- Beranda
- Stories from the Heart
Thread Horor: MENJEMPUT GELAP
...
TS
saujanastory
Thread Horor: MENJEMPUT GELAP
Halo Agan semua, salam kenal. Ane Jana, yang biasa menceritakan dan kisah horor baik berdasarkan kisah nyata, atau terinspirasi dari kisah nyata. Monggo disimak, jangan lupa diramaikan.

Sekian Agan-Agan semua, malam Minggu depan ceritanya akan dilanjutkan.
MENJEMPUT GELAP

Quote:
Original Posted By Bab 1: Kontrakan Bangsal Tiga
Hari ini kondisi cuaca cukup cerah dengan sedikit gumpalan awan berarak yang menjadi tanda bahwasanya hujan tidak akan turun. Dari balik kaca, lelaki itu memandangi jalanan sambil menyesap segelas kopi yang tak lagi panas.
Siang ini ia terpikir beberapa hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Sebuah misi yang seharusnya ia lakukan bertahun-tahun lalu. Mengunjungi tanah leluhurnya. Namun yang ia temukan adalah hal mengerikan yang seharusnya tak pernah terungkap. Sebuah rahasia masa lalu yang disimpan rapat oleh seluruh penduduk desa.
Kemal, 32 tahun. Seorang pemuda medioker yang masih terus berkutat dengan segala hobi dan kegemarannya. Kehidupan keluarganya yang sangat sederhana membuat masa kecilnya lebih terbatas jika dibandingkan dengan kawan sebayanya.
Ayahnya yang ketika itu masih berada di posisi cukup rendah di tempat kerjanya membuat hidup keluarga sangat sederhana. Ayah Kemal yang memulai karir di sebuah BUMN sebagai sekuriti hanya mendapatkan gaji 275 ribu rupiah per bulan. Saat itu masih sekitar tahun 1991.
Ibunya sedang mengandung sang adik. Sementara Kemal yang statusnya ‘disembunyikan’ berada di desa asal sang ibu. Sebuah desa tertinggal di provinsi paling timur di pulau Jawa. Sebuah desa yang pada saat itu hanya dihuni para petani, dengan kehidupan miskin dan jauh dari kata cukup.
Pada saat itu, ayah Kemal baru saja mendapatkan pekerjaanya. Dan menurut peraturan, pegawai tidak boleh menikah sebelum 3 tahun masa kerja. Karena ayah dan ibu Kemal menikah di luar ketentuan itu, maka kelahiran Kemal terpaksa disembunyikan dari rekan kerja sang ayah.
Dan ia pun dirawat oleh sang nenek, si mbok dari sang ibu.
Dalam rumah bangsal petak itu Harti sedang menggigil ketakutan. Keringat dingin membasahi tubuhnya, sementara ia hanya berada di kontrakan itu sendirian. Husin sedang bertugas sebagai sekuriti dan akan pulang pukul 11 malam. Yang mana akan tiba di rumah 20 hingga 30 menit setelah shift jaga selesai.
Sedari pukul 10, Harti mendengar ada sosok yang sedang tertawa cekikikan di depan pintu rumahnya. Sementara ia sangat tahu, bahwa lingkungan tempat tinggalnya adalah lingkungan yang sepi setelah shalat Isya.
Di dalam rumah, Harti tak bisa melakukan apa pun. Hanya bisa duduk meringkuk diatas ranjang sambil melindungi kandungannya yang sudah cukup besar. Ia hanya berdoa semampu yang ia ingat, diiringi kucuran keringat dan tubuhnya yang menggigil ketakutan.
Hingga pukul 11.25, hampir tengah malam suara vespa memecah keheningan malam itu. Husin datang dan langsung memarkirkan motornya tepat di depan rumah. Ia masuk dan disambut dengan tangisan yang memecah keheningan malam.
“Pak, di situ!! Tadi ada orang ketawa nyaring, cekikikan gak berhenti.” Harti tergagap sambil memeluk erat pinggang suaminya.
“Di mana?! Bentar, biar ku bacok kalo emang ada.” Husin langsung mengambil sebilah golok dan kembali mengecek teras rumah mereka. Dan yang ia temukan hanyalah sepinya malam dengan suara jangkrik dari
seberang jalan yang lebarnya tak lebih dari 2 meter.
Malam itu Harti terselamatkan, ia kembali tenang setelah sang suami memastikan tidak ada yang bisa ia temukan di depan rumahnya. Mereka akhirnya bisa terlelap sambil ditemani beberapa benda tajam seperti jarum, silet, gunting dan bulu landak sebagai proteksi sang jabang bayi.
Sore itu, Harti merasa sakit perut dan ingin buang hajat. Ia lalu keluar rumah melalui pintu belakang dan menuju toilet bersama yang berada tepat di belakang kontrakannya. Perlahan ia turun menuju belakang rumah, sambil memegangi perut besarnya dan melihat toilet dalam kondisi tertutup.
Harti menunggu sejenak. Karena tak ada suara, ia memutuskan untuk mendorong pintu toilet tersebut. Ia terkejut, pintu itu tak terkunci, namun di dalamnya ada seorang nenek yang sedang duduk berjongkok di atas kloset seperti sedang membuang hajat.
“Maaf, saya kira gak ada orang.” Ucapnya sambil langsung menutup pintu dan menunggu di mulut pintu rumahnya.
