- Beranda
- Stories from the Heart
Thread Horor: MENJEMPUT GELAP
...
TS
saujanastory
Thread Horor: MENJEMPUT GELAP
Halo Agan semua, salam kenal. Ane Jana, yang biasa menceritakan dan kisah horor baik berdasarkan kisah nyata, atau terinspirasi dari kisah nyata. Monggo disimak, jangan lupa diramaikan.

Sekian Agan-Agan semua, malam Minggu depan ceritanya akan dilanjutkan.
MENJEMPUT GELAP

Quote:
Original Posted By Bab 1: Kontrakan Bangsal Tiga
Hari ini kondisi cuaca cukup cerah dengan sedikit gumpalan awan berarak yang menjadi tanda bahwasanya hujan tidak akan turun. Dari balik kaca, lelaki itu memandangi jalanan sambil menyesap segelas kopi yang tak lagi panas.
Siang ini ia terpikir beberapa hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Sebuah misi yang seharusnya ia lakukan bertahun-tahun lalu. Mengunjungi tanah leluhurnya. Namun yang ia temukan adalah hal mengerikan yang seharusnya tak pernah terungkap. Sebuah rahasia masa lalu yang disimpan rapat oleh seluruh penduduk desa.
Kemal, 32 tahun. Seorang pemuda medioker yang masih terus berkutat dengan segala hobi dan kegemarannya. Kehidupan keluarganya yang sangat sederhana membuat masa kecilnya lebih terbatas jika dibandingkan dengan kawan sebayanya.
Ayahnya yang ketika itu masih berada di posisi cukup rendah di tempat kerjanya membuat hidup keluarga sangat sederhana. Ayah Kemal yang memulai karir di sebuah BUMN sebagai sekuriti hanya mendapatkan gaji 275 ribu rupiah per bulan. Saat itu masih sekitar tahun 1991.
Ibunya sedang mengandung sang adik. Sementara Kemal yang statusnya ‘disembunyikan’ berada di desa asal sang ibu. Sebuah desa tertinggal di provinsi paling timur di pulau Jawa. Sebuah desa yang pada saat itu hanya dihuni para petani, dengan kehidupan miskin dan jauh dari kata cukup.
Pada saat itu, ayah Kemal baru saja mendapatkan pekerjaanya. Dan menurut peraturan, pegawai tidak boleh menikah sebelum 3 tahun masa kerja. Karena ayah dan ibu Kemal menikah di luar ketentuan itu, maka kelahiran Kemal terpaksa disembunyikan dari rekan kerja sang ayah.
Dan ia pun dirawat oleh sang nenek, si mbok dari sang ibu.
Dalam rumah bangsal petak itu Harti sedang menggigil ketakutan. Keringat dingin membasahi tubuhnya, sementara ia hanya berada di kontrakan itu sendirian. Husin sedang bertugas sebagai sekuriti dan akan pulang pukul 11 malam. Yang mana akan tiba di rumah 20 hingga 30 menit setelah shift jaga selesai.
Sedari pukul 10, Harti mendengar ada sosok yang sedang tertawa cekikikan di depan pintu rumahnya. Sementara ia sangat tahu, bahwa lingkungan tempat tinggalnya adalah lingkungan yang sepi setelah shalat Isya.
Di dalam rumah, Harti tak bisa melakukan apa pun. Hanya bisa duduk meringkuk diatas ranjang sambil melindungi kandungannya yang sudah cukup besar. Ia hanya berdoa semampu yang ia ingat, diiringi kucuran keringat dan tubuhnya yang menggigil ketakutan.
Hingga pukul 11.25, hampir tengah malam suara vespa memecah keheningan malam itu. Husin datang dan langsung memarkirkan motornya tepat di depan rumah. Ia masuk dan disambut dengan tangisan yang memecah keheningan malam.
“Pak, di situ!! Tadi ada orang ketawa nyaring, cekikikan gak berhenti.” Harti tergagap sambil memeluk erat pinggang suaminya.
“Di mana?! Bentar, biar ku bacok kalo emang ada.” Husin langsung mengambil sebilah golok dan kembali mengecek teras rumah mereka. Dan yang ia temukan hanyalah sepinya malam dengan suara jangkrik dari
seberang jalan yang lebarnya tak lebih dari 2 meter.
Malam itu Harti terselamatkan, ia kembali tenang setelah sang suami memastikan tidak ada yang bisa ia temukan di depan rumahnya. Mereka akhirnya bisa terlelap sambil ditemani beberapa benda tajam seperti jarum, silet, gunting dan bulu landak sebagai proteksi sang jabang bayi.
Sore itu, Harti merasa sakit perut dan ingin buang hajat. Ia lalu keluar rumah melalui pintu belakang dan menuju toilet bersama yang berada tepat di belakang kontrakannya. Perlahan ia turun menuju belakang rumah, sambil memegangi perut besarnya dan melihat toilet dalam kondisi tertutup.
Harti menunggu sejenak. Karena tak ada suara, ia memutuskan untuk mendorong pintu toilet tersebut. Ia terkejut, pintu itu tak terkunci, namun di dalamnya ada seorang nenek yang sedang duduk berjongkok di atas kloset seperti sedang membuang hajat.
“Maaf, saya kira gak ada orang.” Ucapnya sambil langsung menutup pintu dan menunggu di mulut pintu rumahnya.
Beberapa menit berlalu, tak ada tanda bahwa sang nenek sudah selesai. Bahkan tidak ada suara sama sekali dari dalam toilet. Sementara hajat Harti sudah sulit untuk ditahan. Ia pun kembali mengetuk pintu toilet tersebut, seketika toilet itu terbuka. Di dalamnya tak ada orang, nenek yang sedang berjongkok di atas toilet sudah hilang.
