mereka ikut serta, dan sebaliknya keadaan Lek Samin yang seperti itu seringkali dipandang remeh oleh mereka yang bangga dengan darah birunya.
…
“Kulo nuwun..”
Seorang pemuda SMA mengetuk pintu rumah yang benar-benar jauh dari kata layak untuk disebut sebagai rumah anak juragan. Hanya ada beberapa lampu bohlam kuning yang terpasang dan masih ada beberapa lampu sentir terpasang di dinding sebagai cadangan apabila mereka tidak mampu membayar listrik.
“Eh, Yanto..”
Seorang pria dengan tubuh yang kurus dan rambut yang mulai memutih membukakan pintu itu dengan ramah dan mempersilahkanya untuk masuk.
“Nggak usah repot-repot, Lek. Cuma mau ngasi ini dari ibu,” ucap Yanto memberikan sebuah rantang yang berisi lauk masakan ibu.
“Ya ampun, Matur nuwun yo, Le! Sebentar ya..”
Lek Samin tanpa segan menerima masakan ibu Yanto dan mengembalikan rantang setelah memindahkan lauk dan mencucinya.
“Ngapunten yo, Le. Lek Samin belum bisa ngasi apa-apa. Nanti kalau kacang Lek Samin sudah panen nanti Lek Samin kirimin ke rumah,” ucap Lek Samin.
“Ndak usah repot-repot, Lek. Ibu malah bilang, kalau nanti berasnya habis bilang sama ibu saja. Nanti Yanto anterin lagi ke sini,” Balas Yanto.
“Alhamdulillah, sampaikan salamku sama ibu dan bapak.”
Pemuda pun berpamitan dan kembali ke rumah dan menyampaikan salam dari Lek Samin ke ibunya. Saat itu ibunya baru bercerita, ternyata Lek Indri sudah sakit selama satu minggu sehingga Lek Samin lebih sering ada di rumah dan pekerjaanya cukup terbengkalai.
“Kalau sudah sakit begitu, mungkin akan lama sembuhnya. Ibu jadi kasihan..”
“Emang Lek Indri sakit apa, Bu?”
“Sepertinya stroke, tapi pas ibu datang ke sana kulitnya menguning. Mungkin saja ada penyakit lain,”
“Nggak di bawa ke dokter saja?”
“Sudah, sudah dapet obat juga. Semoga saja keadaanya bisa membaik,”
Yanto pun sedikit acuh dan hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Lek Indri dan Lek Samin. Tapi tanpa disadari ternyata cerita yang ia dengar itu adalah sebuah awal dari tragedi yang menggegerkan desa ini.
Beberapa bulan kemudian tersebar kabar di warga desa bahwa keluarga besar Raden Sasmito datang dan berkumpul sekedar untuk silahturahmi. Ibu dan Bapak pun sempat menghampiri kediaman Eyang Sasmito yang dijadikan tempat mereka berkumpul. Awalnya mereka hanya datang untuk bernostalgia mampir ke beberapa tempat di desa dan menemui tetangga dan teman-teman mereka semasa kecil, tapi setelah pertemuan malam suasana menjadi berubah.
Pranggg!!!
Suara kaca jendela yang pecah membuat beberapa di sekitar kediaman sasmito mengintip dari rumah masing-masing apa yang terjadi.
“Tolong, Mas! Tolong! Saya butuh untuk pengobatan Indri,” Terdengar suara Lek Samin yang terdorong keluar.
“Keluar kamu! Kamu hanya bisa mempermalukan keluarga Sasmito!” Teriak Pak Rusdi anak anak tertua dari keluarga itu.
“Tapi Mas, Kalau rumah ini dijual bagian saya bisa untuk mengobati Indri. Dia benar-benar butuh pengobatan yang layak,” Lek Samin benar-benar seperti mengemis saat itu.
“Kamu tahu sendiri jerih payah bapak untuk membangun rumah ini, dan sekarang malah kamu meminta untuk dijual? Otak kamu dimana?”
Lek Samin benar-benar menangis. Sepertinya hanya sisa warisan dari pembagian rumah itulah yang menjadi harapannya untuk mengobati istrinya itu.
Malam itu Lek Samin meninggalkan kediaman masa kecilnya itu dengan putus asa. Dari balik jendela warga menyaksikan Lek Samin berjalan seorang diri sembari terisak sementara saudara-saudaranya melanjutkan acara mereka dengan begitu meriah.
Penyakit Lek Indri semakin parah. Sudah beberapa kali warga membantu untuk membawa ke rumah sakit, namun hanya dirawat selamat tiga hari dan akhirnya dipulangkan karena terkendala biaya.
Mungkin benar apa yang dipikirkan Lek Samin. Apa yang mungkin bisa menyelamatkan Lek Indri mungkin hanya warisan keluarga Sasmito saja. Namun semua itu seperti jalan buntu untuk Lek Samin. Ia sudah menghampiri saudaranya satu-persatu namun hanya penolakan yang mereka terima. Entah mengapa saudara Lek Samin sekejam itu. Seandainya tidak mau menjual rumah Eyang Sasmito, setidaknya mereka meminjamkan uang untuk pengobatan Lek Indri. Sayangnya itu tidak terjadi.
Akhirnya satu bulan setelah pertemuan itu, Lek Indri pun meninggal…
Warga desa membantu pemakaman Lek Indri, namun sepanjang hari Lek Samin hanya terpaku tak mampu menerima kenyataan bahwa istri yang sangat ia sayangi itu sudah tiada. Warga desa lah yang membantu segenap prosesi pemakamanya hingga benar-benar selesai.
Ada yang aneh. Saat prosesi pemakaman, tidak ada satupun dari keluarga sasmito yang datang ke pemakaman Lek Indri.
Setelah kepergian Lek Indri, Lek Samin seperti orang yang bingung. Warga desa sering melihat Lek Samin berjalan dengan tatapan kosong. Tak hanya siang, bahkan di tengah malam pun ia sering keluar seorang diri berkeliling desa tanpa maksud yang jelas.
“Tau nggak? Kemarin sempat Bu Siti sempat lari ke rumah pak RT. Dia dateng hujan-hujanan sambil ketakutan,”
Sebuah pergunjingan terjadi diantara warga desa yang tengah berkumpul di pos untuk menonton pertandingan bulu tangkis melalui televisi di pos ronda.
“Ketakutan gimana? Memangnya ada apaan?”
“Bu Siti ketakutan, malam-malam dia ngeliat Lek Samin diam di seberang rumahnya memandangi rumah itu dari sana. Hujan-hujanan, katanya wajahnya nyeremin..”
“Lah gimana sih? Kan saudaranya sendiri?”
“Nggak tahu, tapi katanya sudah berhari-hari seperti itu..”
Beberapa hari ini Bu Siti, Istri Pak Rusdi, dan keluarga sasmito yang lain yang tinggal di desa ini terlihat aneh. Mereka beberapa kali mengaku takut dengan keberadaan Lek Samin yang sering terlihat di depan rumah mereka. Mereka sempat mengusir Lek Samin, tapi setelahnya ia datang lagi dan menatap di tempat yang sama.
Satu hal yang membuat cerita itu semakin aneh. Mereka melihat Lek Samin di depan rumah mereka masing-masing di waktu yang sama.
Pak Kades pun kebingungan mendengar laporan dari mereka. Terlebih yang mengadu adalah kerabat Lek Samin yang seharusnya orang yang dimintai tolong ketika terjadi sesuatu dengan Lek Samin. Mereka pun mengambil jalan tengah untuk menghampiri Lek Samin ditemani oleh perangkat desa.
“Si Samin harus dikasi pelajaran, walau dia adik kita tapi dia sudah keterlaluan. Itu kan namanya meneror” ucap Pak Rusdi.