Beberapa menit berlalu, tak ada tanda bahwa sang nenek sudah selesai. Bahkan tidak ada suara sama sekali dari dalam toilet. Sementara hajat Harti sudah sulit untuk ditahan. Ia pun kembali mengetuk pintu toilet tersebut, seketika toilet itu terbuka. Di dalamnya tak ada orang, nenek yang sedang berjongkok di atas toilet sudah hilang.
Karena sudah menunggu lama dan tak bisa ditahan lagi. Maka Harti langsung saja masuk ke dalam toilet dan menuntaskan hajatnya yang sudah hampir tak terbendung. Sore itu, adalah pertama kali Harti melihat sosok tak asing yang mungkin saja bukan manusia.
Pagi menyingsing, hawa dingin dan sejuk mengiringi niat Harti yang ingin berjalan-jalan. Kumpulan tumbuhan pandan tumbuh di depan rumahnya yang di bawahnya merupakan genangan air. Kontrakan 3 pintu yang hanya memilik satu toilet bersama. Toilet yang berada tepat di belakang dapur rumah Harti.
Ditemani sang suami, Harti berjalan-jalan sambil menikmati udara pagi
yang segar. Disambut dengan sapaan para tetangga yang mayoritas adalah warga suku lokal. Dengan logat Kutai dan Banjar yang kental, mereka menyapa sembari menyapu atau menyiram tanaman.
“Hendak ke mana kita? Gaknya tumat lagi lahir ni. – Mau kemana? Sepertinya sebentar lagi lahiran.” ucap seorang wanita penjual kue-kue basah yang biasa dipanggil dengan sebutan Mbok Joi dengan logat Kutai
yang kental.
“Ohh, bejalanan aja. Biar kena kalo lahiran lancar, – Mau jalan-jalan saja. Supaya nanti lahiran lancar,” jawab Husin dengan logat Banjar.
“Bulu landak ngan gunting jangan lupa dibawa, biar ndik dilirik kuyang, – Bulu landak sama gunting jangan lupa dibawa, supaya tidak dilirik (hantu) kuyang,” timpal Mbok Joi lagi sambil tersenyum sembari merapikan kue dagangannya.
“Iya, makasih, Mbok Joi.” Husin tersenyum sambil melanjutkan menemani Harti berjalan berkeliling.
Di kota ini, mitos dan rumor tentang kuyang memang sangat dipercaya. Terutama oleh para warga asli yang memang sangat memegang teguh kepercayaan lokal. Dan entah, percaya/tidak percaya semua itu diceritakan turun-temurun dan kabarnya memang sudah ada yang pernah membuktikan keberadaan dan kebenarannya.
Harti dan Husin berjalan menikmati pagi dengan santai. Embun masih terasa membasahi kulit, juga meninggalkan titik-titik bulir air di atas dedaunan di kiri-kanan gang. Banyak orang berlalu-lalang membawa keranjang belanjaan karena pasar juga masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Juga anak-anak sekolah yang sedang jalan bergerombol menuju tempat mereka menuntut ilmu. Juga beberapa ibu yang sedang berjalan berlainan arah. Salah satunya menggunakan kerudung dengan ujung yang melilit di lehernya.
Mereka bercakap sambil salah satunya menatap Harti yang dengan pandangan yang menyelidik. Hingga saat perpapasan, ia bahkan sampai menolehkan kepalanya memandang Harti yang sedang berjalan sambil memegangi perutnya Wanita itu menelan ludahnya sambil menjilat bibirnya sendiri.
“Hmmm.. Wangi..” batinnya.
Siang ini ia terpikir beberapa hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Sebuah misi yang seharusnya ia lakukan bertahun-tahun lalu. Mengunjungi tanah leluhurnya. Namun yang ia temukan adalah hal mengerikan yang seharusnya tak pernah terungkap. Sebuah rahasia masa lalu yang disimpan rapat oleh seluruh penduduk desa.
***
Kemal, 32 tahun. Seorang pemuda medioker yang masih terus berkutat dengan segala hobi dan kegemarannya. Kehidupan keluarganya yang sangat sederhana membuat masa kecilnya lebih terbatas jika dibandingkan dengan kawan sebayanya.
Ayahnya yang ketika itu masih berada di posisi cukup rendah di tempat kerjanya membuat hidup keluarga sangat sederhana. Ayah Kemal yang memulai karir di sebuah BUMN sebagai sekuriti hanya mendapatkan gaji 275 ribu rupiah per bulan. Saat itu masih sekitar tahun 1991.
Ibunya sedang mengandung sang adik. Sementara Kemal yang statusnya ‘disembunyikan’ berada di desa asal sang ibu. Sebuah desa tertinggal di provinsi paling timur di pulau Jawa. Sebuah desa yang pada saat itu hanya dihuni para petani, dengan kehidupan miskin dan jauh dari kata cukup.
Pada saat itu, ayah Kemal baru saja mendapatkan pekerjaanya. Dan menurut peraturan, pegawai tidak boleh menikah sebelum 3 tahun masa kerja. Karena ayah dan ibu Kemal menikah di luar ketentuan itu, maka kelahiran Kemal terpaksa disembunyikan dari rekan kerja sang ayah.
Dan ia pun dirawat oleh sang nenek, si mbok dari sang ibu.
***
Dalam rumah bangsal petak itu Harti sedang menggigil ketakutan. Keringat dingin membasahi tubuhnya, sementara ia hanya berada di kontrakan itu sendirian. Husin sedang bertugas sebagai sekuriti dan akan pulang pukul 11 malam. Yang mana akan tiba di rumah 20 hingga 30 menit setelah shift jaga selesai.