Karena sudah menunggu lama dan tak bisa ditahan lagi. Maka Harti langsung saja masuk ke dalam toilet dan menuntaskan hajatnya yang sudah hampir tak terbendung. Sore itu, adalah pertama kali Harti melihat sosok tak asing yang mungkin saja bukan manusia.
Pagi menyingsing, hawa dingin dan sejuk mengiringi niat Harti yang ingin berjalan-jalan. Kumpulan tumbuhan pandan tumbuh di depan rumahnya yang di bawahnya merupakan genangan air. Kontrakan 3 pintu yang hanya memilik satu toilet bersama. Toilet yang berada tepat di belakang dapur rumah Harti.
Ditemani sang suami, Harti berjalan-jalan sambil menikmati udara pagi
yang segar. Disambut dengan sapaan para tetangga yang mayoritas adalah warga suku lokal. Dengan logat Kutai dan Banjar yang kental, mereka menyapa sembari menyapu atau menyiram tanaman.
“Hendak ke mana kita? Gaknya tumat lagi lahir ni. – Mau kemana? Sepertinya sebentar lagi lahiran.” ucap seorang wanita penjual kue-kue basah yang biasa dipanggil dengan sebutan Mbok Joi dengan logat Kutai
yang kental.
“Ohh, bejalanan aja. Biar kena kalo lahiran lancar, – Mau jalan-jalan saja. Supaya nanti lahiran lancar,” jawab Husin dengan logat Banjar.
“Bulu landak ngan gunting jangan lupa dibawa, biar ndik dilirik kuyang, – Bulu landak sama gunting jangan lupa dibawa, supaya tidak dilirik (hantu) kuyang,” timpal Mbok Joi lagi sambil tersenyum sembari merapikan kue dagangannya.
“Iya, makasih, Mbok Joi.” Husin tersenyum sambil melanjutkan menemani Harti berjalan berkeliling.
Di kota ini, mitos dan rumor tentang kuyang memang sangat dipercaya. Terutama oleh para warga asli yang memang sangat memegang teguh kepercayaan lokal. Dan entah, percaya/tidak percaya semua itu diceritakan turun-temurun dan kabarnya memang sudah ada yang pernah membuktikan keberadaan dan kebenarannya.
Harti dan Husin berjalan menikmati pagi dengan santai. Embun masih terasa membasahi kulit, juga meninggalkan titik-titik bulir air di atas dedaunan di kiri-kanan gang. Banyak orang berlalu-lalang membawa keranjang belanjaan karena pasar juga masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Juga anak-anak sekolah yang sedang jalan bergerombol menuju tempat mereka menuntut ilmu. Juga beberapa ibu yang sedang berjalan berlainan arah. Salah satunya menggunakan kerudung dengan ujung yang melilit di lehernya.
Mereka bercakap sambil salah satunya menatap Harti yang dengan pandangan yang menyelidik. Hingga saat perpapasan, ia bahkan sampai menolehkan kepalanya memandang Harti yang sedang berjalan sambil memegangi perutnya Wanita itu menelan ludahnya sambil menjilat bibirnya sendiri.
“Hmmm.. Wangi..” batinnya.
Siang ini ia terpikir beberapa hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Sebuah misi yang seharusnya ia lakukan bertahun-tahun lalu. Mengunjungi tanah leluhurnya. Namun yang ia temukan adalah hal mengerikan yang seharusnya tak pernah terungkap. Sebuah rahasia masa lalu yang disimpan rapat oleh seluruh penduduk desa.
***
Kemal, 32 tahun. Seorang pemuda medioker yang masih terus berkutat dengan segala hobi dan kegemarannya. Kehidupan keluarganya yang sangat sederhana membuat masa kecilnya lebih terbatas jika dibandingkan dengan kawan sebayanya.
Ayahnya yang ketika itu masih berada di posisi cukup rendah di tempat kerjanya membuat hidup keluarga sangat sederhana. Ayah Kemal yang memulai karir di sebuah BUMN sebagai sekuriti hanya mendapatkan gaji 275 ribu rupiah per bulan. Saat itu masih sekitar tahun 1991.
Ibunya sedang mengandung sang adik. Sementara Kemal yang statusnya ‘disembunyikan’ berada di desa asal sang ibu. Sebuah desa tertinggal di provinsi paling timur di pulau Jawa. Sebuah desa yang pada saat itu hanya dihuni para petani, dengan kehidupan miskin dan jauh dari kata cukup.
Pada saat itu, ayah Kemal baru saja mendapatkan pekerjaanya. Dan menurut peraturan, pegawai tidak boleh menikah sebelum 3 tahun masa kerja. Karena ayah dan ibu Kemal menikah di luar ketentuan itu, maka kelahiran Kemal terpaksa disembunyikan dari rekan kerja sang ayah.
Dan ia pun dirawat oleh sang nenek, si mbok dari sang ibu.
***
Dalam rumah bangsal petak itu Harti sedang menggigil ketakutan. Keringat dingin membasahi tubuhnya, sementara ia hanya berada di kontrakan itu sendirian. Husin sedang bertugas sebagai sekuriti dan akan pulang pukul 11 malam. Yang mana akan tiba di rumah 20 hingga 30 menit setelah shift jaga selesai.
Sedari pukul 10, Harti mendengar ada sosok yang sedang tertawa cekikikan di depan pintu rumahnya. Sementara ia sangat tahu, bahwa lingkungan tempat tinggalnya adalah lingkungan yang sepi setelah shalat Isya.
