- Beranda
- Stories from the Heart
Malam Jum'at Kliwon - KUNCEN
...
TS
piendutt
Malam Jum'at Kliwon - KUNCEN
Madiun, Jawa Timur menjadi saksi tentang kisah ini. Kisah yang dialami oleh seorang pemuda yang tinggal di Bade kecamatan Dagangan.
Malam Jum'at Kliwon - KUNCEN
Malam itu, Trisno ( nama samaran ) sedang bermain Play Station di rumah temannya, di wilayah pasar Pagotan. Kebiasaan anak-anak dari dulu sampai sekarang kalau sudah memegang remote yang bisa dipijat-pijat itu pastilah lupa waktu.
"No, udah jam sembilan, loh. Kamu nggak pulang? Nanti dicariin Bapak kamu." Andik memperingatkan sang teman yang masih sibuk bermain PS.
"Ah, lagi seru, nih. Satu jam lagi, ya!" tolak Trisno dan kembali fokus menatap layar.
Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat, saking asyiknya sampai melampaui waktu yang sudah dijanjikan. Trisno menatap jam yang tergantung di dinding, seketika matanya membulat. Ia pun terperanjat.
"Waduh, udah mau jam dua belas. Mampus aku, bisa diomelin habis-habisan ini nanti. Aku pulang dulu, ya." Pemuda itu langsung meletakkan remote di atas meja, lalu mencangklong tas miliknya.
Trisno langsung mengeluarkan kunci motor, kemudian berpamitan kepada sang teman. Kini, ia mengendarai motornya dan bergegas pulang. Memasuki area Mungkung, awalnya jalanan masih terang, ada beberapa orang yang juga berlalu-lalang menggunakan mobil maupun motor. Namun, saat memasuki kawasan Segulung. Lampu penerangan mulai berkurang dikarenakan desa tersebut di kelilingi hutan. Sedangkan untuk ke wilayah Bade masih harus melewati area hutan yang lebat itu.
Angin dingin mulai menerpa, menembus hingga ke permukaan kulit. Trisno merasa kedinginan, ia menaikkan resleting jaketnya agar hawa dingin yang merasuk berkurang. Mendadak, sekelebat bayangan putih melintas tepat di bawah roda motornya. Sontak saja membuatnya berhenti secara tiba-tiba.
"Astagfirullah!" Trisno melihat benda putih yang melintas di bawah motornya tadi masuk ke semak-semak. Mungkin saja itu kucing, pikirnya.
Ia pun kembali melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba mesin motor berhenti di tengah jalan.
"Ya Allah, kenapa lagi ini. Jangan sekarang dong mogoknya, nggak lihat posisi apa!" rintihnya memohon pada benda beroda dua itu, tetapi percuma. Sekalipun dimaki, motor itu hanya bergeming.
Buru-buru Trisno mengambil ponsel dan menyalakan senter dari sana, ia melihat spedometer bensin sudah di paling akhir. Ternyata, ia kehabisan bensin. Mau tidak mau, ia harus mendorong motornya sambil mencari rumah yang menjual bensin.
Sekuat tenaga ia mendorong motornya di jalan yang penuh tanjakan, sambil tetap merutuki nasibnya yang sial itu. Namun, pikirannya teralihkah oleh sesuatu. Ia merasakan motor yang dituntunnya menjadi terasa berat. Padahal tadi masih ringan. Trisno melihat sekeliling dan tidak ada apa-apa di sekitarnya. Aneh, perasaannya mulai berkecamuk. Ditambah hidungnya mencium bau anyir yang kian lama kian mendekat. Merinding, sudah tentu. Mau lari, sayang sama motornya. Trisno hanya bisa melantunkan doa-doa yang sering diajarkan sang ayah padanya.
Tiba-tiba dari kejauhan ada sinar lampu yang mendekat, Trisno seperti memiliki harapan akan ada orang yang mau membantunya. Lampu itu berasal dari motor milik seseorang. Ia pun melambaikan tangan dan meminta bantuan.
"Pak, Tolongin saya, ya. Motor saya kehabisan bensin, Pak!" seru Trisno saat melihat dua orang pria separuh baya.
Awalnya orang yang menaiki motor itu ingin membantu, tetapi mendadak tercengang. Bola mata mereka membulat seperti melihat sesuatu yang menyeramkan. Tanpa berkata-kata lagi, orang itu pergi mengencangkan tarikan motornya dan meninggalkan Trisno begitu saja.