Sedari pukul 10, Harti mendengar ada sosok yang sedang tertawa cekikikan di depan pintu rumahnya. Sementara ia sangat tahu, bahwa lingkungan tempat tinggalnya adalah lingkungan yang sepi setelah shalat Isya.
Di dalam rumah, Harti tak bisa melakukan apa pun. Hanya bisa duduk meringkuk diatas ranjang sambil melindungi kandungannya yang sudah cukup besar. Ia hanya berdoa semampu yang ia ingat, diiringi kucuran keringat dan tubuhnya yang menggigil ketakutan.
Hingga pukul 11.25, hampir tengah malam suara vespa memecah keheningan malam itu. Husin datang dan langsung memarkirkan motornya tepat di depan rumah. Ia masuk dan disambut dengan tangisan yang memecah keheningan malam.
“Pak, di situ!! Tadi ada orang ketawa nyaring, cekikikan gak berhenti.” Harti tergagap sambil memeluk erat pinggang suaminya.
“Di mana?! Bentar, biar ku bacok kalo emang ada.” Husin langsung mengambil sebilah golok dan kembali mengecek teras rumah mereka. Dan yang ia temukan hanyalah sepinya malam dengan suara jangkrik dari
seberang jalan yang lebarnya tak lebih dari 2 meter.
Malam itu Harti terselamatkan, ia kembali tenang setelah sang suami memastikan tidak ada yang bisa ia temukan di depan rumahnya. Mereka akhirnya bisa terlelap sambil ditemani beberapa benda tajam seperti jarum, silet, gunting dan bulu landak sebagai proteksi sang jabang bayi.
***
Sore itu, Harti merasa sakit perut dan ingin buang hajat. Ia lalu keluar rumah melalui pintu belakang dan menuju toilet bersama yang berada tepat di belakang kontrakannya. Perlahan ia turun menuju belakang rumah, sambil memegangi perut besarnya dan melihat toilet dalam kondisi tertutup.
Harti menunggu sejenak. Karena tak ada suara, ia memutuskan untuk mendorong pintu toilet tersebut. Ia terkejut, pintu itu tak terkunci, namun di dalamnya ada seorang nenek yang sedang duduk berjongkok di atas kloset seperti sedang membuang hajat.
“Maaf, saya kira gak ada orang.” Ucapnya sambil langsung menutup pintu dan menunggu di mulut pintu rumahnya.
Beberapa menit berlalu, tak ada tanda bahwa sang nenek sudah selesai. Bahkan tidak ada suara sama sekali dari dalam toilet. Sementara hajat Harti sudah sulit untuk ditahan. Ia pun kembali mengetuk pintu toilet tersebut, seketika toilet itu terbuka. Di dalamnya tak ada orang, nenek yang sedang berjongkok di atas toilet sudah hilang.
Karena sudah menunggu lama dan tak bisa ditahan lagi. Maka Harti langsung saja masuk ke dalam toilet dan menuntaskan hajatnya yang sudah hampir tak terbendung. Sore itu, adalah pertama kali Harti melihat sosok tak asing yang mungkin saja bukan manusia.
***
Pagi menyingsing, hawa dingin dan sejuk mengiringi niat Harti yang ingin berjalan-jalan. Kumpulan tumbuhan pandan tumbuh di depan rumahnya yang di bawahnya merupakan genangan air. Kontrakan 3 pintu yang hanya memilik satu toilet bersama. Toilet yang berada tepat di belakang dapur rumah Harti.
Ditemani sang suami, Harti berjalan-jalan sambil menikmati udara pagi
yang segar. Disambut dengan sapaan para tetangga yang mayoritas adalah warga suku lokal. Dengan logat Kutai dan Banjar yang kental, mereka menyapa sembari menyapu atau menyiram tanaman.
“Hendak ke mana kita? Gaknya tumat lagi lahir ni. – Mau kemana? Sepertinya sebentar lagi lahiran.” ucap seorang wanita penjual kue-kue basah yang biasa dipanggil dengan sebutan Mbok Joi dengan logat Kutai
yang kental.
“Ohh, bejalanan aja. Biar kena kalo lahiran lancar, – Mau jalan-jalan saja. Supaya nanti lahiran lancar,” jawab Husin dengan logat Banjar.
“Bulu landak ngan gunting jangan lupa dibawa, biar ndik dilirik kuyang, – Bulu landak sama gunting jangan lupa dibawa, supaya tidak dilirik (hantu) kuyang,” timpal Mbok Joi lagi sambil tersenyum sembari merapikan kue dagangannya.
“Iya, makasih, Mbok Joi.” Husin tersenyum sambil melanjutkan menemani Harti berjalan berkeliling.
Di kota ini, mitos dan rumor tentang kuyang memang sangat dipercaya. Terutama oleh para warga asli yang memang sangat memegang teguh kepercayaan lokal. Dan entah, percaya/tidak percaya semua itu diceritakan turun-temurun dan kabarnya memang sudah ada yang pernah membuktikan keberadaan dan kebenarannya.