Di dalam rumah, Harti tak bisa melakukan apa pun. Hanya bisa duduk meringkuk diatas ranjang sambil melindungi kandungannya yang sudah cukup besar. Ia hanya berdoa semampu yang ia ingat, diiringi kucuran keringat dan tubuhnya yang menggigil ketakutan.
Hingga pukul 11.25, hampir tengah malam suara vespa memecah keheningan malam itu. Husin datang dan langsung memarkirkan motornya tepat di depan rumah. Ia masuk dan disambut dengan tangisan yang memecah keheningan malam.
“Pak, di situ!! Tadi ada orang ketawa nyaring, cekikikan gak berhenti.” Harti tergagap sambil memeluk erat pinggang suaminya.
“Di mana?! Bentar, biar ku bacok kalo emang ada.” Husin langsung mengambil sebilah golok dan kembali mengecek teras rumah mereka. Dan yang ia temukan hanyalah sepinya malam dengan suara jangkrik dari
seberang jalan yang lebarnya tak lebih dari 2 meter.
Malam itu Harti terselamatkan, ia kembali tenang setelah sang suami memastikan tidak ada yang bisa ia temukan di depan rumahnya. Mereka akhirnya bisa terlelap sambil ditemani beberapa benda tajam seperti jarum, silet, gunting dan bulu landak sebagai proteksi sang jabang bayi.
***
Sore itu, Harti merasa sakit perut dan ingin buang hajat. Ia lalu keluar rumah melalui pintu belakang dan menuju toilet bersama yang berada tepat di belakang kontrakannya. Perlahan ia turun menuju belakang rumah, sambil memegangi perut besarnya dan melihat toilet dalam kondisi tertutup.
Harti menunggu sejenak. Karena tak ada suara, ia memutuskan untuk mendorong pintu toilet tersebut. Ia terkejut, pintu itu tak terkunci, namun di dalamnya ada seorang nenek yang sedang duduk berjongkok di atas kloset seperti sedang membuang hajat.
“Maaf, saya kira gak ada orang.” Ucapnya sambil langsung menutup pintu dan menunggu di mulut pintu rumahnya.
Beberapa menit berlalu, tak ada tanda bahwa sang nenek sudah selesai. Bahkan tidak ada suara sama sekali dari dalam toilet. Sementara hajat Harti sudah sulit untuk ditahan. Ia pun kembali mengetuk pintu toilet tersebut, seketika toilet itu terbuka. Di dalamnya tak ada orang, nenek yang sedang berjongkok di atas toilet sudah hilang.
Karena sudah menunggu lama dan tak bisa ditahan lagi. Maka Harti langsung saja masuk ke dalam toilet dan menuntaskan hajatnya yang sudah hampir tak terbendung. Sore itu, adalah pertama kali Harti melihat sosok tak asing yang mungkin saja bukan manusia.
***
Pagi menyingsing, hawa dingin dan sejuk mengiringi niat Harti yang ingin berjalan-jalan. Kumpulan tumbuhan pandan tumbuh di depan rumahnya yang di bawahnya merupakan genangan air. Kontrakan 3 pintu yang hanya memilik satu toilet bersama. Toilet yang berada tepat di belakang dapur rumah Harti.
Ditemani sang suami, Harti berjalan-jalan sambil menikmati udara pagi
yang segar. Disambut dengan sapaan para tetangga yang mayoritas adalah warga suku lokal. Dengan logat Kutai dan Banjar yang kental, mereka menyapa sembari menyapu atau menyiram tanaman.
“Hendak ke mana kita? Gaknya tumat lagi lahir ni. – Mau kemana? Sepertinya sebentar lagi lahiran.” ucap seorang wanita penjual kue-kue basah yang biasa dipanggil dengan sebutan Mbok Joi dengan logat Kutai
yang kental.
“Ohh, bejalanan aja. Biar kena kalo lahiran lancar, – Mau jalan-jalan saja. Supaya nanti lahiran lancar,” jawab Husin dengan logat Banjar.
“Bulu landak ngan gunting jangan lupa dibawa, biar ndik dilirik kuyang, – Bulu landak sama gunting jangan lupa dibawa, supaya tidak dilirik (hantu) kuyang,” timpal Mbok Joi lagi sambil tersenyum sembari merapikan kue dagangannya.
“Iya, makasih, Mbok Joi.” Husin tersenyum sambil melanjutkan menemani Harti berjalan berkeliling.
Di kota ini, mitos dan rumor tentang kuyang memang sangat dipercaya. Terutama oleh para warga asli yang memang sangat memegang teguh kepercayaan lokal. Dan entah, percaya/tidak percaya semua itu diceritakan turun-temurun dan kabarnya memang sudah ada yang pernah membuktikan keberadaan dan kebenarannya.
Harti dan Husin berjalan menikmati pagi dengan santai. Embun masih terasa membasahi kulit, juga meninggalkan titik-titik bulir air di atas dedaunan di kiri-kanan gang. Banyak orang berlalu-lalang membawa keranjang belanjaan karena pasar juga masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Juga anak-anak sekolah yang sedang jalan bergerombol menuju tempat mereka menuntut ilmu. Juga beberapa ibu yang sedang berjalan berlainan arah. Salah satunya menggunakan kerudung dengan ujung yang melilit di lehernya.
Mereka bercakap sambil salah satunya menatap Harti yang dengan pandangan yang menyelidik. Hingga saat perpapasan, ia bahkan sampai menolehkan kepalanya memandang Harti yang sedang berjalan sambil memegangi perutnya Wanita itu menelan ludahnya sambil menjilat bibirnya sendiri.