“Loh, Pak. Tunggu! Kok, malah ditinggal, sih. Haduh!” serunya sambil meneriaki kedua orang yang sudah pergi meninggalkannya.
Trisno mengembuskan nafas kasar sambil mengernyitkan dahi, bingung dengan aksi barusan. Tak mau beralut-larut dalam pikiran yang aneh sekaligus bingung, ia pun melanjutkan mendorong motornya hingga tiba di depan sebuah rumah yang menjual bensin. Namun, sayangnya toko itu sudah tutup. Nekat, Trisno pun memberanikan diri untuk mengetuk pintu agar sang penghuni rumah itu terbangun.
"Assalamu'alaikum, Pak, Bu. Saya mau beli bensin." Meski ia tahu perbuatannya salah, tetapi mau bagaimana pun ia harus mendapatkan bensin dan segera pulang. Ia lebih takut dimarahi ayahnya ketimbang siapa pun.
Dari dalam rumah, seorang wanita yang tengah terjaga samar-samar mendengar ketukan pintu.
"Pak, bangun! Kayaknya ibu dengar ada yang ngetuk pintu rumah kita, Pak."
"Hoooaamm, siapa to Bu. Malam-malam juga."
"Nggak tahu, Bapak lihat saja."
Pria bernama Wahid itu turun dari kasur dan membuka pintu rumahnya.
"Ada perlu apa, ya." Bingung, karena melihat seorang pemuda sudah berdiri di depan pintu rumah.
"Maaf, karena mengganggu malam-malam, Pak. Motor saya kehabisan bensin. Saya melihat Bapak jualan, jadi saya memberanikan diri untuk mampir. Saya harus segera pulang, Pak. Orang tua saya pasti khawatir karena ini sudah larut malam. Mohon bantuannya, Pak," terang Trisno pada sang pemilik rumah sambil menunjuk ke arah motornya.
Wahid menatap motor milik Trisno dari kejauhan. Penglihatannya yang tadi masih samar-samar karena rasa kantuk pun langsung menghilang begitu saja saat menatap motor yang terparkir di samping rumahnya. "Astagfirullah, ya Allah. Kamu tadi dari mana, Nak?"
"Eh, kenapa Pak? Saya dari rumah teman, ini mau pulang ke Bade."
Wahid menepuk bahu Trisno kemudian menggiringnya ke motor. Mulanya Wahid ingin mengisi bensin, tetapi saat dicek masih penuh. Ia akhirnya tahu bukan bensin yang menyebabkan motor itu mogok. Ia pun mendekati Trisno sambil berbicara lirih.
"Nak, motormu mogok bukan karena bensin. Bapak sudah cek, ini masih penuh, kok."
"Loh, iyakah." Trisno melongok ke arah tangki bensin, benar-benar masih terisi.
'Lalu, kalau bukan karena kehabisan bensin. Kenapa motorku bisa mogok, ya,' gumamnya dalam hati sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Wahid menepuk bahu pemuda yang tampak kebingungan itu. "Saat sampai di rumah nanti, tolong jangan langsung masuk rumah dulu, ya. Suruh orang tuamu mengambil seember air untuk disiramkan ke tubuh kamu dan juga motor yang kamu naiki ini. Paham tidak, Nak?"
Belum sempat Trisno menanggapi ucapan pria yang berada di hadapannya itu, Wahid pun melanjutkan berbicara.
"Lain kali, jangan pulang terlalu malam. Apalagi malam Jum’at, sebaiknya berada di rumah saja biar tidak diikuti oleh makhluk ini."
Bagai disambar petir, tubuh Trisno bergetar hebat. Ia mulai paham ke mana arah perbincangan mereka. Tidak ingin menunggu terlalu lama, pemuda itu segera berpamitan untuk pulang. Motor yang tadinya mogok sudah bisa menyala karena dibantu oleh Wahid. Namun, pria itu tidak bisa mengusir makhluk yang sudah mengikuti Trisno sejak memasuki kawasan hutan.
Keringat deras bercucuran, dada terasa diimpit benda keras. Bulu kuduk ikut meremang mengiringi perjalanan. Trisno merasa sesak nafas, ia terus melaju tanpa menengok ke belakang. Di pikirannya sekarang adalah ingin cepat pulang dan bertemu dengan kedua orang tuanya.
Tepat pukul dua belas lebih dua puluh lima menit, ia sampai di pekarangan rumahnya. Sang Ayah sudah siap membawa rotan di tangan. Sudah hafal betul cara menghukum anak bandelnya itu. Namun, saat melihat Trisno membawa sesosok yang mengerikan di jok motornya, buru-buru pria itu masuk ke dalam rumah lagi untuk mengambil sesuatu.
"Buk, Pak! Ambilin airrrrr ... Buk. Cepetan ambilin air!" rengeknya di depan rumah.
"Astagfirullah, No. Kenapa jam segini baru pulang," sahut ibunya dari dalam rumah.
"Buk, ambilin air sekarang. Nanti aja ceritanya." Trisno terisak-isak sambil terus minta diambilkan air.
Byuuurrr! Air pun telah membasahi tubuhnya, merasa lega karena sudah disiram air, ia pun terduduk lemas dan menangis seperti anak kecil. Ibunya hanya menatap dengan keheranan.
Setelah menyiram tubuh sang anak, Budi sang ayah juga mengguyur motor milik Trisno menggunakan air tersebut. Setelah memejamkan mata dan membaca beberapa doa, barulah makhluk yang mengerikan itu lenyap.
"Bapakkkkkk, Ibuuuu ... Huhuhu." Trisno masih merengek karena ketakutan.
Budi langsung menutup kepala sang anak menggunakan ember, kesal karena tidak pernah mendengarkan nasihat darinya.
"Ayo, Buk. Kita masuk rumah, saja! Biarkan si Trisno di bawa wewe gombel, dasar bandel!"
"Huaaaa Bapak, tega ... Ikuttttt." Trisno buru-buru mengekori kedua orang tuanya untuk masuk ke rumah.
Sejak saat itu, Trisno tidak pernah pulang tengah malam lagi. Biasanya sehabis Magrib ia sudah berada di rumah. Setiap malam Jum’at ia juga memilih berada di rumah daripada keluyuran yang tidak jelas. Pemuda itu tidak ingin mengalami kejadian yang mengerikan seperti itu lagi untuk kedua kalinya.
Tamat.
Ditulis oleh : @piendutt
Sumber : opini pribadi dan narasumber sekitar
Malam Jum'at Kliwon - KUNCEN
Malam itu, Trisno ( nama samaran ) sedang bermain Play Station di rumah temannya, di wilayah pasar Pagotan. Kebiasaan anak-anak dari dulu sampai sekarang kalau sudah memegang remote yang bisa dipijat-pijat itu pastilah lupa waktu.
"No, udah jam sembilan, loh. Kamu nggak pulang? Nanti dicariin Bapak kamu." Andik memperingatkan sang teman yang masih sibuk bermain PS.
"Ah, lagi seru, nih. Satu jam lagi, ya!" tolak Trisno dan kembali fokus menatap layar.
Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat, saking asyiknya sampai melampaui waktu yang sudah dijanjikan. Trisno menatap jam yang tergantung di dinding, seketika matanya membulat. Ia pun terperanjat.
"Waduh, udah mau jam dua belas. Mampus aku, bisa diomelin habis-habisan ini nanti. Aku pulang dulu, ya." Pemuda itu langsung meletakkan remote di atas meja, lalu mencangklong tas miliknya.
Trisno langsung mengeluarkan kunci motor, kemudian berpamitan kepada sang teman. Kini, ia mengendarai motornya dan bergegas pulang. Memasuki area Mungkung, awalnya jalanan masih terang, ada beberapa orang yang juga berlalu-lalang menggunakan mobil maupun motor. Namun, saat memasuki kawasan Segulung. Lampu penerangan mulai berkurang dikarenakan desa tersebut di kelilingi hutan. Sedangkan untuk ke wilayah Bade masih harus melewati area hutan yang lebat itu.
Angin dingin mulai menerpa, menembus hingga ke permukaan kulit. Trisno merasa kedinginan, ia menaikkan resleting jaketnya agar hawa dingin yang merasuk berkurang. Mendadak, sekelebat bayangan putih melintas tepat di bawah roda motornya. Sontak saja membuatnya berhenti secara tiba-tiba.
"Astagfirullah!" Trisno melihat benda putih yang melintas di bawah motornya tadi masuk ke semak-semak. Mungkin saja itu kucing, pikirnya.
Ia pun kembali melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba mesin motor berhenti di tengah jalan.
"Ya Allah, kenapa lagi ini. Jangan sekarang dong mogoknya, nggak lihat posisi apa!" rintihnya memohon pada benda beroda dua itu, tetapi percuma. Sekalipun dimaki, motor itu hanya bergeming.
Buru-buru Trisno mengambil ponsel dan menyalakan senter dari sana, ia melihat spedometer bensin sudah di paling akhir. Ternyata, ia kehabisan bensin. Mau tidak mau, ia harus mendorong motornya sambil mencari rumah yang menjual bensin.
Sekuat tenaga ia mendorong motornya di jalan yang penuh tanjakan, sambil tetap merutuki nasibnya yang sial itu. Namun, pikirannya teralihkah oleh sesuatu. Ia merasakan motor yang dituntunnya menjadi terasa berat. Padahal tadi masih ringan. Trisno melihat sekeliling dan tidak ada apa-apa di sekitarnya. Aneh, perasaannya mulai berkecamuk. Ditambah hidungnya mencium bau anyir yang kian lama kian mendekat. Merinding, sudah tentu. Mau lari, sayang sama motornya. Trisno hanya bisa melantunkan doa-doa yang sering diajarkan sang ayah padanya.
Tiba-tiba dari kejauhan ada sinar lampu yang mendekat, Trisno seperti memiliki harapan akan ada orang yang mau membantunya. Lampu itu berasal dari motor milik seseorang. Ia pun melambaikan tangan dan meminta bantuan.
"Pak, Tolongin saya, ya. Motor saya kehabisan bensin, Pak!" seru Trisno saat melihat dua orang pria separuh baya.
Awalnya orang yang menaiki motor itu ingin membantu, tetapi mendadak tercengang. Bola mata mereka membulat seperti melihat sesuatu yang menyeramkan. Tanpa berkata-kata lagi, orang itu pergi mengencangkan tarikan motornya dan meninggalkan Trisno begitu saja.
“Loh, Pak. Tunggu! Kok, malah ditinggal, sih. Haduh!” serunya sambil meneriaki kedua orang yang sudah pergi meninggalkannya.
Trisno mengembuskan nafas kasar sambil mengernyitkan dahi, bingung dengan aksi barusan. Tak mau beralut-larut dalam pikiran yang aneh sekaligus bingung, ia pun melanjutkan mendorong motornya hingga tiba di depan sebuah rumah yang menjual bensin. Namun, sayangnya toko itu sudah tutup. Nekat, Trisno pun memberanikan diri untuk mengetuk pintu agar sang penghuni rumah itu terbangun.
"Assalamu'alaikum, Pak, Bu. Saya mau beli bensin." Meski ia tahu perbuatannya salah, tetapi mau bagaimana pun ia harus mendapatkan bensin dan segera pulang. Ia lebih takut dimarahi ayahnya ketimbang siapa pun.
Dari dalam rumah, seorang wanita yang tengah terjaga samar-samar mendengar ketukan pintu.
"Pak, bangun! Kayaknya ibu dengar ada yang ngetuk pintu rumah kita, Pak."
"Hoooaamm, siapa to Bu. Malam-malam juga."
"Nggak tahu, Bapak lihat saja."
Pria bernama Wahid itu turun dari kasur dan membuka pintu rumahnya.
"Ada perlu apa, ya." Bingung, karena melihat seorang pemuda sudah berdiri di depan pintu rumah.
"Maaf, karena mengganggu malam-malam, Pak. Motor saya kehabisan bensin. Saya melihat Bapak jualan, jadi saya memberanikan diri untuk mampir. Saya harus segera pulang, Pak. Orang tua saya pasti khawatir karena ini sudah larut malam. Mohon bantuannya, Pak," terang Trisno pada sang pemilik rumah sambil menunjuk ke arah motornya.
Wahid menatap motor milik Trisno dari kejauhan. Penglihatannya yang tadi masih samar-samar karena rasa kantuk pun langsung menghilang begitu saja saat menatap motor yang terparkir di samping rumahnya. "Astagfirullah, ya Allah. Kamu tadi dari mana, Nak?"
"Eh, kenapa Pak? Saya dari rumah teman, ini mau pulang ke Bade."
Wahid menepuk bahu Trisno kemudian menggiringnya ke motor. Mulanya Wahid ingin mengisi bensin, tetapi saat dicek masih penuh. Ia akhirnya tahu bukan bensin yang menyebabkan motor itu mogok. Ia pun mendekati Trisno sambil berbicara lirih.
"Nak, motormu mogok bukan karena bensin. Bapak sudah cek, ini masih penuh, kok."
"Loh, iyakah." Trisno melongok ke arah tangki bensin, benar-benar masih terisi.
'Lalu, kalau bukan karena kehabisan bensin. Kenapa motorku bisa mogok, ya,' gumamnya dalam hati sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Wahid menepuk bahu pemuda yang tampak kebingungan itu. "Saat sampai di rumah nanti, tolong jangan langsung masuk rumah dulu, ya. Suruh orang tuamu mengambil seember air untuk disiramkan ke tubuh kamu dan juga motor yang kamu naiki ini. Paham tidak, Nak?"
Belum sempat Trisno menanggapi ucapan pria yang berada di hadapannya itu, Wahid pun melanjutkan berbicara.
"Lain kali, jangan pulang terlalu malam. Apalagi malam Jum’at, sebaiknya berada di rumah saja biar tidak diikuti oleh makhluk ini."
Bagai disambar petir, tubuh Trisno bergetar hebat. Ia mulai paham ke mana arah perbincangan mereka. Tidak ingin menunggu terlalu lama, pemuda itu segera berpamitan untuk pulang. Motor yang tadinya mogok sudah bisa menyala karena dibantu oleh Wahid. Namun, pria itu tidak bisa mengusir makhluk yang sudah mengikuti Trisno sejak memasuki kawasan hutan.
Keringat deras bercucuran, dada terasa diimpit benda keras. Bulu kuduk ikut meremang mengiringi perjalanan. Trisno merasa sesak nafas, ia terus melaju tanpa menengok ke belakang. Di pikirannya sekarang adalah ingin cepat pulang dan bertemu dengan kedua orang tuanya.
Tepat pukul dua belas lebih dua puluh lima menit, ia sampai di pekarangan rumahnya. Sang Ayah sudah siap membawa rotan di tangan. Sudah hafal betul cara menghukum anak bandelnya itu. Namun, saat melihat Trisno membawa sesosok yang mengerikan di jok motornya, buru-buru pria itu masuk ke dalam rumah lagi untuk mengambil sesuatu.
"Buk, Pak! Ambilin airrrrr ... Buk. Cepetan ambilin air!" rengeknya di depan rumah.
"Astagfirullah, No. Kenapa jam segini baru pulang," sahut ibunya dari dalam rumah.
"Buk, ambilin air sekarang. Nanti aja ceritanya." Trisno terisak-isak sambil terus minta diambilkan air.
Byuuurrr! Air pun telah membasahi tubuhnya, merasa lega karena sudah disiram air, ia pun terduduk lemas dan menangis seperti anak kecil. Ibunya hanya menatap dengan keheranan.
Setelah menyiram tubuh sang anak, Budi sang ayah juga mengguyur motor milik Trisno menggunakan air tersebut. Setelah memejamkan mata dan membaca beberapa doa, barulah makhluk yang mengerikan itu lenyap.
"Bapakkkkkk, Ibuuuu ... Huhuhu." Trisno masih merengek karena ketakutan.
Budi langsung menutup kepala sang anak menggunakan ember, kesal karena tidak pernah mendengarkan nasihat darinya.
"Ayo, Buk. Kita masuk rumah, saja! Biarkan si Trisno di bawa wewe gombel, dasar bandel!"
"Huaaaa Bapak, tega ... Ikuttttt." Trisno buru-buru mengekori kedua orang tuanya untuk masuk ke rumah.
Sejak saat itu, Trisno tidak pernah pulang tengah malam lagi. Biasanya sehabis Magrib ia sudah berada di rumah. Setiap malam Jum’at ia juga memilih berada di rumah daripada keluyuran yang tidak jelas. Pemuda itu tidak ingin mengalami kejadian yang mengerikan seperti itu lagi untuk kedua kalinya.
Tamat.
Ditulis oleh : @piendutt
Sumber : opini pribadi dan narasumber sekitar
Araka dan 8 lainnya memberi reputasi
9
919
20
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.2KThread•46.4KAnggota
Tampilkan semua post
cinkbee
#3
Waduh di ikutin dhemit...
piendutt memberi reputasi
1
Tutup