Kaskus

Story

agilrsapoetraAvatar border
TS
agilrsapoetra
BEDHONG MAYIT (PART 1)
BEDHONG MAYIT (PART 1)

Pengantar.

‘Bedhong Mayit’, di beberapa daerah khususnya Jawa Tengah, secara umum ‘Bedhong Mayit’, adalah istilah untuk menyebut lapisan kain kafan paling pertama, yang diperuntukkan sebagai pembungkus tubuh jenazah sebelum di Pocong atau dikafani seluruhnya.

Tapi di dalam ilmu jawa kuno yang tentunya tidak elok dan sangat terlarang, ‘Bedhong Mayit’ ini juga diyakini mempunyai tuah hampir mirip seperti ‘Tali Pocong’ bahkan tingkatannya terbilang sangat jauh di atasnya, namun karena mungkin cara mendapatkannya juga sangat tidaklah mudah dan resikonya yang tak main-main, semua ilmu yang berkesinambungan dengan ‘Bedhong Mayit’ ini pun, seiring berjalannya waktu, perlahan-lahan mulai dilupakan dan sudah sangat jarang sekali orang yang mau menekuninya.

‘Namun’, ternyata ada satu manusia, dan mungkin saja ia adalah satu-satunya orang di tanah jawa ini, yang masih menyimpan dan merawat ilmu terlarang bernama ‘Bedhong Mayit’ itu.

BEDHONG MAYIT (PART 1)

“BEDHONG MAYIT”. Part 1. (Pembuka)

Di suatu sore di Desa Turi, Jawa tengah kisaran tahun 1974-1975.

Seorang pemuda tampak berlari tergopoh-gopoh, sembari mengabarkan sesuatu kepada setiap orang-orang yang ia temui di sepanjang jalan.

Pemuda itu adalah Darwis, cucu dari salah satu sesepuh desa, yang saat itu tengah mengabarkan kepada orang-orang bahwa kakeknya sudah meninggal.

“Tulung... Tulung!! Mbah Kakung ‘Seda’ (meninggal)”. Ucapnya dengan mimik kata yang menahan tangis.

Jelasnya yang Darwis wartakan saat itu adalah ‘Mbah Gajul’, kakeknya sekaligus sesepuh dan Ahli ‘Suwuk’ (Penyembuh) yang cukup dituakan di desa Turi ini.
Tapi Beda dengan Darwis sang cucu, para warga justru tampak tak terlalu terkejut dengan warta kematian itu, karena memang kurang lebih sudah 3 tahun terakhir ini, Mbah Gajul sakit dan tidak bisa apa-apa.

Kentungan penanda adanya lelayu segera di bunyikan, di lanjut dengan warga yang bergerak kondusif, menuju rumah Mbah Gajul, untuk mempersiapkan semua hal-hal yang harus dilakukan, maklum saja, mendiang memang hanya tinggal berdua dengan cucunya dan selama ini di rawat oleh sang cucu Darwis, sementara anak satu-satunya (Ayah Darwis) sudah mapan di luar kota.

Singkat cerita, jenazah Mbah Gajul pun sudah dimandikan serta dikafani, dan kini telah berada terbujur beralas tikar. Terlihat Darwis yang sudah bersimpuh di depan tubuh kakeknya itu, bersamaan dengan para pelayat yang silih berganti melihat tubuh Mbah Gajul sebelum di bawa ke makam.

“Nang, apakah Bapakmu sudah diberitahu?”. Tanya Mbah Jayus salah satu sesepuh juga di desa Turi ini.

“’Sampun’ (Sudah) Mbah, tadi Pak Carik yang pergi ke kantor pos, untuk mengirim telegram ke Bapak”. Tanggap Darwis seraya mengusap air matanya.

“Sing sabar ya le.., menurut Gusti, ini sudah yang terbaik, lagi pula, Kasihan simbahmu ini kalau sakit-sakitan terus”. Kata Mbah Jayus kepada Darwis saat itu.

“Njih Mbah, kalau saya sih sangat ikhlas, karena saya sebenarnya juga ndak tega melihat Mbah Kakung sakit-sakitan”. Tanggap Darwis yang setelah itu tiba-tiba teringat tengang wasiat kakeknya sebelum meninggal, yang hingga detik ini sama sekali tak ia pahami.

“O nggih Mbah, saya jadi ingat, sejak Mbah Kakung mulai sakit, kurang lebih sudah tiga kali beliau ini mengatakan kepada saya, perihal ‘Kain Rombeng’ yang suatu saat harus dan wajib di kuburkan bersamanya kalau Mbah Kakung ini wafat”. Ungkap Darwis yang langsung membuat dahi Mbah Jayus mengrenyit.

“Hah.. ‘Kain Rombeng’?”. Kata Mbah Jayus yang tampak berpikir sejenak dan tak lama kemudian langsung menemukan jawabannya.

“Owalah ‘Kelingan aku’ (Saya ingat), saya kira selama ini benda itu sudah dilarung, Yawes ayo kita cari, apakah Mbahmu juga mengatakan dimana dia menyimpan barang itu?”. Kata Mbah Jayus yang awalnya membuat Darwis semakin bingung.

“Apa sih itu Mbah?”. Tanya Darwis yang tak lama kemudian dijawab oleh Mbah Jayus sembari mengajaknya bangkit untuk mencari barang itu dimulai dari kamar Mbah Gajul.

“Wes.. Ayo ‘Menyat’ (Berdiri), kita cari dulu barang itu”. Kata Mbah Jayus yang mengajak Darwis agar segera mencari ‘Kain Rombeng’ itu.