“Hmmm.. Wangi..” batinnya.
***
Spoiler for Bab Selanjutnya Gan!:
Spoiler for Bab Selanjutnya Gan!:
Spoiler for Bab Selanjutnya, Gan!:
Spoiler for Lanjut lagi, Gan!:
Spoiler for Selamat bermalam Minggu, Gan!:
Spoiler for Habis konser, lanjut cerita!:
Spoiler for Telat sehari.:
Spoiler for Lanjutan lagi!:
Spoiler for Malming sendu:
Spoiler for Capek motoran:
Spoiler for Habis selesein cerita untuk KUNCEN:
Spoiler for Mau nonton layar tancap:
Spoiler for Minggu pertama Oktober!! Gas!!:
Spoiler for Udah sepertiga cerita nih!:
Sekian Agan-Agan semua, malam Minggu depan ceritanya akan dilanjutkan.
Diubah oleh saujanastory 14-10-2023 19:36
itkgid dan 19 lainnya memberi reputasi
20
4.4K
Kutip
57
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
saujanastory
#15
Dah malam Minggu lagi, Gan. Agak telat update karna tadi habis konser sama anak punk kentrung. Langsung disimak ceritanya.
Sekian lanjutan cerita malam ini, Gan. Selamat membaca!
Quote:
Bab 7. Berpulang
Kemal menunggu sambil memijit pelan kedua kaki si mbok. Eyangnya sudah cukup tua, meskipun masih berumur 60 tahun. Gula darah dan penyakit jantung menggerogori tubuh tuanya yang kesehariannya bertani dan berladang di sawah milik tetangga.
Tidak banyak yang keluarga itu miliki di kampung. Hanya rumah sangat sederhana yang terbuat dari gedek, tiang dari bambu dan langsung beratap genteng dan berlantai tanah. Sehari-hari mereka minum dari kendi tanah liat yang membuat air menjadi sejuk. Penerangan rumah pun hanya menggunakan lampu teplok yang menyisakan jelaga di lubang hidung ketika pagi.
Ini sudah hari ketiga sang ibu tiba, dan ia seperti mendapat mainan baru. Sang adik yang masih sangat kecil dan mulai berceloteh sambil menghisap jemarinya. Dan yang paling ia suka adalah, banyak susu dan roti yang dibawakan. Maklum, di kondisi desa yang tertinggal, susu dan roti merupakan barang langka yang kalau pun ada akan mahal harganya.
Ia merupakan cucu kesayangan si mbok, kulitnya yang putih dan kelakuannya yang lugu selalu menjadi daya tarik bagi kebanyakan tetangga yang mampir mau pun sekedar lewat. Bahkan tetangga selalu menjemput setelah magrib untuk diajak menonton televisi. Yaa, di desa ada tetangga yang cukup berada sehingga mampu memiliki penerangan dan televisi hitam-putih bertenaga aki. Terkadang si mbok juga ikut menonton bersama di rumah tetangga.
Hanya saja karena belakangan si mbok sudah tidak bisa lagi menemaninya menonton, Kemal lebih sering bersama buleknya yang masih belia. Dan karena itu, ia tak pernah memanggil dengan sebutan yang seharusnya, melainkan dengan panggilan mbak.
Nur, adalah adik terkecil dari Harti, ibu dari Kemal. Ia yang sehari-hari membantu pekerjaan rumah, juga berbelanja dan tak ketinggalan berebutan jajan dengan Kemal yang selalu tak mau kalah. Sama seperti kakaknya, Nur hanya bersekolah hingga SMP. Kemiskinan membuat keluarga itu tak mampu mengenyam pendidikan yang layak.
Pagi ini Kemal diminta untuk membeli minyak tanah di warung dekat rumah. Ia memegang uang recehan, jerigen isi 2 liter, dan berjalan sambil menendang-nendang jerigen itu dengan dengkulnya.
Untuk ukuran anak yang belum 6 tahun, ia termasuk bocah yang cerdas. Mengenal huruf, meskipun belum bisa membaca. Juga suka menggambar sesuatu yang tidak terpikirkan oleh orang dewasa. Dan yang paling sering ia gambar adalah kaki kuda.
“Bulek, tuku lengo glentik, – Bulek, beli minyak goreng,” teriak Kemal dengan suara nyaring sambil menyodorkan jerigen.
Tak lama seorang ibu menyambut jerigen itu lalu langsung mengisi hingga penuh. Kemal pun memberikan uang koin yang dipegangnya kepada sang bulek dan langsung pulang sambil memegang jerigen dengan kedua tangannya. Rambutnya yang lurus, kulit yang putih dengan mata yang sipit membuatnya tak seperti bocah dari keluarga miskin.
Harti berkeliling ke rumah tetangga, ia membawa lembar demi lembar uang yang sudah ia bawa. Ia tahu bahwa sang ibu memiliki hutang dengan beberapa tetangga. Ditambah sang ibu sudah cukup sakit untuk sekedar bertani, meskipun ibunya masih ingin tetap menggarap sawah dan ladang milik tetangga. Penyakit gula dan asma yang dideritanya membuat tubuh tua itu tak lagi berdaya.
Entah apa yang dipikirkan oleh Harti, namun sepertinya ia memiliki firasat yang tidak baik terhadap ibunya. Ditambah, beberapa hari terakhir denging di telinganya semakin kuat, semakin nyaring. Denging yang sering ia dengar sebelum mendengar kabar tentang kematian.