Harti dan Husin berjalan menikmati pagi dengan santai. Embun masih terasa membasahi kulit, juga meninggalkan titik-titik bulir air di atas dedaunan di kiri-kanan gang. Banyak orang berlalu-lalang membawa keranjang belanjaan karena pasar juga masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Juga anak-anak sekolah yang sedang jalan bergerombol menuju tempat mereka menuntut ilmu. Juga beberapa ibu yang sedang berjalan berlainan arah. Salah satunya menggunakan kerudung dengan ujung yang melilit di lehernya.
Mereka bercakap sambil salah satunya menatap Harti yang dengan pandangan yang menyelidik. Hingga saat perpapasan, ia bahkan sampai menolehkan kepalanya memandang Harti yang sedang berjalan sambil memegangi perutnya Wanita itu menelan ludahnya sambil menjilat bibirnya sendiri.
“Hmmm.. Wangi..” batinnya.
***
Spoiler for Bab Selanjutnya Gan!:
Spoiler for Bab Selanjutnya Gan!:
Spoiler for Bab Selanjutnya, Gan!:
Spoiler for Lanjut lagi, Gan!:
Spoiler for Selamat bermalam Minggu, Gan!:
Spoiler for Habis konser, lanjut cerita!:
Spoiler for Telat sehari.:
Spoiler for Lanjutan lagi!:
Spoiler for Malming sendu:
Spoiler for Capek motoran:
Spoiler for Habis selesein cerita untuk KUNCEN:
Spoiler for Mau nonton layar tancap:
Spoiler for Minggu pertama Oktober!! Gas!!:
Spoiler for Udah sepertiga cerita nih!:
Sekian Agan-Agan semua, malam Minggu depan ceritanya akan dilanjutkan.
Diubah oleh saujanastory 14-10-2023 19:36
itkgid dan 19 lainnya memberi reputasi
20
4.4K
Kutip
57
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
saujanastory
#14
Selamat bermalam Minggu, Gan. Ayo lanjut cerita.
Sampai jumpa minggu depan, Gan.
Quote:
Bab 6. Sebuah Penyambutan
Suasana laut malam ini terasa tenang, meskipun kadang terasa sedikit berombak. Penumpang tidur di ruangan yang dijadikan kamar bersama tumpukan barang masing-masing.
Begitu pula Harti, Husin dan Rosi yang harus ikut tidur beralaskan matras tipis. Mereka ikut tidur berjejer seperti pindang di dalam ruangan yang mungkin saja di dalamnya ada copet dan pembunuh, mungkin saja.
Keadaan ruang geladak kelas ekonomi memang hampir semuanya sama. Ramai, sesak dan bercampur bau keringat dan bau ketek entah siapa yang bisa membuat semakin mual. Beruntung jendela bulat di sisi kapal dibuka, sehingga masih ada sirkulasi udara.
Beberapa kali ada penjual makanan masuk dan menawarkan makanan darurat seperti mie dalam kemasan yang harganya 4 kali lebih mahal daripada harga di darat. Seolah si penjual berniat untuk cepat naik haji dan pulang di hari yang sama. Harga mahal yang tentunya tak dapat ditolak oleh penumpang yang terpaksa harus mengisi perut mereka karena makanan di kapal rasanya tidak enak.
Ini adalah malam terakhir mereka di dalam kapal. Perjalanan yang ditempuh selama 3 hari 2 malam akan segera berakhir dalam beberapa jam ke depan. Husin dan Harti beruntung, ia membawa banyak perbekalan seperti roti yang sudah mereka beli ketika masih di kota.
“Sudah, tidur aja dulu. Paling-paling pagi kapalnya dah nyampe,” ucap Husin pada istrinya yang sedaritadi menepuk-nepuk paha Rosi agar anak itu tetap lelap.
“Iya, sebentar. Biarin dia nyenyak dulu, habis itu baru aku tidur,” jawab Harti yang sebenarnya menahan lelah dan kantuk. Bawah matanya terlihat sedikit menghitam.
Memang, kehidupan di geladak kapal bukanlah hidup yang mudah. Meskipun hanya 3 hari 2 malam perjalanan, namun rasanya sangat lama karena bagaimana pun mereka bersama orang yang sama sekali tak dikenal.
Selain itu, resiko kehilangan barang juga sangat besar jika tidak dijaga baik-baik. Belum lagi copet yang ikut berdesakan ketika naik atau turun kapal. Yang tak jarang berani menyilet tas untuk mengambil dompet.
“TOOOOOOOOOOOOOOOOT…..!!!!!”
Suara terompet kapal berbunyi nyaring menandakan kapal sudah sampai dan hendak bersandar. Para penumpang langsung berebut untuk melihat ke jendela. Dari kejauhan terlihat siluet hitam memanjang dengan beberapa bentuk aneh di cakrawala yang merupakan teluk. Sekitar 1 jam lagi kapal akan segera bersandar.
Para penumpang lalu membereskan perlengkapan yang mereka gunakan untuk tidur. Selimut pakaian ganti dan segala macam barang pribadi masing-masing.
Husin dan Harti merapikan lampin, perlak, juga perlengkapan tidur Rosi. Semuanya dilipat, dimasukkan plastik dan digabung bersama barang lain di dalam tas besar. Tak lupa mereka mereka juga merapikan kardus bawaan berisi amplang yang ditujukan untuk oleh-oleh keluarga.
Penumpang-penumpang lain sudah kasak-kusuk seolah tak sabar untuk segera turun dari kapal. Mereka sudah tak ingin berlama-lama berada di ruangan pengap yang hampir tak ada privasi. Bahkan untuk tidur dengan santai saja mereka masih merasa was-was karena takut barang mereka hilang.
