- Beranda
- Stories from the Heart
BEDHONG MAYIT (PART 1)
...
TS
agilrsapoetra
BEDHONG MAYIT (PART 1)

Pengantar.
‘Bedhong Mayit’, di beberapa daerah khususnya Jawa Tengah, secara umum ‘Bedhong Mayit’, adalah istilah untuk menyebut lapisan kain kafan paling pertama, yang diperuntukkan sebagai pembungkus tubuh jenazah sebelum di Pocong atau dikafani seluruhnya.
Tapi di dalam ilmu jawa kuno yang tentunya tidak elok dan sangat terlarang, ‘Bedhong Mayit’ ini juga diyakini mempunyai tuah hampir mirip seperti ‘Tali Pocong’ bahkan tingkatannya terbilang sangat jauh di atasnya, namun karena mungkin cara mendapatkannya juga sangat tidaklah mudah dan resikonya yang tak main-main, semua ilmu yang berkesinambungan dengan ‘Bedhong Mayit’ ini pun, seiring berjalannya waktu, perlahan-lahan mulai dilupakan dan sudah sangat jarang sekali orang yang mau menekuninya.
‘Namun’, ternyata ada satu manusia, dan mungkin saja ia adalah satu-satunya orang di tanah jawa ini, yang masih menyimpan dan merawat ilmu terlarang bernama ‘Bedhong Mayit’ itu.

“BEDHONG MAYIT”. Part 1. (Pembuka)
Di suatu sore di Desa Turi, Jawa tengah kisaran tahun 1974-1975.
Seorang pemuda tampak berlari tergopoh-gopoh, sembari mengabarkan sesuatu kepada setiap orang-orang yang ia temui di sepanjang jalan.
Pemuda itu adalah Darwis, cucu dari salah satu sesepuh desa, yang saat itu tengah mengabarkan kepada orang-orang bahwa kakeknya sudah meninggal.
“Tulung... Tulung!! Mbah Kakung ‘Seda’ (meninggal)”. Ucapnya dengan mimik kata yang menahan tangis.
Jelasnya yang Darwis wartakan saat itu adalah ‘Mbah Gajul’, kakeknya sekaligus sesepuh dan Ahli ‘Suwuk’ (Penyembuh) yang cukup dituakan di desa Turi ini.
Tapi Beda dengan Darwis sang cucu, para warga justru tampak tak terlalu terkejut dengan warta kematian itu, karena memang kurang lebih sudah 3 tahun terakhir ini, Mbah Gajul sakit dan tidak bisa apa-apa.
Kentungan penanda adanya lelayu segera di bunyikan, di lanjut dengan warga yang bergerak kondusif, menuju rumah Mbah Gajul, untuk mempersiapkan semua hal-hal yang harus dilakukan, maklum saja, mendiang memang hanya tinggal berdua dengan cucunya dan selama ini di rawat oleh sang cucu Darwis, sementara anak satu-satunya (Ayah Darwis) sudah mapan di luar kota.
Singkat cerita, jenazah Mbah Gajul pun sudah dimandikan serta dikafani, dan kini telah berada terbujur beralas tikar. Terlihat Darwis yang sudah bersimpuh di depan tubuh kakeknya itu, bersamaan dengan para pelayat yang silih berganti melihat tubuh Mbah Gajul sebelum di bawa ke makam.
“Nang, apakah Bapakmu sudah diberitahu?”. Tanya Mbah Jayus salah satu sesepuh juga di desa Turi ini.
“’Sampun’ (Sudah) Mbah, tadi Pak Carik yang pergi ke kantor pos, untuk mengirim telegram ke Bapak”. Tanggap Darwis seraya mengusap air matanya.
“Sing sabar ya le.., menurut Gusti, ini sudah yang terbaik, lagi pula, Kasihan simbahmu ini kalau sakit-sakitan terus”. Kata Mbah Jayus kepada Darwis saat itu.
“Njih Mbah, kalau saya sih sangat ikhlas, karena saya sebenarnya juga ndak tega melihat Mbah Kakung sakit-sakitan”. Tanggap Darwis yang setelah itu tiba-tiba teringat tengang wasiat kakeknya sebelum meninggal, yang hingga detik ini sama sekali tak ia pahami.
“O nggih Mbah, saya jadi ingat, sejak Mbah Kakung mulai sakit, kurang lebih sudah tiga kali beliau ini mengatakan kepada saya, perihal ‘Kain Rombeng’ yang suatu saat harus dan wajib di kuburkan bersamanya kalau Mbah Kakung ini wafat”. Ungkap Darwis yang langsung membuat dahi Mbah Jayus mengrenyit.
“Hah.. ‘Kain Rombeng’?”. Kata Mbah Jayus yang tampak berpikir sejenak dan tak lama kemudian langsung menemukan jawabannya.
“Owalah ‘Kelingan aku’ (Saya ingat), saya kira selama ini benda itu sudah dilarung, Yawes ayo kita cari, apakah Mbahmu juga mengatakan dimana dia menyimpan barang itu?”. Kata Mbah Jayus yang awalnya membuat Darwis semakin bingung.