Harti memang memiliki kepekaan terhadap sesuatu yang biasa disebut firasat. Entah ia mendapatkan bakat dari mana, namun sejak remaja ia memiliki sesuatu intuisi yang kuat. Dan biasanya itu adalah kabar buruk tentang seseorang yang ia kenal.
Beberapa bulan sebelumnya, ketika mereka belum mendapatkan telegram dari si mbok. Telinga Harti berdenging kencang selama beberapa hari, ia memiliki firasat bahwa ada berita duka yang akan ia dengar. Ternyata benar, tiga hari setelah dengingan kuat di telinganya, ia mendapat kabar duka tentang kematian seorang tetangga yang tak jauh dari rumahnya.
Sebelum kupingnya kembali berdenging, Harti menjumpai sebuah pertanda tidak baik dari nasi yang ia masak. Beberapa waktu, nasi yang ia masak sangat cepat rusak dan basi. Jika ia menemui hal seperti ini, biasanya ada orang terdekat yang sakit. Benar saja, setelah itu telinganya justru seperti menguatkan pertanda tersebut.
Denging yang ia dapat kali ini membuatnya khawatir, ia merasa suara itu terlalu kuat. Terlalu nyaring hingga telinganya terasa pekak. Sepertinya kabar duka itu akan ia dapat dari orang terdekatnya. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk berkeliling desa, menanyakan ke beberapa tetangga yang lebih berpunya seandainya si mbok memiliki hutang.
“Teko ndi, Mbak? – Dari mana, Mbak?” Nur yang baru saja selesai menggoreng tempe bertanya pada Harti.
“Bar teko omahe Pak Bayan, takon sopo ngerti mbok nduwe utang, – Baru dari rumahnya Pak Bayan, habis nanya siapa tau si mbok punya hutang,” jawab Harti yang langsung duduk di kursi kayu sambil menuang air dari kendi.
Nur langsung diam mendengar jawaban sang kakak, karena bagaimana pun ia merasa segan dengan Harti yang dalam kehidupannya yang sangat sederhana Harti masih bisa mengirim uang yang tak seberapa untuk si mbok dan dirinya.
Selama Harti pergi, Nur menemani Kemal yang sedang senang bermain dengan Rosi. Sambil sesekali menengok si mbok di kamar yang semakin hari semakin melemah. Tubuh tua yang terbiasa bekerja keras itu sudah tak berdaya.
Beberapa tetangga dan keluarga datang silih berganti mengunjungi rumah Harti. Ada yang sekedar bertamu untuk sekedar ngobrol dan menanyakan kabar, ada yang bertamu dengan tujuan meminjam uang. Karena mungkin saja orang desa menganggap Harti sudah cukup kaya di perantauan. Apalagi Husin dikenal memiliki status sebagai pegawai negeri, meskipun masih menjadi sekuriti.
Celoteh tetangga hanya bisa dibalas dengan kata “iya”, “tidak” dan anggukan kepala oleh Husin. Selain ia tak cakap berbahasa Jawa, para tetangga di desa juga tidak banyak yang bisa berbahasa Indonesia. Karena itu Husin selalu ditemani ketika mengobrol.
“Yu, wingi pas mlaku mlebu Lapengan ono suarane lesung. – Yu, kemarin pas masuk Lapengan ada suara lesung” Harti membuka percakapan yang sudah tentu diketahui kemana arahnya.
“Untunge ora mbok sambat, Nyai Rondo lagi mantu, – Untungnya tidak kamu tegur, Nyai Rondo sedang mantu,” ucap Yu Darsih yang merupakan tetangga depan rumah.
Husin yang berada di tengah percakapan itu hanya manggut-manggut sambil mendengarkan, karena sebenarnya ia mengerti apa yang sedang dibicarakan. Namun tak bisa menjawab dengan bahasa Jawa.
Rupanya sudah beberapa hari ini sering terdengar derap suara lesung yang bertumbuk dengan alu setiap malam. Meskipun tidak seluruhnya, namun kebanyakan penduduk desa mendengar dan sudah mengerti. Sang penguasa desa sedang melangsungkan pernikahan.
Sementara Husin menyimak istrinya mengobrol, Kemal justru sedang asik menghabiskan biskuit Regal yang dicelup susu coklat. Mata sipit dan kulit putih dengan rambut mangkok membuatnya terlihat lucu, ditambah dengan lingkar hitam di sekitar lubang hidungnya yang dipenuhi jelaga.
Di umurnya yang masih lima tahun, ia terus saja berceloteh sambil menggambar kaki kuda. Sesekali ia menggumamkan syair tentang gajah yang diajarkan padanya sejak kecil.
Gajah binatang yang amat besar
Matanya sipit, telinganya lebar..
Baginya, gajah adalah binatang yang memiliki kemiripan dengannya. Mata yang sipit membuatnya menyukai potongan syair itu. Entah datangnya dari mana, namun ia menyukainya.
Kemal sesekali melihat si mbok yang sedang istirahat di dipan ruang tamu. Ia mendatangi dan mengelus kaki dan tangan si mbok dengan perhatian. Ada rasa sedih yang ia rasakan, ada sebuah perasaan tidak tega dan ingin semuanya cepat berakhir.
“Mbok, daripada begini terus, mending meninggal aja. Biar gak sakit terus.”
Entah bagaimana ia bisa mengerti konsep meninggal, namun hal itu Kemal ucapkan di dalam pikirannya. Pikiran polosnya tak ingin si mbok terus merasa sakit, ia justru sudah merelakan jika si mbok berpulang. Mungkin saja, konsep kematian itu ia dengar dari ceramah di masjid ketika ia bermain.