“Jangan begitu, Pak. Kita datangi dan omongin baik-baik dulu,” Tahan pak kades.
Saat itu terlihat pemandangan mereka tengah beramai-ramai mendatangi rumah Lek Samin seolah-seolah terlihat seperti mendatangi rumah seorang penjahat. Mereka mengetuk pintu rumah yang sangat mengenaskan itu beberapa kali, tapi tidak ada jawaban. Mereka menunggu cukup lama namun tidak ada pertanda akan ada yang membukakan pintu itu.
Pak Rusdi pun berinisiatif membuka pintu yang ternyata tidak terkunci itu. Tapi tepat saat pintu itu terbuka, bau busuk tercium dari dalam rumah.
“Bau apa ini? Bangkai?” Tanya Bu Siti.
“Bu—bukan…”
Pak Rusdi menjawab dengan wajah pucat. Ia tidak mampu mengatakan apa yang ia lihat dan memilih untuk berpaling menjauh dari pintu.
“Ma—mayat?? Itu Lek Samin??”
Di dalam rumah itu terbaring jasad seorang pria yang telah terbungkus dengan kain kafan. Di bawah sebuah amben yang sudah lapuk tempat jasad itu dibaringkan, ada bekas sesajen berisi kembang, kemenyan, dan berbagai ubo rampe yang sudah kering. Dengan mudah warga desa bisa mengenali bahwa itu adalah jasad Lek Samin yang hampir membusuk.
Namun asal bau itu bukan hanya dari Jasad Lek Samin, tapi di sebelahnya juga ada sesosok jasad yang kain kafannya sudah lusuh dengan tanah bekas kuburan. Kulitnya sudah membusuk dan mengeluarkan bau yang sangat menyengat.
“Itu jasad Indri? Samin membongkar kuburan Indri?!!” Pak Rusdi tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
Pak Kades merasa bertanggung jawab dan memeriksa jasad itu. Ada cawan kayu di deka jasad Lek Samin yang sepertinya sebelumnya berisi racun yang mengakhiri hidupnya. Tapi bukan itu yang membuat Pak Kades gemetar.
Sebuah tulisan tertulis dengan jelas di dinding rumah Lek Samin yang terbuat dari anyaman bambu. Ia sengaja menulisnya dengan darah, entah darah apa itu. Namun isi tulisan itu tak mungkin bisa mudah dilupakan oleh keluarga Sasmito.
…
Tidak ada satupun dari Keluarga Sasmito yang pantas hidup. Mereka bertanggung jawab atas nyawa Indri. Mereka harus melihat dan terus mengingat apa yang telah mereka lakukan pada Indri.
Mereka dan siapapun yang terlibat harus merasakan akibatnya…
Aku bersumpah setiap tetes darahku akan merintih dan menuntut nyawa atas kematian Indri. Bila aku tidak bisa membalas dengan hidupku, akan kubalas dengan kematianku…
…
Seketika wajah Pak Rusdi, Bu Siti, dan anggota keluarga Sasmito yang datang menjadi pucat. Pak Kades menoleh ke arah mereka. Yang ia tahu hanya Indri meninggal karena penyakit dan Lek Samin mungkin dendam pada mereka karena mereka tidak ingin menjual rumah Eyang Sasmito. Tapi dari raut wajah mereka, Pak Kades menduga ada hal lain yang mereka sembunyikan.
Yang ada di kepala mereka saat itu, bila Lek Samin sudah meninggal cukup lama. Lantas siapa sosok Lek Samin yang ada di depan rumah Pak Rusdi dan saudara-saudaranya setiap malam?
…
Setelah penemuan jasad Lek Samin dan Lek Indri, suasana desa menjadi berbeda. Cerita tentang kemunculan Lek Samin di depan rumah anak-anak keluarga Sasmito juga sudah menjadi buah bibir di desa Danumulyo.
Sementara itu, Pak Rusdi semakin sering terlihat di rumah Bu Siti di Kediaman almarhum eyang Sasmito. Wajah mereka begitu cemas dan semakin jarang berbicara dengan warga desa.
“Ini semua karena Mas Rusdi! Kita nggak harus ngelakuin itu!” Bu Siti terlihat begitu kesal dengan Kakaknya itu.
“Aku? Aku cuma ngelanjuti apa yang Bapak lakukan! Kalian sudah tau apa akibatnya kalau kita tidak melakukan itu?!” Bentak Pak Rusdi.
Bu Siti terlihat bingung hingga matanya berkaca-kaca, bagaimana ia menjelaskan pada suaminya tentang apa yang terjadi. Ia begitu takut dengan sumpah yang ditulis Lek Samin di dinding rumahnya itu.
Kriiinggg…
Suara telepon berbunyi memecah kebingungan mereka. Bu Siti pun mengusap air matanya dan megangkat telepon itu.
“Halo..?”
“Mbak? Mbak Siti? Ini Mbak Siti kan?”
Terdengar suara perempuan yang suaranya tidak asing di telinga Bu Siti.
“Erna? Tumben nelpon jam-jam segini? Ada apa?”
Bu Erna adalah anak ketujuh dari keluarga Sasmito yang tinggal di Surabaya. Ia adalah adik dari Bu Siti dan Pak Rusdi. Mendengar nama Erna disebut, Pak Rusdi merasakan perasaan yang tidak enak dan menghampiri Bu siti.
“Mbak, Samin Mbak. Dia ke sini,” ucap Bu Erna.
Mendengar ucapan itu seketika wajah Bu Siti pucat. Ia pun menoleh ke arah Pak Rusdi.
“Ng—nggak, nggak mungkin, Na! Memangnya belum ada yang ngasi tau kalau Samin sudah meninggal,” ucap Bu Siti.
“Su—sudah meninggal? Tapi dia ada di sini, tadi anak-anak yang nyuruh dia masuk. Sekarang dia di ruang tamu,”
Mendengar ucapan itu Pak Rusdi merebut telepon dari genggaman Bu Siti.
“Itu bukan Samin! Usir saja Erna!” ucap Pak Rusdi.
“Mas? Mas Rusdi lagi di rumah Mbak Siti?”
“Iya, Mas ada urusan sama Siti. Sudah usir saja dia!”
“Ta—tapi mas, kalau bukan Samin bagaimana dia bisa tahu?” ucap Erna dengan nada gemetar.
“Tahu apa?”
“Di—dia bertanya, si—siapa yang meletakkan foto dan rambut indri di guci tua milik bapak?” Ucap Bu Erna sembari menatap ke ruang tamu dimana Lek Samin sedang berada di sana dan terus memandangnya dengan wajah yang pucat.
Mendengar ucapan itu Pak Rusdi menelan ludah.
“Gimana, Mas? Aku jawab apa?”
Wajah Pak Rusdi dan Bu Siti menjadi pucat. Pak Rusdi pun menutup telepon itu dengan tangan yang gemetar.
Kriiinggg!!!
Telepon itu berbunyi lagi, Bu Siti ingin segera mengangkat namun Pak Rusdi melarangnya.
“Jangan diangkat!”
“Ta—tapi Erna?”
“JANGAN DIANGKAT!!!” Pak Rusdi membentak adiknya itu hingga Bu Siti memutuskan untuk tidak mengangkat telepon dari adiknya itu. Ia pun mengambil jaketnya dan bergegas mengendarai sepeda motor meninggalkan rumah Bu Siti.
Bu Erna pun kembali ke ruang tamu dan melihat Lek Samin sedang bermain bersama kedua anaknya yang masih SD di sana. Dengan cepat Ia menarik kedua anaknya dan membawanya menjauh dari Lek Samin.