“PERHATIAN KEPADA PARA PENUMPANG. SILAKAN TURUN BERURUTAN DAN JANGAN BERDESAKAN, SERTA TETAP MENJAGA KEAMANAN DAN KESELAMATAN BERSAMA. TERIMAKASIH ATAS KEPERCAYAANNYA.”
Terdengar suara pengumuman dari pengeras suara yang ada di sudut ruangan.
Penumpang serempak berdiri dan langsung berdesakan keluar dari ruangan. Namun tidak dengan Husin dan Harti, mereka masih menunggu di pojok sambil memeluk Rosi. Husin memperhatikan barang mereka dengan baik, jangan sampai ada penumpang lain yang mengambil. Baik itu sengaja, maupun tidak sengaja.
Ada perasan senang dan khawatir pada wajah mereka berdua. Khawatir ketika semua orang berdesakan, yang berarti kemungkinan terluka cukup besar. Apalagi mereka membawa bayi yang bahkan belum berumur satu tahun. Tak ada transportasi antarpulau yang lebih terjangkau dari kapal laut, terutama untuk mereka berdua yang kelas menengah.
Malam ini hujan mengguyur setelah sekitar 6 jam mereka menaiki bus dari ibukota. Kabupaten Kujang memang lumayan jaraknya dari ibukota. Seturunnya mereka dari kapal, mereka harus berjibaku untuk menolak para kuli angkut yang memaksa membawakan barang-barang mereka, belum lagi waspada terhadap copet.
Husin, Harti dan Rosi tiba di sebuah pasar yang selalu menjadi patokan ketika pulang kampung. Di depan pasar Senengarto mereka segerombolan tukang becak yang sedang menunggu penumpang. Para pria yang sudah tak lagi muda itu ada yang sedang meringkuk berselimut sarung, ada pula yang sedang bercengkerama sambil menghembuskan asap rokok klobot.
“Kulo nuwun Pak, saged nedhi antar dhateng dhusun Lapengan, Sumberarto? ̶ Permisi pak, bisa minta tolong antarkan ke desa Lapengan, Sumberarto?” ucap Harti kepada para tukang becak yang sedang mengobrol.
“Waduh, tebih meniko Mbak. Kulo mboten wantun, – Waduh, jauh itu Mbak. Saya tidak berani,”jawab seseorang orang yang sudah cukup berumur.
“Menawi estu badhe, bapak berdua mawon. Kulo asih piyambak-piyambak Rp 1.000, – Kalau memang mau, bapak berdua saja. Saya beri masing-masing Rp 1.000,” ucap Harti sambil menyodorkan uang.
“Nggih pun menawi kados meniko Mbak, supados kita berdua mawon ingkang ngater, – Baiklah kalau begitu Mbak, biar kami berdua saja yang mengantar,” jawab seorang tukang becak yang berumur 40 tahunan. Disusul anggukan seorang pemuda tegap yang sepertinya juga setuju.
Husin pun menaruh dan mengikat barang bawaan mereka di becak yang dikendarai bapak yang lebih tua. Sementara Harti naik ke atas becak satunya sambil menutupi wajah Rosi agar tidak terkena tetesan air.
Mereka berlima akhirnya menyusuri aspal di bawah rintik gerimis. Jatim memang baru saja diguyur hujan yang cukup deras sejak selepas Maghrib. Membuat para pengemudi becak harus menghentikan kegiatannya dan berteduh.
Sepanjang perjalanan, mereka masih bisa bercakap-cakap lirih. Becak yang mereka kendarai berjalan beriringan dipimpin oleh Pak Supeno yang mengangkut barang-barang.
Bagi tukang becak yang sudah lama menjalankan profesi ini, desa Lapengan merupakan salah satu desa yang sering ia lewati. Terutama jika ia mendapat penumpang menuju desa Jinggo yang letaknya setelah desa Lapengan.
Karena itu, ia berani memimpin perjalanan dan tentu saja ia sudah tahu apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan maupun diucapkan di area-area desa yang selalu menjadi tujuan penumpangnya. Karena memang, desa tujuan mereka merupakan salah satu desa yang wingit.
Keadaan malam sama sekali minim cahaya. Jangankan cahaya lampu jalan, sinar bulan mau pun nyala api dari rumah warga tak ada terlihat sama sekali. Butuh kewaspadaan ekstra untuk bisa melewati jalanan gelap yang berlumpur.
Hari sudah cukup larut bagi para penduduk desa untuk sekedar berjalan ke luar rumah. Siskamling pun mungkin orang akan enggan untuk melakukannya. Selain terlalu gelap, gerimis kecil masih turun, dan pastinya terlalu seram bagi kebanyakan orang untuk berada di luar rumah.
Mereka berlima menyusuri jalan-jalan sepi yang sebagian besar kiri dan kanannya merupakan persawahan. Ada pula beberapa kebun singkong, deretan pohon jati, randu, dan trembesi yang menghiasi pinggiran jalan.
“Pak, kalau misalnya ada liat ato dengar sesuatu jangan ditegur. Diem aja.” Harti langsung mengingatkan suaminya untuk bisa menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru ditemuinya.
Husin hanya mengangguk pelan sambil menyelimuti istri dan anaknya, setidaknya hanya itu yang bisa ia lakukan untuk melindungi mereka dari hawa dingin. Ditambah masih ada gerimis kecil yang masih mengenai kaki mereka.