Husin berpamitan kepada Harti dan seluruh keluarganya karena harus kembali ke Sanaksara lebih dulu. Ia memang hanya boleh mengambil cuti beberapa hari, sehingga dengan berat hati ia harus segera kembali.
Ia diantar oleh seorang tetangga yang kebetulan memiliki motor sampai pasar Sengengarto untuk mencari bus menuju pelabuhan. Dan sepanjang jalan, Husin diceritakan hal-hal aneh yang terjadi di desa. Hal-hal gaib yang membuatnya berpikir dua kali untuk mendatangi desa ini seorang diri.
“Mas, dulu di sini nih, banyak orang mati dalam karung. Kepalanya misah dari badan gara-gara diculik pas ’65. Malahan sampe sekarang, kalo malam sering gelinding kepalanya.”
Pemuda bernama Junani itu bercerita pada Husin tentang deretan ladang tebu dan pohon jati yang mereka lewati. Keadaan yang terang dan lalu lalang warga membuat kondisi tidak mencekam sama sekali. Sangat berbeda ketika Husin datang beberapa hari yang lalu.
Husin yang hanya bisa menimpali seadanya, dan memusatkan pendengarannya. Bahkan menurut Junani, Husin dan Harti cukup beruntung malam itu karena tidak ditemui sosok glundung pringis yang biasa menggelinding. Mungkin karena sang penguasa desa sedang menggelar “hajatan”, sehingga tak ada entitas lain yang berani menampakkan diri, kecuali sang Banaspati.
Sepanjang perjalanan, Husin mendengarkan cerita dari Junani sambil menoleh dan menarik nafas panjang karena bau mulut bercampur aroma tembakau klobot sesekali menusuk hidungnya. Baginya, jalanan menuju Lapengan sangat asri dan indah pada siang hari, dan wingit ketika malam.
Beberapa hari berlalu setelah kepulangan Husin. Kondisi si mbok tak kunjung membaik, bahkan semakin buruk. Sesak nafasnya kian menjadi dan semakin sering. Sementara yang dapat mereka lakukan hanya memanggil dokter dari puskesmas kampung sebelah. Itu pun hanya diberi obat seadanya, sang dokter juga terlihat sudah pasrah. Ketertinggalan di desa itu memang sangat parah, sehingga masyarakatnya lebih mengandalkan pengobatan alternatif.
Kakak sulung Harti sudah tiba di Lapengan, mereka memang berbeda desa. Harti sengaja mengutus Nur dan salah satu tetangga untuk memanggil sang kakak karena merasa si mbok sudah berada di akhir hayatnya. Nafasnya mulai jarang, kakinya sudah mulai membiru dan terasa dingin.
Denging di telinga Harti juga semakin cumakkan telinga. Seolah kabar buruk semakin dekat dan akan segera ia dengar, bahkan mungkin akan ia saksikan sendiri. Hingga ketika seluruh keluarga dekat sudah berkumpul.
Tangis memecah kesunyian pagi itu, seluruh anggota keluarga mengelilingi tubuh kaku si mbok yang sudah tak lagi bernyawa. Jiwanya sudah berpulang diiringi bisikan syahadat dari bibir Harti. Kulit keriput yang legam terbakar matahari itu akhirnya terlihat pucat. Firasat Harti dan perkataan Kemal diamini semesta.
– Yu = Mbak Yu(panggilan untuk kakak perempuan, sama seperti ‘mbak’)
Kemal menunggu sambil memijit pelan kedua kaki si mbok. Eyangnya sudah cukup tua, meskipun masih berumur 60 tahun. Gula darah dan penyakit jantung menggerogori tubuh tuanya yang kesehariannya bertani dan berladang di sawah milik tetangga.
Tidak banyak yang keluarga itu miliki di kampung. Hanya rumah sangat sederhana yang terbuat dari gedek, tiang dari bambu dan langsung beratap genteng dan berlantai tanah. Sehari-hari mereka minum dari kendi tanah liat yang membuat air menjadi sejuk. Penerangan rumah pun hanya menggunakan lampu teplok yang menyisakan jelaga di lubang hidung ketika pagi.
Ini sudah hari ketiga sang ibu tiba, dan ia seperti mendapat mainan baru. Sang adik yang masih sangat kecil dan mulai berceloteh sambil menghisap jemarinya. Dan yang paling ia suka adalah, banyak susu dan roti yang dibawakan. Maklum, di kondisi desa yang tertinggal, susu dan roti merupakan barang langka yang kalau pun ada akan mahal harganya.
Ia merupakan cucu kesayangan si mbok, kulitnya yang putih dan kelakuannya yang lugu selalu menjadi daya tarik bagi kebanyakan tetangga yang mampir mau pun sekedar lewat. Bahkan tetangga selalu menjemput setelah magrib untuk diajak menonton televisi. Yaa, di desa ada tetangga yang cukup berada sehingga mampu memiliki penerangan dan televisi hitam-putih bertenaga aki. Terkadang si mbok juga ikut menonton bersama di rumah tetangga.
Hanya saja karena belakangan si mbok sudah tidak bisa lagi menemaninya menonton, Kemal lebih sering bersama buleknya yang masih belia. Dan karena itu, ia tak pernah memanggil dengan sebutan yang seharusnya, melainkan dengan panggilan mbak.
Nur, adalah adik terkecil dari Harti, ibu dari Kemal. Ia yang sehari-hari membantu pekerjaan rumah, juga berbelanja dan tak ketinggalan berebutan jajan dengan Kemal yang selalu tak mau kalah. Sama seperti kakaknya, Nur hanya bersekolah hingga SMP. Kemiskinan membuat keluarga itu tak mampu mengenyam pendidikan yang layak.