“Bu? Kenapa bu?” Tanya anak-anak Bu Erna.
“Pergi kamu!” Teriak Bu Erna mengusir sosok yang menyerupai Lek Samin itu.
“Kenapa disuruh pergi, Bu? Kita kan masih mau main sama Lek Samin..” Tanya anak-anak.
Bu Erna tetap tidak menggubris ucapan anak-anaknya dan tetap mengusir Lek Samin. Sosok menyerupai Lek Samin itu tersenyum dan senyumnya terlihat begitu mengerikan di mata Bu Erna.
“Nanti malem main lagi sama Paklek , ya!” ucap Lek Samin.
Mendengar ucapan itu Bu Erna segera menyuruh anak-anaknya untuk masuk ke dalam rumah. Saat ia kembali menoleh, Lek Samin sudah tidak ada ditempat itu. Sontak saja rasa takut Bu Erna semakin menjadi-jadi. Ia pun bergegas menelepon suaminya dan memintanya untuk segera pulang.
Malam itu Bu Erna tidak bisa tidur dengan tenang. Suaminya sudah mencoba menenangkan istrinya itu, namun perasaan takut tetap menyelimuti dirinya. Akhirnya Ia pun memutuskan untuk tidur di kamar kedua anaknya untuk menemani mereka.
Langkah Bu Erna terlihat ragu. Ada perasaan yang sangat mengganggunya yang tidak dapa ia jelaskan. Dan baru saja ia membuka kamar anaknya, ia Pun sudah disambut dengan pemandangan yang mengerikan.
Di langit-langit berhadapan kasur tempat kedua anaknya tengah tertidur, terlihat sosok pocong dengan wajah yang membusuk sedang menatap kedua anaknya. Erna terjatuh kaku melihat sosok yang terus meneteskan liurnya ke kedua anak erna yang mengigau kesakitan.
“Ja—jangan! Jangan!” Erna Takut, tapi nalurinya sebagai ibu memaksa dirinya untuk memberanikan diri.
“Ba—Bapak!! Tolong pak!!”
Teriakan Erna memancing sosok pocong itu menoleh ke arahnya. Erna mengenali wajah itu. Itu adalah wajah dari orang yang mati bunuh diri bersanding dengan mayat istrinya yang ia gali sendiri dari kuburnya. Jasad dari saudara yang satu rahim denganya.
Wajah pocong itu adalah adiknya sendiri, Lek Samin…
(Bersambung Part 2 )
Spoiler for Index:
Part 1 - Keluarga Raden Sasmito
Part 2.1 - Dia Kembali bersama dendam (1)
Part 2.2 - Dia Kembali bersama dendam (2)
Part 3 - Kamar Tumbal
Part 4 - Keraton Gaib [TAMAT]
Part 2.1 - Dia Kembali bersama dendam (1)
Part 2.2 - Dia Kembali bersama dendam (2)
Part 3 - Kamar Tumbal
Part 4 - Keraton Gaib [TAMAT]
Diubah oleh diosetta 06-02-2024 17:23
Dhekazama dan 64 lainnya memberi reputasi
55
25.8K
Kutip
146
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•1Anggota
Tampilkan semua post
TS
diosetta
#71
PART AKHIR - KERATON GAIB [TAMAT]
UPDATE! TAMAT!

Sekali lagi pagi ini desa Danumulyo diramaikan dengan kematian warganya. Kali ini di kediaman Raden Sasmito yang ditinggali oleh Bu Siti dan anggota keluarganya. Saat matahari terbit Kepala desa meminta tolong beberapa warga untuk memeriksa tempat yang dimaksud oleh Pak Sarjo.
Ada jasad tiga orang terbaring di ruangan yang membuat mereka bergidik ngeri. Salah satu dari jasad itu meninggal dengan kepala yang patah memutar ke belakang. Warga segera mengenali bahwa jasad itu adalah jasad Bu siti. Mereka bingung dengan apa yang terjadi, namun saat membaca situasi di kamar tersebut mereka mulai mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi.
“Pak, sebaiknya ceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga Raden Sasmito,” Ucap Pak Kades meminta penjelasan dari mereka.
Pak Sarjo pun bingung untuk berkata apa, namun tidak ada gunanya mereka merahasiakannya lagi bila akan berakhir seperti Siti dan Erna. Ia pun berjalan ke arah pecahan guci di ruangan itu dan mengambil sebuah foto yang tertutup pecahan guci tersebut.
Pak Sarjo memberikan foto tersebut pada Pak Kades. Pak Kades dan warga desa di tempat itu bingung dengan maksud Pak Sarjo memberikan foto seseorang yang mereka kenal itu. Foto Indri..
“Ini maksudnya apa, Pak?” Tanya Pak Kades.
“Ruangan ini adalah tempat terkutuk, tempat dimana dosa-dosa keluarga Sasmito disembunyikan..” Jelas Pak Sarjo.
Pak Kades dan warga desa masih belum mengerti maksud dari Pak Sarjo, namun sebelum mereka bertanya, Pak Sarjo melanjutkan ceritanya.
“Bapak memang seorang raden dengan gelar yang berikan dari keraton, namun ternyata bapak juga merupakan abdi dari keraton lain. Keraton yang tersembunyi di bukit batas laut..”
Pak Kades mengernyitkan dahinya, “Tidak ada keraton di sana, kecuali…”
“Benar, Bapak mengabdi pada keraton gaib…”
Wajah warga desa yang berada di tempat itu seketika berubah. Mereka sedikit tidak percaya dengan apa yang Pak Sarjo ceritakan.
Keraton Gaib bukit batas laut hanya diketahui oleh beberapa orang tertentu. Tempat itu adalah kerajaan tak kasat mata yang dikuasai oleh sosok-sosok gaib. Konon mereka adalah abdi-abdi dalem gaib yang bertugas menjaga kerajaan, namun seiring perjalanan mereka mulai membuat ulah dengan meminta tumbal sebagai bayaran atas pengabdian mereka. Hal itu membuat mereka dikutuk dan dibuang dari kerajaan.
Abdi-abdi itu berkumpul di bukit batas laut dan membuat kerajaan sendiri. Bahkan ketika jaman kerajaan sudah berakhir, keraton gaib ini masih tetap ada. Mereka membalas dendam dengan menjadikan manusia sebagai abdi mereka.
“Entah mengapa bapak mengabdi pada keraton itu, mungkin saja semua kekayaan dan kekuasaan bapak ada yang berasal dari keraton itu.”
Pak Sarjo mengatakan bahwa semua anak-anak Raden Sasmito baru mengetahui kenyataan ini ketika ayahnya telah meninggal dan menemukan ruang tersembunyi ini. Mereka mendapat wasiat tentang pengabdian ayahnya pada sosok punden di keraton gaib. Ada sosok yang harus diberi makan dan dipenuhi keinginannya bila anak-anaknya masih ingin menikmati wahyu dari keraton itu.
Beberapa anak tertua yang membaca wasiat itu. Awalnya mereka tidak ingin memperdulikan lelaku ayahnya dan merasa sudah sangat berkecukupan dengan apa yang mereka miliki. Namun setelah membaca wasiat itu, semuanya tiba-tiba berubah.
Bisnis Pak Rusdi terpuruk, pelanggan Bu Enggar mulai sepi, dan hampir semua anak-anak raden sasmito mengalami musibah. Dan mereka yang membaca wasiat itu didatangi sosok makhluk berwujud pocong bersama iring-iringan kereta kencana yang hanya berdiam di halaman rumah mereka. Ada Pocong yang menanti di kereta kencana, mereka seolah ingin mengenalkan diri bahwa merekalah yang memberikan wahyu pada keluarga Raden Sasmito selama ini.
Anak-anak Raden Sasmito merasa tertekan ketika terhimpit permasalahan ekonomi. Mereka tidak siap bila dipandang rendah oleh orang-orang yang selama ini mereka remehkan. Pada akhirnya mereka kembali lagi ke ruangan itu dan dihadapkan pada sebuah guci.
“Berikan satu nyawa dari keluarga ini, dan kalian mendapatkan kembali semua yang pernah kalian nikmati…”
Ada sosok bayangan hitam di ruangan itu yang muncul dan berkata pada mereka dan kemudian menghilang begitu saja.
Pak Rusdi yang sudah benar-benar tertekan dengan keadaan itu mencoba meyakinkan adik-adiknya yang berada di sana untuk melanjutkan wasiat ayahnya. Jelas mereka tidak bersedia bila ada anggota keluarganya yang harus menjadi tumbal atas hasrat mereka.
Tapi Pak Rusdi tidak menyerah, ia menceritakan bagaimana Indri istri Lek Samin seharusnya tidak menjadi bagian dari keluarga mereka. Ia bukan keturunan darah biru seperti mereka dan menjadi beban bagi Lek Samin. Keluarganya orang tidak berpunya dan selalu menghabiskan harta Lek Samin bahkan seluruh warisan dari Raden Sasmito untuk Lek Samin pun habis karena Indri dan orang tuanya yang sempat sakit-sakitan.
Ragu, namun apa yang dikatakan Pak Rusdi , masalah ekonomi, dan semua tekanan yang mereka rasakan saat ini membuat mereka merasa bahwa mungkin saja pengorbanan kecil tidak begitu masalah. Mereka juga berpikir, Toh mungkin saja Lek Samin akan lebih bahagia bila ia memiliki pasangan yang lebih pantas selain Indri.
Pak Rusdi dan adik-adiknya pun mengatur rencana. Kedatangan Erna saat mampir ke rumah Bu siti mereka gunakan sebagai alasan untuk mampir ke rumah Lek Samin dan Indri. Mereka menyelinap dan mengambil rambutnya untuk memenuhi syarat yang dibutuhkan untuk mempersembahkan Indri pada sosok punden penguasa Keraton bukit batas laut.
Rambut yang disatukan dengan tanah kuburan Raden Sasmito dibungkus dengan kain kafan menjadi sebuah buhul. Benda itu disatukan dengan sesajen dan foto indri lalu dimasukkan ke dalam guci. Hal itu menandakan bahwa mereka merelakan Indri sebagai tumbal atas wahyu yang mereka minta.
Benar saja, setelah ritual itu keadaan anak-anak dari raden sasmito kembali pulih. Usaha mereka kembali lancar, mereka kembali dihormati seolah ada sesuatu yang membuat mereka mudah diterima banyak orang.
Tapi sejak saat itu Indri menjadi sakit-sakitan. Walau Lek Samin sudah mengusahakan berbagai cara pengobatan, Indri malah semakin parah dan kondisinya semakin mengenaskan.
Lek Samin sama sekali tidak curiga dengan apa yang terjadi pada Istrinya. Ia menganggap semua yang istrinya alami adalah penyakit biasa dan merawatnya sepenuh hati dengan apa yang ia punya.
“Kami tidak menyangka Samin akan mengetahui semua apa yang kami lakukan. Kami benar-benar sudah bersalah pada Samin..”
Mendengar semua cerita itu Pak Kades dan warga desa hanya bisa menahan napas mengetahui seberapa teganya mereka pada adik iparnya sendiri.
“Berarti benar, selama ini yang meneror desa adalah pocong Lek Samin?” Tanya Pak Kades.
Pak Sarjo mengangguk.
Pak Kades menggeleng mendengar semua cerita Pak Sarjo. Mereka tidak menyangka bahwa Raden Sasmito melakukan itu semua semasa hidupnya. Ia pun mengajak Pak Sarjo dan kerabatnya untuk menemui salah seorang sesepuh desa yang juga merupakan seorang ustad kenalan Pak Kades. Ustad Hasyim namanya.
Mungkin di desa Danumulyo hanya beliau yang bisa menolong keluarga Raden Sasmito.
Pak Sarjo setuju, tapi saat ia mengatakan pada kakak dan adik-adiknya perseturuan terjadi diantara mereka.
“bodoh! Ngapain sampai bicara sama kepala desa! Kamu mempermalukan nama keluarga Raden Sasmito!” Bentak Pak Rusdi.
“Terserah kalian mau mencaci saya apa, tapi saya tidak mau mati sia-sia!” Balas Pak Sarjo.
“Ya nggak gitu, Mas.. Sekarang mereka tahu kalau keluarga kita berurusan sama keraton gaib itu, udah pasti mereka bakal memandang buruk keluarga kita! Kalau cuma orang pintar, kita bisa cari yang lain!” Bantah Bu Kusuma.
BRAAAK!!!!
Pak Sarjo menggebrak meja. Ia benar-benar kesal dengan respon dari adik-adik dan kakaknya itu.
“SITI SUDAH MATI! DAN KALIAN MASIH SEPERTI INI????”
Ketegangan terjadi diantara mereka semua dan Pak Sarjo memilih untuk mengalah. Ia pun pergi meninggalkan saudara-saudaranya itu dan memilih untuk menemui Ustad Hasyim seorang diri.
Ditemani oleh Pak Kades, menjelang petang Pak Sarjo menemui Ustad Hasyim yang tinggal tak jauh dari pesantren tempatnya mengajar. Mereka berdua melintasi desa dengan berjalan kaki saat langit masih terlihat memerah.
Ada sebuah rumah kayu yang cukup besar. Terlihat sederhana namun begitu asri. Pak Sarjo dan Pak Kades pun mengetuk pintu rumah tersebut.
Tok.. Tok… Tok…
“Assalamualaikum…”
Pak Kades mengetuk beberapa kali pintu rumah itu, namun sama sekali tidak ada pertanda jawaban dari dalam rumah tersebut.
“Kulo nuwun, Ustad Hasyim…” Panggil Pak Kades lagi.
Namun sama saja, tidak ada jawaban dari dalam.
Mereka pun cukup kecewa ketika tidak bisa menemui Ustad Hasyim saat itu. Tapi saat mereka hendak berbalik, tiba-tiba terlihat seseorang berjalan dengan terburu-buru menghampiri mereka.
“Maaf, sudah lama ya? Ayo masuk…”
Itu Ustad Hasyim. Walau sudah cukup berumur, ia masih cukup lincah dan seringnya ia tersenyum membuatnya ia terlihat seperti masih muda.
“I–iya Ustad, maaf mau merepotkan…”
“Sudah-sudah, ayo masuk dulu…”
Ustad Hasyim melihat keluar sebentar dan menutup pintu rumahnya.
“Ada urusan apa kalian dengan pocong itu?” Tanya Ustad Hasyim.
Pak Kades dan Pak Sarjo saling bertatapan. Jelas saja mereka bingung dengan pertanyaan Ustad Hasyim sementara mereka juga belum menceritakan apa tujuan mereka datang kepadanya.
“Ustad, gimana ustad bisa tahu?” Tanya Pak Kades.
“Dia masih ada di depan..” Jawab Pak Ustad. “Sepertinya bukan masalah sepele ya?”
Pak Sarjo menelan ludah mendengar ucapan Ustad Hasyim. Ia merinding membayangkan ada sosok pocong Lek Samin yang menantinya di luar rumah.
“Ma–maaf, Pak Ustad.. Saya dan saudara-saudara saya sudah bersalah. Kami mengorbankan istri Lek Samin untuk menjadi tumbal punden keraton gaib yang diikuti oleh Bapak…” Pak Sarjo segera mengambil tangan Ustad Hasyim setengah memohon.
Wajah Ustad Hasyim berubah mendengar perkataan itu. Ia terlihat geram dengan ucapan Pak Sarjo.
“Kamu tahu seberapa besar dosa bersekutu dengan Setan??!!” Teriak Ustad Hasyim.
“Kami salah, Pak Ustadz..” ucap Pak Sarjo.
“Kami? Siapa kami? Yang merasa bersalah hanya kamu sendiri?”
“Ta–tapi?”
“Saya hanya manusia, yang bisa menolong diri kalian hanya pengampunan dari Allah! Itu hanya bisa terjadi bila kalian memang tahu kalian bersalah dan memohon pengampunan pada Allah!”
Pak Sarjo terdiam, seketika ia teringat pada saudara-saudaranya yang menentangnya dan memilih untuk mencari dukun lain untuk melawan pocong adiknya sendiri.
“Semoga, sekarang belum terlambat!” Ustad Hasyim bergegas mengajak mereka menemui anak-anak Raden Sasmito yang lain.
BRAKKK!!!
Belum sempat mereka keluar, tiba-tiba pintu rumah Ustad Hasyim terbuka terbanting begitu saja. Langit malam terlihat begitu gelap sementara tiba-tiba semua lampu penerangan di rumah Ustad Hasyim mati.
Mereka pun bergegas keluar, namun belum sempat Pak Sarjo keluar tiba-tiba pintu rumah tertutup lagi.
Dokk!! Dok!! Dok!!!
“Ustaddd!!”
Pak Sarjo kebingungan dengan apa yang terjadi. Ia mencoba membuka pintu rumah itu namun entah mengapa pintu itu tidak mau terbuka.
Saat itu firasat Pak Sarjo seketika menjadi tidak enak. Hawa dingin menyelimuti tubuhnya. Ia merasa ada sesuatu yang menatapnya dari dalam rumah Ustad Hasyim.
Pak Sarjo pun menoleh, seketika wajahnya pucat menyadari apa yang ada di belakangnya.
“To–tolong!! Tolong!!!” Teriak Pak Sarjo.
Sesosok pocong menatapnya dari belakang. Pak Sarjo tidak mampu menahan rasa takutnya dan terus menggedor-gedor pintu berusaha untuk keluar.
Pak Kades mencoba membuka pintu rumah itu, namun tetap gagal. Sementara Ustad Hasyim terlihat terpaku ke salah satu arah.
“Ustad tidak usah ikut campur! Aku hanya ingin menghukum mereka atas perbuatan mereka!”
Ada sosok yang mengancam Ustad Hasyim. Sosok yang tidak asing di mata Ustad Hasyim dan warga desa. Sosok seorang pria yang dulu dikenal baik semasa hidupnya. Lek Samin…
“Dusta, apa yang kau balaskan? Kau bukan Samin..” ucap Ustad itu.
“Bicara apa? Aku samin ! AKU SAMIN YANG MENUNTUT BALAS ATAS KEMATIAN ISTRIKU!!!” Teriaknya.
Ustad Hasyim tidak perduli, ia membacakan doa-doa yang cukup panjang hingga wujud Lek Samin itu terlihat terganggu.
“Tunjukkan wujud asli kalian?” perintah Ustad Hasyim.
Wujud Lek Samin terlihat gelisah. Doa-doa Ustad Hasyim pun perlahan membakar tubuh Lek Samin.
“PANASSS!! PANAASS!!”
Teriakan Lek Samin saat itu tiba-tiba memanggil sosok yang tiba-tiba muncul di sekitar rumah itu.
Pocong… Puluhan pocong mengelilingi rumah Ustad Hasyim. Ada kereta kencana yang membawa sosok pocong dengan wajah yang begitu mengerikan.
Ustad Hasyim tidak gentar, ia terus membaca doa dan meminta Pak Kades mengikuti setiap ayat-ayat yang ia bacakan.
“Ini urusan kami, kalian tidak bisa ikut campur! Mereka sudah bersekutu dengan kami!” Ucap sosok pocong itu.
“Pria itu sudah kembali ke jalannya, dia dalam lindungan Allah!” teriak Ustad Hasyim.
Satu persatu pocong-pocong yang mengepung rumah itu mulai terbakar. Wujud Lek Samin juga mulai tidak berbentuk.
“Jadi dia bukan Lek Samin? Pocong itu bukan Lek Samin?” Tanya Pak Kades.
Ustad Hasyim menggeleng.
“Itu adalah tipu daya mereka, mereka mengambil wujud Lek Samin agar anak-anak Raden Sasmito semakin tersesat dengan bersekutu dengan dukun-dukun itu juga” Jelas Ustad Hasyim
BRAKKK!!!
Pintu rumah Ustad Hasyim terbuka. Pak Sarjo berlari keluar dengan wajahnya yang pucat. Tepat di belakangnya ada sosok pocong yang mulai terbakar sama seperti yang lainnya.
Bacaan doa Ustad Hasyim semakin lantang. Bersamaan dengan itu pocong-pocong yang mengelilingi rumah itu mundur meninggalkan mereka.
“Manusia itu tidak akan bisa lolos dari kami!” Ucap wujud Lek Samin yang ikut pergi menginggalkan mereka.
Pak Sarjo benar-benar takut, ia tak hentinya memegangi lengan baju koko Ustad Hasyim.
“Gi–gimana ustad? Kita harus menolong saudara-saudara saya juga!” Khawatir Pak Sarjo.
Ustad Hasyim menggeleng. “Sudah terlambat..”
Pak Sarjo dan Pak Kades Bingung dengan maksud Ustad Hasyim.
“Maksudnya apa, Ustad?” tanya Pak Sarjo.
Ustad Hasyim berjalan mendekat ke arah Pak Kades. “Kumpulkan warga untuk mengevakuasi jasad mereka, biar saya bantu untuk mendoakan mereka,”
Pak Kades setengah tidak percaya, namun saat perjalanan mereka dicegat oleh beberapa warga.
“Pak Kades!”
Warga datang dengan wajah panik. Mereka menceritakan bahwa ada laporan tentang kematian Pak Rusdi , Bu Kusuma, dan Bu Enggar. Mendengar itu Pak Sarjo pun panik. Ia segera berlari dan menemui kerabat-kerabatnya itu dan benar, ia mendapati jasad kakaknya dan adiknya tengah dievakuasi.
Jantung Pak Sarjo berdebar kencang, dari jauh ia melihat ada sosok yang berdiri di ujung jalan yang membuat seluruh warga yang berada di tempat itu pucat.
“Po–pocong! Itu pocong!!” Teriak salah satu warga.
Pak Sarjo menelan ludah, ia sudah bisa menebak bahwa pocong itu mengincar dirinya. Tapi saat itu tiba-tiba warga desa mengelilingi Pak Sarjo seolah sengaja melindungi dirinya dari sosok pocong itu.
“Sudah cukup banyak yang mati! Apa masih kurang??!” Teriak salah seorang warga yang kesal.
“Kami tidak akan takut lagi! Makhluk seperti kalian tidak bisa semena-mena lagi di kampung kami!” Balas Warga lainnya.
Warga-warga di sekitar Pak Sarjo bergumam membacakan sesuatu. Dengan jelas Pak Sarjo segera menyadari bahwa mereka membacakan ayat kursi untuk mengusir pocong itu.
Melihat itu Pak Sarjo juga tak ingin diam, ia pelan-pelan mengikuti lafalan doa-doa yang sudah lama ia lupakan itu.
“Caramu untuk membalas dendam adalah cara terkutuk, maafkan dan lepaskan kakakmu ini. Saya akan mengajarkan mereka untuk mengirimkan doa untukmu agar Allah mengampuni dosa-dosamu ,” ucap Ustad Hasyim
Berbeda dengan sosok Lek Samin yang mengepung rumah Ustad Hasyim, wajah sosok pocong yang berwajah Lek Samin itu terlihat sendu.
“Iyo, min.. Maafkan kami. Tapi biarkan Mas dan kakak-kakakmu yang tersisa mendoakanmu. Mas Menyesal.. Setidaknya sisakan kami agar kami bisa membayar kesalahan apa yang telah kita perbuat…”
Perlahan tapi pasti… Pocong itu samar-samar menghilang bagaikan asap yang menipis dari hadapan para warga.
Malam itu adalah malam terakhir teror pocong yang menggunakan wujud Lek Samin terlihat. Pak Sarjo dan keluarganya adalah satu-satunya keluarga raden sasmito yang selamat dari sosok pocong Lek Samin di desa Danumulyo.
Kediaman Raden Sasmito menjadi rumah yang lama tidak ditempati selama bertahun-tahun. Pas Sarjo pun enggan berurusan dengan rumah yang menyimpan misteri tentang kamar terkutuk itu.
Walau begitu, kabar tentang kemunculan pocong Lek Samin kadang masih terdengar dari mulut warga. Bahkan terkadang ada yang mengaku saat melintasi kediaman Raden Sasmito, mereka melihat kereta kencana terparkir di halamannya dan rumah itu dipenuhi sosok pocong dengan wajah yang mereka kenali. Wajah anak-anak raden sasmito.

Spoiler for Part akhir - Keraton Gaib:
Sekali lagi pagi ini desa Danumulyo diramaikan dengan kematian warganya. Kali ini di kediaman Raden Sasmito yang ditinggali oleh Bu Siti dan anggota keluarganya. Saat matahari terbit Kepala desa meminta tolong beberapa warga untuk memeriksa tempat yang dimaksud oleh Pak Sarjo.
Ada jasad tiga orang terbaring di ruangan yang membuat mereka bergidik ngeri. Salah satu dari jasad itu meninggal dengan kepala yang patah memutar ke belakang. Warga segera mengenali bahwa jasad itu adalah jasad Bu siti. Mereka bingung dengan apa yang terjadi, namun saat membaca situasi di kamar tersebut mereka mulai mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi.
“Pak, sebaiknya ceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga Raden Sasmito,” Ucap Pak Kades meminta penjelasan dari mereka.
Pak Sarjo pun bingung untuk berkata apa, namun tidak ada gunanya mereka merahasiakannya lagi bila akan berakhir seperti Siti dan Erna. Ia pun berjalan ke arah pecahan guci di ruangan itu dan mengambil sebuah foto yang tertutup pecahan guci tersebut.
Pak Sarjo memberikan foto tersebut pada Pak Kades. Pak Kades dan warga desa di tempat itu bingung dengan maksud Pak Sarjo memberikan foto seseorang yang mereka kenal itu. Foto Indri..
“Ini maksudnya apa, Pak?” Tanya Pak Kades.
“Ruangan ini adalah tempat terkutuk, tempat dimana dosa-dosa keluarga Sasmito disembunyikan..” Jelas Pak Sarjo.
Pak Kades dan warga desa masih belum mengerti maksud dari Pak Sarjo, namun sebelum mereka bertanya, Pak Sarjo melanjutkan ceritanya.
“Bapak memang seorang raden dengan gelar yang berikan dari keraton, namun ternyata bapak juga merupakan abdi dari keraton lain. Keraton yang tersembunyi di bukit batas laut..”
Pak Kades mengernyitkan dahinya, “Tidak ada keraton di sana, kecuali…”
“Benar, Bapak mengabdi pada keraton gaib…”
Wajah warga desa yang berada di tempat itu seketika berubah. Mereka sedikit tidak percaya dengan apa yang Pak Sarjo ceritakan.
Keraton Gaib bukit batas laut hanya diketahui oleh beberapa orang tertentu. Tempat itu adalah kerajaan tak kasat mata yang dikuasai oleh sosok-sosok gaib. Konon mereka adalah abdi-abdi dalem gaib yang bertugas menjaga kerajaan, namun seiring perjalanan mereka mulai membuat ulah dengan meminta tumbal sebagai bayaran atas pengabdian mereka. Hal itu membuat mereka dikutuk dan dibuang dari kerajaan.
Abdi-abdi itu berkumpul di bukit batas laut dan membuat kerajaan sendiri. Bahkan ketika jaman kerajaan sudah berakhir, keraton gaib ini masih tetap ada. Mereka membalas dendam dengan menjadikan manusia sebagai abdi mereka.
“Entah mengapa bapak mengabdi pada keraton itu, mungkin saja semua kekayaan dan kekuasaan bapak ada yang berasal dari keraton itu.”
Pak Sarjo mengatakan bahwa semua anak-anak Raden Sasmito baru mengetahui kenyataan ini ketika ayahnya telah meninggal dan menemukan ruang tersembunyi ini. Mereka mendapat wasiat tentang pengabdian ayahnya pada sosok punden di keraton gaib. Ada sosok yang harus diberi makan dan dipenuhi keinginannya bila anak-anaknya masih ingin menikmati wahyu dari keraton itu.
Beberapa anak tertua yang membaca wasiat itu. Awalnya mereka tidak ingin memperdulikan lelaku ayahnya dan merasa sudah sangat berkecukupan dengan apa yang mereka miliki. Namun setelah membaca wasiat itu, semuanya tiba-tiba berubah.
Bisnis Pak Rusdi terpuruk, pelanggan Bu Enggar mulai sepi, dan hampir semua anak-anak raden sasmito mengalami musibah. Dan mereka yang membaca wasiat itu didatangi sosok makhluk berwujud pocong bersama iring-iringan kereta kencana yang hanya berdiam di halaman rumah mereka. Ada Pocong yang menanti di kereta kencana, mereka seolah ingin mengenalkan diri bahwa merekalah yang memberikan wahyu pada keluarga Raden Sasmito selama ini.
Anak-anak Raden Sasmito merasa tertekan ketika terhimpit permasalahan ekonomi. Mereka tidak siap bila dipandang rendah oleh orang-orang yang selama ini mereka remehkan. Pada akhirnya mereka kembali lagi ke ruangan itu dan dihadapkan pada sebuah guci.
“Berikan satu nyawa dari keluarga ini, dan kalian mendapatkan kembali semua yang pernah kalian nikmati…”
Ada sosok bayangan hitam di ruangan itu yang muncul dan berkata pada mereka dan kemudian menghilang begitu saja.
Pak Rusdi yang sudah benar-benar tertekan dengan keadaan itu mencoba meyakinkan adik-adiknya yang berada di sana untuk melanjutkan wasiat ayahnya. Jelas mereka tidak bersedia bila ada anggota keluarganya yang harus menjadi tumbal atas hasrat mereka.
Tapi Pak Rusdi tidak menyerah, ia menceritakan bagaimana Indri istri Lek Samin seharusnya tidak menjadi bagian dari keluarga mereka. Ia bukan keturunan darah biru seperti mereka dan menjadi beban bagi Lek Samin. Keluarganya orang tidak berpunya dan selalu menghabiskan harta Lek Samin bahkan seluruh warisan dari Raden Sasmito untuk Lek Samin pun habis karena Indri dan orang tuanya yang sempat sakit-sakitan.
Ragu, namun apa yang dikatakan Pak Rusdi , masalah ekonomi, dan semua tekanan yang mereka rasakan saat ini membuat mereka merasa bahwa mungkin saja pengorbanan kecil tidak begitu masalah. Mereka juga berpikir, Toh mungkin saja Lek Samin akan lebih bahagia bila ia memiliki pasangan yang lebih pantas selain Indri.