Becak itu memang memiliki kanopi lipat sebagai perlindungan minimal ketika panas dan hujan. Namun tak cukup untuk menghalau hawa dingin yang menusuk.
“Le, nek ono nyawang atowo krungu opo-opo wis ben’ae. Pokok’e meneng. – Le, kalau ada liat ato denger apa-apa biarin aja. Pokoknnya diem.” Tukang becak yang lebih tua berkata kepada rekannya yang lebih muda. Dijawab dengan anggukan sambil mulutnya terus tertutup.
Tak salah jika sang pengemudi becak memperingatkan, karena ini sudah memasuki perbatasan desa Lapengan. Seperti yang sudah diperkirakan, jalanan terasa jauh lebih sulit untuk dilewati. Lumpur yang dalam dan tanah yang becek menjadi hambatan utama.
‘Dreg.. Deg.. Tung.. Dreg.. Deg.. Tung..’
Kedua tukang becak itu langsung saling memandang dan saling mengangguk, pun dengan Harti yang langsung memberi kode telunjuk di bibir pada suaminya. Sebuah pantangan yang baru saja disampaikan akhirnya diamini semesta.
Dari kejauhan, terdengar suara tumbukan lesung bertalu-talu. Sebuah kegiatan yang tak mungkin dilakukan warga desa di tengah malam, apalagi ketika setelah hujan dan masih ada gerimis kecil.
Mereka berlima disambut dengan bunyi hentakan lesung yang sakral. Tumbukan lesung dari para penghuni dimensi lain yang mungkin saja sedang melaksanakan tugas dari sang Penguasa Desa. Atau mungkin sebuah pancingan bagi mereka yang teledor, bagi para manusia yang bermulut sompral.
Mereka berlima tak mengeluarkan suara sama sekali, Rosi sudah tidur. Sementara semua orang dewasa serempak mengunci mulut mereka dan menjaga pandangan. Suara lesung semakin nyaring terdengar dari sebelah kiri mereka, seolah mengikuti. Tawa anak kecil juga terdengar lirih seperti sedang bermain, juga nyala api yang terlihat dari kejauhan di tengah sawah. Nyala api yang tak mungkin berasal dari manusia.
Harti bergidik, ia semakin erat memeluk putri kecilnya sambil terus melindung wajah Rosi dari hempasan angin malam yang seketika bertiup lebih kencang. Di kiri dan kanan mereka terdengar suara-suara benda yang entah apa.
Mereka saling memandang, Husin mendekap tubuh Harti sambil merapal doa yang ia ingat. Pun dengan Harti yang semakin menggigil ketakutan. Sementara kedua tukang becak tetap menutup mulut mereka, memperhatikan jalanan berlumpur dan berusaha menghindari kubangan bermodal cahaya kecil dari becaknya.
Di sebelah kiri mereka, sebuah cahaya api di tengah sawah semakin terlihat terang. Deretan pepohonan jati dan trembesi semakin jarang di kiri-kanan jalan, hingga dengan jelas terlihat hamparan sawah yang luas dengan siluet gubuk kecil di tengahnya. Cahaya bergerak mengelilingi gubuk, namun itu bukanlah cahaya obor.
“Pak, jangan dilihat.” Harti dengan cepat berbisik, menghardik suaminya yang berniat menolehkan kepala.
Cahaya itu dari kejauhan terlihat seperti api, namun polanya terus berubah. Serupa kucing besar dengan kepala menyala terang.
Banaspati, penjaga utusan Penguasa Desa.
– Le = Tole (panggilan untuk anak laki-laki)
Suasana laut malam ini terasa tenang, meskipun kadang terasa sedikit berombak. Penumpang tidur di ruangan yang dijadikan kamar bersama tumpukan barang masing-masing.
Begitu pula Harti, Husin dan Rosi yang harus ikut tidur beralaskan matras tipis. Mereka ikut tidur berjejer seperti pindang di dalam ruangan yang mungkin saja di dalamnya ada copet dan pembunuh, mungkin saja.
Keadaan ruang geladak kelas ekonomi memang hampir semuanya sama. Ramai, sesak dan bercampur bau keringat dan bau ketek entah siapa yang bisa membuat semakin mual. Beruntung jendela bulat di sisi kapal dibuka, sehingga masih ada sirkulasi udara.
Beberapa kali ada penjual makanan masuk dan menawarkan makanan darurat seperti mie dalam kemasan yang harganya 4 kali lebih mahal daripada harga di darat. Seolah si penjual berniat untuk cepat naik haji dan pulang di hari yang sama. Harga mahal yang tentunya tak dapat ditolak oleh penumpang yang terpaksa harus mengisi perut mereka karena makanan di kapal rasanya tidak enak.
Ini adalah malam terakhir mereka di dalam kapal. Perjalanan yang ditempuh selama 3 hari 2 malam akan segera berakhir dalam beberapa jam ke depan. Husin dan Harti beruntung, ia membawa banyak perbekalan seperti roti yang sudah mereka beli ketika masih di kota.
“Sudah, tidur aja dulu. Paling-paling pagi kapalnya dah nyampe,” ucap Husin pada istrinya yang sedaritadi menepuk-nepuk paha Rosi agar anak itu tetap lelap.
“Iya, sebentar. Biarin dia nyenyak dulu, habis itu baru aku tidur,” jawab Harti yang sebenarnya menahan lelah dan kantuk. Bawah matanya terlihat sedikit menghitam.
Memang, kehidupan di geladak kapal bukanlah hidup yang mudah. Meskipun hanya 3 hari 2 malam perjalanan, namun rasanya sangat lama karena bagaimana pun mereka bersama orang yang sama sekali tak dikenal.
Selain itu, resiko kehilangan barang juga sangat besar jika tidak dijaga baik-baik. Belum lagi copet yang ikut berdesakan ketika naik atau turun kapal. Yang tak jarang berani menyilet tas untuk mengambil dompet.
…
“TOOOOOOOOOOOOOOOOT…..!!!!!”
Suara terompet kapal berbunyi nyaring menandakan kapal sudah sampai dan hendak bersandar. Para penumpang langsung berebut untuk melihat ke jendela. Dari kejauhan terlihat siluet hitam memanjang dengan beberapa bentuk aneh di cakrawala yang merupakan teluk. Sekitar 1 jam lagi kapal akan segera bersandar.
Para penumpang lalu membereskan perlengkapan yang mereka gunakan untuk tidur. Selimut pakaian ganti dan segala macam barang pribadi masing-masing.
Husin dan Harti merapikan lampin, perlak, juga perlengkapan tidur Rosi. Semuanya dilipat, dimasukkan plastik dan digabung bersama barang lain di dalam tas besar. Tak lupa mereka mereka juga merapikan kardus bawaan berisi amplang yang ditujukan untuk oleh-oleh keluarga.
Penumpang-penumpang lain sudah kasak-kusuk seolah tak sabar untuk segera turun dari kapal. Mereka sudah tak ingin berlama-lama berada di ruangan pengap yang hampir tak ada privasi. Bahkan untuk tidur dengan santai saja mereka masih merasa was-was karena takut barang mereka hilang.
“PERHATIAN KEPADA PARA PENUMPANG. SILAKAN TURUN BERURUTAN DAN JANGAN BERDESAKAN, SERTA TETAP MENJAGA KEAMANAN DAN KESELAMATAN BERSAMA. TERIMAKASIH ATAS KEPERCAYAANNYA.”
Terdengar suara pengumuman dari pengeras suara yang ada di sudut ruangan.
Penumpang serempak berdiri dan langsung berdesakan keluar dari ruangan. Namun tidak dengan Husin dan Harti, mereka masih menunggu di pojok sambil memeluk Rosi. Husin memperhatikan barang mereka dengan baik, jangan sampai ada penumpang lain yang mengambil. Baik itu sengaja, maupun tidak sengaja.
Ada perasan senang dan khawatir pada wajah mereka berdua. Khawatir ketika semua orang berdesakan, yang berarti kemungkinan terluka cukup besar. Apalagi mereka membawa bayi yang bahkan belum berumur satu tahun. Tak ada transportasi antarpulau yang lebih terjangkau dari kapal laut, terutama untuk mereka berdua yang kelas menengah.
***
Malam ini hujan mengguyur setelah sekitar 6 jam mereka menaiki bus dari ibukota. Kabupaten Kujang memang lumayan jaraknya dari ibukota. Seturunnya mereka dari kapal, mereka harus berjibaku untuk menolak para kuli angkut yang memaksa membawakan barang-barang mereka, belum lagi waspada terhadap copet.
Husin, Harti dan Rosi tiba di sebuah pasar yang selalu menjadi patokan ketika pulang kampung. Di depan pasar Senengarto mereka segerombolan tukang becak yang sedang menunggu penumpang. Para pria yang sudah tak lagi muda itu ada yang sedang meringkuk berselimut sarung, ada pula yang sedang bercengkerama sambil menghembuskan asap rokok klobot.
“Kulo nuwun Pak, saged nedhi antar dhateng dhusun Lapengan, Sumberarto? ̶ Permisi pak, bisa minta tolong antarkan ke desa Lapengan, Sumberarto?” ucap Harti kepada para tukang becak yang sedang mengobrol.
“Waduh, tebih meniko Mbak. Kulo mboten wantun, – Waduh, jauh itu Mbak. Saya tidak berani,”jawab seseorang orang yang sudah cukup berumur.
“Menawi estu badhe, bapak berdua mawon. Kulo asih piyambak-piyambak Rp 1.000, – Kalau memang mau, bapak berdua saja. Saya beri masing-masing Rp 1.000,” ucap Harti sambil menyodorkan uang.
“Nggih pun menawi kados meniko Mbak, supados kita berdua mawon ingkang ngater, – Baiklah kalau begitu Mbak, biar kami berdua saja yang mengantar,” jawab seorang tukang becak yang berumur 40 tahunan. Disusul anggukan seorang pemuda tegap yang sepertinya juga setuju.
Husin pun menaruh dan mengikat barang bawaan mereka di becak yang dikendarai bapak yang lebih tua. Sementara Harti naik ke atas becak satunya sambil menutupi wajah Rosi agar tidak terkena tetesan air.
Mereka berlima akhirnya menyusuri aspal di bawah rintik gerimis. Jatim memang baru saja diguyur hujan yang cukup deras sejak selepas Maghrib. Membuat para pengemudi becak harus menghentikan kegiatannya dan berteduh.
Sepanjang perjalanan, mereka masih bisa bercakap-cakap lirih. Becak yang mereka kendarai berjalan beriringan dipimpin oleh Pak Supeno yang mengangkut barang-barang.