“Apa sih itu Mbah?”. Tanya Darwis yang tak lama kemudian dijawab oleh Mbah Jayus sembari mengajaknya bangkit untuk mencari barang itu dimulai dari kamar Mbah Gajul.
“Wes.. Ayo ‘Menyat’ (Berdiri), kita cari dulu barang itu”. Kata Mbah Jayus yang mengajak Darwis agar segera mencari ‘Kain Rombeng’ itu.
Hingga sesampainya di dalam kamar, barulah Mbah Jayus mengatakan bahwa ‘Kain Rombeng’ yang menjadi wasiat dari Mbah Gajul itu, adalah kain ‘Bedhong Mayit’.
“Itu Bedhong Mayit nang, warisan turun-temurun dari simbah buyutmu”. Jelas Mbah Jayus di dalam kamar mendiang Mbah Gajul, yang seketika membuat tengkuk Darwis sedikit bergidik.
“Waduh apa itu Mbah?”. Tanya Darwis setelah itu.
“Wes..wes saya jelaskan nanti saja, sekarang yang paling penting, kita harus segera menemukan itu”. Tanggao Mbah Jayus, yang setelah itu langsung memulai pencarian di setiap bagian.
“Payah itu, kalau sampai ndak ketemu, soalnya itu adalah wasiat terakhir, ‘Ora ilok’ (pamali) kalau kita tidak menurutinya, pasti ada maksud tertentu sampai-sampai simbahmu mewasiatkannya”. Ucap Mbah Jayus sembari terus mencari benda itu bersama Darwis.
Sepertinya mereka telah mencari di semua sudut dan setiap jengkalnya kamar Mbah Gajul itu, dari kolong ranjang, bawah bantal, sampai di sela lipatan baju-baju yang berada di lemari, tapi mereka tak juga menemukan benda yang dimaksud. Hingga akhirnya mereka pun keluar sembari berpikir untuk mencarinya di tempat lain.
Wajah Mbah Jayus terlihat memerah, ada rasa takut yang coba untuk ia tutup-tutupi kala itu, entah apa alasannya, yang jelas Mbah Jayus kembali berkali-kali mengulang perkataannya bahwa ‘Kain Rombeng’ yang menurutnya adalah ‘Bedhong Mayit’ itu, harus segera mereka temukan.
“Tenang Mbah, habis ini kita cari di ruangan lain”. Kata Paimin yang mulai merasa aneh dengan gelagat Mbah Jayus.
Mungkin bagi Darwis yang masih muda, wasiat kakeknya itu bukanlah hal yang terlalu penting, “Lagi pula itu kan hanya kain rombeng, apa pentingnya sih? Kecuali kalau wasiat harta atau warisan, baru itu harus disampaikan”. Batin Darwis saat itu.
Hingga sore pun berganti malam, liang lahat memang sudah siap beberapa jam lalu, tapi hingga malam ini, jenazah Mbah Gajul belum dikebumikan, itu semua atas saran dari orang-orang yang memilih untuk menunggu Pak Dirja anak Mbah Gajul sekaligus ayah Darwis itu, menerima telegram dari Pak Carik tentang warta meninggalnya Mbah Gajul ini, karena rasa-rasanya, akan lebih elok jika anaknya satu-satunya itu menyaksikan sendiri jenazah ayahnya masuk ke dalam pusara.
Tampak warga yang berkumpul di bawah tenda sederhana, yang berdiri di depan Rumah Mbah Gajul, terlihat juga di sana, Darwis yang tengah mengobrol dengan para pemuda sebayanya, tak terlihat lagi raut kesedihan di wajahnya, karena mungkin sedang teralih oleh canda-canda dari temannya itu.
Malam itu, Mbah Jayus kembali datang dan langsung kembali menemui Darwis, ia bertanya lagi kepada cucu Mbah Gajul itu, apakah ‘Kain Rombeng’ yang tadi sempat mereka cari itu sudah diketemukan atau belum.
“’Dereng’ (Belum) Mbah.. Besok saja, Bapak yang nyari, sepertinya dia lebih tahu perihal itu..”. Jawab Darwis yang sebenarnya tak terlalu peduli dengan wasiat dari Kakeknya itu.
Mendengar jawaban dari Darwis, Mbah Jayus pun berlalu sembari berpesan agar Darwis atau Bapaknya itu besok benar-benar mencari benda itu sampai ketemu.
Tapi, baru saja Mbah Jayus beranjak dan duduk bersama orang tua sebayanya di sudut lain tenda itu, tampak dua orang kakek-kakek menghampiri Darwis lagi, ia adalah Mbah Roso dan Mbah Mangun, salah dua dari sesepuh di desa Turi ini, yang mana beliau-beliau ini menanyakan hal yang kurang lebih sama seperti yang tadi ditanyakan oleh Mbah Jayus.