Pagi ini Kemal diminta untuk membeli minyak tanah di warung dekat rumah. Ia memegang uang recehan, jerigen isi 2 liter, dan berjalan sambil menendang-nendang jerigen itu dengan dengkulnya.
Untuk ukuran anak yang belum 6 tahun, ia termasuk bocah yang cerdas. Mengenal huruf, meskipun belum bisa membaca. Juga suka menggambar sesuatu yang tidak terpikirkan oleh orang dewasa. Dan yang paling sering ia gambar adalah kaki kuda.
“Bulek, tuku lengo glentik, – Bulek, beli minyak goreng,” teriak Kemal dengan suara nyaring sambil menyodorkan jerigen.
Tak lama seorang ibu menyambut jerigen itu lalu langsung mengisi hingga penuh. Kemal pun memberikan uang koin yang dipegangnya kepada sang bulek dan langsung pulang sambil memegang jerigen dengan kedua tangannya. Rambutnya yang lurus, kulit yang putih dengan mata yang sipit membuatnya tak seperti bocah dari keluarga miskin.
***
Harti berkeliling ke rumah tetangga, ia membawa lembar demi lembar uang yang sudah ia bawa. Ia tahu bahwa sang ibu memiliki hutang dengan beberapa tetangga. Ditambah sang ibu sudah cukup sakit untuk sekedar bertani, meskipun ibunya masih ingin tetap menggarap sawah dan ladang milik tetangga. Penyakit gula dan asma yang dideritanya membuat tubuh tua itu tak lagi berdaya.
Entah apa yang dipikirkan oleh Harti, namun sepertinya ia memiliki firasat yang tidak baik terhadap ibunya. Ditambah, beberapa hari terakhir denging di telinganya semakin kuat, semakin nyaring. Denging yang sering ia dengar sebelum mendengar kabar tentang kematian.
Harti memang memiliki kepekaan terhadap sesuatu yang biasa disebut firasat. Entah ia mendapatkan bakat dari mana, namun sejak remaja ia memiliki sesuatu intuisi yang kuat. Dan biasanya itu adalah kabar buruk tentang seseorang yang ia kenal.
Beberapa bulan sebelumnya, ketika mereka belum mendapatkan telegram dari si mbok. Telinga Harti berdenging kencang selama beberapa hari, ia memiliki firasat bahwa ada berita duka yang akan ia dengar. Ternyata benar, tiga hari setelah dengingan kuat di telinganya, ia mendapat kabar duka tentang kematian seorang tetangga yang tak jauh dari rumahnya.
Sebelum kupingnya kembali berdenging, Harti menjumpai sebuah pertanda tidak baik dari nasi yang ia masak. Beberapa waktu, nasi yang ia masak sangat cepat rusak dan basi. Jika ia menemui hal seperti ini, biasanya ada orang terdekat yang sakit. Benar saja, setelah itu telinganya justru seperti menguatkan pertanda tersebut.
Denging yang ia dapat kali ini membuatnya khawatir, ia merasa suara itu terlalu kuat. Terlalu nyaring hingga telinganya terasa pekak. Sepertinya kabar duka itu akan ia dapat dari orang terdekatnya. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk berkeliling desa, menanyakan ke beberapa tetangga yang lebih berpunya seandainya si mbok memiliki hutang.
“Teko ndi, Mbak? – Dari mana, Mbak?” Nur yang baru saja selesai menggoreng tempe bertanya pada Harti.
“Bar teko omahe Pak Bayan, takon sopo ngerti mbok nduwe utang, – Baru dari rumahnya Pak Bayan, habis nanya siapa tau si mbok punya hutang,” jawab Harti yang langsung duduk di kursi kayu sambil menuang air dari kendi.
Nur langsung diam mendengar jawaban sang kakak, karena bagaimana pun ia merasa segan dengan Harti yang dalam kehidupannya yang sangat sederhana Harti masih bisa mengirim uang yang tak seberapa untuk si mbok dan dirinya.
Selama Harti pergi, Nur menemani Kemal yang sedang senang bermain dengan Rosi. Sambil sesekali menengok si mbok di kamar yang semakin hari semakin melemah. Tubuh tua yang terbiasa bekerja keras itu sudah tak berdaya.
***
Beberapa tetangga dan keluarga datang silih berganti mengunjungi rumah Harti. Ada yang sekedar bertamu untuk sekedar ngobrol dan menanyakan kabar, ada yang bertamu dengan tujuan meminjam uang. Karena mungkin saja orang desa menganggap Harti sudah cukup kaya di perantauan. Apalagi Husin dikenal memiliki status sebagai pegawai negeri, meskipun masih menjadi sekuriti.
Celoteh tetangga hanya bisa dibalas dengan kata “iya”, “tidak” dan anggukan kepala oleh Husin. Selain ia tak cakap berbahasa Jawa, para tetangga di desa juga tidak banyak yang bisa berbahasa Indonesia. Karena itu Husin selalu ditemani ketika mengobrol.
“Yu, wingi pas mlaku mlebu Lapengan ono suarane lesung. – Yu, kemarin pas masuk Lapengan ada suara lesung” Harti membuka percakapan yang sudah tentu diketahui kemana arahnya.
“Untunge ora mbok sambat, Nyai Rondo lagi mantu, – Untungnya tidak kamu tegur, Nyai Rondo sedang mantu,” ucap Yu Darsih yang merupakan tetangga depan rumah.
