agilrsapoetraAvatar border
TS
agilrsapoetra
BEDHONG MAYIT (PART 1)


Pengantar.

‘Bedhong Mayit’, di beberapa daerah khususnya Jawa Tengah, secara umum ‘Bedhong Mayit’, adalah istilah untuk menyebut lapisan kain kafan paling pertama, yang diperuntukkan sebagai pembungkus tubuh jenazah sebelum di Pocong atau dikafani seluruhnya.

Tapi di dalam ilmu jawa kuno yang tentunya tidak elok dan sangat terlarang, ‘Bedhong Mayit’ ini juga diyakini mempunyai tuah hampir mirip seperti ‘Tali Pocong’ bahkan tingkatannya terbilang sangat jauh di atasnya, namun karena mungkin cara mendapatkannya juga sangat tidaklah mudah dan resikonya yang tak main-main, semua ilmu yang berkesinambungan dengan ‘Bedhong Mayit’ ini pun, seiring berjalannya waktu, perlahan-lahan mulai dilupakan dan sudah sangat jarang sekali orang yang mau menekuninya.

‘Namun’, ternyata ada satu manusia, dan mungkin saja ia adalah satu-satunya orang di tanah jawa ini, yang masih menyimpan dan merawat ilmu terlarang bernama ‘Bedhong Mayit’ itu.



“BEDHONG MAYIT”. Part 1. (Pembuka)

Di suatu sore di Desa Turi, Jawa tengah kisaran tahun 1974-1975.

Seorang pemuda tampak berlari tergopoh-gopoh, sembari mengabarkan sesuatu kepada setiap orang-orang yang ia temui di sepanjang jalan.

Pemuda itu adalah Darwis, cucu dari salah satu sesepuh desa, yang saat itu tengah mengabarkan kepada orang-orang bahwa kakeknya sudah meninggal.

“Tulung... Tulung!! Mbah Kakung ‘Seda’ (meninggal)”. Ucapnya dengan mimik kata yang menahan tangis.

Jelasnya yang Darwis wartakan saat itu adalah ‘Mbah Gajul’, kakeknya sekaligus sesepuh dan Ahli ‘Suwuk’ (Penyembuh) yang cukup dituakan di desa Turi ini.
Tapi Beda dengan Darwis sang cucu, para warga justru tampak tak terlalu terkejut dengan warta kematian itu, karena memang kurang lebih sudah 3 tahun terakhir ini, Mbah Gajul sakit dan tidak bisa apa-apa.

Kentungan penanda adanya lelayu segera di bunyikan, di lanjut dengan warga yang bergerak kondusif, menuju rumah Mbah Gajul, untuk mempersiapkan semua hal-hal yang harus dilakukan, maklum saja, mendiang memang hanya tinggal berdua dengan cucunya dan selama ini di rawat oleh sang cucu Darwis, sementara anak satu-satunya (Ayah Darwis) sudah mapan di luar kota.

Singkat cerita, jenazah Mbah Gajul pun sudah dimandikan serta dikafani, dan kini telah berada terbujur beralas tikar. Terlihat Darwis yang sudah bersimpuh di depan tubuh kakeknya itu, bersamaan dengan para pelayat yang silih berganti melihat tubuh Mbah Gajul sebelum di bawa ke makam.

“Nang, apakah Bapakmu sudah diberitahu?”. Tanya Mbah Jayus salah satu sesepuh juga di desa Turi ini.

“’Sampun’ (Sudah) Mbah, tadi Pak Carik yang pergi ke kantor pos, untuk mengirim telegram ke Bapak”. Tanggap Darwis seraya mengusap air matanya.

“Sing sabar ya le.., menurut Gusti, ini sudah yang terbaik, lagi pula, Kasihan simbahmu ini kalau sakit-sakitan terus”. Kata Mbah Jayus kepada Darwis saat itu.

“Njih Mbah, kalau saya sih sangat ikhlas, karena saya sebenarnya juga ndak tega melihat Mbah Kakung sakit-sakitan”. Tanggap Darwis yang setelah itu tiba-tiba teringat tengang wasiat kakeknya sebelum meninggal, yang hingga detik ini sama sekali tak ia pahami.

“O nggih Mbah, saya jadi ingat, sejak Mbah Kakung mulai sakit, kurang lebih sudah tiga kali beliau ini mengatakan kepada saya, perihal ‘Kain Rombeng’ yang suatu saat harus dan wajib di kuburkan bersamanya kalau Mbah Kakung ini wafat”. Ungkap Darwis yang langsung membuat dahi Mbah Jayus mengrenyit.

“Hah.. ‘Kain Rombeng’?”. Kata Mbah Jayus yang tampak berpikir sejenak dan tak lama kemudian langsung menemukan jawabannya.

“Owalah ‘Kelingan aku’ (Saya ingat), saya kira selama ini benda itu sudah dilarung, Yawes ayo kita cari, apakah Mbahmu juga mengatakan dimana dia menyimpan barang itu?”. Kata Mbah Jayus yang awalnya membuat Darwis semakin bingung.

“Apa sih itu Mbah?”. Tanya Darwis yang tak lama kemudian dijawab oleh Mbah Jayus sembari mengajaknya bangkit untuk mencari barang itu dimulai dari kamar Mbah Gajul.

“Wes.. Ayo ‘Menyat’ (Berdiri), kita cari dulu barang itu”. Kata Mbah Jayus yang mengajak Darwis agar segera mencari ‘Kain Rombeng’ itu.

Hingga sesampainya di dalam kamar, barulah Mbah Jayus mengatakan bahwa ‘Kain Rombeng’ yang menjadi wasiat dari Mbah Gajul itu, adalah kain ‘Bedhong Mayit’.

“Itu Bedhong Mayit nang, warisan turun-temurun dari simbah buyutmu”. Jelas Mbah Jayus di dalam kamar mendiang Mbah Gajul, yang seketika membuat tengkuk Darwis sedikit bergidik.

“Waduh apa itu Mbah?”. Tanya Darwis setelah itu.

“Wes..wes saya jelaskan nanti saja, sekarang yang paling penting, kita harus segera menemukan itu”. Tanggao Mbah Jayus, yang setelah itu langsung memulai pencarian di setiap bagian.

“Payah itu, kalau sampai ndak ketemu, soalnya itu adalah wasiat terakhir, ‘Ora ilok’ (pamali) kalau kita tidak menurutinya, pasti ada maksud tertentu sampai-sampai simbahmu mewasiatkannya”. Ucap Mbah Jayus sembari terus mencari benda itu bersama Darwis.

Sepertinya mereka telah mencari di semua sudut dan setiap jengkalnya kamar Mbah Gajul itu, dari kolong ranjang, bawah bantal, sampai di sela lipatan baju-baju yang berada di lemari, tapi mereka tak juga menemukan benda yang dimaksud. Hingga akhirnya mereka pun keluar sembari berpikir untuk mencarinya di tempat lain.
Wajah Mbah Jayus terlihat memerah, ada rasa takut yang coba untuk ia tutup-tutupi kala itu, entah apa alasannya, yang jelas Mbah Jayus kembali berkali-kali mengulang perkataannya bahwa ‘Kain Rombeng’ yang menurutnya adalah ‘Bedhong Mayit’ itu, harus segera mereka temukan.

“Tenang Mbah, habis ini kita cari di ruangan lain”. Kata Paimin yang mulai merasa aneh dengan gelagat Mbah Jayus.

Mungkin bagi Darwis yang masih muda, wasiat kakeknya itu bukanlah hal yang terlalu penting, “Lagi pula itu kan hanya kain rombeng, apa pentingnya sih? Kecuali kalau wasiat harta atau warisan, baru itu harus disampaikan”. Batin Darwis saat itu.

Hingga sore pun berganti malam, liang lahat memang sudah siap beberapa jam lalu, tapi hingga malam ini, jenazah Mbah Gajul belum dikebumikan, itu semua atas saran dari orang-orang yang memilih untuk menunggu Pak Dirja anak Mbah Gajul sekaligus ayah Darwis itu, menerima telegram dari Pak Carik tentang warta meninggalnya Mbah Gajul ini, karena rasa-rasanya, akan lebih elok jika anaknya satu-satunya itu menyaksikan sendiri jenazah ayahnya masuk ke dalam pusara.
Tampak warga yang berkumpul di bawah tenda sederhana, yang berdiri di depan Rumah Mbah Gajul, terlihat juga di sana, Darwis yang tengah mengobrol dengan para pemuda sebayanya, tak terlihat lagi raut kesedihan di wajahnya, karena mungkin sedang teralih oleh canda-canda dari temannya itu.

Malam itu, Mbah Jayus kembali datang dan langsung kembali menemui Darwis, ia bertanya lagi kepada cucu Mbah Gajul itu, apakah ‘Kain Rombeng’ yang tadi sempat mereka cari itu sudah diketemukan atau belum.

“’Dereng’ (Belum) Mbah.. Besok saja, Bapak yang nyari, sepertinya dia lebih tahu perihal itu..”. Jawab Darwis yang sebenarnya tak terlalu peduli dengan wasiat dari Kakeknya itu.

Mendengar jawaban dari Darwis, Mbah Jayus pun berlalu sembari berpesan agar Darwis atau Bapaknya itu besok benar-benar mencari benda itu sampai ketemu.

Tapi, baru saja Mbah Jayus beranjak dan duduk bersama orang tua sebayanya di sudut lain tenda itu, tampak dua orang kakek-kakek menghampiri Darwis lagi, ia adalah Mbah Roso dan Mbah Mangun, salah dua dari sesepuh di desa Turi ini, yang mana beliau-beliau ini menanyakan hal yang kurang lebih sama seperti yang tadi ditanyakan oleh Mbah Jayus.

Darwis pun menjawab sembari menghela nafasnya, dengan mengulang jawaban yang tadi ia ucapkan kepada Mbah Jayus, bahwa Ayahnya lah yang besok akan mencari ‘Bedhong Mayit’ atau ‘Kain Rombeng’ itu.

Dalam ke-tidak-paham-an-nya, Darwis tentu merasa jengkel karena teman-teman kakeknya itu malah lebih serius mengurusi hal yang tak rasional itu dari pada menghargai perasaannya yang tengah berduka itu.

“Apaan sih, pasti Mbah Jayus yang memberi tahu mereka, lagian kenapa juga tadi saya malah memberitahu tentang wasiat dari Mbah Kakung itu..”. Batin Darwis yang agaknya malah menyesal karena telah membicarakan wasiat itu.

Sejatinya, manusia yang paling sedih atas wafatnya Mbah Gajul adalah Darwis itu sendiri, alasannya karena memang sejak ibunya meninggal dan ayahnya memilih kerja di luar kota, dari usia 8 tahun, mendiang Mbah Gajul dan mendiang ‘Mbah Runi’ (istrinya) lah yang merawatnya.