Hingga sesampainya di dalam kamar, barulah Mbah Jayus mengatakan bahwa ‘Kain Rombeng’ yang menjadi wasiat dari Mbah Gajul itu, adalah kain ‘Bedhong Mayit’.

“Itu Bedhong Mayit nang, warisan turun-temurun dari simbah buyutmu”. Jelas Mbah Jayus di dalam kamar mendiang Mbah Gajul, yang seketika membuat tengkuk Darwis sedikit bergidik.

“Waduh apa itu Mbah?”. Tanya Darwis setelah itu.

“Wes..wes saya jelaskan nanti saja, sekarang yang paling penting, kita harus segera menemukan itu”. Tanggao Mbah Jayus, yang setelah itu langsung memulai pencarian di setiap bagian.

“Payah itu, kalau sampai ndak ketemu, soalnya itu adalah wasiat terakhir, ‘Ora ilok’ (pamali) kalau kita tidak menurutinya, pasti ada maksud tertentu sampai-sampai simbahmu mewasiatkannya”. Ucap Mbah Jayus sembari terus mencari benda itu bersama Darwis.

Sepertinya mereka telah mencari di semua sudut dan setiap jengkalnya kamar Mbah Gajul itu, dari kolong ranjang, bawah bantal, sampai di sela lipatan baju-baju yang berada di lemari, tapi mereka tak juga menemukan benda yang dimaksud. Hingga akhirnya mereka pun keluar sembari berpikir untuk mencarinya di tempat lain.
Wajah Mbah Jayus terlihat memerah, ada rasa takut yang coba untuk ia tutup-tutupi kala itu, entah apa alasannya, yang jelas Mbah Jayus kembali berkali-kali mengulang perkataannya bahwa ‘Kain Rombeng’ yang menurutnya adalah ‘Bedhong Mayit’ itu, harus segera mereka temukan.

“Tenang Mbah, habis ini kita cari di ruangan lain”. Kata Paimin yang mulai merasa aneh dengan gelagat Mbah Jayus.

Mungkin bagi Darwis yang masih muda, wasiat kakeknya itu bukanlah hal yang terlalu penting, “Lagi pula itu kan hanya kain rombeng, apa pentingnya sih? Kecuali kalau wasiat harta atau warisan, baru itu harus disampaikan”. Batin Darwis saat itu.

Hingga sore pun berganti malam, liang lahat memang sudah siap beberapa jam lalu, tapi hingga malam ini, jenazah Mbah Gajul belum dikebumikan, itu semua atas saran dari orang-orang yang memilih untuk menunggu Pak Dirja anak Mbah Gajul sekaligus ayah Darwis itu, menerima telegram dari Pak Carik tentang warta meninggalnya Mbah Gajul ini, karena rasa-rasanya, akan lebih elok jika anaknya satu-satunya itu menyaksikan sendiri jenazah ayahnya masuk ke dalam pusara.
Tampak warga yang berkumpul di bawah tenda sederhana, yang berdiri di depan Rumah Mbah Gajul, terlihat juga di sana, Darwis yang tengah mengobrol dengan para pemuda sebayanya, tak terlihat lagi raut kesedihan di wajahnya, karena mungkin sedang teralih oleh canda-canda dari temannya itu.

Malam itu, Mbah Jayus kembali datang dan langsung kembali menemui Darwis, ia bertanya lagi kepada cucu Mbah Gajul itu, apakah ‘Kain Rombeng’ yang tadi sempat mereka cari itu sudah diketemukan atau belum.

“’Dereng’ (Belum) Mbah.. Besok saja, Bapak yang nyari, sepertinya dia lebih tahu perihal itu..”. Jawab Darwis yang sebenarnya tak terlalu peduli dengan wasiat dari Kakeknya itu.

Mendengar jawaban dari Darwis, Mbah Jayus pun berlalu sembari berpesan agar Darwis atau Bapaknya itu besok benar-benar mencari benda itu sampai ketemu.

Tapi, baru saja Mbah Jayus beranjak dan duduk bersama orang tua sebayanya di sudut lain tenda itu, tampak dua orang kakek-kakek menghampiri Darwis lagi, ia adalah Mbah Roso dan Mbah Mangun, salah dua dari sesepuh di desa Turi ini, yang mana beliau-beliau ini menanyakan hal yang kurang lebih sama seperti yang tadi ditanyakan oleh Mbah Jayus.

Darwis pun menjawab sembari menghela nafasnya, dengan mengulang jawaban yang tadi ia ucapkan kepada Mbah Jayus, bahwa Ayahnya lah yang besok akan mencari ‘Bedhong Mayit’ atau ‘Kain Rombeng’ itu.

Dalam ke-tidak-paham-an-nya, Darwis tentu merasa jengkel karena teman-teman kakeknya itu malah lebih serius mengurusi hal yang tak rasional itu dari pada menghargai perasaannya yang tengah berduka itu.

“Apaan sih, pasti Mbah Jayus yang memberi tahu mereka, lagian kenapa juga tadi saya malah memberitahu tentang wasiat dari Mbah Kakung itu..”. Batin Darwis yang agaknya malah menyesal karena telah membicarakan wasiat itu.

Sejatinya, manusia yang paling sedih atas wafatnya Mbah Gajul adalah Darwis itu sendiri, alasannya karena memang sejak ibunya meninggal dan ayahnya memilih kerja di luar kota, dari usia 8 tahun, mendiang Mbah Gajul dan mendiang ‘Mbah Runi’ (istrinya) lah yang merawatnya.

Tak ditampik Juga oleh Darwis bahwa saat ini ia benar-benar merasa sedih dan kehilangan, tapi entah mengapa, khusus dalam konteks ‘nir-logika’ ini, Darwis merasa kalau itu bukanlah hal yang harus diseriusi. Mungkin memang Sulit, memasukkan sebuah ke-tidak-masuk-akal-lan untuk menjangkau pikiran seorang seperti Darwis, yang waktu itu baru menginjak usia yang ke-23thn.

Singkat cerita hari berikutnya, kala itu, sekira pukul 10.00 pagi, Pak Dirja ayah Darwis itu pun tiba, menandakan bahwa telegram kiriman dari Pak Carik, benar-benar telah sampai kepada anak Mbah Gajul itu.

Selayaknya orang yang kehilangan, tangisan Pak Dirja pun pecah seketika, ia berjalan tertatih-tatih merangsek bergumul di antara para pelayat dan langsung dihampiri oleh Darwis yang matanya juga sudah mulai berair.

Darwis pun memapah Pak Dirja ayahnya yang baru tiba itu, ia melangkah masuk dan langsung memperlihatkan jenazah Mbah Gajul, hingga tangisan pun semakin pecah, oleh Pak Dirja begitu pula dengan Darwis. Kini, di depan Jenazah, Ayah dan anak itu pun menangis bersama.

Hingga setelah beberapa detik dan menit berlalu, Pak Dirja yang sudah agak bisa menata nafasnya pun berkata kepada Darwis, agar jenazah Mbah Gajul segera dimakamkan.

“Min, panggilkan ‘Pak Kaum’ (Pak ustad), kita bawa Mbah Kakung ke makam sekarang”. Pinta Pak Dirja kepada Darwis.

Darwis pun keluar, menghampiri Pak Kaum yang kebetulan juga tengah duduk di antara para pelayat itu, perihal perintah dari ayahnya yang ingin jenazah kakeknya itu segera diberangkatkan.

Hingga singkatnya, di depan rumah, sekira mungkin 30 sampai 40 menit kemudian, Jenazah Mbah Gajul pun sudah berada di dalam keranda, bertutup dengan ‘ambyang-ambyang’ lengkap juga dengan rangkaian bunga mawar dan pandan yang ‘tersampir’ menyelempang di atasnya.
Tampak kini Pak Lurah memberikan sepatah dua patah kata berlanjut dengan Pak Kaum yang mulai memanjatkan doa pengantar, sebelum membawa jenazah Mbah Gajul ke makam setempat.

Suasana doa saat itu cukup hikmat, semua orang menunduk, menengadahkan tangannya, tapi tidak dengan Darwis, yang kini justru tampak gelisah, menoleh kesana kemari seperti tengah mencari seseorang.
Benar!! Lagi-lagi entah mengapa, di antara doa pengantar yang sedang dibacakan oleh Pak Kaum itu, tiba-tiba saja Darwis kepikiran akan wasiat kakeknya, dengan gelisah ia kini terlihat menerawangi setiap wajah para pelayat, berharap ada Mbah Jayus, Mbah Roso atau pun Mbah Mangun disitu. Tapi nihil, karena ia pun segera sadar bahwa teman-teman kakeknya itu memang tidak ada.

Darwis yang semakin gelisah, kini terlihat menoleh ke arah Ayahnya, saat itu ia mulai berpikir untuk menyampaikan wasiat mendiang kakeknya itu, akan tetapi situasinya tak mendukung, yang mana keadaan saat itu, mulai membuatnya merasa sulit untuk merangkai kata-kata, hingga waktu pun akhirnya terbuang bersamaan dengan doa dari Pak Kaum yang sudah selesai di panjatkan.

Jenazah Mbah Gajul pun mulai diberangkatkan menuju makam, dalam iring-iringan, wasiat itu seperti semakin mengganggu pikiran Darwis, sekali lagi ia menoleh dan mencari keberadaan teman-teman kakeknya, sampai akhirnya Darwis pun mencoba untuk bertanya kepada para warga, hingga setelah beberapa kali menanyakan kepada orang-orang yang berbeda, ia pun akhirnya mendapatkan jawaban, yang pada intinya mengatakan bahwa mereka semua, yaitu Mbah Jayus, Mbah Roso atau pun Mbah Mangun, tiba-tiba sakit.

Darwis pun pasrah dalam situasi itu, dan mencoba untuk kembali berpikir logis, hingga singkatnya setelah melalui semua prosesi, jenazah Mbah Gajul pun akhirnya di makamkan tak sesuai seperti yang telah diwasiatkan.

Sore pun berganti malam, doa tahlil baru saja selesai di laksanakan oleh para warga, tampak kini Darwis duduk bersama dengan teman sebayanya, dengan perasaan bersalah yang kini mulai membayanginya.

“Apa ndak papa ya?”. Batin Darwis saat itu bersamaan dengan tepukan pundak dari Ayahnya yang menyuruh dirinya untuk membelikan sebungkus rokok.

“Bapak belikan rokok sana le.. Satu ‘Slop’ sekalian, buat melekan orang-orang”. Pinta Pak Dirja kepada anaknya Darwis.

Darwis berjalan menuju warung, dengan perasaan bersalah yang kian berputar-putar di otaknya. “Ah biarkan saja”. Batinnya sembari terus melangkah.

Sebetulnya rasa bersalahnya itu bukanlah tentang akibat yang akan timbul, toh ia juga tidak terlalu percaya dengan hal-hal klenik semacam ini, tapi yang sebenarnya menjadi beban pikirannya saat ini adalah, betapa kurang ajarnya dia, tidak mau memenuhi wasiat kakeknya yang menurutnya bukanlah hal yang terlalu sulit untuk dilakukan, tapi mau bagaimana lagi, semuanya sudah terlanjur.

Hingga kejadian aneh pun terjadi, yang mana ini mungkin adalah awal yang diakibatkan oleh setitik kesalahannya itu.
Saat itu, Darwis yang baru saja sampai setelah membeli rokok, seketika dibuat terheran-heran, dahinya mengrenyit melihat tenda depan rumahnya yang semula ramai, kini tampak sepi, dengan meja dan kursi-kursi yang terlihat sedikit kacau.

“Pak!!! Bapak!!”. Panggilnya seraya berjalan meragu.

Ia pun melangkah masuk ke dalam rumah, menoleh kesana dan kemari sembari terus memanggil-manggil ayahnya itu.

“Apa-apaan ini”. Batinnya yang semakin keheranan.

Namun tak lama setelah itu, ia pun seketika merasa lega, saat samar-samar ia mendengar suara keramaian dari arah belakang rumahnya.

“Lagi pada ngapain disana?”. Ucapnya sembari beranjak menghampiri sumber dari suara itu.

Suaranya jelas dari belakang rumah, bahkan sesampainya ia di ruangan paling belakan, yaitu di ambang pintu dapur, Darwis 1000% sangat yakin bahwa suara orang ramai itu masih benar-benar ia dengar.

Tapi semua berubah senyap, ketika ia membuka pintu belakang itu, karena suara yang semula ia dengar ramai itu, sekarang tiba-tiba lenyap seketika, dan berubah menjadi keheningan.

Darwis melangkah keluar dari pintu untuk memastikan, yang mana kenyataannya, keadaan belakang rumahnya itu memang benar-benar sepi dan hening. “Apa saya salah dengar ya?”. Batin Darwis seraya berbalik dan hendak kembali masuk, akan tetapi, belum sampai ia melangkahkan kakinya, tiba-tiba, dengan samar, ia seperti mendengar suara seorang wanita yang sedang bersenandung.

Menyadari itu, Darwis sempat menghentikan langkahnya, ia pun hendak berbalik dengan maksud untuk memastikan suara nyanyian itu.
Tapi belum sempat ia membalikkan tubuhnya, tiba-tiba, nyanyian itu berhenti bersamaan dengan suara wanita yang berkata sembari menepuk satu pundaknya.

“AKU IKI ONO LHO!!!”.

(AKU INI ADA LHO!!). Ucap suara dari seorang wanita sembari menepuk pundak Darwis.

Darwis terkejut bukan main, tapi entah apa yang ada di pikirannya saat itu, cucu Mbah Gajul itu, justru malah membalikkan badannya. Hingga terlihatlah kini tepat beberapa jengkal di depan matanya, sosok yang baru saja berbicara dan menepuk bahunya itu. Sosok itu berupa wujud tubuh yang seluruhnya ditutupi oleh kain lusuh.

BEDHONG MAYIT (PART 1)

Darwis sempat bertahan beberapa detik dalam keadaan itu, hingga akhirnya ia pun berlari keluar, dan kembali bingung setelah melihat keadaan depan rumahnya yang ternyata masih ramai dengan orang-orang.

“Mana rokoknya!! Di panggil-panggil kok malah nylonong masuk aja..”. Kata Ayah Darwis yang seketika membuyarkan kebingungan itu.

Bersambung ke Part 2

Link Part 2 : https://www.kaskus.co.id/show_post/6...eebe12e03f2cf4
Diubah oleh agilrsapoetra 16-09-2023 17:34
wahab37Avatar border
ddspeed52871Avatar border
sarahfetter9012Avatar border
sarahfetter9012 dan 32 lainnya memberi reputasi
31
12.9K
54
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
agilrsapoetraAvatar border
TS
agilrsapoetra
#2
BEDHONG MAYIT (Part 3)
kaskus-image


“Bedhong Mayit”. Part 3.

Pagi menjelang, Desa Turi segera gempar, hampir semua orang bersaksi bahwa semalam mereka melihat Hantu Kromoleo, ternyata Hantu Pengiring Jenazah itu benar-benar mengelilingi desa Turi ini semalam.

Akan tetapi ada hal yang ternyata menambah kegemparan waktu itu, yang mana itu adalah warta kematian satu-satunya sesepuh ‘wanita’ di desa Turi ini, beliau adalah ‘Mbah Narti Paring’, orang yang kemarin juga sempat bertanya kepada Dirja, ayah Darwis atau anak dari Mbah Gajul itu, yang mana ia bertanya, apakah ketika dimakamkan, tali pocong Mbah Gajul sudah dilepaskan.

Meninggalnya Mbah Narti ini tampak tak biasa, karena banyak warga yang bilang kalau kemarin beliau terlihat bugar-bugar saja dan masih bertegur sapa di ladang, hingga salah satu cucunya yang bernama ‘Suranto’ bersaksi bahwa semalam ia melihat neneknya itu melempari ‘Kromoleo’ yang melewati depan rumahnya.

“Saya ndak ngelihat, hanya mendengar saja dari dalam kamar, semalam Mbah Putri ngamuk ‘rombongan Wilwo’ (sebutan lain untuk hantu Kromoleo), memaki-maki sambil melemparinya, tapi saya ndak berani keluar”. Ucap Suranto, cucu Mbah Narti Paring itu dalam kesaksiannya.

Warta itu pun sampai di telinga Mbah Jayus, yang langsung mendiskusikannya dengan Mbau Roso dan Mbah Mangun siang hari, beberapa saat setelah Mbah Narti dikebumikan.

“Sepertinya ‘Bedhong Mayit’ itu memang tidak berhasil diketemukan oleh Darwis dan tentunya tidak bisa ikut dikuburkan bersama Gajul..”. Kata Mbah Mangun.

“Iya betul, karena tidak mungkin ‘Kromoleo’ dari ‘Gumuk’ (lembah) Pati itu turun, kalau tidak di pancing oleh si ‘Bedhong Mayit itu yang sekarang sudah berkeliaran”. Tanggap Mbah Roso, yang menyebut nama ‘Gumuk Pati’, suatu lembah di selatan desa Turi ini, yang konon menjadi tempat dimana Hantu Pengiring Jenazah itu berasal.

“Asu!!! Saya sebenarnya kecewa dengan kegagalan Gajul mendidik anak dan cucunya, beginilah jadinya, wasiat sesepele itu, di abaikan begitu saja!!”. Kata Mbah Roso lagi, yang segera ditanggapi oleh Mbah Jayus.

“Wes kang!! Wes.. Tidak ada gunanya kita menyalahkan, yang terpenting sekarang adalah ke rumah Gajul, untuk mencari barang itu”. Ucap Mbah Jayus yang kali ini di sela oleh Mbah Mangun.

“Jangan sekarang, kita ini baru saja sembuh dari ‘Sawan Pati’, sawan dari mana lagi kalau bukan dari kematian teman kita Gajul, dan baru tadi pagi ini kita sedikit bugar, kalau kita kesana (rumah Mbah Gajul) sekarang, saya yakin kita bisa ambruk lagi”. Ucap Mbah Mangun yang tak lama kemudian kembali berkata.

“Saya ini curiga, kalau sakitnya kita hampir dua pekan ini adalah ulah si ‘Bedhong Mayit’ itu, agar kita tidak turut mencari dan menguburkannya bersama jasad Gajul, dan sebenarnya kita ini masih beruntung lho, Darwis sempat mengingat wasiat itu, coba saja kalau Darwis tidak bicara, mungkin kita juga tak akan tahu kalau Gajul masih menyimpan ‘Bedhong Mayit’ itu, selama ini kita tahunya barang itu sudah di larung to?”. Tambah Mbah Mangun yang dibalas oleh Mbah Roso dan Mbah Jayus dengan anggukan kepala.

“Tapi para warga, sekarang tetap perlu ditenangkan”. Kata Mbah Roso beberapa saat setelah itu.

“Iya..iya.. Nanti kita ngomong bareng-bareng dengan Pak Carik, biar dia saja yang mewartakannya kepada warga..”. Jawab Mbah Mangun kembali.

Tiga sesepuh itu pun kembali larut dalam obrolan, membahas tentang ‘Kain Rombeng’ yang mereka sebut ‘Bedhong Mayit’ itu, dengan opini-opini yang kebanyakan menyudutkan mendiang Mbah Gajul.

Menurut mereka, memelihara ‘Bedhong Mayit’ adalah kebodohan yang disengaja, memang siapapun yang memilikinya akan membuat jin dan lelembut tunduk atas perintahnya, tapi jika tidak ada penerusnya inilah yang terjadi, entitas yang menghuni ‘Kain Rombeng’ itu, akan lepas dan bertindak sendiri, seperti mengajak teman serupanya untuk turun mengganggu manusia bahkan kemungkinan bisa mencelakai.

“Tapi seandainya Darwis mau, sebenarnya bisa menyelesaikan masalah ini tanpa repot dan membuat kegaduhan, karena ‘ia’ (si Bedhong Mayit) itu, kan hanya mau tunduk dengan keturunan dari pemilik sebelumnya”. Sela Mbah Roso di tengah obrolan itu yang tak lama kemudian langsung di sanggah oleh Mbah Jayus.

“Jangan..Jangan..kang, mau buat apa benda itu di jaman seperti sekarang ini?, lagi pula apa Darwis mau?, sudah benar Gajul mewasiatkannya agar turut dikubur bersama dirinya, , kita teruskan saja apa yang menjadi keinginan Gajul”. Kata Mbah Jayus, yang kembali di tanggapi oleh Mbah Roso.

“Iya.. Iya.... Benar sih.. Tapi... Seandainya ya.. Ini hanya berandai-andai saja, apakah mungkin ini hanya gangguan lelembut biasa yang tidak ada hubungannya dengan Bedhong Mayit itu? Aliasnya masih ada kemungkinan kalau barang itu sebenarnya memang benar-benar sudah dilarung oleh Gajul, seperti sepengetahuan kita sebelum ini? Apakah mungkin?”. Kata Mbah Roso yang segera di sambut oleh Mbah Mangun.

“Amin.. Amin.. Kalau itu yang terjadi sih mungkin kita tidak akan terlalu repot, tapi sebaiknya kita pastikan dulu saja kepada Darwis, apakah dulu Gajul memang pernah benar-benar mewasiatkannya”. Sambut Mbah Mangun yang mana itu bersamaan dengan kedatangan Pak Carik dengan tergopoh-gopoh.

“Weh.. Kebetulan sekali ini, baru saja kita mau menemui panjenengan”. Sambut mereka atas kedatangan Pak Carik, yang dengan ekspresi gelisahnya ia langsung berkata.

“Mbah Mangun, Mah Roso, Mbah Jayus... Sebetulnya apa sih yang terjadi, Desa ini punya salah apa?”. Buka Pak Carik yang setelah itu bercerita tentang kejadian yang semalam ia alami.

Ceritanya kurang lebih sama dengan orang kebanyakan, yang mana semalam Pak Carik juga melihat Kromoleo dan mendengar beberapa kali ketukan di pintu rumahnya.

“Seumur hidup, baru kali ini saya melihat dedemit dengan mata kepala saya sendiri, dan baru kali ini saya benar-benar percaya, bahwa Hantu Kromoleo yang menjadi penunggu ‘Gumuk Pati’ itu, bukan sekedar cerita dongeng masa kecil saya”. Ucap Pak Carik dengan wajah resahnya.

Ketiga sesepuh itu tampak sejenak terdiam mendengar cerita dari Pak Carik, mereka pun kini terlihat saling menatap dan tak lama setelah itu, mereka pun mencoba untuk memberi penjelasan.

“Begini Pak Carik.. Kami bertiga sudah membicarakan itu”. Ucap Mbah Jayus mewakili di awal penjelasannya.

“Terus bagaimana Mbah?”. Tanggap Pak Carik yang kembali di sambut oleh Mbah Jayus dengan berkata.

“Kalau perkiraan kami benar, sepertinya ketukan dan gangguan lelembut itu, masih akan terus terjadi di desa ini, sampai nanti barang yang menjadi penyebabnya berhasil kita temukan”. Kata Mbah Jayus yang awalnya membuat Pak Carik tak paham.

“Nuwun sewu.. Barang apa Mbah?”. Tanya Pak Carik yang kali ini di jelaskan oleh Mbah Mangun.

Seperti yang sudah diketahui, Mbah Mangun pun menjelaskan kepada Pak Carik perihal ‘Kain Rombeng’ wasiat mendiang Mbah Gajul, yang harusnya ikut dikuburkan bersama jasadnya. Yang mana dugaan sementara, itu lah yang memicu teror ganjil belakangan ini.

“Kami juga belum bertanya langsung kepada Darwis apakah benda itu sudah benar-benar dikuburkan bersama jasad Kang Gajul, tapi pendapat pribadi saya, tanda-tanda yang sudah terjadi sepertinya mengarah kesana”. Jelas Mbah Mangun yang tiba-tiba membuat dahi Pak Carik mengrenyit karena mengingat sesuatu.

“Oh!!!! Bisa Jadi Mbah!!”. Tanggap Pak Carik beberapa saat kemudian.

“Bisa jadi apa?”. Tanya Mbah Jayus, Mbah Roso dan Mbah Mangun yang juga mengkerutkan alisnya. Yang mana tak lama kemudian Pak Carik pun kembali berkata.

“Saya jadi ingat Mbah.. Tempo hari, beberapa saat sebelum Mbah Gajul dimakamkan, tepatnya ketika rombongan jenazah mulai berjalan menuju makam, Darwis sempat bertanya kepada saya, tentang keberadaan panjenengan-panjenengan (Mbah Jayus, Mbah Roso dan Mbah Mangun) ini, wajahnya memang terlihat panik, apa mungkin itu ada hubungannya ya Mbah?”. Jelas Pak Carik yang seketika membuat ketiga sesepuh itu terdiam beberapa saat.

“Wah.. ‘Bener nek iki koyone’.. (Sepertinya benar ini..)”. Sambut Mbah Roso kini, yang kembali di sela oleh Pak Carik, yang mengajak ke tiga sesepuh itu agar menemui Darwis sekarang juga.

“Nuwun sewu, apa kita ke Darwis saja sekarang?”. Ajak Pak Carik yang langsung di tolak oleh Mbah Mangun.

“Jangan sekarang Mas, kami bertiga ini baru saja lepas dari sawan ‘Seripah’ (lelayu), dan setelah mendengar cerita sampean barusan, kami juga semakin yakin kalau sawan itu adalah ulah dari si Bedhong Mayitnya Gajul, menurut kepercayaan saya, darah kami masih ‘bau’, dan kalau saat ini kami menginjak tempat dimana sawan itu diduga berasal, akan cukup membahayakan tubuh saya, Kang Mangun dan Kang Jayus yang sudah tua ini”. Jelas Mbah Mangun yang memberikan alasan dibalik penolakannya itu.

“Ho’o Pak Carik, kita tunggu barang sehari dua hari sampai pening-pening ini hilang, nah.. Untuk kalau berkenan, malah njenengan saja dulu yang menemui Darwis dan setelah itu melaporkannya kepada kami”. Tambah Mbah Roso kini yang ternyata di tolak juga oleh Pak Carik.

“Wah Ngapunten Mbah.. Kalau itu saya ndak berani, saya tunggu saja sampe panjenengan semua siap, dan kita menemui Darwis sama-sama, dan kalau perlu besok pagi saya akan kirim telegram juga kepada Dirja selaku Bapaknya”. Tolak Pak Carik yang tiba-tiba di jawab Mbah Roso dengan nada yang agak tinggi.

“Ndak usah Mas!! ndak usah kasih tahu Dirja dulu, dia tidak akan membantu apa-apa juga, kalau mempersulit sepertinya malah iya!!, nanti akan ada waktunya satu anak Gajul yang keras kepala itu tahu dan percaya”. Ungkap Mbah Roso yang seperti agak menaruh kebencian dengan anak temannya itu.

“O nggih Mbah, siap kalau begitu ‘Dawuh’ panjenengan, saya manut.. Tapi untuk sekarang, apa yang harus kita lakukan?”. Kata Pak Carik lagi yang meminta petunjuk.

Ketiga sesepuh itu pun sejenak berunding, untuk memikirkan penangkal apa yang paling mudah dibuat, namun setelah beberapa saat saling bertukar pendapat, Mbah Jayus, Mbah Roso dan Mbah Mangun itu tampaknya tak berhasil menemukannya, sampai akhirnya tiba-tiba saja ketiga sesepuh itu pun saling menatap dan sepertinya memikirkan sesuatu yang sama dalam otaknya.
Mbah Roso menggelengkan kepalanya, seakan paham dengan pikiran kedua temannya itu, begitu pula dengan Mbah Jayus yang tiba-tiba berkata.

“Ojo ah ojo..nek kui!!”.
(Jangan ah.. Jangan kalau itu!!). Kata Mbah Jayus tiba-tiba yang segera di timpal oleh Mbah Mangun dengan sebuah pertanyaan.

“Sampean-sampean isih nyimpen to!?”. Kata Mbah Mangun setelah itu.

Pak Carik hanya menatap kebingungan, ia sama sekali tak paham dengan perangai aneh ketiga kakek-kakek di depannya itu, hingga Mbah Mangun pun kembali berkata.

“Satu-satunya yang bisa sedikit menyamai Bedhong Mayit, ya hanya tali mayit..”. Kata Mbah Mangun yang seketika membuat Pak Carik semakin bertanya-tanya.

“Apa-apaan ini!!”. Batin Pak Carik mendengar ucapan yang semakin ngelantur itu.

Sementara Mbah Roso dan Mbah Jayus tampak menanggapi kata Mbah Mangun dengan pasrah, karena sepertinya hanya benda itulah yang saat ini bisa sedikit memperbaiki keadaan.

“Ho’o, benar, memang saya masih menyimpannya”. Kata Mbah Roso yang setelah itu diikuti juga oleh Mbah Jayus yang juga memberikan pernyataan yang sama.

Pak Carik hanya bisa berprasangka, kalau sepertinya ketiga sesepuh itu hendak sedang memaksakan diri untuk melakukan hal yang sebenarnya tidak ingin mereka lakukan, hingga fakta baru pun terkuak.
Yang mana fakta itu adalah, perihal Mbah Mangun, Mbah Roso dan Mbah Jayus, yang ternyata memiliki “Tali Mayit”.

“Berbeda dengan Tali Pocong yang mengikat bagian atas kepala jenazah, Tali Mayit ini adalah tali yang mengikat bagian lain selain kepala dari jenazah yang sudah dikafani, bisa juga bagian, leher, tengah, paha atau pun kaki”.

“Tapi apakah barang yang sudah kita kubur puluhan tahun lalu itu masih utuh?”. Ucap Mbah Jayus yang kembali di jawab oleh Mbah Mangun.

“Yang penting kita masih ingat dimana kita menguburnya, lagi pula, barang itu kan di dalam peti, pastilah masih utuh..”. Kata Mbah Mangun.

Pak Carik hanya bisa ternganga mendengar pembicaraan tak lazim dari ketiga sesepuh di desanya itu, hingga Mbah Roso pun berpesan kepadanya, agar merahasiakan hal ini.

“Gini Mas Carik, pokoknya njenengan diam saja, jangan bilang siapa-siapa, tentang Bedhong Mayit Kang Gajul, begitu juga dengan benda yang baru saja kami bicarakan ini (Tali Mayit itu)”. Kata Mbah Roso yang langsung di sanggupi oleh Pak Carik.

“Nggih Mbah, ‘Sendika Dawuh’ (Siap laksanakan), terus bagaimana ini jalan keluarnya, paling tidak untuk menenangkan orang-orang, soalnya, saya kesini ini juga atas kemauan dari banyak warga, yang ketakutan”. Kata Pak Carik yang kali ini di jawab oleh Mbah Mangun.

“Sudah Mas, katakan sama warga, sedang di urus oleh Para tetua, paling tidak nanti malam, njenengan kesini lagi, kami akan berikan tiga barang (tali mayit) itu, untuk di kuburkan di Gapura, Perbatasan Desa, dan ambang pintu jalan ‘Lembah Pati’”. Ucap Mbah Mangun yang kembali di timpal oleh Pak Carik.

“Waduh!! Kalau saya yang harus melakukannya sendiri, saya ndak berani Mbah, ngapunten.., apa saya boleh mengajak orang lain?”. Timpalnya.

“Boleh..boleh Mas, yang penting orang lain jangan sampai tahu kalau itu adalah Tali Mayit kepunyaan kami”. Kata Mbah Mangun lagi.

“Nggih Mbah, siap, eh tapi apakah ini Manjur Mbah?”. Kata Pak Carik lagi yang sepertinya agak meragu, hingga kini Mbah Jayus yang menjawabnya.

“Manjur Mas, tenang saja, paling tidak Tali Mayit itu bisa meredamnya, sampai Bedhong Mayit itu ditemukan, sudah sekarang panjenengan kabari warga saja, sementara kami akan mulai mempersiapkannya.

Pak Carik pun pamit, dan sore itu juga ketiga sesepuh itu langsung bergegas menuju belakang rumahnya masing-masing sembari membawa ‘Wangkil’ (Cangkul kecil) untuk menggali Tali Mayit yang sudah mereka kuburkan puluhan tahun lalu itu.

Ketiga pria senja itu pun mulai menggali di pekarangan belakang rumah mereka masing-masing, beruntung ingatan kakek-kakek itu masih tajam, sehingga cucukan wangkilnya langsung berada tepat di titik dimana barang ‘Terlarang’ itu di kuburkan.

Singkatnya, setelah daya dan upaya dengan nafas-nafas tuanya, Tali Mayit yang harusnya sudah mereka lupakan itu pun akhirnya mereka pungut lagi, dalam galian yang untungnya tidak terlalu dalam, terjadi momen yang sama namun di tiga tempat yang berbeda. Yang mana Mbah Jayus, Mbah Roso dan Mbah Mangun, sama-sama memohon ampunan Tuhan dan mengucap Maaf dengan menyebutkan nama seseorang.

“Ampun Gusti Pangeran, Amit sewu, Nyuwun pangapunten swargi langgeng kagem almarhumah ‘Ibu Mawarti Suketi’.

“Ampuni Tuhan, permisi dan Mohon Maaf, kekal di Surga untuk almarhumah ‘Ibu Mawarti Suketi’”. Begitulah sekira kata yang sama-sama mereka ucapkan sembari mengangkat barang itu dari dalam tanah. Yang mana, nama perempuan yang mereka sebut itu ternyata adalah, nama dari jenazah yang tali mayitnya 50 tahun lalu mereka curi.

Dalam waktu yang bersamaan pula, pikiran ke tiga sesepuh itu seperti kembali lagi ke masa lalu, mengorek rahasia gelap yang harusnya sudah lama sekali mereka lupakan. Semua teringat kembali kenangan gelap itu, ketika suatu malam Mbah Gajul, Mbah Jayus, Mbah Roso dan Mbah Mangun yang kala itu masih muda, diam-diam menggali makam Ibu Mawarti Suketi yang baru dikuburkan selama 7 hari itu hanya untuk mengambil Tali mayitnya.
Ya!! Ternyata Mbah Gajul juga memiliki Tali Mayit itu.

Benda itu tentu sangat terlarang, cara mendapatkannya juga menabrak tatanan nilai, norma dan agama, tapi entah ‘trend’ macam apa dimasa muda mereka itu, yang justru sempat memiliki rasa bangga setelah mendapatkan Tali Mayit itu.

Malam pun mulai menjelang, ketiga sesepuh itu kembali berkumpul di rumah Mbah Roso untuk menunggu Pak Carik, Tali-tali Mayit itu juga sudah di bungkus rapi, yang mana sesuai rencana akan di kuburkan di 3 titik penting di desa Turi ini.

“Kalau punya Gajul dikubur dimana ya?”. Kata Mbah Jayus dalam obrolan di ruang tamu Rumah Mbah Roso, yang menanyakan.

“Yo.. Pasti di belakang rumah, tapi untuk dimananya itu.. Kita yang ndak tahu”. Tanggap Mbah Mangun.

“Ho’o ya, harusnya memang kurang satu, kalau memang mau benar-benar kuat..”. Sela Mbah Roso, yang langsung ditanggapi oleh Mbah Mangun.

“Halah.. Mbok uwes, ini saja kita terpaksa.. Semoga jasa ini cukup bisa untuk meredam”. Tanggap Mbah Mangun yang setelah itu kembali berkata.

“Saya tahu kalau kita ini sebenarnya ‘emoh’ (enggan), karena tidak bisa kita bantah, barang (Tali Mayit) ini, adalah dosa besar kita di masa lalu, tapi mau bagaimana lagi?, semoga saja ini menjadi penebusan kita”. Tambah Mbah Mangun yang mana kebetulan bersamaan dengan kedatangan Pak Carik yang kalai itu datang berdua bersama Parmin (penggali kubur).

“Wallaikumsalam.. Wuih..monggo-monggo.. Berdua ‘tok’ (saja) ya ini?”. Sapa Ketiga sesepuh yang langsung di jawab oleh Pak Carik.

“Nggih Mbah.. Kami hanya berdua, para warga juga sudah saya kasih kabar.. Pokoknya mereka ‘Pasrah Bongkok’an’ (Memberi kuasa penuh dan meminta tolong) kepada ‘panjenengan-panjenengan’ (Para sesepuh)”. Jawab Pak Carik malam itu.

Untuk sejenak mereka semua pun berbasa-basi, dan setelah itu masuklah mereka ke dalam inti rencana malam ini, yang mana sesuai agenda yang tadi sore Mbah Mangun katakan. Sekarang Pak Carik dan Parmin diperintahkan untuk menguburkan ketiga bungkusan hitam yang berisi Tali Mayit itu, di tiga titik tempat di desa Turi ini, yaitu di Gapura, Perbatasan Desa Turi dan Desa sebekah, dan di ambang pintu jalan setapak menuju ‘Lembah Pati’.

“Sudah cukup, sekarang silahkan kuburkan bungkusan itu, kira-kira seukuran dua jengkal tangan panjenengan, di tempat yang tadi saya sebutkan”. Tukas Mbah Mangun yang segera di susul oleh berangkatnya Pak Carik dan Parmin untuk menguburkan benda-benda itu.

Menit pun berganti jam, dengan malam yang kini sudah semakin larut, Para sesepuh berada di rumahnya masing-masing, detik ini mereka masih terjaga, menunggu cemas, berharap 3 tali mayit yang sudah tertanam di tiga titik itu benar-benar bisa bekerja untuk menghalau para lelembut yang kuat disangka telah digerakkan oleh jin ‘Bedhong Mayit’ milik mendiang Mbah Gajul itu.

Bersambung ke Part 4.
>> https://www.kaskus.co.id/show_post/6...2615080f71b4a7
Diubah oleh agilrsapoetra 16-09-2023 17:24
khairunnisak041
winehsuka
sampeuk
sampeuk dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.