Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

cattleyaonlyAvatar border
TS
cattleyaonly
[Kumcer] Tanah yang Tergadai


Seminggu sudah Giyanti berada di tempat mengerikan itu. Sebuah kerangkeng besi yang berada dalam dinding sebuah terowongan kecil. Sisi kanan, kiri, belakang dan atap kerangkeng berbatasan dengan tanah. Hanya sisi yang menghadap terowongan yang merupakan sisi bebas, di mana pintu kerangkeng berada. Kerangkeng itu sepertinya ditancapkan di dinding terowongan dengan melubangi dindingnya terlebih dahulu.

Tempat itu selalu suram karena lubang gua dipayungi pohon-pohon yang rindang. Hawa dingin hampir selalu menyelimuti tubuh Giyanti yang hanya ditutupi kain compang camping. Badannya lemah, karena sejak dijebloskan ke dalam kurungan yang lebih mirip jebakan binatang itu dia tidak pernah diberikan makan atau minum sedikit pun.

Hari kedua, saat Giyanti tidak mampu lagi menahan haus, gadis itu terpaksa minum air kencingnya sendiri. Dia pernah membaca cara pejuang zaman dulu mempertahankan hidup dalam gerbong neraka yang dipakai penjajah untuk membawa para tawanan perang. Air kencingnya itu ditampungnya di atas daun jati yang kebetulan berserak di tempat itu, kemudian dengan rasa jijik yang membuncah, dia meminumnya. Bahkan, dia mulai makan binatang-binatang melata atau kecoa yang kebetulan singgah di kerangkeng itu.

Giyanti pernah meraung-raunng, menggoyang-goyangkan kerangkeng besi yang memenjaranya, tetapi hal itu tidak membuatnya merasa lebih baik, besi–besi itu tak bergeser atau berubah sedikit pun, bahkan itu membuat tenaganya justru terkuras.

Dia menyadari, jika terus menerus seperti itu, dia akan lebih cepat mati. Dia harus terus hidup untuk membalas dendam pada orang-orang itu. Wajah-wajah yang telah dipahat pada dendam kesumatnya.

Hari paling nahas itu tak akan pernah dilupakan Giyanti. Saat itu dia sedang berbincang dengan kedua orang tuanya dan Rumbun, tiba-tiba beberapa orang menerobos masuk rumahnya dan langsung menyabetkan parang kemudi singkir kepada papanya. Seketika, lelaki itu tersungkur bersimbah darah. Sedangkan mamanya digilir beramai-ramai sebelum menerima sabetan parang kemudi singkir seperti papanya.



Giyanti dan Rumbun diseret dan dibawa orang-orang itu. Mata Giyanti dibebat dengan kain sehingga dia sama sekali tak bisa melihat apa-apa dan mulutnya disumpal. Bahkan saat berada di suatu tempat ada yang menggetok lehernya sehingga dia pingsan. Saat siuman, Giyanti sudah berada di tempat terkutuk itu.

Beberapa waktu yang lalu, Giyanti masihlah seorang gadis yang bahagia. Hidupnya dipenuhi kesempurnaan. Kedua orang tuanya seorang pendatang di tanah Borneo dan memiliki kekayaan yang tak akan habis tujuh turunan. Dia kuliah di sebuah universitas negeri di Kalimantan Selatan dan mengenal Rumbun, pemuda suku Manyaan yang kemudian menjadi kekasihnya.

Giyanti dan Rumbun, teman satu angkatan di universitas. Mereka saling mencintai dan bercita-cita setelah lulus kuliah langsung menikah. Mereka sering naik gunung dan latihan karate bersama. Bahkan mereka pernah mengikuti latihan bertahan hidup selama tiga hari di sebuah pulau tanpa membawa sepotong pun makanan.

Sebagai seorang anak konglomerat, Giyanti jauh dari kesan manja. Hal itu benar-benar ditanamkan oleh papa dan mamanya sebagai orang sukses yang merangkak dari bawah.
Giyanti dan Rumbun mempunyai ketertarikan yang sama terhadap lingkungan. Giyanti ingat, beberapa waktu lalu dia dan Rumbun sedang menyelidiki sebuat tambang batu bara ilegal. Mereka datang dengan sembunyi-sembunyi seperti maling. Padahal orang-orang yang berada di tambang ilegal itulah yang pantas disebut maling. Kenyataan miris yang membuat darah mereka bergolak untuk menuntut keadilan.

“Lihatlah ceruk-ceruk dengan air menghitam itu,” kata Rumbun sambil menatap ke depan.

“Kurasa tak ada makhluk hidup yang bisa bertahan hidup di sana.”

“Warga mulai mengeluhkan sumur-sumur mereka menjadi keruh dan bau.”

“Pencemaran tingkat tinggi. Kurasa kita harus segera bertindak. Ini tidak boleh dibiarkan,” ujar Giyanti.

“Apa yang bisa kita lakukan? Kita hanya seorang mahasiswa.”

“Kau lupa, mahasiswa pernah menumbangkan kekuasaan seorang presiden di negeri ini.”

Rumbun mendesah, menatap truk-truk besar yang membawa muatan batubara menuju jalan umum. Padahal seharusnya mereka mempunyai haouling road.

“Hai, ini tanah kelahiranmu. Kenapa kau terlihat begitu mudah menyerah?”

“Aku hanya melihat realita. Bukankah menurut informan yang kita percayai, para pejabat hingga taraf atas ikut menikmati hasilnya. Bahkan konon para jendral pun turut bermain.”

Giyanti menepuk pundak Rumbun untuk menghibur pemuda itu. Dia tersenyum. “Aku akan membantumu melepaskan tanah ulayatmu dari tangan-tangan jahat itu.”

“Kau sungguh akan membantuku?”

Giyanti mengangguk. “Bahkan jika harus mengorbankan nyawaku.”

Rumbun terdiam. Dia menatap kedua mata Giyanti dalam-dalam. “Terima kasih. Harusnya aku tak menyangsikan bahwa kau bisa diandalkan.”

“Bukankah sepasang kekasih harus seperti itu?”

Giyanti tersentak dari lamunannya, ujung akar yang menjulur dari atas kerangkengnya meneteskan air. Gadis itu menjulurkan lidahnya untuk menangkap tetes air itu. Saking seriusnya menyambut tetesan air, Giyanti tak mendengar ketika ketika tiga orang memasuki terowongan.

Suara deheman membuat Giyanti tersentak dan menghentikan aktifitasnya. Dia menoleh, memandang orang-orang yang datang. Dia tersenyum ketika mengetahui, salah seorang yang datang adalah Rumbun. Pemuda itu pasti sudah berhasil bernegosiasi dengan penculik mereka. Rumbun memang bisa diandalkan, pikir Giyanti sambil tersenyum.

“Rumbun, cepat buka kerangkeng ini,” kata Giyanti seraya berjalan mendekati sisi depan kerangkeng. Tangannya mencengkeram besi-besi yang mengurung dirinya.

Seorang yang berdiri di belakang Rumbun membuka kerangkeng besi itu. Giyanti melangkah keluar dan segera berjalan mendekati Rumbun, Namun, pemuda itu malah membuang muka sambil menutup hidungnya. Giyanti tersipu sambil mencium bau ketiaknya. Dia baru menyadari badannya sangat bau.

Seorang lelaki usia empat puluh tahunan dengan tato burung enggang di lengannya berkata kepada Rumbun, “Urusan kami sudah selesai. Kau, urus urusanmu sendiri.”
Rumbun mengangguk dengan penuh hormat.

Lelaki bertato burung enggang itu melangkah pergi.

“Urus gadis ini!” perintah Rumbun kepada lelaki yang tadi membuka kerangkeng besi.

Lelaki itu segera mencekal lengan Giyanti, tetapi langsung ditepis gadis itu. Giyanti menatap Rumbun, tetapi kekasihnya itu bahkan tidak memandangnya sedikit pun.

“Apa maksud semua ini? Apakah kau bisa menjelaskannya, Rumbun?” Giyanti menatap Rumbun dengan tajam.

“Ini tentang tujuh tahun yang lalu.” Rumbun menatap Giyanti dengan sinis. “Saat kau mulai dimajakan dengan mobil mewah, kartu-kartu debit, pesiar ke luar negeri, sebuah keluarga telah dihancurkan.”

“Tidak usah berpanjang kata! Katakan saja intinya!”

“Papamu, pemilik tambang batu bara ilegal itu, telah menyuruh orang-orangnya untuk menghabisi keluargaku. Aku tak akan pernah melupakan hari kelam dalam hidupku itu. Aku bersumpah akan menghancurkan papamu dan keluarganya.”

Giyanti tertawa keras-keras. “Harusnya aku yang berhalusinasi karena menderita dehidrasi dan kelaparan karena kalian kerangkeng, tetapi ternyata justru kaulah yang berhalisinasi.”

“Aku melihatnya sendiri, cara mereka menghancurkan keluargaku, hanya karena ayahku menentang tambang itu. Mereka menyeret ayahku dengan kuda di empat penjuru. Apa kau bisa membayangkan rasa sakit yang diderita ayahku menjelang kematiannya? Begitu juga begundal-begundal itu telah merudapaksa ibu dan adik perempuanku di depan mataku.”

“Kau ... kau pasti bergurau, Rumbun. Papaku sangat baik. Dia bahkan mendirikan yayasan-yayasan sosial. Bagaimana orang seperti itu bisa memerintahkan orang untuk membunuh dengan keji?”

“Percuma saja aku menjelaskan, kau tidak akan pernah mengerti papamu. Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa!” Rumbun menoleh kepada lelaki di sebelahnya. “Bereskan dia!” seru Rumbun seraya melangkah menuju ujung terowongan. Giyanti meneriakinya, tetapi Rumbun tidak menoleh.



Terjadi pertarungan yang sengit antara Giyanti dan lelaki bertato bulu di lengannya. Giyanti bukanlah gadis lemah yang begitu mudah ditundukkan. Dia mulai mengerti apa yang telah terjadi, meskipun dia tidak bisa percaya bahwa papanya berada di balik penambangan ilegal itu. Ada duka yang begitu menyesakkan dada. Dia ingat bagaimana papa dan mamanya dibunuh. Namun dia juga mengingat bagaimana keluarga Rumbun tewas.

Rumbun yang menunggu di mulut terowongan tidak mendengar lagi suara pertarungan. Dengan ragu dia melangkah masuk terowongan dan mendapati tubuh temannya dan Giyanti tergeletak bermandikan darah. Bahkan dari sela paha Giyanti terlihat banyak bercak darah. Tangan Rumbun mengepal. Dia merasa bersedih sekaligus marah. Kenapa lelaki yang bersamanya itu sampai tega menodai Giyanti. Meskipun dia harus membalaskan dendam keluarganya, dia sudah terlanjur cinta pada Giyanti. Mata Rumbun berkaca-kaca. Rasa sedih dan kecewa berjejalan dalam dadanya.

Tangannya terulur untuk menyentuh pipi Giyanti, tetapi tiba-tiba Giyanti yang ternyata belum tewas menarik tangan itu dan menjepit leher Rumbun dengan kedua kakinya. Pelatih karatenya pernah bilang, kematian tercepat adalah dengan mematahkan batang otak. Kini Giyanti bisa mempraktekkannya.

Rumbun tersentak, matanya melotot. Giyanti hanya berpura-pura mati denganmelumuri tubuhnya dengan darah lelaki suruhan Rumbun. Dia sama sekali tak menduga kejutan itu. Sesaat sebelum kematiannya dia menyadari, bahwa Giyanti bukanlah gadis sembarangan. Dia telah lulus tantangan bertahan hidup di pulau terpencil bersamanya. Namun, semua sudah terlambat.

Giyanti menatap nanar mayat Rumbun yang tergeletak di lantai. Ditahannya kuat-kuat tangis yang hendak meledak. “Harusnya kau tahu meski setengah darah yang mengalir di tubuhku adalah darah papaku, tetapi kami berbeda. Kau telah dihanguskan oleh dendammu, bahkan kini aku pun begitu.” (*)



Catatan :
Parang kemudia singkir : senjata khas Suku Dayak
Hauling road : jalan khusus untuk mengangkut batu bara

Terima kasih sudah membaca thread (cerpen) ane, semoga terhibur.

Sumber foto:
Pixabay free pict
grogoroth
totemnyahebr472
itkgid
itkgid dan 9 lainnya memberi reputasi
10
304
14
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.5KAnggota
Tampilkan semua post
totemnyahebr472Avatar border
totemnyahebr472
#8
Apik.
cattleyaonly
cattleyaonly memberi reputasi
1
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.