Darwis pun menjawab sembari menghela nafasnya, dengan mengulang jawaban yang tadi ia ucapkan kepada Mbah Jayus, bahwa Ayahnya lah yang besok akan mencari ‘Bedhong Mayit’ atau ‘Kain Rombeng’ itu.
Dalam ke-tidak-paham-an-nya, Darwis tentu merasa jengkel karena teman-teman kakeknya itu malah lebih serius mengurusi hal yang tak rasional itu dari pada menghargai perasaannya yang tengah berduka itu.
“Apaan sih, pasti Mbah Jayus yang memberi tahu mereka, lagian kenapa juga tadi saya malah memberitahu tentang wasiat dari Mbah Kakung itu..”. Batin Darwis yang agaknya malah menyesal karena telah membicarakan wasiat itu.
Sejatinya, manusia yang paling sedih atas wafatnya Mbah Gajul adalah Darwis itu sendiri, alasannya karena memang sejak ibunya meninggal dan ayahnya memilih kerja di luar kota, dari usia 8 tahun, mendiang Mbah Gajul dan mendiang ‘Mbah Runi’ (istrinya) lah yang merawatnya.
Tak ditampik Juga oleh Darwis bahwa saat ini ia benar-benar merasa sedih dan kehilangan, tapi entah mengapa, khusus dalam konteks ‘nir-logika’ ini, Darwis merasa kalau itu bukanlah hal yang harus diseriusi. Mungkin memang Sulit, memasukkan sebuah ke-tidak-masuk-akal-lan untuk menjangkau pikiran seorang seperti Darwis, yang waktu itu baru menginjak usia yang ke-23thn.
Singkat cerita hari berikutnya, kala itu, sekira pukul 10.00 pagi, Pak Dirja ayah Darwis itu pun tiba, menandakan bahwa telegram kiriman dari Pak Carik, benar-benar telah sampai kepada anak Mbah Gajul itu.
Selayaknya orang yang kehilangan, tangisan Pak Dirja pun pecah seketika, ia berjalan tertatih-tatih merangsek bergumul di antara para pelayat dan langsung dihampiri oleh Darwis yang matanya juga sudah mulai berair.
Darwis pun memapah Pak Dirja ayahnya yang baru tiba itu, ia melangkah masuk dan langsung memperlihatkan jenazah Mbah Gajul, hingga tangisan pun semakin pecah, oleh Pak Dirja begitu pula dengan Darwis. Kini, di depan Jenazah, Ayah dan anak itu pun menangis bersama.
Hingga setelah beberapa detik dan menit berlalu, Pak Dirja yang sudah agak bisa menata nafasnya pun berkata kepada Darwis, agar jenazah Mbah Gajul segera dimakamkan.
“Min, panggilkan ‘Pak Kaum’ (Pak ustad), kita bawa Mbah Kakung ke makam sekarang”. Pinta Pak Dirja kepada Darwis.
Darwis pun keluar, menghampiri Pak Kaum yang kebetulan juga tengah duduk di antara para pelayat itu, perihal perintah dari ayahnya yang ingin jenazah kakeknya itu segera diberangkatkan.
Hingga singkatnya, di depan rumah, sekira mungkin 30 sampai 40 menit kemudian, Jenazah Mbah Gajul pun sudah berada di dalam keranda, bertutup dengan ‘ambyang-ambyang’ lengkap juga dengan rangkaian bunga mawar dan pandan yang ‘tersampir’ menyelempang di atasnya.
Tampak kini Pak Lurah memberikan sepatah dua patah kata berlanjut dengan Pak Kaum yang mulai memanjatkan doa pengantar, sebelum membawa jenazah Mbah Gajul ke makam setempat.
Suasana doa saat itu cukup hikmat, semua orang menunduk, menengadahkan tangannya, tapi tidak dengan Darwis, yang kini justru tampak gelisah, menoleh kesana kemari seperti tengah mencari seseorang.
Benar!! Lagi-lagi entah mengapa, di antara doa pengantar yang sedang dibacakan oleh Pak Kaum itu, tiba-tiba saja Darwis kepikiran akan wasiat kakeknya, dengan gelisah ia kini terlihat menerawangi setiap wajah para pelayat, berharap ada Mbah Jayus, Mbah Roso atau pun Mbah Mangun disitu. Tapi nihil, karena ia pun segera sadar bahwa teman-teman kakeknya itu memang tidak ada.
Darwis yang semakin gelisah, kini terlihat menoleh ke arah Ayahnya, saat itu ia mulai berpikir untuk menyampaikan wasiat mendiang kakeknya itu, akan tetapi situasinya tak mendukung, yang mana keadaan saat itu, mulai membuatnya merasa sulit untuk merangkai kata-kata, hingga waktu pun akhirnya terbuang bersamaan dengan doa dari Pak Kaum yang sudah selesai di panjatkan.
Jenazah Mbah Gajul pun mulai diberangkatkan menuju makam, dalam iring-iringan, wasiat itu seperti semakin mengganggu pikiran Darwis, sekali lagi ia menoleh dan mencari keberadaan teman-teman kakeknya, sampai akhirnya Darwis pun mencoba untuk bertanya kepada para warga, hingga setelah beberapa kali menanyakan kepada orang-orang yang berbeda, ia pun akhirnya mendapatkan jawaban, yang pada intinya mengatakan bahwa mereka semua, yaitu Mbah Jayus, Mbah Roso atau pun Mbah Mangun, tiba-tiba sakit.
Darwis pun pasrah dalam situasi itu, dan mencoba untuk kembali berpikir logis, hingga singkatnya setelah melalui semua prosesi, jenazah Mbah Gajul pun akhirnya di makamkan tak sesuai seperti yang telah diwasiatkan.
Sore pun berganti malam, doa tahlil baru saja selesai di laksanakan oleh para warga, tampak kini Darwis duduk bersama dengan teman sebayanya, dengan perasaan bersalah yang kini mulai membayanginya.
“Apa ndak papa ya?”. Batin Darwis saat itu bersamaan dengan tepukan pundak dari Ayahnya yang menyuruh dirinya untuk membelikan sebungkus rokok.
“Bapak belikan rokok sana le.. Satu ‘Slop’ sekalian, buat melekan orang-orang”. Pinta Pak Dirja kepada anaknya Darwis.
Darwis berjalan menuju warung, dengan perasaan bersalah yang kian berputar-putar di otaknya. “Ah biarkan saja”. Batinnya sembari terus melangkah.
Sebetulnya rasa bersalahnya itu bukanlah tentang akibat yang akan timbul, toh ia juga tidak terlalu percaya dengan hal-hal klenik semacam ini, tapi yang sebenarnya menjadi beban pikirannya saat ini adalah, betapa kurang ajarnya dia, tidak mau memenuhi wasiat kakeknya yang menurutnya bukanlah hal yang terlalu sulit untuk dilakukan, tapi mau bagaimana lagi, semuanya sudah terlanjur.
Hingga kejadian aneh pun terjadi, yang mana ini mungkin adalah awal yang diakibatkan oleh setitik kesalahannya itu.
Saat itu, Darwis yang baru saja sampai setelah membeli rokok, seketika dibuat terheran-heran, dahinya mengrenyit melihat tenda depan rumahnya yang semula ramai, kini tampak sepi, dengan meja dan kursi-kursi yang terlihat sedikit kacau.
“Pak!!! Bapak!!”. Panggilnya seraya berjalan meragu.
Ia pun melangkah masuk ke dalam rumah, menoleh kesana dan kemari sembari terus memanggil-manggil ayahnya itu.
“Apa-apaan ini”. Batinnya yang semakin keheranan.
Namun tak lama setelah itu, ia pun seketika merasa lega, saat samar-samar ia mendengar suara keramaian dari arah belakang rumahnya.
“Lagi pada ngapain disana?”. Ucapnya sembari beranjak menghampiri sumber dari suara itu.
Suaranya jelas dari belakang rumah, bahkan sesampainya ia di ruangan paling belakan, yaitu di ambang pintu dapur, Darwis 1000% sangat yakin bahwa suara orang ramai itu masih benar-benar ia dengar.
Tapi semua berubah senyap, ketika ia membuka pintu belakang itu, karena suara yang semula ia dengar ramai itu, sekarang tiba-tiba lenyap seketika, dan berubah menjadi keheningan.
Darwis melangkah keluar dari pintu untuk memastikan, yang mana kenyataannya, keadaan belakang rumahnya itu memang benar-benar sepi dan hening. “Apa saya salah dengar ya?”. Batin Darwis seraya berbalik dan hendak kembali masuk, akan tetapi, belum sampai ia melangkahkan kakinya, tiba-tiba, dengan samar, ia seperti mendengar suara seorang wanita yang sedang bersenandung.
Menyadari itu, Darwis sempat menghentikan langkahnya, ia pun hendak berbalik dengan maksud untuk memastikan suara nyanyian itu.
Tapi belum sempat ia membalikkan tubuhnya, tiba-tiba, nyanyian itu berhenti bersamaan dengan suara wanita yang berkata sembari menepuk satu pundaknya.
“AKU IKI ONO LHO!!!”.
(AKU INI ADA LHO!!). Ucap suara dari seorang wanita sembari menepuk pundak Darwis.
Darwis terkejut bukan main, tapi entah apa yang ada di pikirannya saat itu, cucu Mbah Gajul itu, justru malah membalikkan badannya. Hingga terlihatlah kini tepat beberapa jengkal di depan matanya, sosok yang baru saja berbicara dan menepuk bahunya itu. Sosok itu berupa wujud tubuh yang seluruhnya ditutupi oleh kain lusuh.

Darwis sempat bertahan beberapa detik dalam keadaan itu, hingga akhirnya ia pun berlari keluar, dan kembali bingung setelah melihat keadaan depan rumahnya yang ternyata masih ramai dengan orang-orang.
“Mana rokoknya!! Di panggil-panggil kok malah nylonong masuk aja..”. Kata Ayah Darwis yang seketika membuyarkan kebingungan itu.
Bersambung ke Part 2
Link Part 2 : https://www.kaskus.co.id/show_post/6...eebe12e03f2cf4
Diubah oleh agilrsapoetra 16-09-2023 17:34
sarahfetter9012 dan 32 lainnya memberi reputasi
31
12.9K
54
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
agilrsapoetra
#1
BEDHONG MAYIT (Part 2)

13 hari sudah berlalu sejak meninggalnya Mbah Gajul, Darwis masih dibayangi oleh rasa bersalahnya, apa lagi tiga hari terakhir ini, desas-desus mulai tersebar di seluruh desa Turi, tentang banyak rumah-rumah warga yang sering diketuk saat tengah malam.
Ada asumsi liar yang berhembus, bahwa ketukan itu adalah ketukan dari arwah Mbah Gajul yang tali pocongnya lupa dibuka.
“Ah ndak mungkin, saya ini ikut menurunkan ‘swargi’ (almarhum) Mbah Gajul lho.. Ke liang lahat, saya juga ingat kalau Pak Kaum sudah membuka tali itu”. Sangkal Parmin sang penggali makam, dalam obrolan sore di kedai kopi pinggir desa Turi.
“Owalah, jadi semua ini apa penyebabnya?, apa mungkin itu adalah ‘cekelan’ (pegangan) Mbah Gajul yang ‘Nyrumbul’ (lepas), karena majikannya sudah meninggal?”. Tanggap salah seorang lainnya di kedai kopi itu, yang kembali Parmin jawab.
“Bisa jadi, tapi entahlah, harusnya Mbah Jayus, Mbah Roso sama Mbah Mangun tahu maksud dari semua ini”. Jawab Parmin yang segera dipotong oleh Bu Yati, sang pemilik kedai.
“Wah, Mbok ditanyakan to Kang Parmin, ke mereka, biar segera diatasi, soalnya sejak Mbah Gajul meninggal, warung saya ini semakin sepi saja kalau malam..”. Sela Bu Yati sore itu.
“Iya Mbakyu, sudah sejak tiga hari lalu saya juga sowan ke sana, tapi beliau-beliau (Mbah Jayus, Roso, Mangun) ini lagi pada sakit semua, ndak bisa ditemui, agak aneh juga, katanya para sesepuh-sesepuh ini sudah sakit sejak sehari setelah Mbah Gajul meninggal”. Ucap Parmin seraya menyesap kopinya.
Kembali ke rumah mendiang Mbah Gajul, tampak sebuah pembicaraan singkat antara Darwis dan ayahnya, yang sore itu hendak pulang lagi ke luar kota.
“Yakin kamu le.. Mau tinggal disini sendiri?, ikut Bapak saja to, nanti akan bapak siapkan kamar di sana”. Tawar Pak Dirja kepada Darwis saat itu.
“Ndak dulu lah Pak, mungkin besok setelah 40 hari Mbah Kakung, itu pun kalau Darwis ‘karep’ (mau)”. Tolaknya tanpa memberikan alasan jelas.
Ayahnya tak heran dengan perangai Darwis, ia sepertinya tahu, kalau ada sesuatu yang tengah membebani anaknya itu, hingga akhirnya Pak Dirja pun memancingnya dengan umpan yang sangat tepat.
“Kenapa memang le? Kepikiran wasiat simbahmu?”. Ucap Pak Dirja yang seketika membuat Darwis terkejut.
“Lhoh.. Kok Bapak tau?”. Jawab Darwis.
“Ya tahu lah.. Wong Bapak juga berkali-kali di beri wasiat itu kok, bahkan dari Bapak masih seumuran kamu..”. Jawab Pak Dirja yang semakin memancing beribu tanya di otak anaknya itu.
“Lhoh.. Kok Bapak Ndak bilang?, berarti bapak tahu dimana ‘Kain Rombeng’ itu?”. Tanya Darwis lagi.
“Wah Ndak tahu kalau itu, sudah to, ndak usah dipikir, sebuah wasiat itu boleh kita turuti selama itu masuk akal dan ‘ora nganeh-anehi’ (tak wajar), kalau ‘Bedhong Mayit’ itu kan ngeri to le, yang benar saja kita harus memasukkan itu kedalam pusara Mbah Kakung, apa ndak menyalahi aturan agama?”. Kata Pak Dirja, yang sebenarnya menyiratkan kalau ada sebuah ke-tidak cocokkan antara dirinya dengan mendiang Mbah Gajul.
“Oh begitu..”. Tanggap Darwis singkat.
Meski alasan Pak Dirja cukup masuk akal, sebenarnya dititik ini Darwis agak tidak setuju, apa lagi jika berkaca pada kejadian ganjil yang tempo hari ia alami, yang sayangnya belum ia ceritakan kepada siapa-siapa.
“Eh Bapak denger ndak, kalau belakangan ini katanya banyak rumah tetangga kita yang diketuk-ketuk sama dedemit?”. Kata Darwis yang tiba-tiba merubah arah pembicaraan, yang mana membuat ayahnya menanggapinya dengan sedikit terkekeh.
“Hahaha.. Tahu-tahu, ada juga orang yang sampai kepada Bapak, dan sudah Bapak Klarifikasi juga..hahaha..”. Jawab Pak Dirja.
“Hah.. Apanya yang diklarifikasi Pak?”. Tanya Darwis yang kurang memahami.
“Jadi itu lho, ‘Mbah Narti Paring’ kemarin sempat nanya Bapak, apakah pas Mbah Kakung dikubur kemarin, tali pocongnya sudah dilepas apa belum, orang-orang itu nyangkanya ketukan itu adalah arwah Mbah Kakung yang meminta tali pocongnya untuk dilepas, hahahaha.. Sudah gila kan?, lawong bapak ini juga ikut membopong simbah turun ke liang lahat kok, dan melihat juga kalau Pak Kaum sudah melepaskan tali itu.. Hahahah.. Beginilah orang-orang ‘Turi’ ini, sedikit-sedikit tahayul”. Tanggap Pak Dirja, yang membuat Darwis anaknya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Lagi pula, kalau ketukan itu benar-benar terjadi, kenapa selama ini kita tidak mendengarnya dirumah ini?, sudahlah, Bapak yakin itu hanya isu yang sengaja disebarkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab”. Tukas Pak Dirja yang cukup membuat Darwis sedikit terpengaruh.
“Betul juga ya Pak.. Eh tapi sepertinya paling tidak saya harus dirumah ini pak, paling tidak sampai 40 harinya Mbah Kakung, saya takut kalau kita nanti malah jadi bahan gunjingan”. Kata Darwis yang mengembalikan topik awal pembicaraan mereka.
“Oh iya le.. Bener-bener.. Nanti pas 40 hari, Bapak juga kesini lagi kok, tapi yakin kamu ndak kesepian dirumah ini sendirian?”. Ucap Pak Dirja.
“Berani lah Pak, kalau kesepian, paling saya nyuruh Paijo buat nemenin saya tidur disini”. Jawab Darwis yang mengatakan masih ada ‘Paijo’ sahabatnya yang nanti bisa menemaninya di rumah ini.
Pembicaraan itu pun usai, bersamaan dengan mobil jemputan Pak Dirja yang sudah menunggu di depan rumah, Pak Dirja pun berangkat lagi ke luar kota untuk mengurusi pekerjaannya, dan berjanji kepada Darwis kalau ia akan kembali lagi ke ‘Turi’ nanti saat acara 40hariannya Mbah Gajul.
Sore pun berganti malam,
Tampak di kediaman Mbah Jayus tengah terjadi pembicaraan yang cukup serius, antara Mbah Jayus, istrinya dan seorang nenek 70 tahunan yang bernama Mbah Pik, beliau adalah dukun beranak sekaligus ahli ‘suwuk’ dari desa sebelah. Malam itu Mbah Pik baru saja selesai mengobati Mbah Jayus yang konon sakitnya sekira hampir dua minggu ini dikarenakan oleh ‘Sawan Pati’, yaitu penyakit Sawan yang disebabkan oleh aura negatif dari orang yang meninggal.
“’Gesang’ (meninggal) nya Kang Gajul, membuat saya menginjakkan kaki lagi di desa Turi ini, setelah sekian puluh tahun”. Kata Mbah Pik, yang kurang lebih menjelaskan bahwa setelah meninggalnya Mbah Gajul, mulai sekarang sepertinya ia lah yang akan menggantikan tugasnya sebagai ‘Tukang Suwuk’ di desa tetangganya ini.
“Benar Mbakyu, sepertinya panjenengan bakalan banyak dimintai tolong sama orang sini”. Tanggap Mbah Suri, istri Mbah Jayus.
“Semoga saja saya selalu diberi kesehatan di usia tua ini”. Sambut Mbah Pik yang tak lama kemudian ditimpal oleh Mbah Jayus yang mengatakan masih ada dua orang temannya yang sepertinya butuh pertolongan Mbah Pik.
“Eh Ho’o Mbak yu, sampean harus kerumah Roso dan Mangun, sepertinya mereka juga mengalami hal yang sama seperti saya”. Sela Mbah Jayus yang saat itu mengatakan bahwa dua temannya yaitu Mbah Roso dan Mbah Mangun, juga tengah ambruk, dalam waktu yang sama seperti dirinya, yaitu sejak sehari setelah Mbah Gajul meninggal.
“Oh ya..ya Kang, habis ini saya kesana, ah.. memang begitulah resikonya Kang, kalau seorang ‘kuncen’ (tetua) meninggal, yang sedih itu bukan hanya manusia hidup, para lelembut dan jiwa ‘Pepunden’ (leluhur) desa ini juga ikut merasakan susahnya, sehingga ‘tulahnya’ menyebar kemana-mana”. Ucap Mbah Pik yang ditimpal oleh istri Mbah Jayus yang tiba-tiba bercerita tentang rumor rumah-rumah warga di desa Turi ini yang pintunya sering mendapatkan ketukan kala tengah malam.
“Apa benar begitu bune?”. Tanggap Mbah Jayus.
“Kalau menurut orang-orang sih begitu, ini lagi rame banget dibicarakan lho, njenengan kan ndak tahu, wong sudah hampir dua minggu ini njenengan ndak keluar dari rumah”. Tanggap Mbah Suri.
“Tapi apa rumah kita juga ikut diketuk?”. Kata Mbah Jayus lagi kepada istrinya.
“Ndak sih, kalau setahu saya, ndak pernah dengar juga”. Jawab Mbah Suri yang ditanggapi lagi oleh Mbah Jayus dengan meminta pendapat Mbah Pik, jika semisal rumor ketukan itu memang benar, apakah ada hubungannya dengan kematian Mbah Gajul.
“Wah kalau itu saya ndak tahu juga kang, pastikan dulu saja kebenarannya”. Ucap Mbah Pik yang terlihat tidak ingin berbicara lebih jauh tentang rumor ketukan itu.
“Ya sudah Kang, saya pamit dulu, sekalan pergi ke tempat Kang Roso sama Kang Mangun, mumpung belum terlalu malam”. Pamit Mbah Pik yang sekaligus menyudahi obrolan itu.
Menit pun berganti jam, hingga tak terasa kala itu sudah menjelang tengah malam, bersamaan dengan gerimis kecil yang tampak mulai turun membasahi Desa Turi.
Sunyi... Sepinya desa itu, tampaknya sudah bertahan dari habis isya sampai sekarang, apalagi kalau bukan karena ketukan-ketukan itu yang sepertinya membuat sebagian besar warga satu atau dua pekan terakhir ini, tak berani keluar rumah setelah petang menjelang.
Kembali lagi ke kediaman Mbah Jayus..
Malam ini, adalah malam di mana akhirnya Mbah Jayus bisa tertidur dengan nyenyak, tak seperti kemarin, saat belum mendapat ‘Suwuk’ dari Mbah Pik, yang mana hampir seminggu lebih Mbah Jayus selalu terbangun oleh perutnya yang tiba-tiba mual, dan kepalanya yang tiba-tiba pening.
Mbah Suri juga kurang lebih merasakan hal yang sama, ia malam ini akhirnya bisa tertidur dengan tenang, karena tak lagi harus terbangunkan oleh Mbah Jayus yang meminta sesuatu saat tengah malam.
Tapi di tengah lelapnya malam itu, di antara suara rintik hujan yang menimpa genting rumah mereka, terselip ketukan-ketukan di jendela kamarnya.
“Tok..tok..tok..”.
“Tok..tok..tok..”.
“Tok..tok..tok..”. Suara ketukan dari luar jendela yang terdengar beberapa kali, hingga akhirnya membangunkan Mbah Suri.
Istri Mbah Jayus itu pun terbangun dan dengan mata yang saat itu masih separuh terpejam, ia merasa tak begitu yakin dengan suara yang membangunkannya itu. Sejenak pandangannya mengarah ke arah jendela, tapi karena memang tidak ada apa-apa, ia pun kembali hendak melanjutkan tidurnya.
“Huh..”. Engahnya sembari membalikkan tubuhnya untuk mendapatkan posisi ternyaman.
Namun belum sampai ia kembali memejamkan matanya, sayup-sayup ia mendengar sesuatu, alis Mbah Suri seketika mengkerut untuk mencermati, hingga kantuknya pun mendadak sirna berganti dengan matanya yang kini terbelalak setelah menyadari suara yang semula seperti dari kejauhan itu, seakan semakin mendekat ke arah rumahnya.
Suara itu bukanlah ketukan, bahkan menurutnya lebih ganjil dari itu, karena secara sekilas suara itu mirip dengan suara ‘Tahlil’ (Laa ilaaha illallah), yang mana jika boleh dicontohkan, suara itu seperti layaknya rombongan orang yang tengah menggotong keranda menuju menuju pemakaman sambil ber’Tahlil’.
“Manusia gila mana yang memakamkan orang selarut ini!!”. Batin Mbah Suri saat itu.
Mbah Suri memang bukanlah seorang pemberani, tapi ia juga bukan tipe orang yang mudah untuk ditakut-takuti. Hal itu terbukti karena saat itu Mbah Suri justru berniat untuk memeriksa keanehan itu. Ia pun segera bangkit dan buru-buru keluar dari kamarnya, bersamaan dengan suara mirip rombongan pembawa jenazah itu, yang kian jelas terdengar.
Mbah Suri bergegas ke ruang depan, mendekati jendela, dan menyingkap tirainya seukuran satu bola matanya. Dan benar!! tak sampai beberapa detik setelah itu terlihatlah rombongan ‘ganjil’ yang berjalan melewati depan rumahnya.

Dan bersamaan dengan itu, Mbah Suri juga segera menyadari bahwa kalimat yang di ucapkan oleh rombongan iring-iringan pengantar jenazah itu bukanlah “Tahlil” melainkan ungkapan dalam serapan kalimat bahasa jawa yang berbunyi.
“Muliho..Muliho..Muliho”. Begitulah sekira dalam pendengaran singkat Mbah Suri, yang mana kata ‘Muliho’ itu dalam bahasa jawa mempunyai arti ‘Pulanglah’.
Mbah Suri masih terpaku dari balik singkapan tirainya itu, hingga akhirnya setelah rombongan jenazah itu sudah benar-benar lewat dan semakin jauh dari rumahnya, barulah ia sadar dan langsung bergegas kembali ke kamarnya.
“Agsafirullah.. Agstafirullah.. Agstafirullah..”. Ucapnya seraya berjalan masuk ke kamarnya.
Mbah Suri pun naik lagi ke tempat tidurnya, dengan ekspresi takutnya yang berusaha ia sembunyikan, namun saat ia mencoba untuk kembali merebah, tiba-tiba saja Mbah Jayus terbangun dan langsung berkata.
“Siapa Bune?”. Tanya Mbah Jayus tiba-tiba, yang membuat Mbah Suri yang tengah gugup itu cukup terkejut.
“Agstafirullah!!!! Annn..nnu Pak..”. Tanggap Mbah Suri yang tentu belum siap merangkai kata-katanya, karena melihat suaminya yang tiba-tiba terbangun.
Entah apa yang melatar belakangi pertanyaan Mbah Jayus itu, yang jelas saat itu ia seperti paham dan mengerti kalau istrinya baru saja mengalami ke-tidak-wajaran. Hingga ia pun kembali mengulangi pernyataannya.
“Siapa Bune? Sampean ini lihat apa?”. Tanya Mbah Jayus lagi, hingga tak lama setelah itu akhirnya Mbah Suri pun menjelaskan bahwa ia baru saja melihat hantu pengiring jenazah yang dikenal juga dengan sebutan ‘Kromoleo’ itu, melewati jalan depan rumah mereka.
“Kromoleo Pak.. Tadi mereka lewat depan rumah..”. Kata Mbah Suri.
“Kromoleo digambarkan sebagai rombongan pengiring jenazah. Seperti layaknya lampor, kromoleo disebut-sebut pertanda datangnya musibah apabila melewati dan berhenti disebuah wilayah atau desa”.
Mbah jayus tertegun mendengar jawaban dari istrinya itu, ia terlihat menarik nafas panjang sembari berulang kali mengusap wajahnya.
Pikiran Mbah Jayus seketika langsung tertuju kepada Darwis, ia menduga kuat kalau cucu Mbah Gajul itu tidak benar-benar menjalankan wasiatnya.
“Harusnya saya tahu, kalau sedari awal, si Darwis itu memang tidak menganggap serius wasiat dari Kang Gajul..”. Kata Mbah Jayus tak lama setelah itu.
Mbah Suri segera paham apa yang baru saja diungkapkan oleh Mbah Jayus, karena memang sudah sedari tempo lalu, ia juga sempat diberi tahu oleh suaminya tentang wasiat dari Mbah Gajul kepada cucunya itu.
“Waduh, kok bisa-bisanya, apa Darwis memang sengaja melakukannya?”. Tanggap Mbah Suri, yang kembali di jawab oleh Mbah Jayus dengan cukup bijak.
“Entah sengaja atau tidak sengaja, yang jelas dia tidak tahu akibat yang akan di tanggung, salah saya juga kemarin tidak memberi tahu resikonya.. Gajul memang sudah mewasiatkan itu berulang kali, tapi menurut Darwis kakeknya itu bicara tentang wasiat itu, hampir 3 tahun yang lalu, ketika Gajul sendiri juga masih sehat, dan di tambah lagi ‘Bedhong Mayit’ itu malah hilang”. Kata Mbah Jayus yang setelah itu kembali mengatakan kalau semua sudah terlanjur.
“Sudahlah Bune, semua sudah terjadi, sepertinya untuk beberapa hari kedepan, seluruh desa memang akan ikut menanggungnya, besok saya akan bicara dengan Darwis, bersama Roso dan Mangun, yang lebih paham tentang hal seperti ini dari pada saya”. Tukas Mbah Jayus.
“Walah..Gusti Pangeran.., ada-ada saja”. Ucap Mbah Suri, yang mana bersamaan dengan terdengarnya ketukan di pintu depan.
“Tok..tok..tok..”.
“Tok..tok..tok..”.
“Tok..tok..tok..”.
“Duh!!”. Tanggap Mbah Jayus dan Mbah Suri yang seketika terdiam dan saling menatap.
Ketukan itu terdengar lembut, namun bertahan cukup lama, tentu mereka berdua memilih untuk mengabaikannya, hingga akhirnya ketukan itu pun terhenti bersamaan dengan suara gemuruh hujan yang tiba-tiba turun cukup deras.
Bersambung Part 3.
Link Part 3 : https://www.kaskus.co.id/show_post/6...676b595557fa87
Diubah oleh agilrsapoetra 09-09-2023 17:49
edo1983 dan 13 lainnya memberi reputasi
14