Bagi tukang becak yang sudah lama menjalankan profesi ini, desa Lapengan merupakan salah satu desa yang sering ia lewati. Terutama jika ia mendapat penumpang menuju desa Jinggo yang letaknya setelah desa Lapengan.
Karena itu, ia berani memimpin perjalanan dan tentu saja ia sudah tahu apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan maupun diucapkan di area-area desa yang selalu menjadi tujuan penumpangnya. Karena memang, desa tujuan mereka merupakan salah satu desa yang wingit.
Keadaan malam sama sekali minim cahaya. Jangankan cahaya lampu jalan, sinar bulan mau pun nyala api dari rumah warga tak ada terlihat sama sekali. Butuh kewaspadaan ekstra untuk bisa melewati jalanan gelap yang berlumpur.
Hari sudah cukup larut bagi para penduduk desa untuk sekedar berjalan ke luar rumah. Siskamling pun mungkin orang akan enggan untuk melakukannya. Selain terlalu gelap, gerimis kecil masih turun, dan pastinya terlalu seram bagi kebanyakan orang untuk berada di luar rumah.
Mereka berlima menyusuri jalan-jalan sepi yang sebagian besar kiri dan kanannya merupakan persawahan. Ada pula beberapa kebun singkong, deretan pohon jati, randu, dan trembesi yang menghiasi pinggiran jalan.
“Pak, kalau misalnya ada liat ato dengar sesuatu jangan ditegur. Diem aja.” Harti langsung mengingatkan suaminya untuk bisa menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru ditemuinya.
Husin hanya mengangguk pelan sambil menyelimuti istri dan anaknya, setidaknya hanya itu yang bisa ia lakukan untuk melindungi mereka dari hawa dingin. Ditambah masih ada gerimis kecil yang masih mengenai kaki mereka.
Becak itu memang memiliki kanopi lipat sebagai perlindungan minimal ketika panas dan hujan. Namun tak cukup untuk menghalau hawa dingin yang menusuk.
“Le, nek ono nyawang atowo krungu opo-opo wis ben’ae. Pokok’e meneng. – Le, kalau ada liat ato denger apa-apa biarin aja. Pokoknnya diem.” Tukang becak yang lebih tua berkata kepada rekannya yang lebih muda. Dijawab dengan anggukan sambil mulutnya terus tertutup.
Tak salah jika sang pengemudi becak memperingatkan, karena ini sudah memasuki perbatasan desa Lapengan. Seperti yang sudah diperkirakan, jalanan terasa jauh lebih sulit untuk dilewati. Lumpur yang dalam dan tanah yang becek menjadi hambatan utama.
‘Dreg.. Deg.. Tung.. Dreg.. Deg.. Tung..’
Kedua tukang becak itu langsung saling memandang dan saling mengangguk, pun dengan Harti yang langsung memberi kode telunjuk di bibir pada suaminya. Sebuah pantangan yang baru saja disampaikan akhirnya diamini semesta.
Dari kejauhan, terdengar suara tumbukan lesung bertalu-talu. Sebuah kegiatan yang tak mungkin dilakukan warga desa di tengah malam, apalagi ketika setelah hujan dan masih ada gerimis kecil.
Mereka berlima disambut dengan bunyi hentakan lesung yang sakral. Tumbukan lesung dari para penghuni dimensi lain yang mungkin saja sedang melaksanakan tugas dari sang Penguasa Desa. Atau mungkin sebuah pancingan bagi mereka yang teledor, bagi para manusia yang bermulut sompral.
Mereka berlima tak mengeluarkan suara sama sekali, Rosi sudah tidur. Sementara semua orang dewasa serempak mengunci mulut mereka dan menjaga pandangan. Suara lesung semakin nyaring terdengar dari sebelah kiri mereka, seolah mengikuti. Tawa anak kecil juga terdengar lirih seperti sedang bermain, juga nyala api yang terlihat dari kejauhan di tengah sawah. Nyala api yang tak mungkin berasal dari manusia.
Harti bergidik, ia semakin erat memeluk putri kecilnya sambil terus melindung wajah Rosi dari hempasan angin malam yang seketika bertiup lebih kencang. Di kiri dan kanan mereka terdengar suara-suara benda yang entah apa.
Mereka saling memandang, Husin mendekap tubuh Harti sambil merapal doa yang ia ingat. Pun dengan Harti yang semakin menggigil ketakutan. Sementara kedua tukang becak tetap menutup mulut mereka, memperhatikan jalanan berlumpur dan berusaha menghindari kubangan bermodal cahaya kecil dari becaknya.
Di sebelah kiri mereka, sebuah cahaya api di tengah sawah semakin terlihat terang. Deretan pepohonan jati dan trembesi semakin jarang di kiri-kanan jalan, hingga dengan jelas terlihat hamparan sawah yang luas dengan siluet gubuk kecil di tengahnya. Cahaya bergerak mengelilingi gubuk, namun itu bukanlah cahaya obor.
“Pak, jangan dilihat.” Harti dengan cepat berbisik, menghardik suaminya yang berniat menolehkan kepala.
Cahaya itu dari kejauhan terlihat seperti api, namun polanya terus berubah. Serupa kucing besar dengan kepala menyala terang.
Banaspati, penjaga utusan Penguasa Desa.
– Le = Tole (panggilan untuk anak laki-laki)
Sampai jumpa minggu depan, Gan.

namakuve dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas