- Beranda
- Stories from the Heart
Thread Horor: MENJEMPUT GELAP
...
TS
saujanastory
Thread Horor: MENJEMPUT GELAP
Halo Agan semua, salam kenal. Ane Jana, yang biasa menceritakan dan kisah horor baik berdasarkan kisah nyata, atau terinspirasi dari kisah nyata. Monggo disimak, jangan lupa diramaikan.

Sekian Agan-Agan semua, malam Minggu depan ceritanya akan dilanjutkan.
MENJEMPUT GELAP

Quote:
Original Posted By Bab 1: Kontrakan Bangsal Tiga
Hari ini kondisi cuaca cukup cerah dengan sedikit gumpalan awan berarak yang menjadi tanda bahwasanya hujan tidak akan turun. Dari balik kaca, lelaki itu memandangi jalanan sambil menyesap segelas kopi yang tak lagi panas.
Siang ini ia terpikir beberapa hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Sebuah misi yang seharusnya ia lakukan bertahun-tahun lalu. Mengunjungi tanah leluhurnya. Namun yang ia temukan adalah hal mengerikan yang seharusnya tak pernah terungkap. Sebuah rahasia masa lalu yang disimpan rapat oleh seluruh penduduk desa.
Kemal, 32 tahun. Seorang pemuda medioker yang masih terus berkutat dengan segala hobi dan kegemarannya. Kehidupan keluarganya yang sangat sederhana membuat masa kecilnya lebih terbatas jika dibandingkan dengan kawan sebayanya.
Ayahnya yang ketika itu masih berada di posisi cukup rendah di tempat kerjanya membuat hidup keluarga sangat sederhana. Ayah Kemal yang memulai karir di sebuah BUMN sebagai sekuriti hanya mendapatkan gaji 275 ribu rupiah per bulan. Saat itu masih sekitar tahun 1991.
Ibunya sedang mengandung sang adik. Sementara Kemal yang statusnya ‘disembunyikan’ berada di desa asal sang ibu. Sebuah desa tertinggal di provinsi paling timur di pulau Jawa. Sebuah desa yang pada saat itu hanya dihuni para petani, dengan kehidupan miskin dan jauh dari kata cukup.
Pada saat itu, ayah Kemal baru saja mendapatkan pekerjaanya. Dan menurut peraturan, pegawai tidak boleh menikah sebelum 3 tahun masa kerja. Karena ayah dan ibu Kemal menikah di luar ketentuan itu, maka kelahiran Kemal terpaksa disembunyikan dari rekan kerja sang ayah.
Dan ia pun dirawat oleh sang nenek, si mbok dari sang ibu.
Dalam rumah bangsal petak itu Harti sedang menggigil ketakutan. Keringat dingin membasahi tubuhnya, sementara ia hanya berada di kontrakan itu sendirian. Husin sedang bertugas sebagai sekuriti dan akan pulang pukul 11 malam. Yang mana akan tiba di rumah 20 hingga 30 menit setelah shift jaga selesai.
Sedari pukul 10, Harti mendengar ada sosok yang sedang tertawa cekikikan di depan pintu rumahnya. Sementara ia sangat tahu, bahwa lingkungan tempat tinggalnya adalah lingkungan yang sepi setelah shalat Isya.
Di dalam rumah, Harti tak bisa melakukan apa pun. Hanya bisa duduk meringkuk diatas ranjang sambil melindungi kandungannya yang sudah cukup besar. Ia hanya berdoa semampu yang ia ingat, diiringi kucuran keringat dan tubuhnya yang menggigil ketakutan.
Hingga pukul 11.25, hampir tengah malam suara vespa memecah keheningan malam itu. Husin datang dan langsung memarkirkan motornya tepat di depan rumah. Ia masuk dan disambut dengan tangisan yang memecah keheningan malam.
“Pak, di situ!! Tadi ada orang ketawa nyaring, cekikikan gak berhenti.” Harti tergagap sambil memeluk erat pinggang suaminya.
“Di mana?! Bentar, biar ku bacok kalo emang ada.” Husin langsung mengambil sebilah golok dan kembali mengecek teras rumah mereka. Dan yang ia temukan hanyalah sepinya malam dengan suara jangkrik dari
seberang jalan yang lebarnya tak lebih dari 2 meter.
Malam itu Harti terselamatkan, ia kembali tenang setelah sang suami memastikan tidak ada yang bisa ia temukan di depan rumahnya. Mereka akhirnya bisa terlelap sambil ditemani beberapa benda tajam seperti jarum, silet, gunting dan bulu landak sebagai proteksi sang jabang bayi.
Sore itu, Harti merasa sakit perut dan ingin buang hajat. Ia lalu keluar rumah melalui pintu belakang dan menuju toilet bersama yang berada tepat di belakang kontrakannya. Perlahan ia turun menuju belakang rumah, sambil memegangi perut besarnya dan melihat toilet dalam kondisi tertutup.
Harti menunggu sejenak. Karena tak ada suara, ia memutuskan untuk mendorong pintu toilet tersebut. Ia terkejut, pintu itu tak terkunci, namun di dalamnya ada seorang nenek yang sedang duduk berjongkok di atas kloset seperti sedang membuang hajat.
“Maaf, saya kira gak ada orang.” Ucapnya sambil langsung menutup pintu dan menunggu di mulut pintu rumahnya.
Beberapa menit berlalu, tak ada tanda bahwa sang nenek sudah selesai. Bahkan tidak ada suara sama sekali dari dalam toilet. Sementara hajat Harti sudah sulit untuk ditahan. Ia pun kembali mengetuk pintu toilet tersebut, seketika toilet itu terbuka. Di dalamnya tak ada orang, nenek yang sedang berjongkok di atas toilet sudah hilang.
Karena sudah menunggu lama dan tak bisa ditahan lagi. Maka Harti langsung saja masuk ke dalam toilet dan menuntaskan hajatnya yang sudah hampir tak terbendung. Sore itu, adalah pertama kali Harti melihat sosok tak asing yang mungkin saja bukan manusia.
Pagi menyingsing, hawa dingin dan sejuk mengiringi niat Harti yang ingin berjalan-jalan. Kumpulan tumbuhan pandan tumbuh di depan rumahnya yang di bawahnya merupakan genangan air. Kontrakan 3 pintu yang hanya memilik satu toilet bersama. Toilet yang berada tepat di belakang dapur rumah Harti.
Ditemani sang suami, Harti berjalan-jalan sambil menikmati udara pagi
yang segar. Disambut dengan sapaan para tetangga yang mayoritas adalah warga suku lokal. Dengan logat Kutai dan Banjar yang kental, mereka menyapa sembari menyapu atau menyiram tanaman.
“Hendak ke mana kita? Gaknya tumat lagi lahir ni. – Mau kemana? Sepertinya sebentar lagi lahiran.” ucap seorang wanita penjual kue-kue basah yang biasa dipanggil dengan sebutan Mbok Joi dengan logat Kutai
yang kental.
“Ohh, bejalanan aja. Biar kena kalo lahiran lancar, – Mau jalan-jalan saja. Supaya nanti lahiran lancar,” jawab Husin dengan logat Banjar.
“Bulu landak ngan gunting jangan lupa dibawa, biar ndik dilirik kuyang, – Bulu landak sama gunting jangan lupa dibawa, supaya tidak dilirik (hantu) kuyang,” timpal Mbok Joi lagi sambil tersenyum sembari merapikan kue dagangannya.
“Iya, makasih, Mbok Joi.” Husin tersenyum sambil melanjutkan menemani Harti berjalan berkeliling.
Di kota ini, mitos dan rumor tentang kuyang memang sangat dipercaya. Terutama oleh para warga asli yang memang sangat memegang teguh kepercayaan lokal. Dan entah, percaya/tidak percaya semua itu diceritakan turun-temurun dan kabarnya memang sudah ada yang pernah membuktikan keberadaan dan kebenarannya.
Harti dan Husin berjalan menikmati pagi dengan santai. Embun masih terasa membasahi kulit, juga meninggalkan titik-titik bulir air di atas dedaunan di kiri-kanan gang. Banyak orang berlalu-lalang membawa keranjang belanjaan karena pasar juga masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Juga anak-anak sekolah yang sedang jalan bergerombol menuju tempat mereka menuntut ilmu. Juga beberapa ibu yang sedang berjalan berlainan arah. Salah satunya menggunakan kerudung dengan ujung yang melilit di lehernya.
Mereka bercakap sambil salah satunya menatap Harti yang dengan pandangan yang menyelidik. Hingga saat perpapasan, ia bahkan sampai menolehkan kepalanya memandang Harti yang sedang berjalan sambil memegangi perutnya Wanita itu menelan ludahnya sambil menjilat bibirnya sendiri.
“Hmmm.. Wangi..” batinnya.
Siang ini ia terpikir beberapa hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Sebuah misi yang seharusnya ia lakukan bertahun-tahun lalu. Mengunjungi tanah leluhurnya. Namun yang ia temukan adalah hal mengerikan yang seharusnya tak pernah terungkap. Sebuah rahasia masa lalu yang disimpan rapat oleh seluruh penduduk desa.
***
Kemal, 32 tahun. Seorang pemuda medioker yang masih terus berkutat dengan segala hobi dan kegemarannya. Kehidupan keluarganya yang sangat sederhana membuat masa kecilnya lebih terbatas jika dibandingkan dengan kawan sebayanya.
Ayahnya yang ketika itu masih berada di posisi cukup rendah di tempat kerjanya membuat hidup keluarga sangat sederhana. Ayah Kemal yang memulai karir di sebuah BUMN sebagai sekuriti hanya mendapatkan gaji 275 ribu rupiah per bulan. Saat itu masih sekitar tahun 1991.
Ibunya sedang mengandung sang adik. Sementara Kemal yang statusnya ‘disembunyikan’ berada di desa asal sang ibu. Sebuah desa tertinggal di provinsi paling timur di pulau Jawa. Sebuah desa yang pada saat itu hanya dihuni para petani, dengan kehidupan miskin dan jauh dari kata cukup.
Pada saat itu, ayah Kemal baru saja mendapatkan pekerjaanya. Dan menurut peraturan, pegawai tidak boleh menikah sebelum 3 tahun masa kerja. Karena ayah dan ibu Kemal menikah di luar ketentuan itu, maka kelahiran Kemal terpaksa disembunyikan dari rekan kerja sang ayah.
Dan ia pun dirawat oleh sang nenek, si mbok dari sang ibu.
***
Dalam rumah bangsal petak itu Harti sedang menggigil ketakutan. Keringat dingin membasahi tubuhnya, sementara ia hanya berada di kontrakan itu sendirian. Husin sedang bertugas sebagai sekuriti dan akan pulang pukul 11 malam. Yang mana akan tiba di rumah 20 hingga 30 menit setelah shift jaga selesai.
Sedari pukul 10, Harti mendengar ada sosok yang sedang tertawa cekikikan di depan pintu rumahnya. Sementara ia sangat tahu, bahwa lingkungan tempat tinggalnya adalah lingkungan yang sepi setelah shalat Isya.
Di dalam rumah, Harti tak bisa melakukan apa pun. Hanya bisa duduk meringkuk diatas ranjang sambil melindungi kandungannya yang sudah cukup besar. Ia hanya berdoa semampu yang ia ingat, diiringi kucuran keringat dan tubuhnya yang menggigil ketakutan.
Hingga pukul 11.25, hampir tengah malam suara vespa memecah keheningan malam itu. Husin datang dan langsung memarkirkan motornya tepat di depan rumah. Ia masuk dan disambut dengan tangisan yang memecah keheningan malam.
“Pak, di situ!! Tadi ada orang ketawa nyaring, cekikikan gak berhenti.” Harti tergagap sambil memeluk erat pinggang suaminya.
“Di mana?! Bentar, biar ku bacok kalo emang ada.” Husin langsung mengambil sebilah golok dan kembali mengecek teras rumah mereka. Dan yang ia temukan hanyalah sepinya malam dengan suara jangkrik dari
seberang jalan yang lebarnya tak lebih dari 2 meter.
Malam itu Harti terselamatkan, ia kembali tenang setelah sang suami memastikan tidak ada yang bisa ia temukan di depan rumahnya. Mereka akhirnya bisa terlelap sambil ditemani beberapa benda tajam seperti jarum, silet, gunting dan bulu landak sebagai proteksi sang jabang bayi.
***
Sore itu, Harti merasa sakit perut dan ingin buang hajat. Ia lalu keluar rumah melalui pintu belakang dan menuju toilet bersama yang berada tepat di belakang kontrakannya. Perlahan ia turun menuju belakang rumah, sambil memegangi perut besarnya dan melihat toilet dalam kondisi tertutup.
Harti menunggu sejenak. Karena tak ada suara, ia memutuskan untuk mendorong pintu toilet tersebut. Ia terkejut, pintu itu tak terkunci, namun di dalamnya ada seorang nenek yang sedang duduk berjongkok di atas kloset seperti sedang membuang hajat.
“Maaf, saya kira gak ada orang.” Ucapnya sambil langsung menutup pintu dan menunggu di mulut pintu rumahnya.
Beberapa menit berlalu, tak ada tanda bahwa sang nenek sudah selesai. Bahkan tidak ada suara sama sekali dari dalam toilet. Sementara hajat Harti sudah sulit untuk ditahan. Ia pun kembali mengetuk pintu toilet tersebut, seketika toilet itu terbuka. Di dalamnya tak ada orang, nenek yang sedang berjongkok di atas toilet sudah hilang.
Karena sudah menunggu lama dan tak bisa ditahan lagi. Maka Harti langsung saja masuk ke dalam toilet dan menuntaskan hajatnya yang sudah hampir tak terbendung. Sore itu, adalah pertama kali Harti melihat sosok tak asing yang mungkin saja bukan manusia.
***
Pagi menyingsing, hawa dingin dan sejuk mengiringi niat Harti yang ingin berjalan-jalan. Kumpulan tumbuhan pandan tumbuh di depan rumahnya yang di bawahnya merupakan genangan air. Kontrakan 3 pintu yang hanya memilik satu toilet bersama. Toilet yang berada tepat di belakang dapur rumah Harti.
Ditemani sang suami, Harti berjalan-jalan sambil menikmati udara pagi
yang segar. Disambut dengan sapaan para tetangga yang mayoritas adalah warga suku lokal. Dengan logat Kutai dan Banjar yang kental, mereka menyapa sembari menyapu atau menyiram tanaman.
“Hendak ke mana kita? Gaknya tumat lagi lahir ni. – Mau kemana? Sepertinya sebentar lagi lahiran.” ucap seorang wanita penjual kue-kue basah yang biasa dipanggil dengan sebutan Mbok Joi dengan logat Kutai
yang kental.
“Ohh, bejalanan aja. Biar kena kalo lahiran lancar, – Mau jalan-jalan saja. Supaya nanti lahiran lancar,” jawab Husin dengan logat Banjar.
“Bulu landak ngan gunting jangan lupa dibawa, biar ndik dilirik kuyang, – Bulu landak sama gunting jangan lupa dibawa, supaya tidak dilirik (hantu) kuyang,” timpal Mbok Joi lagi sambil tersenyum sembari merapikan kue dagangannya.
“Iya, makasih, Mbok Joi.” Husin tersenyum sambil melanjutkan menemani Harti berjalan berkeliling.
Di kota ini, mitos dan rumor tentang kuyang memang sangat dipercaya. Terutama oleh para warga asli yang memang sangat memegang teguh kepercayaan lokal. Dan entah, percaya/tidak percaya semua itu diceritakan turun-temurun dan kabarnya memang sudah ada yang pernah membuktikan keberadaan dan kebenarannya.
Harti dan Husin berjalan menikmati pagi dengan santai. Embun masih terasa membasahi kulit, juga meninggalkan titik-titik bulir air di atas dedaunan di kiri-kanan gang. Banyak orang berlalu-lalang membawa keranjang belanjaan karena pasar juga masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Juga anak-anak sekolah yang sedang jalan bergerombol menuju tempat mereka menuntut ilmu. Juga beberapa ibu yang sedang berjalan berlainan arah. Salah satunya menggunakan kerudung dengan ujung yang melilit di lehernya.
Mereka bercakap sambil salah satunya menatap Harti yang dengan pandangan yang menyelidik. Hingga saat perpapasan, ia bahkan sampai menolehkan kepalanya memandang Harti yang sedang berjalan sambil memegangi perutnya Wanita itu menelan ludahnya sambil menjilat bibirnya sendiri.
“Hmmm.. Wangi..” batinnya.
***
Spoiler for Bab Selanjutnya Gan!:
Spoiler for Bab Selanjutnya Gan!:
Spoiler for Bab Selanjutnya, Gan!:
Spoiler for Lanjut lagi, Gan!:
Spoiler for Selamat bermalam Minggu, Gan!:
Spoiler for Habis konser, lanjut cerita!:
Spoiler for Telat sehari.:
Spoiler for Lanjutan lagi!:
Spoiler for Malming sendu:
Spoiler for Capek motoran:
Spoiler for Habis selesein cerita untuk KUNCEN:
Spoiler for Mau nonton layar tancap:
Spoiler for Minggu pertama Oktober!! Gas!!:
Spoiler for Udah sepertiga cerita nih!:
Sekian Agan-Agan semua, malam Minggu depan ceritanya akan dilanjutkan.
Diubah oleh saujanastory 14-10-2023 19:36
itkgid dan 19 lainnya memberi reputasi
20
4.4K
Kutip
57
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
saujanastory
#19
Quote:
Bab 10. Puncak Sepertiga Malam
Detak jam dinding di atas televisi terdengar nyaring, entah mengapa di luar ruangan justru terdengar derit roda trolley yang mondar-mandir. Sangat tidak normal sekali jika ada petugas housekeeping di waktu-waktu seprti ini.
Di dalam kamar, Kemal dan Akbar masih terlelap. Kemal memunggungi Akbar, sementara pemuda itu justru tidur terlentang dengan gelisah. Beberapa kali tangannya bergerak menyapu wajahnya, menyingkirkan sesuatu.
Merasa banyak pergerakan yang terjadi, Kemal membalikkan tubuhnya, membuka mata melihat Akbar. Namun sesuatu yang bisa dibilang tidak masuk logika justru sedang ia saksikan saat ini. Ia melihat ada rambut yang terjuntai di wajah Akbar. Rambu panjang lurus yang terlihat lepek dan basah.
Kemal berusaha memalingkan wajahnya ke arah yang lain, namun justru melihat sesuatu yang berbeda. Ia tercekat, tatapannya nanar, bahkan kini ia tak mampu menggerakkan tangannya. Kepalanya seperti ditahan oleh sesuatu, sehingga tak mampu kembali berpaling. Kedua matanya tak bisa ditutup, hanya terbelalak.
Seorang wanita dengan pakaian putih panjang di bawah lutut sedang asik berjalan pelan seperti mengendap-endap, mondar-mandir di depan Kemal. Wajahnya menatap ke depan, ditutupi helai rambut. Kedua tangan wanita itu menjulur ke depan sambil sedikit ditekuk. Tungkainya terlihat pucat dan kurus dalam keremangan, ia berjalan sambil berjinjit sembari tertawa lirih.
Beberapa waktu Kemal tak masih tak mampu bergerak, jarak wanita itu juga sangat dekat. Hanya berjarak satu meter dari ujung kakinya. Baru kali ini ia melihat hal mengerikan seperti ini, bahkan sangat jelas. Biasanya ia hanya mencium aroma atau merasakan sesuatu, namun tanpa suara dan wujud. Pun jika ada kelebatan, ia hanya menganggap bahwa matanya sedang tidak fokus.
Dengan segala yang terjadi saat ini, keadaan justru terasa semakin riuh. Akbar masih terus bergerak-gerak menyingkirkan rambut menjuntai di wajahnya. Perempuan yang berjalan jinjit juga masih terus-terusan beraktifitas seolah ruang dan waktu hanya miliknya sendiri. Juga derit trolley di depan pintu.
Di tengah kegelisahannya, Akbar membuka kedua matanya tiba-tiba. Tepat di atas wajahnya, ada wajah gelap yang sedang memandanginya secara terbalik. Seolah setengah tubuhnya menembus dinding.
Beberapa tetesan cairan juga dirasakan Akbar di pucuk kepalanya. Sesuatu yang dingin, kental dan pekat. Seperti darah.
“Aaaaaaarrrhhhggg!!! Jiancook!!”
Akhirnya Akbar berteriak, seketika ia terbangun dan menatap Kemal yang mematung dengan mata membelalak. Digoyang-goyangnya tubuh Kemal sambil terus memanggil “Mas, lapo mas? Ono opo?– Mas, ngapain? Ada apa?”
Dengan sentakan gerakan dari Akbar, akhirnya tangan Kemal bisa ikut bergerak. Terbebas dari sesuatu yang sedaritadi terasa menahan pergerakannya. Mulutnya masih belum bisa bergerak, hanya terdengar dengus nafas. Kemal akhirnya menunjuk ke arah yang ia lihat.
Akbar baru sadar, bahwa yang ia lihat sebelum bukan satu-satunya. Kini di depannya justru ada seorang wanita yang tertawa lirih sambil berjalan jinjit. Seperti sedang mengendap-endap layaknya gaya karakter di film kartun.
Ketika wanita ini berbalik badan menghadap ke arah yang lebih terang, akhirnya lebih jelas. Wajahnya putih kebiruan dengan beberapa lebam, matanya hitam, rambutnya lepek, jari-jari tangannya terlihat kurus dengan kuku panjang.
“Ayo, minggat ae lah. Ra sah turu kene. – Ayo, minggat aja. Gak usah tidur di sini.” Akbar menarik-narik tubuh Kemal agar bisa bangun.
Akbar menarik tubuh Kemal dengan keras hingga ia akhirnya terbangun dan mampu bergerak. Matanya juga akhirnya bisa berkedip dan menoleh. Nafasnya berat dan tak beraturan, ia mengangguk. Ketika mereka berdua kembali menoleh ke arah perempuan jinjit, sosok itu sudah hilang.
Kemal melihat jam di handphone-nya, pukul 03.20. Bergegas mereka menyalakan lampu dan membereskan semua barang bawaan ke dalam tas. Anehnya, kondisi tak seriuh sebelumnya. Benar-benar tenang tanpa ada suara aneh satu pun. Bahkan derit roda trolley juga seketika hilang.
Secepat kilat mereka memeriksa perlengkapan lalu menuju pintu. Tak lupa handphone, charger, helm serta kunci motor. Sambil sama-sama menenteng tas ransel, mereka membuka pintu dengan tak santai.
“Cklaaakk!!”
Mereka berdua membuka pintu dan segera keluar dari kamar seram itu, bahkan tak ditutup. Mereka berdua langsung lari menuju lift di ujung seberang koridor. Dengan setengah berlari, mereka menyongsong lift yang tertutup.
“Mau we ndelok opo, Bar? – Tadi kamu lihat apa, Bar?” Kemal memecah keheningan mereka sambil menuju lift.
“Ngko ae, Mas. Nak wis nang njobo tak ceritani, – Nanti saja, Mas. Kalau sudah di luar baru aku cerita,” jawabnya singkat sambil memencet tombol lift.
Begitu lift terbuka, mereka langsung masuk dan berbalik hadap sambil memencet tombot nomor satu menuju lobby. Sepersekian detik ketika pintu itu menutup, nampak perempuan jinjit itu melintas keluar dari kamar mereka dan menembus pintu kamar di seberangnya.
Beruntung, pintu segera tertutup dan lift bergerak turun lalu terbuka di lantai dasar. Mereka keluar dengan tergesa-gesa, menuju meja resepsionis yang sepi. Bahkan sang resepsionis dan satpam yang berada di lobby pun kaget, karena Akbar dan Kemal terlihat pucat dengan keringat jagung di wajah.
“Ada apa, Pak?” Sekuriti yang tadinya duduk santai langsung menghampiri dengan wajah penasaran.
“Gakpapa, Pak. Kita mau langsung checkout aja.” Kemal menjawab singkat sambil memberikan kunci ke resepsionis.
“Terimakasih atas kunjungannya, Pak. Mohon maaf jika ada hal yang kurang berkenan,” ucap resepsionis yang sepertinya sudah tahu yang dialami oleh kedua tamunya.
Mereka bergegas keluar menuju pintu kaca didampingi oleh sang sekuriti. Sepertinya ia ingin menyampaikan sesuatu namun tak enak jika masih ada di dalam ruangan.
“Pak, tadi liat perempuan jinjit ya?”
“Kok Bapak tau?” Kemal menatap si sekuriti dengan heran.
“Iya Pak, itu sudah sering nongol. Terutama kalau di malam pahing seperti sekarang. Tadinya saya selalu di luar kalau jaga, berhubung ini malam pahing akhirnya saya nemenin resepsionis. Kasian kalo sendirian, rawan ada yang lewat.”
“Yaudahlah Pak, gakpapa. Terimakasih banyak, Pak,” Ucap Kemal.
“Siap, hati-hati di jalan.”
Sekuriti itu menunduk sambil menaruh tangan di dahi layaknya hormat. Kemal mengangguk lalu segera berangkat dibonceng Akbar menuju angkringan tempat mereka nongkrong sebelumnya.
Sepuluh menit berselang, mereka tiba di angkringan langganan Akbar dan gerombolannya. Ternyata teman-teman Akbar masih ada di sana, minum kopi sambil bermain game. Seketika mereka semua yang duduk di angkringan melongo keluar melihat siapa yang datang subuh-subuh begini.
“Lho, ono opo Bar. Kok yahmene wes nggowo tas? – Lho, ada apa, Bar? Kok jam segini dah bawa-bawa tas?” Cecar Muksin yang sepertinya sudah curiga.
“Uasuu, Jiancok! Enak-enak turu malah ono medi. – Asu, Jiancok! Enak-enak tidur malah ada setan.” tanpa tedeng aling-aling Akbar memaki sambil menaruh tas di sebelah meja lesehan lalu duduk sambil membakar rokok.
“Memangnya iya, Mas?” seorang lagi yang berbadan kurus cungkring ikut nimbrung dan memastikan pada Kemal.
“Yaa gitu, tapi gak tau apa yang sebelumnya dilihat sama Akbar. Soalnya tadi yang nongol di depan kita tu beneran nampak.” Kemal masih menunggu nafasnya teratur sambil membakar rokok.
“KOPI DUA!” teriak Akbar pada penjaga angkringan yang masih bisa dibilang muda.
Beberapa saat kopi mereka diantar, Mas penjaga angkringan juga ikut nimbrung dan duduk di antara mereka. Menunggu cerita yang baru saja dialami oleh dua orang pemuda ini.
Setelah beberapa hembusan asap rokok, akhirnya Akbar membuka cerita.
*Yang Akbar alami*
Tepat setelah kejadian poltergeist di pojok ruangan, Akbar kembali tertidur setelah beberapa saat. Namun rasanya baru saja tertidur, ada sesuatu yang menyentuh wajahnya. Seperti helaian rambut yang basah dan lengket.
Berkali-kali ia mencoba menyingkirkan, namun tetap saja kejadian yang sama terulang. Hingga ada sesuatu yang menetes di pucuk kepalanya, juga di dahi dekat rambut. Akbar mengerjap membuka mata, ia melihat wanita dengan leher yang meneteskan darah melayang terbalik tepat di atas wajahnya. Separuh tubuhnya menembus tembok.
Wajah wanita itu terlihat pucat dengan mulut tersenyum lebar, di bagian bibirnya terlihat noda merah. Sepertinya itu adalah gumpalan darah kering, sekitar matanya menghitam dengan pipi yang terlihat lebam.
Akbar langsung terkaget ketika itu, ia juga sempat memegang bagian dahinya yang terasa basah. Dilihatnya ada noda merah di jemarinya, tak banyak namun ia yakin dengan apa yang ia lihat. Seketika nyawa Akbar terkumpul dan langsung duduk sambil membaca doa.
Sementara itu di luar ruangan suara derit trolley di depan pintu juga tak henti-hentinya melintas. Seolah memang sengaja mondar-mandir untuk mengganggu istirahat mereka dan menambah kengerian. Sebenarnya suara itu juga sudah ia dengar ketika pertama kali mereka checkin dan memeriksa kamar. Namun sepertinya Kemal tak mendengar apa-apa.
Ketika ia bangun dan duduk sambil mengatur nafas, ia malah melihat Kemal diam mematung sambil menatap ke depan tanpa berkedip. Disitulah akhirnya mereka melihat sosok yang lain, sosok perempuan berjalan jinjit yang mondar-mandir di depan televisi sambil terkekeh lirih. Sementara sosok yang tadi berada di atasnya dan menembus tembok sudah menghilang, juga dengan noda darah di jemari dan di dahi nya.
…
Akbar menceritakan panjang lebar tentang apa saja yang sudah ia saksikan. Sementara Kemal hanya mengkonfirmasi sambil merokok sembari minum kopi. Hal ini menjadi cerita baru bagi teman-teman Akbar, karena di antara mereka tak pernah ada yang mengalami gangguan gaib secara langsung.
“Wes, ak turu disik brarti nang kene. Sampeyan turu kene ae, Mas. Angkringane ra tau tutup kok. Barang sampeyan dideleh nang njero ae,– Udah, aku tidur dlu brarti. Sampeyan (ikut) tidur di sini aja, Mas. Angkringannya gak pernah tutup kok. Barang sampeyan ditaruh di dalam aja.” ucap Akbar pada Kemal tepat setelah mengakhiri cerita.
Mereka lalu menyimpan barang di bagian dalam angkringan yang tertutup, menghabiskan hisapan rokok dan tegukan kopi terakhir.
“Cuk! Ngko ono opo meneh?! – Cuk! Nanti bakal ada apa lagi?!” gumaman lirih terdengar dari mulut Akbar hingga akhirnya tak ada lagi suara. Mereka tertidur.
Sementara hal yang lebih kuno dan lebih kuat sedang menunggu mereka.
Detak jam dinding di atas televisi terdengar nyaring, entah mengapa di luar ruangan justru terdengar derit roda trolley yang mondar-mandir. Sangat tidak normal sekali jika ada petugas housekeeping di waktu-waktu seprti ini.
Di dalam kamar, Kemal dan Akbar masih terlelap. Kemal memunggungi Akbar, sementara pemuda itu justru tidur terlentang dengan gelisah. Beberapa kali tangannya bergerak menyapu wajahnya, menyingkirkan sesuatu.
Merasa banyak pergerakan yang terjadi, Kemal membalikkan tubuhnya, membuka mata melihat Akbar. Namun sesuatu yang bisa dibilang tidak masuk logika justru sedang ia saksikan saat ini. Ia melihat ada rambut yang terjuntai di wajah Akbar. Rambu panjang lurus yang terlihat lepek dan basah.
Kemal berusaha memalingkan wajahnya ke arah yang lain, namun justru melihat sesuatu yang berbeda. Ia tercekat, tatapannya nanar, bahkan kini ia tak mampu menggerakkan tangannya. Kepalanya seperti ditahan oleh sesuatu, sehingga tak mampu kembali berpaling. Kedua matanya tak bisa ditutup, hanya terbelalak.
Seorang wanita dengan pakaian putih panjang di bawah lutut sedang asik berjalan pelan seperti mengendap-endap, mondar-mandir di depan Kemal. Wajahnya menatap ke depan, ditutupi helai rambut. Kedua tangan wanita itu menjulur ke depan sambil sedikit ditekuk. Tungkainya terlihat pucat dan kurus dalam keremangan, ia berjalan sambil berjinjit sembari tertawa lirih.
Beberapa waktu Kemal tak masih tak mampu bergerak, jarak wanita itu juga sangat dekat. Hanya berjarak satu meter dari ujung kakinya. Baru kali ini ia melihat hal mengerikan seperti ini, bahkan sangat jelas. Biasanya ia hanya mencium aroma atau merasakan sesuatu, namun tanpa suara dan wujud. Pun jika ada kelebatan, ia hanya menganggap bahwa matanya sedang tidak fokus.
Dengan segala yang terjadi saat ini, keadaan justru terasa semakin riuh. Akbar masih terus bergerak-gerak menyingkirkan rambut menjuntai di wajahnya. Perempuan yang berjalan jinjit juga masih terus-terusan beraktifitas seolah ruang dan waktu hanya miliknya sendiri. Juga derit trolley di depan pintu.
Di tengah kegelisahannya, Akbar membuka kedua matanya tiba-tiba. Tepat di atas wajahnya, ada wajah gelap yang sedang memandanginya secara terbalik. Seolah setengah tubuhnya menembus dinding.
Beberapa tetesan cairan juga dirasakan Akbar di pucuk kepalanya. Sesuatu yang dingin, kental dan pekat. Seperti darah.
“Aaaaaaarrrhhhggg!!! Jiancook!!”
Akhirnya Akbar berteriak, seketika ia terbangun dan menatap Kemal yang mematung dengan mata membelalak. Digoyang-goyangnya tubuh Kemal sambil terus memanggil “Mas, lapo mas? Ono opo?– Mas, ngapain? Ada apa?”
Dengan sentakan gerakan dari Akbar, akhirnya tangan Kemal bisa ikut bergerak. Terbebas dari sesuatu yang sedaritadi terasa menahan pergerakannya. Mulutnya masih belum bisa bergerak, hanya terdengar dengus nafas. Kemal akhirnya menunjuk ke arah yang ia lihat.
Akbar baru sadar, bahwa yang ia lihat sebelum bukan satu-satunya. Kini di depannya justru ada seorang wanita yang tertawa lirih sambil berjalan jinjit. Seperti sedang mengendap-endap layaknya gaya karakter di film kartun.
Ketika wanita ini berbalik badan menghadap ke arah yang lebih terang, akhirnya lebih jelas. Wajahnya putih kebiruan dengan beberapa lebam, matanya hitam, rambutnya lepek, jari-jari tangannya terlihat kurus dengan kuku panjang.
“Ayo, minggat ae lah. Ra sah turu kene. – Ayo, minggat aja. Gak usah tidur di sini.” Akbar menarik-narik tubuh Kemal agar bisa bangun.
Akbar menarik tubuh Kemal dengan keras hingga ia akhirnya terbangun dan mampu bergerak. Matanya juga akhirnya bisa berkedip dan menoleh. Nafasnya berat dan tak beraturan, ia mengangguk. Ketika mereka berdua kembali menoleh ke arah perempuan jinjit, sosok itu sudah hilang.
Kemal melihat jam di handphone-nya, pukul 03.20. Bergegas mereka menyalakan lampu dan membereskan semua barang bawaan ke dalam tas. Anehnya, kondisi tak seriuh sebelumnya. Benar-benar tenang tanpa ada suara aneh satu pun. Bahkan derit roda trolley juga seketika hilang.
Secepat kilat mereka memeriksa perlengkapan lalu menuju pintu. Tak lupa handphone, charger, helm serta kunci motor. Sambil sama-sama menenteng tas ransel, mereka membuka pintu dengan tak santai.
“Cklaaakk!!”
Mereka berdua membuka pintu dan segera keluar dari kamar seram itu, bahkan tak ditutup. Mereka berdua langsung lari menuju lift di ujung seberang koridor. Dengan setengah berlari, mereka menyongsong lift yang tertutup.
“Mau we ndelok opo, Bar? – Tadi kamu lihat apa, Bar?” Kemal memecah keheningan mereka sambil menuju lift.
“Ngko ae, Mas. Nak wis nang njobo tak ceritani, – Nanti saja, Mas. Kalau sudah di luar baru aku cerita,” jawabnya singkat sambil memencet tombol lift.
Begitu lift terbuka, mereka langsung masuk dan berbalik hadap sambil memencet tombot nomor satu menuju lobby. Sepersekian detik ketika pintu itu menutup, nampak perempuan jinjit itu melintas keluar dari kamar mereka dan menembus pintu kamar di seberangnya.
Beruntung, pintu segera tertutup dan lift bergerak turun lalu terbuka di lantai dasar. Mereka keluar dengan tergesa-gesa, menuju meja resepsionis yang sepi. Bahkan sang resepsionis dan satpam yang berada di lobby pun kaget, karena Akbar dan Kemal terlihat pucat dengan keringat jagung di wajah.
“Ada apa, Pak?” Sekuriti yang tadinya duduk santai langsung menghampiri dengan wajah penasaran.
“Gakpapa, Pak. Kita mau langsung checkout aja.” Kemal menjawab singkat sambil memberikan kunci ke resepsionis.
“Terimakasih atas kunjungannya, Pak. Mohon maaf jika ada hal yang kurang berkenan,” ucap resepsionis yang sepertinya sudah tahu yang dialami oleh kedua tamunya.
Mereka bergegas keluar menuju pintu kaca didampingi oleh sang sekuriti. Sepertinya ia ingin menyampaikan sesuatu namun tak enak jika masih ada di dalam ruangan.
“Pak, tadi liat perempuan jinjit ya?”
“Kok Bapak tau?” Kemal menatap si sekuriti dengan heran.
“Iya Pak, itu sudah sering nongol. Terutama kalau di malam pahing seperti sekarang. Tadinya saya selalu di luar kalau jaga, berhubung ini malam pahing akhirnya saya nemenin resepsionis. Kasian kalo sendirian, rawan ada yang lewat.”
“Yaudahlah Pak, gakpapa. Terimakasih banyak, Pak,” Ucap Kemal.
“Siap, hati-hati di jalan.”
Sekuriti itu menunduk sambil menaruh tangan di dahi layaknya hormat. Kemal mengangguk lalu segera berangkat dibonceng Akbar menuju angkringan tempat mereka nongkrong sebelumnya.
Sepuluh menit berselang, mereka tiba di angkringan langganan Akbar dan gerombolannya. Ternyata teman-teman Akbar masih ada di sana, minum kopi sambil bermain game. Seketika mereka semua yang duduk di angkringan melongo keluar melihat siapa yang datang subuh-subuh begini.
“Lho, ono opo Bar. Kok yahmene wes nggowo tas? – Lho, ada apa, Bar? Kok jam segini dah bawa-bawa tas?” Cecar Muksin yang sepertinya sudah curiga.
“Uasuu, Jiancok! Enak-enak turu malah ono medi. – Asu, Jiancok! Enak-enak tidur malah ada setan.” tanpa tedeng aling-aling Akbar memaki sambil menaruh tas di sebelah meja lesehan lalu duduk sambil membakar rokok.
“Memangnya iya, Mas?” seorang lagi yang berbadan kurus cungkring ikut nimbrung dan memastikan pada Kemal.
“Yaa gitu, tapi gak tau apa yang sebelumnya dilihat sama Akbar. Soalnya tadi yang nongol di depan kita tu beneran nampak.” Kemal masih menunggu nafasnya teratur sambil membakar rokok.
“KOPI DUA!” teriak Akbar pada penjaga angkringan yang masih bisa dibilang muda.
Beberapa saat kopi mereka diantar, Mas penjaga angkringan juga ikut nimbrung dan duduk di antara mereka. Menunggu cerita yang baru saja dialami oleh dua orang pemuda ini.
Setelah beberapa hembusan asap rokok, akhirnya Akbar membuka cerita.
*Yang Akbar alami*
Tepat setelah kejadian poltergeist di pojok ruangan, Akbar kembali tertidur setelah beberapa saat. Namun rasanya baru saja tertidur, ada sesuatu yang menyentuh wajahnya. Seperti helaian rambut yang basah dan lengket.
Berkali-kali ia mencoba menyingkirkan, namun tetap saja kejadian yang sama terulang. Hingga ada sesuatu yang menetes di pucuk kepalanya, juga di dahi dekat rambut. Akbar mengerjap membuka mata, ia melihat wanita dengan leher yang meneteskan darah melayang terbalik tepat di atas wajahnya. Separuh tubuhnya menembus tembok.
Wajah wanita itu terlihat pucat dengan mulut tersenyum lebar, di bagian bibirnya terlihat noda merah. Sepertinya itu adalah gumpalan darah kering, sekitar matanya menghitam dengan pipi yang terlihat lebam.
Akbar langsung terkaget ketika itu, ia juga sempat memegang bagian dahinya yang terasa basah. Dilihatnya ada noda merah di jemarinya, tak banyak namun ia yakin dengan apa yang ia lihat. Seketika nyawa Akbar terkumpul dan langsung duduk sambil membaca doa.
Sementara itu di luar ruangan suara derit trolley di depan pintu juga tak henti-hentinya melintas. Seolah memang sengaja mondar-mandir untuk mengganggu istirahat mereka dan menambah kengerian. Sebenarnya suara itu juga sudah ia dengar ketika pertama kali mereka checkin dan memeriksa kamar. Namun sepertinya Kemal tak mendengar apa-apa.
Ketika ia bangun dan duduk sambil mengatur nafas, ia malah melihat Kemal diam mematung sambil menatap ke depan tanpa berkedip. Disitulah akhirnya mereka melihat sosok yang lain, sosok perempuan berjalan jinjit yang mondar-mandir di depan televisi sambil terkekeh lirih. Sementara sosok yang tadi berada di atasnya dan menembus tembok sudah menghilang, juga dengan noda darah di jemari dan di dahi nya.
…
Akbar menceritakan panjang lebar tentang apa saja yang sudah ia saksikan. Sementara Kemal hanya mengkonfirmasi sambil merokok sembari minum kopi. Hal ini menjadi cerita baru bagi teman-teman Akbar, karena di antara mereka tak pernah ada yang mengalami gangguan gaib secara langsung.
“Wes, ak turu disik brarti nang kene. Sampeyan turu kene ae, Mas. Angkringane ra tau tutup kok. Barang sampeyan dideleh nang njero ae,– Udah, aku tidur dlu brarti. Sampeyan (ikut) tidur di sini aja, Mas. Angkringannya gak pernah tutup kok. Barang sampeyan ditaruh di dalam aja.” ucap Akbar pada Kemal tepat setelah mengakhiri cerita.
Mereka lalu menyimpan barang di bagian dalam angkringan yang tertutup, menghabiskan hisapan rokok dan tegukan kopi terakhir.
“Cuk! Ngko ono opo meneh?! – Cuk! Nanti bakal ada apa lagi?!” gumaman lirih terdengar dari mulut Akbar hingga akhirnya tak ada lagi suara. Mereka tertidur.
Sementara hal yang lebih kuno dan lebih kuat sedang menunggu mereka.
namakuve dan 5 lainnya memberi reputasi
6
Kutip
Balas