Tak ditampik Juga oleh Darwis bahwa saat ini ia benar-benar merasa sedih dan kehilangan, tapi entah mengapa, khusus dalam konteks ‘nir-logika’ ini, Darwis merasa kalau itu bukanlah hal yang harus diseriusi. Mungkin memang Sulit, memasukkan sebuah ke-tidak-masuk-akal-lan untuk menjangkau pikiran seorang seperti Darwis, yang waktu itu baru menginjak usia yang ke-23thn.

Singkat cerita hari berikutnya, kala itu, sekira pukul 10.00 pagi, Pak Dirja ayah Darwis itu pun tiba, menandakan bahwa telegram kiriman dari Pak Carik, benar-benar telah sampai kepada anak Mbah Gajul itu.

Selayaknya orang yang kehilangan, tangisan Pak Dirja pun pecah seketika, ia berjalan tertatih-tatih merangsek bergumul di antara para pelayat dan langsung dihampiri oleh Darwis yang matanya juga sudah mulai berair.

Darwis pun memapah Pak Dirja ayahnya yang baru tiba itu, ia melangkah masuk dan langsung memperlihatkan jenazah Mbah Gajul, hingga tangisan pun semakin pecah, oleh Pak Dirja begitu pula dengan Darwis. Kini, di depan Jenazah, Ayah dan anak itu pun menangis bersama.

Hingga setelah beberapa detik dan menit berlalu, Pak Dirja yang sudah agak bisa menata nafasnya pun berkata kepada Darwis, agar jenazah Mbah Gajul segera dimakamkan.

“Min, panggilkan ‘Pak Kaum’ (Pak ustad), kita bawa Mbah Kakung ke makam sekarang”. Pinta Pak Dirja kepada Darwis.

Darwis pun keluar, menghampiri Pak Kaum yang kebetulan juga tengah duduk di antara para pelayat itu, perihal perintah dari ayahnya yang ingin jenazah kakeknya itu segera diberangkatkan.

Hingga singkatnya, di depan rumah, sekira mungkin 30 sampai 40 menit kemudian, Jenazah Mbah Gajul pun sudah berada di dalam keranda, bertutup dengan ‘ambyang-ambyang’ lengkap juga dengan rangkaian bunga mawar dan pandan yang ‘tersampir’ menyelempang di atasnya.
Tampak kini Pak Lurah memberikan sepatah dua patah kata berlanjut dengan Pak Kaum yang mulai memanjatkan doa pengantar, sebelum membawa jenazah Mbah Gajul ke makam setempat.

Suasana doa saat itu cukup hikmat, semua orang menunduk, menengadahkan tangannya, tapi tidak dengan Darwis, yang kini justru tampak gelisah, menoleh kesana kemari seperti tengah mencari seseorang.
Benar!! Lagi-lagi entah mengapa, di antara doa pengantar yang sedang dibacakan oleh Pak Kaum itu, tiba-tiba saja Darwis kepikiran akan wasiat kakeknya, dengan gelisah ia kini terlihat menerawangi setiap wajah para pelayat, berharap ada Mbah Jayus, Mbah Roso atau pun Mbah Mangun disitu. Tapi nihil, karena ia pun segera sadar bahwa teman-teman kakeknya itu memang tidak ada.

Darwis yang semakin gelisah, kini terlihat menoleh ke arah Ayahnya, saat itu ia mulai berpikir untuk menyampaikan wasiat mendiang kakeknya itu, akan tetapi situasinya tak mendukung, yang mana keadaan saat itu, mulai membuatnya merasa sulit untuk merangkai kata-kata, hingga waktu pun akhirnya terbuang bersamaan dengan doa dari Pak Kaum yang sudah selesai di panjatkan.

Jenazah Mbah Gajul pun mulai diberangkatkan menuju makam, dalam iring-iringan, wasiat itu seperti semakin mengganggu pikiran Darwis, sekali lagi ia menoleh dan mencari keberadaan teman-teman kakeknya, sampai akhirnya Darwis pun mencoba untuk bertanya kepada para warga, hingga setelah beberapa kali menanyakan kepada orang-orang yang berbeda, ia pun akhirnya mendapatkan jawaban, yang pada intinya mengatakan bahwa mereka semua, yaitu Mbah Jayus, Mbah Roso atau pun Mbah Mangun, tiba-tiba sakit.

Darwis pun pasrah dalam situasi itu, dan mencoba untuk kembali berpikir logis, hingga singkatnya setelah melalui semua prosesi, jenazah Mbah Gajul pun akhirnya di makamkan tak sesuai seperti yang telah diwasiatkan.

Sore pun berganti malam, doa tahlil baru saja selesai di laksanakan oleh para warga, tampak kini Darwis duduk bersama dengan teman sebayanya, dengan perasaan bersalah yang kini mulai membayanginya.

“Apa ndak papa ya?”. Batin Darwis saat itu bersamaan dengan tepukan pundak dari Ayahnya yang menyuruh dirinya untuk membelikan sebungkus rokok.

“Bapak belikan rokok sana le.. Satu ‘Slop’ sekalian, buat melekan orang-orang”. Pinta Pak Dirja kepada anaknya Darwis.

Darwis berjalan menuju warung, dengan perasaan bersalah yang kian berputar-putar di otaknya. “Ah biarkan saja”. Batinnya sembari terus melangkah.

Sebetulnya rasa bersalahnya itu bukanlah tentang akibat yang akan timbul, toh ia juga tidak terlalu percaya dengan hal-hal klenik semacam ini, tapi yang sebenarnya menjadi beban pikirannya saat ini adalah, betapa kurang ajarnya dia, tidak mau memenuhi wasiat kakeknya yang menurutnya bukanlah hal yang terlalu sulit untuk dilakukan, tapi mau bagaimana lagi, semuanya sudah terlanjur.

Hingga kejadian aneh pun terjadi, yang mana ini mungkin adalah awal yang diakibatkan oleh setitik kesalahannya itu.
Saat itu, Darwis yang baru saja sampai setelah membeli rokok, seketika dibuat terheran-heran, dahinya mengrenyit melihat tenda depan rumahnya yang semula ramai, kini tampak sepi, dengan meja dan kursi-kursi yang terlihat sedikit kacau.

“Pak!!! Bapak!!”. Panggilnya seraya berjalan meragu.

Ia pun melangkah masuk ke dalam rumah, menoleh kesana dan kemari sembari terus memanggil-manggil ayahnya itu.

“Apa-apaan ini”. Batinnya yang semakin keheranan.

Namun tak lama setelah itu, ia pun seketika merasa lega, saat samar-samar ia mendengar suara keramaian dari arah belakang rumahnya.

“Lagi pada ngapain disana?”. Ucapnya sembari beranjak menghampiri sumber dari suara itu.

Suaranya jelas dari belakang rumah, bahkan sesampainya ia di ruangan paling belakan, yaitu di ambang pintu dapur, Darwis 1000% sangat yakin bahwa suara orang ramai itu masih benar-benar ia dengar.

Tapi semua berubah senyap, ketika ia membuka pintu belakang itu, karena suara yang semula ia dengar ramai itu, sekarang tiba-tiba lenyap seketika, dan berubah menjadi keheningan.

Darwis melangkah keluar dari pintu untuk memastikan, yang mana kenyataannya, keadaan belakang rumahnya itu memang benar-benar sepi dan hening. “Apa saya salah dengar ya?”. Batin Darwis seraya berbalik dan hendak kembali masuk, akan tetapi, belum sampai ia melangkahkan kakinya, tiba-tiba, dengan samar, ia seperti mendengar suara seorang wanita yang sedang bersenandung.

Menyadari itu, Darwis sempat menghentikan langkahnya, ia pun hendak berbalik dengan maksud untuk memastikan suara nyanyian itu.
Tapi belum sempat ia membalikkan tubuhnya, tiba-tiba, nyanyian itu berhenti bersamaan dengan suara wanita yang berkata sembari menepuk satu pundaknya.

“AKU IKI ONO LHO!!!”.

(AKU INI ADA LHO!!). Ucap suara dari seorang wanita sembari menepuk pundak Darwis.

Darwis terkejut bukan main, tapi entah apa yang ada di pikirannya saat itu, cucu Mbah Gajul itu, justru malah membalikkan badannya. Hingga terlihatlah kini tepat beberapa jengkal di depan matanya, sosok yang baru saja berbicara dan menepuk bahunya itu. Sosok itu berupa wujud tubuh yang seluruhnya ditutupi oleh kain lusuh.



Darwis sempat bertahan beberapa detik dalam keadaan itu, hingga akhirnya ia pun berlari keluar, dan kembali bingung setelah melihat keadaan depan rumahnya yang ternyata masih ramai dengan orang-orang.

“Mana rokoknya!! Di panggil-panggil kok malah nylonong masuk aja..”. Kata Ayah Darwis yang seketika membuyarkan kebingungan itu.

Bersambung ke Part 2

Link Part 2 : https://www.kaskus.co.id/show_post/6...eebe12e03f2cf4
Diubah oleh agilrsapoetra 16-09-2023 10:34
wahab37
ddspeed52871
sarahfetter9012
sarahfetter9012 dan 32 lainnya memberi reputasi
31
11.8K
53
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.1KAnggota
Tampilkan semua post
agilrsapoetraAvatar border
TS
agilrsapoetra
#3
BEDHONG MAYIT (Part 4 - Tamat)


“Bedhong Mayit”. Part 4. (Akhir)

Masih di malam yang sama..

Di rumah Mbah Mangun, tampak wajahnya yang resah gelisah, berulang kali ia juga terlihat keluar masuk dari rumahnya, yang mana itu Mbah Mangun lakukan untuk melihat keadaan sekitar Gapura Desa Turi yang kebetulan cukup terlihat jelas dari teras rumahnya.

“Sudah Pak.. Njenengan itu tidur saja, sudah malam lho ini.. Malah wara-wiri ndak jelas”. Kata Mbah Sulami (istri Mbah Mangun) ketika melihat Mbah Mangun yang kembali masuk lagi kerumahnya.

“Bentar Bune, Cuma mau memastikan saja, apakah ‘mereka’ benar-benar bisa tertahan”. Jawab Mbah Mangun.

“Halah, Demit kok ditunggui, ini sudah jam 12 lebih lho”. Tanggap Mbah Sulami dengan kesal, namun ia tetap saja kembali duduk diruang tamu itu dan tidak mau meninggalkan suaminya gelisah sendirian.

“Sudah bune, kalau sampean ngantuk, tidur saja dulu”. Sambut Mbah Mangun.

“Hah.. Emoh ah, sampean ini apa ndak ngerti kalau saya ini takut!!”. Kata Mbah Sulami dan segera ditanggapi oleh Mbah Mangun dengan isyarat jarinya.

“Ssssst!!!, sek bune, dengar ndak?”. Kata Mbah Mangun.

“Denger opo sih Pak!!, mbok jangan nakut-nakuti to!!”. Kata Mbah Sulami yang terperanjat bangkit dan langsung memegang lengan suaminya.

“Sstttt!! Itu lho, rame-rame di luar!!”. Kata Mbah Mangun yang seketika membuat Mbah Sulami mau tak mau harus turut mencermati.

Dan benar, samar namun jelas, terdengar ditelinga Mbah Mangun dan istrinya, suatu riuh keramaian yang tidak bisa dijelaskan. Sumbernya tak jauh dari depan rumahnya, dan patut diduga itu pastinya berasal dari sekitaran gapura Desa yang jaraknya tidak sampai 100 meter dari rumah Mbah Mangun itu.

Mbah Mangun ingin segera keluar untuk memeriksanya, namun Mbah Sulami langsung mencegah.

“Mbok sudah to Pak.. Ndak usah di lihat!!”. Cegah istri Mbah Mangun, sembari menarik lengan suaminya itu.

Mbah Mangun pun urung keluar dari rumahnya, tapi mereka juga tak segera beranjak dan malah masih mencermati suara riuh ganjil itu dari ruang tamu.

Hingga beberapa saat setelah itu, secara perlahan, suara riuh keramaian itu seperti semakin mendekat di pendengaran mereka.

“Kok makin jelas ya!? Sudah to Pak, kita masuk kamar saja!!”. Ucap Mbah Sulami yang saat itu terlihat ketakutan.

“Sek Bune, ini kalau sampai berhenti di depan rumah, kita bisa celaka!!”. Tanggap Mbah Mangun.

“Terus mau gimana sih!!”. Ucap Mbah Sulami yang setelah itu segera di antarkan oleh Mbah Mangun untuk masuk dulu ke dalam kamar karena suara keramaian itu benar-benar terdengar semakin dekat dengan rumahnya.

“Sudah bune, sampean tak antar masuk dulu saja”. Kata Mbah Mangun singkat, sembari sedikit menggeret istrinya menuju kamar.

Mbah Mangun pun kembali beranjak meninggalkan istrinya, dan sembari menenteng ‘Sapu Gerang’ (Sapu lidi yang sudah kikis) , Mbah Mangun pun keluar dari rumahnya untuk menghadapi keramaian ganjil itu.

Dan memang benar dugaannya, karena ia yang saat itu baru saja keluar dari rumahnya, segera di perlihatkan oleh pemandangan ganjil.

“Agstafirullah”. Kata Mbah Mangun yang saat itu masih berdiri di lantai teras rumahnya.

Melihat itu, Mbah Mangun hanya bisa berdzikir dalam hati, sembari meremas ‘Sapu Gerang’ yang ia genggam, untuk menata dan mengumpulkan keberaniannya.

Sebenarnya Mbah Mangun sudah sedikit terbiasa melihat lelembut atau semacamnya, tapi untuk kali ini sepertinya apa yang tampak di matanya, sudah di luar dari kebiasaannya, karena pemandangan ganjil itu, nyata-nyata tidak hanya satu, tapi berupa gerombolan lelembut berbaju putih yang tampaknya tinggal beberapa meter lagi akan benar-benar sampai di depan rumahnya.

Tak ada jalan lain lagi, Mbah Mangun pun memaksakan dirinya turun ke jalan untuk menghadang gerombolan lelembut itu agar tidak sampai masuk ke desanya lebih dalam.

Walau dengan sedikit meragu, Mbah Mangun pun berdiri di tengah jalan, dan langsung mengacungkan ‘Sapu Gerang’ yang di bawanya, ke arah para lelembut yang melayang-layang di depannya itu, dan sama sekali tak ia duga, ternyata usaha serampangannya ini malah berhasil membuat rombongan ganjil itu berhenti mendekat dan perlahan mundur menjauh.



Mbah Mangun malah sempat merasa heran dengan dirinya sendiri, bagaimana caranya ‘Sapu Gerang’ ini bisa menakut-nakuti lelembut sebanyak itu.

“Ah Entahlah..”. Batin Mbah Mangun di antara degup jantungnya yang masih kencang Itu, bersamaan pula dengan suara riuh ramai ganjil yang terasa semakin jauh dan akhirnya menghilang.

“Huh”. Ia pun menghela nafasnya, sembari berjalan kembali ke rumahnya, dengan tubuhnya yang ternyata masih saja gemetar.

“Hah.. Lama ndak seperti ini, ternyata saya sudah tak senekat dan seberani dulu!!”. Ucap Mbah Mangun dalam hati beberapa saat setelah ia kembali masuk ke dalam rumahnya.

Singkatnya, malam itu pun berlalu begitu saja dan berganti dengan pagi yang cukup tenang, kabar baik pun segera tersiar hari itu, perihal ‘Dawuh’ ketiga sesepuh yang sepertinya berhasil menghentikan teror itu.

“Alhamdulilah Mbah, Saya semalam sengaja tidak tidur, dan sampai subuh, saya sama sekali tak mendengar ‘wilwo’ maupun ketukan seperti biasanya”. Kata Pak Carik yang pagi ini sudah berada di rumah Mbah Roso untuk melaporkan hal itu.

Mbah Roso mengrenyit heran, “Oh berarti dedemit-dedemit itu hanya mendatangi saya”. Batin Mbah Roso yang semalam ternyata juga mengalami hal serupa seperti Mbah Mangun.

“Oh ya?, syukurlah kalau begitu”. Tanggap Mbah Roso yang saat itu mencoba mendukung pernyataan Pak Carik walau sambil menyimpan keraguan di dalam hatinya.

“Tapi untuk agenda pencarian Bedhong Mayit itu, tetap harus kita teruskan lho Pak Carik.., saya merasa kalau ini hanya bersifat sementara”. Tambah Mbah Roso yang terjeda oleh kedatangan Parmin si penggali kubur, dengan wajahnya yang pagi itu tampak pucat.

“Kulonuwun...”. Ucap Parmin di ambang pintu Rumah Mbah Roso, yang langsung di sambut untuk turut duduk bersama Pak Carik yang sudah datang terlebih dahulu.

“Kita berhasil Kang Min.. Jimat yang semalam kita kuburkan itu berhasil menghilangkan gangguan yang sudah bertahan di desa kita selama berhari-hari itu”. Ucap Pak Carik kepada Parmin dengan senyuman lebar, yang mana tak lama kemudian justru ditanggapi Parmin dengan wajah lesunya.

“Ya memang benar Pak Carik.. Kromoleo dan kawan-kawannya tidak lagi berkeliling desa.. Tapi semalam saya benar-benar dibuat tidak tidur, karena ‘Wilwo’ itu tertahan di dekat rumah saya, dari tengah malam sampai subuh!!”. Kata Parmin dengan muram yang malah di tanggapi Mbah Roso dengan terkekeh.

“hahahah..Owalah Min..min, saya baru ngeh.. Kalau rumahmu itu tidak terlalu jauh dengan mulut jalan menuju ‘Lembah Pati’.. Ya jelas.. Kalau Kromoleo itu tidak bisa masuk, pastinya memang akan tertahan di jalan itu..”. Kata Mbah Roso yang membuat Parmin hanya bisa menghela nafasnya sembari berkata.

“Sudah lah.. Sudah terlanjur juga, itung-itung perjuangan untuk desa ini, Eh tapi Mbah.. Kalau bisa ya jangan setiap malam seperti itu.. Bisa-bisa saya malah pindah dari desa ini”. Kata Parmin.

“Halah... Tenang..tenang.., sedang kami urus kok.. “. Tanggap Mbah Roso.

Mereka pun sejenak berbincang-bincang di pagi itu, hingga sekira 30 menit kemudian, Pak Carik dan Parmin pun berpamitan.

Masih di rumah Mbah Roso..

Tak lama setelah Pak Carik dan Parmin pulang, Mbah Gendhis yang mana beliau adalah istri dari Mbah Roso pun keluar dengan membawa nampan yang berisi tiga gelas kopi panas.

“Halah Bune.. Saya kan bisa buat sendiri, lagi pula Parmin sama Mas Carik juga sudah pulang kok”. kata Mbah Roso sembari bangkit dan merebut pelan, nampan yang sedang di bawa oleh istrinya itu.

Mbah Gendhis adalah penderita katarak yang sudah cukup parah, karena itulah Mbah Roso kerap melarangnya untuk mengerjakan sebagian kegiatan Rumah tangga yang dirasa bisa membahayakan.

“Bukan buat Parmin sama Pak Carik kok Pak..”. Tanggap Mbah Gendhis beberapa saat setelah suaminya itu mengambil nampan kopi yang dibawanya.

“Terus buat siapa bune??”. Jawab Mbah Roso dengan menghela nafasnya seraya meletakkan gelas-gelas kopi itu di atas meja ruang tamunya.

“Ya buat sampean, Jayus dan Mas Mangun”. Jawab Mbah Gendhis yang tentu membuat Mbah Roso mengangkat alisnya.

“Piye to ki?”. Kata Mbah Roso dalam hati, yang mana tak sampai 4 detik setelah itu, entah ajaib atau hanya kebetulan saja, tiba-tiba.. Mbah Jayus dan Mbah Mangun pun datang.

“Kulonuwun...”. Ucap mereka yang langsung masuk karena memang pintu rumah Mbah Roso sudah terbuka.

“Nah to.. ‘Kandani kok..’ (Apa saya bilang)”. Sambut Mbah Gendhis setelah mengetahui kedatangan Mbah Mangun dan Mbah Jayus.

Harusnya Mbah Roso sudah tahu tentang istrinya yang sering memperlihatkan hal-hal yang tak bisa di jelaskan semacam ini, tapi karena itu sudah lama sekali tidak terjadi, saat itu Mbah Roso hanya bisa tertegun.

Mbah Jayus tampak bertanya-tanya, rasanya sudah lama sekali ia tidak melihat istri Mbah Roso itu, karena sejak penyakit kataraknya kian parah, beliau memang lebih sering berada di dalam kamarnya.

“Wuih.. Mbakyu.. Gimana, sehat kan?”. Sapa Mbah Jayus kepada istri Mbah Roso itu, yang mana langsung di timpal oleh Mbah Mangun dengan ekspresi yang sedikit agak berbeda.

“Waduh.. Kalau Mbakyu Gendhis sudah mau muncul, sepertinya ada pesan dari ‘Eyang Turimanis’ (Tokoh Leluhur yang menjadi cikal bakal Desa Turi ini).. “. Kata Mbah Mangun yang segera di tanggapi istri Mbah Roso itu dengan senyuman.

Sedikit mengulas tentang Mbah Gendhis..
Beliau adalah salah satu juga dari beberapa sesepuh di desa Turi ini, yang mana faktanya jika di bandingkan dengan yang lain, Ternyata Mbah Gendhis merupakan orang yang paling kuat secara kebatinan, Bahkan mendiang Mbah Gajul juga pernah mengakui itu, namun sejak penyakit matanya menjadi parah, beliau memang menjadi agak tertutup, dan tidak banyak bicara, bahkan pada suaminya sendiri (Mbah Roso).

Kembali ke cerita..

Tampak kini Mbah Roso, Mbah Jayus, Mbah Mangun, begitu juga dengan Mbah Gendhis, sudah duduk bersama di ruang tamu.

Ketiga sesepuh itu kini terlihat mulai saling bertukar cerita, tentang apa yang mereka alami semalam, sementara Mbah Gendhis tampak menyimak cerita demi cerita itu dengan seksama.

“Kalau Tali Mayit itu memang berhasil menahan Kromoleo di ambang jalan Lembah Pati, kenapa masih ada dedemit-dedemit yang mendatangi kita, yang anehnya bisa kita usir lagi tanpa kesulitan yang berarti”. Kata Mbah Jayus di tengah ceritanya, yang mana kali ini akhirnya Mbah Gendhis pun menanggapinya.

“Sebenarnya saya sudah tahu dari awal ketika kalian terkena sawan pati swargi Kang Gajul dua minggu yang lalu, hanya saja saya masih memilih diam karena merasa yakin Panjenengan-panjenengan ini bisa mengatasinya.. Dari awal teror ‘Setan Pencolo’ (hantu pengetuk), yang berlanjut dengan ‘Kromoleo’, harusnya kalian sudah tahu, satu-satunya kekuatan yang bisa membangunkan dua penunggu ‘Lembah Pati’ itu hanyalah ‘Bedhong Mayit’”. Ucap Mbah Gendhis yang setelah itu kembali berkata.

“Yang aneh itu ya tadi malam, para dedemit yang mendatangi kalian itu kan Pasukan kalian sendiri, wajar to ya kalau mereka langsung ‘manut’ saat kalian suruh pergi”. Kata istri Mbah Roso yang kemudian menjelaskan bahwa para lelembut yang mendatangi Mbah Jayus, Mbah Mangun dan Mbah Roso itu tidak lain dan tidak bukan adalah sosok-sosok yang telah tunduk mengekor oleh masing-masing Tali Mayit milik mereka yang kemarin ditanam di tiga titik di Desa Turi ini.

“Owalah.. Begitu to Mbakyu, heleh-heleh..”. Tanggap Mbah Mangun seraya menepuk jidatnya dan saat itu langsung di timpal oleh Mbah Roso.

“Duh.. Bune, sampean kok ya tidak bilang dari kemarin..”. Ucap Mbah Roso yang kembali di jawab oleh istrinya dengan jawaban yang sama sekali bukanlah alasan.

“Lhawong saya baru ingin ngomong sekarang kok”. Jawab Mbah Gendhis yang hanya bisa membuat Mbah Roso menggelengkan kepalanya.

“Ya sudah Mbakyu, apa yang harus kita lakukan sekarang”. Tanya Mbah Jayus, yang tegas di jawab oleh istri Mbah Roso itu.

“Sekarang.. Hari ini juga, sampean-sampean kerumah Kang Gajul, carilah Bedhong Mayit itu sampai ketemu dan, saya yakin 1000% Darwis tidak menjalankan wasiat kakeknya, ketemukan saja dulu, kalau sudah, serahkan keputusan pada keluarganya, ada dua cara.. Pertama tentunya menguburkan benda itu di pusara Kang Gajul, atau yang kedua, jika keluarganya dalam hal ini adalah Darwis dan Dirja tidak berkenan menggali lagi Makamnya, serahkan saja kepada mereka agar menyimpannya, tapi jangan lupa ajarkan juga mereka perihal cara untuk merawat barang itu”. Terang Mbah Gendhis, yang kemudian berkata kalau ia lebih menyarankan untuk cara yang pertama.

“Sebisa mungkin, arahkanlah Darwis dan Ayahnya itu, bahwa cara yang paling tuntas adalah dengan menguburnya.

“Tapi kalau barang itu tidak bisa langsung ditemukan hari ini bagaimana?”. Tanya Mbah Mangun.

“Ya cari saja dulu sebisa mungkin, karena ‘Tali-Tali Mayit’ yang sudah ditanam itu, tidak akan bisa bertahan lama membendung semua ini, kita harus bertindak cepat, sebelum lelembut-lelembut dari tulah Bedhong Mayit itu, menjadi ‘Kerasan’ (betah) di desa ini”. Jelas Mbah Gendhis yang tak lama kemudian kembali mengatakan.

“Ini belum 40 hari, saya yakin entah dengan cara apa dan lewat siapa, swargi Kang Gajul pasti akan memberi petunjuk soalan dimana ‘Bedhong Mayitnya’ itu”. Tukas Mbah Gendhis di obrolan pagi yang sudah menuju terik itu.

Singkatnya siang itu juga, Mbah Jayus, Mbah Roso, serta Mbah Mangun pun segera menemui Darwis, yang mana sesampainya di sana, tampak cucu Mbah Gajul yang sepertinya sedang berada dalam obrolan serius bersama satu temannya yaitu Paijo. Dua pemuda itu tampak gugup, setelah para sesepuh-sesepuh ini masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu.

“Gimana le.. Sudah kamu cari kain rombeng itu”. Tanya Mbah Jayus tanpa berbasa-basi, yang di tanggapi oleh cucu Mbah Gajul itu dengan mempersilahkan para tetua itu duduk terlebih dahulu.

“Nuwun sewu Mbah.. Monggo ‘pinarak’ (silahkan duduk) dulu”. Jawab Darwis dengan agak sedikit gelagapan.
Temannya Paijo juga terlihat gagap dan gugup, pasalnya topik obrolan serius yang baru beberapa detik lalu mereka bicarakan adalah bahasan tentang ke tiga sesepuh itu.

“Sudah le.. Jujur saja, kami sudah tahu, dan kami juga ndak akan marah kok”. Kata Mbah Mangun kini, beberapa saat setelah semua orang duduk.

“Sendika dawuh Mbah, saya mengaku salah”. Kata Darwis merunduk.

“Kamu kan sudah kami ‘Weling’ to le..”. Sela Mbah Jayus yang kembali dijawab oleh Darwis dengan berbagai paparan dengan harapan agar dirinya tidak terlalu di pojokkan.

Di dalam penjelasannya Darwis mengakui, kalau awalnya ia memang tidak begitu percaya dengan soalan ini, bahkan ia juga tidak yakin kalau mendiang kakeknya (Mbah Gajul), benar-benar serius dengan wasiat kain rombeng itu, “Toh terakhir ia mendengar kakeknya berwasiat kepadanya adalah 3 tahun lalu, jauh sebelum kakeknya itu meninggal”.

“Saya coba ingat-ingat, terakhir Mbah Kakung membicarakan itu ya tiga tahunan yang lalu, sebelum beliau sakit, dan sejak sakit Mbah Kakung tidak pernah lagi membicarakan itu, sampai beliau ‘Seda’ (meninggal)”. Kata Darwis di tengah paparannya, yang mana setelah itu ia menjelaskan, bahwa sekarang pandangannya telah berubah.

“Tapi, dengan semua kejadian belakangan ini, yang bahkan sempat saya sendiri juga mengalaminya, saya benar-benar menyesal Mbah.. Sebenarnya rasa kawatir itu sudah terasa dari ketika Mbah Kakung akan dimakamkan, tapi kebetulan, hari itu saya tidak berhasil bertemu panjenengan-panjenengan ini, yang menurut orang-orang yang saya tanyai waktu itu, panjenengan semua tengah sakit”. Tambah Darwis yang langsung di timpa oleh Mbah Roso dengan nada yang agak tinggi.

“Tapi, setelah hari itu, kenapa kamu tidak menemui kami?”. Kata Mbah Roso sedikit menyentak.

“Saya takut Mbah, tapi sejak hari itu sebenarnya saya selalu berkeinginan untuk ‘Sowan’ (Bertemu) panjenengan-panjenengan, kalau tidak percaya, tanya saja sama Paijo ini, tapi ya itu, rasa bersalah saya ini, semakin membuat saya menjadi takut”. Ungkap Darwis yang didukung juga dengan pendapat Paijo.

“Leres’ (Benar) Mbah, hampir setiap hari Darwis membicarakan itu kepada saya, bahkan tadi sebelum simbah-simbah masuk, kami juga tengah membicarakan hal itu.. Berulang kali saya juga menyarankan Darwis untuk sowan, tapi ya itu, dia itu Cuma ndak mau saja kalau sampai di salah-salahkan oleh seluruh warga atas teror belakangan ini”. Ucap Paijo kini, yang mencoba untuk membantu memberi pengertian kepada para sesepuh-sesepuh itu. Hingga Mbah Mangun pun kembali menyela.

“Sudah..sudah.. Ndak ada gunanya memperdebatkan itu, yang terpenting sekarang adalah, bagaimana kita mencari benda itu sampai ketemu”. Sela Mbah Mangun yang tak lama setelah itu berkata kepada cucu Mbah Gajul itu, bahwa sampai detik ini, hanya segelintir orang yang tahu sebab musabab dari semua ini.

“Untuk Kamu le.. Tenang saja, para warga belum tahu, kecuali, keluarga kami dan Pak Carik, itu pun sudah saya kondisikan agar soalan ‘Bedhong Mayit’ milik simbahmu ini tidak diketahui oleh warga desa Turi ini”. Tukas Mbah Mangun yang tentu membuat Darwis menjadi agak sedikit lega.

Sementara untuk kawan Darwis, Si Paijo, yang saat itu sudah terlanjur tahu pun diwanti-wanti oleh para sesepuh agar tetap merahasiakan semua ini. Paijo juga diharapkan turut ikut dalam pencarian ‘Kain Rombeng’ itu.

“Kalau kamu mau, ikut bantu kami mencari jo.. Dan ingat pesan kami, jangan sampai orang-orang desa tahu dulu perihal ‘Bedhong Mayit’ ini”. Pesan Mbah Mangun mewakili para sesepuh, yang tentu diiyakan oleh Paijo walau dengan gagap meragu.

“Ennnggih.. Mbah ‘Kawulo nderek’ (Saya akan ikut)”. Jawab sahabat dari cucu mendiang Mbah Gajul itu dengan agak terbata.

“Yowes.. Ayo sekarang kita cari benda itu..”. Ajak Mbah Roso seraya mencucuk matikan rokoknya ke dalam asbak diruang tamu rumah mendiang Mbah Gajul itu.

Tanpa banyak kata lagi, mereka semua pun mulai mencari ‘Bedhong Mayit’ yang wujudnya berupa kain kafan yang sudah rombeng itu, menyusuri setiap sudut dan menggeledah ruangan demi ruangan di rumah Mbah Gajul yang cukup luas ini.
Berjam-jam mereka melakukan pencarian, tapi nyatanya benda itu tak juga ditemukan, hingga adzan dzuhur pun terdengar, seakan mengingatkan agar orang-orang itu untuk sejenak berhenti.

(Cont) >>> https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c8117b592f456c
Diubah oleh agilrsapoetra 16-09-2023 10:23
disya1628
winehsuka
iinsusilawat677
iinsusilawat677 dan 5 lainnya memberi reputasi
6
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.