Pak Rusdi dan adik-adiknya pun mengatur rencana. Kedatangan Erna saat mampir ke rumah Bu siti mereka gunakan sebagai alasan untuk mampir ke rumah Lek Samin dan Indri. Mereka menyelinap dan mengambil rambutnya untuk memenuhi syarat yang dibutuhkan untuk mempersembahkan Indri pada sosok punden penguasa Keraton bukit batas laut.
Rambut yang disatukan dengan tanah kuburan Raden Sasmito dibungkus dengan kain kafan menjadi sebuah buhul. Benda itu disatukan dengan sesajen dan foto indri lalu dimasukkan ke dalam guci. Hal itu menandakan bahwa mereka merelakan Indri sebagai tumbal atas wahyu yang mereka minta.
Benar saja, setelah ritual itu keadaan anak-anak dari raden sasmito kembali pulih. Usaha mereka kembali lancar, mereka kembali dihormati seolah ada sesuatu yang membuat mereka mudah diterima banyak orang.
Tapi sejak saat itu Indri menjadi sakit-sakitan. Walau Lek Samin sudah mengusahakan berbagai cara pengobatan, Indri malah semakin parah dan kondisinya semakin mengenaskan.
Lek Samin sama sekali tidak curiga dengan apa yang terjadi pada Istrinya. Ia menganggap semua yang istrinya alami adalah penyakit biasa dan merawatnya sepenuh hati dengan apa yang ia punya.
“Kami tidak menyangka Samin akan mengetahui semua apa yang kami lakukan. Kami benar-benar sudah bersalah pada Samin..”
Mendengar semua cerita itu Pak Kades dan warga desa hanya bisa menahan napas mengetahui seberapa teganya mereka pada adik iparnya sendiri.
“Berarti benar, selama ini yang meneror desa adalah pocong Lek Samin?” Tanya Pak Kades.
Pak Sarjo mengangguk.
Pak Kades menggeleng mendengar semua cerita Pak Sarjo. Mereka tidak menyangka bahwa Raden Sasmito melakukan itu semua semasa hidupnya. Ia pun mengajak Pak Sarjo dan kerabatnya untuk menemui salah seorang sesepuh desa yang juga merupakan seorang ustad kenalan Pak Kades. Ustad Hasyim namanya.
Mungkin di desa Danumulyo hanya beliau yang bisa menolong keluarga Raden Sasmito.
Pak Sarjo setuju, tapi saat ia mengatakan pada kakak dan adik-adiknya perseturuan terjadi diantara mereka.
“bodoh! Ngapain sampai bicara sama kepala desa! Kamu mempermalukan nama keluarga Raden Sasmito!” Bentak Pak Rusdi.
“Terserah kalian mau mencaci saya apa, tapi saya tidak mau mati sia-sia!” Balas Pak Sarjo.
“Ya nggak gitu, Mas.. Sekarang mereka tahu kalau keluarga kita berurusan sama keraton gaib itu, udah pasti mereka bakal memandang buruk keluarga kita! Kalau cuma orang pintar, kita bisa cari yang lain!” Bantah Bu Kusuma.
BRAAAK!!!!
Pak Sarjo menggebrak meja. Ia benar-benar kesal dengan respon dari adik-adik dan kakaknya itu.
“SITI SUDAH MATI! DAN KALIAN MASIH SEPERTI INI????”
Ketegangan terjadi diantara mereka semua dan Pak Sarjo memilih untuk mengalah. Ia pun pergi meninggalkan saudara-saudaranya itu dan memilih untuk menemui Ustad Hasyim seorang diri.
Ditemani oleh Pak Kades, menjelang petang Pak Sarjo menemui Ustad Hasyim yang tinggal tak jauh dari pesantren tempatnya mengajar. Mereka berdua melintasi desa dengan berjalan kaki saat langit masih terlihat memerah.
Ada sebuah rumah kayu yang cukup besar. Terlihat sederhana namun begitu asri. Pak Sarjo dan Pak Kades pun mengetuk pintu rumah tersebut.
Tok.. Tok… Tok…
“Assalamualaikum…”
Pak Kades mengetuk beberapa kali pintu rumah itu, namun sama sekali tidak ada pertanda jawaban dari dalam rumah tersebut.
“Kulo nuwun, Ustad Hasyim…” Panggil Pak Kades lagi.
Namun sama saja, tidak ada jawaban dari dalam.
Mereka pun cukup kecewa ketika tidak bisa menemui Ustad Hasyim saat itu. Tapi saat mereka hendak berbalik, tiba-tiba terlihat seseorang berjalan dengan terburu-buru menghampiri mereka.
“Maaf, sudah lama ya? Ayo masuk…”
Itu Ustad Hasyim. Walau sudah cukup berumur, ia masih cukup lincah dan seringnya ia tersenyum membuatnya ia terlihat seperti masih muda.
“I–iya Ustad, maaf mau merepotkan…”
“Sudah-sudah, ayo masuk dulu…”
Ustad Hasyim melihat keluar sebentar dan menutup pintu rumahnya.
“Ada urusan apa kalian dengan pocong itu?” Tanya Ustad Hasyim.
Pak Kades dan Pak Sarjo saling bertatapan. Jelas saja mereka bingung dengan pertanyaan Ustad Hasyim sementara mereka juga belum menceritakan apa tujuan mereka datang kepadanya.
“Ustad, gimana ustad bisa tahu?” Tanya Pak Kades.
“Dia masih ada di depan..” Jawab Pak Ustad. “Sepertinya bukan masalah sepele ya?”
Pak Sarjo menelan ludah mendengar ucapan Ustad Hasyim. Ia merinding membayangkan ada sosok pocong Lek Samin yang menantinya di luar rumah.
“Ma–maaf, Pak Ustad.. Saya dan saudara-saudara saya sudah bersalah. Kami mengorbankan istri Lek Samin untuk menjadi tumbal punden keraton gaib yang diikuti oleh Bapak…” Pak Sarjo segera mengambil tangan Ustad Hasyim setengah memohon.
Wajah Ustad Hasyim berubah mendengar perkataan itu. Ia terlihat geram dengan ucapan Pak Sarjo.
“Kamu tahu seberapa besar dosa bersekutu dengan Setan??!!” Teriak Ustad Hasyim.
“Kami salah, Pak Ustadz..” ucap Pak Sarjo.
“Kami? Siapa kami? Yang merasa bersalah hanya kamu sendiri?”
“Ta–tapi?”
“Saya hanya manusia, yang bisa menolong diri kalian hanya pengampunan dari Allah! Itu hanya bisa terjadi bila kalian memang tahu kalian bersalah dan memohon pengampunan pada Allah!”
Pak Sarjo terdiam, seketika ia teringat pada saudara-saudaranya yang menentangnya dan memilih untuk mencari dukun lain untuk melawan pocong adiknya sendiri.
“Semoga, sekarang belum terlambat!” Ustad Hasyim bergegas mengajak mereka menemui anak-anak Raden Sasmito yang lain.
BRAKKK!!!
Belum sempat mereka keluar, tiba-tiba pintu rumah Ustad Hasyim terbuka terbanting begitu saja. Langit malam terlihat begitu gelap sementara tiba-tiba semua lampu penerangan di rumah Ustad Hasyim mati.
Mereka pun bergegas keluar, namun belum sempat Pak Sarjo keluar tiba-tiba pintu rumah tertutup lagi.
Dokk!! Dok!! Dok!!!
“Ustaddd!!”
Pak Sarjo kebingungan dengan apa yang terjadi. Ia mencoba membuka pintu rumah itu namun entah mengapa pintu itu tidak mau terbuka.
Saat itu firasat Pak Sarjo seketika menjadi tidak enak. Hawa dingin menyelimuti tubuhnya. Ia merasa ada sesuatu yang menatapnya dari dalam rumah Ustad Hasyim.
Pak Sarjo pun menoleh, seketika wajahnya pucat menyadari apa yang ada di belakangnya.
“To–tolong!! Tolong!!!” Teriak Pak Sarjo.
Sesosok pocong menatapnya dari belakang. Pak Sarjo tidak mampu menahan rasa takutnya dan terus menggedor-gedor pintu berusaha untuk keluar.
Pak Kades mencoba membuka pintu rumah itu, namun tetap gagal. Sementara Ustad Hasyim terlihat terpaku ke salah satu arah.
“Ustad tidak usah ikut campur! Aku hanya ingin menghukum mereka atas perbuatan mereka!”
Ada sosok yang mengancam Ustad Hasyim. Sosok yang tidak asing di mata Ustad Hasyim dan warga desa. Sosok seorang pria yang dulu dikenal baik semasa hidupnya. Lek Samin…
“Dusta, apa yang kau balaskan? Kau bukan Samin..” ucap Ustad itu.
“Bicara apa? Aku samin ! AKU SAMIN YANG MENUNTUT BALAS ATAS KEMATIAN ISTRIKU!!!” Teriaknya.
Ustad Hasyim tidak perduli, ia membacakan doa-doa yang cukup panjang hingga wujud Lek Samin itu terlihat terganggu.
“Tunjukkan wujud asli kalian?” perintah Ustad Hasyim.
Wujud Lek Samin terlihat gelisah. Doa-doa Ustad Hasyim pun perlahan membakar tubuh Lek Samin.
“PANASSS!! PANAASS!!”
Teriakan Lek Samin saat itu tiba-tiba memanggil sosok yang tiba-tiba muncul di sekitar rumah itu.
Pocong… Puluhan pocong mengelilingi rumah Ustad Hasyim. Ada kereta kencana yang membawa sosok pocong dengan wajah yang begitu mengerikan.
Ustad Hasyim tidak gentar, ia terus membaca doa dan meminta Pak Kades mengikuti setiap ayat-ayat yang ia bacakan.
“Ini urusan kami, kalian tidak bisa ikut campur! Mereka sudah bersekutu dengan kami!” Ucap sosok pocong itu.
“Pria itu sudah kembali ke jalannya, dia dalam lindungan Allah!” teriak Ustad Hasyim.
Satu persatu pocong-pocong yang mengepung rumah itu mulai terbakar. Wujud Lek Samin juga mulai tidak berbentuk.
“Jadi dia bukan Lek Samin? Pocong itu bukan Lek Samin?” Tanya Pak Kades.
Ustad Hasyim menggeleng.
“Itu adalah tipu daya mereka, mereka mengambil wujud Lek Samin agar anak-anak Raden Sasmito semakin tersesat dengan bersekutu dengan dukun-dukun itu juga” Jelas Ustad Hasyim
BRAKKK!!!
Pintu rumah Ustad Hasyim terbuka. Pak Sarjo berlari keluar dengan wajahnya yang pucat. Tepat di belakangnya ada sosok pocong yang mulai terbakar sama seperti yang lainnya.
Bacaan doa Ustad Hasyim semakin lantang. Bersamaan dengan itu pocong-pocong yang mengelilingi rumah itu mundur meninggalkan mereka.
“Manusia itu tidak akan bisa lolos dari kami!” Ucap wujud Lek Samin yang ikut pergi menginggalkan mereka.
Pak Sarjo benar-benar takut, ia tak hentinya memegangi lengan baju koko Ustad Hasyim.
“Gi–gimana ustad? Kita harus menolong saudara-saudara saya juga!” Khawatir Pak Sarjo.
Ustad Hasyim menggeleng. “Sudah terlambat..”
Pak Sarjo dan Pak Kades Bingung dengan maksud Ustad Hasyim.
“Maksudnya apa, Ustad?” tanya Pak Sarjo.
Ustad Hasyim berjalan mendekat ke arah Pak Kades. “Kumpulkan warga untuk mengevakuasi jasad mereka, biar saya bantu untuk mendoakan mereka,”
Pak Kades setengah tidak percaya, namun saat perjalanan mereka dicegat oleh beberapa warga.
“Pak Kades!”
Warga datang dengan wajah panik. Mereka menceritakan bahwa ada laporan tentang kematian Pak Rusdi , Bu Kusuma, dan Bu Enggar. Mendengar itu Pak Sarjo pun panik. Ia segera berlari dan menemui kerabat-kerabatnya itu dan benar, ia mendapati jasad kakaknya dan adiknya tengah dievakuasi.
Jantung Pak Sarjo berdebar kencang, dari jauh ia melihat ada sosok yang berdiri di ujung jalan yang membuat seluruh warga yang berada di tempat itu pucat.
“Po–pocong! Itu pocong!!” Teriak salah satu warga.
Pak Sarjo menelan ludah, ia sudah bisa menebak bahwa pocong itu mengincar dirinya. Tapi saat itu tiba-tiba warga desa mengelilingi Pak Sarjo seolah sengaja melindungi dirinya dari sosok pocong itu.
“Sudah cukup banyak yang mati! Apa masih kurang??!” Teriak salah seorang warga yang kesal.
“Kami tidak akan takut lagi! Makhluk seperti kalian tidak bisa semena-mena lagi di kampung kami!” Balas Warga lainnya.
Warga-warga di sekitar Pak Sarjo bergumam membacakan sesuatu. Dengan jelas Pak Sarjo segera menyadari bahwa mereka membacakan ayat kursi untuk mengusir pocong itu.
Melihat itu Pak Sarjo juga tak ingin diam, ia pelan-pelan mengikuti lafalan doa-doa yang sudah lama ia lupakan itu.
“Caramu untuk membalas dendam adalah cara terkutuk, maafkan dan lepaskan kakakmu ini. Saya akan mengajarkan mereka untuk mengirimkan doa untukmu agar Allah mengampuni dosa-dosamu ,” ucap Ustad Hasyim
Berbeda dengan sosok Lek Samin yang mengepung rumah Ustad Hasyim, wajah sosok pocong yang berwajah Lek Samin itu terlihat sendu.
“Iyo, min.. Maafkan kami. Tapi biarkan Mas dan kakak-kakakmu yang tersisa mendoakanmu. Mas Menyesal.. Setidaknya sisakan kami agar kami bisa membayar kesalahan apa yang telah kita perbuat…”
Perlahan tapi pasti… Pocong itu samar-samar menghilang bagaikan asap yang menipis dari hadapan para warga.
Malam itu adalah malam terakhir teror pocong yang menggunakan wujud Lek Samin terlihat. Pak Sarjo dan keluarganya adalah satu-satunya keluarga raden sasmito yang selamat dari sosok pocong Lek Samin di desa Danumulyo.
Kediaman Raden Sasmito menjadi rumah yang lama tidak ditempati selama bertahun-tahun. Pas Sarjo pun enggan berurusan dengan rumah yang menyimpan misteri tentang kamar terkutuk itu.
Walau begitu, kabar tentang kemunculan pocong Lek Samin kadang masih terdengar dari mulut warga. Bahkan terkadang ada yang mengaku saat melintasi kediaman Raden Sasmito, mereka melihat kereta kencana terparkir di halamannya dan rumah itu dipenuhi sosok pocong dengan wajah yang mereka kenali. Wajah anak-anak raden sasmito.
Diubah oleh setta 14-09-2023 18:36
iwakcetol dan 28 lainnya memberi reputasi
29
Kutip
Balas
Tutup