Husin yang berada di tengah percakapan itu hanya manggut-manggut sambil mendengarkan, karena sebenarnya ia mengerti apa yang sedang dibicarakan. Namun tak bisa menjawab dengan bahasa Jawa.
Rupanya sudah beberapa hari ini sering terdengar derap suara lesung yang bertumbuk dengan alu setiap malam. Meskipun tidak seluruhnya, namun kebanyakan penduduk desa mendengar dan sudah mengerti. Sang penguasa desa sedang melangsungkan pernikahan.
Sementara Husin menyimak istrinya mengobrol, Kemal justru sedang asik menghabiskan biskuit Regal yang dicelup susu coklat. Mata sipit dan kulit putih dengan rambut mangkok membuatnya terlihat lucu, ditambah dengan lingkar hitam di sekitar lubang hidungnya yang dipenuhi jelaga.
Di umurnya yang masih lima tahun, ia terus saja berceloteh sambil menggambar kaki kuda. Sesekali ia menggumamkan syair tentang gajah yang diajarkan padanya sejak kecil.
Gajah binatang yang amat besar
Matanya sipit, telinganya lebar..
Baginya, gajah adalah binatang yang memiliki kemiripan dengannya. Mata yang sipit membuatnya menyukai potongan syair itu. Entah datangnya dari mana, namun ia menyukainya.
Kemal sesekali melihat si mbok yang sedang istirahat di dipan ruang tamu. Ia mendatangi dan mengelus kaki dan tangan si mbok dengan perhatian. Ada rasa sedih yang ia rasakan, ada sebuah perasaan tidak tega dan ingin semuanya cepat berakhir.
“Mbok, daripada begini terus, mending meninggal aja. Biar gak sakit terus.”
Entah bagaimana ia bisa mengerti konsep meninggal, namun hal itu Kemal ucapkan di dalam pikirannya. Pikiran polosnya tak ingin si mbok terus merasa sakit, ia justru sudah merelakan jika si mbok berpulang. Mungkin saja, konsep kematian itu ia dengar dari ceramah di masjid ketika ia bermain.
…
Husin berpamitan kepada Harti dan seluruh keluarganya karena harus kembali ke Sanaksara lebih dulu. Ia memang hanya boleh mengambil cuti beberapa hari, sehingga dengan berat hati ia harus segera kembali.
Ia diantar oleh seorang tetangga yang kebetulan memiliki motor sampai pasar Sengengarto untuk mencari bus menuju pelabuhan. Dan sepanjang jalan, Husin diceritakan hal-hal aneh yang terjadi di desa. Hal-hal gaib yang membuatnya berpikir dua kali untuk mendatangi desa ini seorang diri.
“Mas, dulu di sini nih, banyak orang mati dalam karung. Kepalanya misah dari badan gara-gara diculik pas ’65. Malahan sampe sekarang, kalo malam sering gelinding kepalanya.”
Pemuda bernama Junani itu bercerita pada Husin tentang deretan ladang tebu dan pohon jati yang mereka lewati. Keadaan yang terang dan lalu lalang warga membuat kondisi tidak mencekam sama sekali. Sangat berbeda ketika Husin datang beberapa hari yang lalu.
Husin yang hanya bisa menimpali seadanya, dan memusatkan pendengarannya. Bahkan menurut Junani, Husin dan Harti cukup beruntung malam itu karena tidak ditemui sosok glundung pringis yang biasa menggelinding. Mungkin karena sang penguasa desa sedang menggelar “hajatan”, sehingga tak ada entitas lain yang berani menampakkan diri, kecuali sang Banaspati.
Sepanjang perjalanan, Husin mendengarkan cerita dari Junani sambil menoleh dan menarik nafas panjang karena bau mulut bercampur aroma tembakau klobot sesekali menusuk hidungnya. Baginya, jalanan menuju Lapengan sangat asri dan indah pada siang hari, dan wingit ketika malam.
***
Beberapa hari berlalu setelah kepulangan Husin. Kondisi si mbok tak kunjung membaik, bahkan semakin buruk. Sesak nafasnya kian menjadi dan semakin sering. Sementara yang dapat mereka lakukan hanya memanggil dokter dari puskesmas kampung sebelah. Itu pun hanya diberi obat seadanya, sang dokter juga terlihat sudah pasrah. Ketertinggalan di desa itu memang sangat parah, sehingga masyarakatnya lebih mengandalkan pengobatan alternatif.
Kakak sulung Harti sudah tiba di Lapengan, mereka memang berbeda desa. Harti sengaja mengutus Nur dan salah satu tetangga untuk memanggil sang kakak karena merasa si mbok sudah berada di akhir hayatnya. Nafasnya mulai jarang, kakinya sudah mulai membiru dan terasa dingin.
Denging di telinga Harti juga semakin cumakkan telinga. Seolah kabar buruk semakin dekat dan akan segera ia dengar, bahkan mungkin akan ia saksikan sendiri. Hingga ketika seluruh keluarga dekat sudah berkumpul.
…
Tangis memecah kesunyian pagi itu, seluruh anggota keluarga mengelilingi tubuh kaku si mbok yang sudah tak lagi bernyawa. Jiwanya sudah berpulang diiringi bisikan syahadat dari bibir Harti. Kulit keriput yang legam terbakar matahari itu akhirnya terlihat pucat. Firasat Harti dan perkataan Kemal diamini semesta.
– Yu = Mbak Yu(panggilan untuk kakak perempuan, sama seperti ‘mbak’)
Sekian lanjutan cerita malam ini, Gan. Selamat membaca!

namakuve dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas