- Beranda
- Stories from the Heart
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
...
TS
Leny.Khan
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
ANGKUHNYA CINTA (PART 1-22 ending)
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
bukhorigan dan 17 lainnya memberi reputasi
16
11K
64
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.2KThread•46.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
Leny.Khan
#47
PART 20
💐Bab 20💐
Sudah satu bulan lamanya aku tidak ke kantor, dan selama itu pula aku tinggal di rumah orang tua Devan. Sebab sebelum pergi, ternyata Mbak Rima mampir ke rumah mereka, memberi kabar kalau dia tidak bisa bekerja lagi denganku. Sehingga malamnya mereka langsung datang ke rumah dan membawaku tinggal bersama mereka.
Saat kucoba menghubungi Mami dan Ayah, mereka mengabaikanku. Mereka sepertinya masih marah dengan putrinya ini. Tapi ya sudahlah, nanti mereka juga akan terbuka hatinya setelah melihat cucunya lahir.
Walau aku tinggal di rumah orang tua Devan, setiap pagi Rafi tidak pernah absen mengantarkan seikat mawar merah untukku. Tepatnya bunga dari Devan. Entah sudah berapa banyak bunga yang kuterima, hingga semua rumah Mama berhias mawar merah di setiap sudutnya. Vas-vas kesayangan Mama pun tak luput dari tempat nongkrongnya mawar-mawar indah itu. Untunglah wanita glamour itu tak keberatan sama sekali.
***
“Maafkan aku, Bang. Sudah lama tidak menjenguk Abang ke sini. Aku sebulan kemarin harus istirahat total, jadi ....“
“Tidak apa-apa, Sayang.” Devan membelai wajahku dengan lembut. “Mama sudah bilang kok sama Abang.”
“Abang apa kabar? Sehat ‘kan?” tanyaku lirih sambil menelisik sudut wajahnya yang terlihat lebih tirus dibanding terakhir kali aku bertemu dengannya.
Rambut yang menghias rahang hingga dagunya membuat ia tampak jauh lebih dewasa.
“Alhamdulillaah, Abang sehat,” jawabnya seraya tersenyum.
Hening, saat iris kami saling beradu. Menyampaikan rasa rindu yang tak lagi bisa diungkapkan lewat kata-kata.
“Bang ... kata Mama, Papa sudah berusaha memberi jaminan agar Abang bisa bebas, tapi ... katanya ditolak. Apa kita suap saja mereka, Bang? Agar Abang bisa secepatnya keluar dari sini.”
“Astaghfirullaah, istighfar Puja,” cegahnya dengan raut tak suka. “Kamu tahu kan suap itu hukumnya seperti apa dalam agama kita?” Devan memandangku lekat.
Aku terdiam, menunduk.
“Bukankah sudah Abang katakan, jika penjara adalah lebih baik bagi Abang agar Allah mengampuni dosa-dosa Abang, Abang rela selamanya berada di sini,” ujarnya setengah berbisik.
“Tapi bagaimana denganku? Bagaimana dengan anak kita nanti?”
Devan menggenggam jemariku, hangat tangannya membuat rindu padanya semakin menggebu. Terlihat mata pria itu berkabut, dan satu persatu butiran bening jatuh membasahi pipinya.
“Sesungguhnya ... Abang ingin melepasmu, agar kamu bisa menentukan jalan hidupmu sendiri, tanpa terbebani dengan Abang. Akan tetapi ... Abang tidak sanggup. Abang tidak sanggup menyerahkanmu pada orang lain. Jangankan melepasmu dalam nyata, membayangkan dirimu disentuh lelaki lain saja hati ini sangat sakit, Pu.”
“Jangan pernah berniat melepasku. Karena aku pun takkan sanggup.” Aku terisak. “Menunggu keajaiban dari Allah adalah keputusanku. Aku yakin akan kekuatan doa. Karena hanya doa yang mampu mengubah takdir. Walau butuh waktu lama untuk menunggunya.” pungkasku.
Kuusap wajah Devan dengan kedua tanganku, sambil berdoa dan berharap agar wajah ini bisa kulihat lagi saat mataku terbuka setiap pagi.
Cinta itu memang angkuh. Dia tak pernah menyerah dalam keadaan apa pun. Dia selalu merasa kuat walau sesungguhnya dia sudah hampir kalah. Akan tetapi, keangkuhan itulah yang membuatnya bisa bertahan hingga saat ini. Karena cinta yakin, keangkuhan yang ia miliki mampu membawanya pada sebuah kebahagiaan. Meskipun entah kapan kebahagiaan itu akan menghampiri.
***
Usia kandunganku sudah menginjak delapan bulan, artinya sebulan lagi aku akan melihat buah hatiku lahir ke dunia. Menikmati hari demi hari kehamilan yang begitu penuh drama membuatku begitu bahagia. Apalagi saat mengetahui jenis kelamin bayiku adalah perempuan, betapa besarnya hatiku.
Akan tetapi rasa bahagia itu surut saat membayangkan anakku lahir tanpa ayahnya. Rasa sakit dan perih mampir di rongga dada. Membuat air mataku kembali berderai. Menangis sesegukan di sofa balkon lantai dua, hingga tak sadar aku tertidur di sana.
Ada tangan hangat kurasakan tengah mengelus pelan perut besarku. Antara mimpi dan nyata, kucoba membuka mata yang terasa berat dan sembab.
“Bang Dev?” gumamku pelan sambil mengucek mata. Lalu aku terdiam. Hanya semilir angin yang menyapa wajah dengan lembut, dan aku menangis. Menyadari bahwa itu hanyalah mimpi yang singgah. Mimpi yang selalu datang karena rindu yang tak pernah padam.
Aku terisak. Terkadang hati ini berontak, menghujat Sang Pemilik Cinta, kenapa nasib cintaku harus seperti ini? Kenapa kebahagiaan yang kurasakan hanya sekejap saja bersama Devan? Akan tetapi pada akhirnya aku sadar, ini hanyalah dunia. Dunia tempat persinggahan, dan aku berharap, Allah akan menyatukan kami kembali di surga-Nya yang abadi.
***
“Kenapa kamu bisa bertahan untuk Devan?” pertanyaan mama mertuaku terlontar saat beliau datang ke kamar selepas shalat Isya. “Kamu masih muda, cantik, pasti banyak lelaki yang siap menjadi pengganti Devan.” Kulihat matanya berkaca-kaca.
Kutatap mata bulatnya, lalu tersenyum sebisa mungkin meskipun hati teramat perih. “Aku mencintai Dev, Ma. Susah payah aku membuatnya mengakui kalau sebenarnya dia juga mencintaiku, dan banyak waktu yang kulalui hingga bisa hidup bersamanya. Lalu apakah dengan ujian kecil ini aku mampu meninggalkannya? Apakah di saat dia sedang dalam posisi tersulit seperti sekarang aku harus pergi begitu saja?”
Mama tertegun memandangku.
“Tidak, Ma,” kugelengkan kepala, “bukanlah cinta namanya jika ia dirasakan hanya saat raga saling berdekatan, tapi cinta ... adalah yang selalu menjaga setia di saat raga berjauhan.”
Air mata jatuh satu persatu di pipiku. “Aku mencintai Dev, Ma. Puja sangat mencintai Devan.”
Tangisku pecah dan Mama langsung memelukku erat. Kami menangis berdua, memecah kesunyian malam.
“Terima kasih, Puja. Terima kasih, Nak. Mama tidak tahu harus berkata apa padamu. Kamu ... kamu terlalu baik untuk Devan. Padahal Devan sudah ....“ Mama menggantung kalimatnya.
Kurenggangkan pelukanku. “Ma ... bukankah Devan sudah bilang kenapa dia melakukan itu?”
Mama terdiam sambil terus terisak.
“Devan melakukan itu demi aku, Ma. Demi menjagaku. Agar tak ada yang bisa melukaiku. Walaupun tindakannya tidak bisa dibenarkan tapi ... tapi Dev, sangat mencintaiku.” Suaraku terdengar parau.
“Iya, iya, Mama tahu, Nak. Mama tahu.” Kembali ia merengkuhku dalam peluknya.
“Ah, sudahlah!” Mama melepas pelukannya. “Kita nggak boleh sedih-sedih terus, kasihan cucu Mama yang di dalam sana, nanti dia ikutan sedih,” ucap Mama sembari menyentuh perut besarku.
Aku tersenyum getir. “Iya, Ma. Kita tidak boleh larut dalam kesedihan. Kita harus semangat, agar Dev juga semangat menjalani ujian ini.”
Mama mengangguk seraya tersenyum.
***
Satu bulan kemudian, akhirnya hari yang kutunggu-tunggu datang juga. Aku melahirkan. Air mata haru mengalir deras di pipi, saat suara tangis bayi tanpa dosa itu pecah di ruang tempatku bersalin. Mengundang bahagia yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata.
“Bang Dev, andai kamu ada di sini menemaniku, kamu pasti sangat bahagia melihat putri kecil kita. Dia sangat cantik dan mirip sekali denganmu, Bang,” batinku sembari mengecup bayi yang masih merah itu.
Saat ini aku sudah dipindahkan ke ruang perawatan.
Hanya mertuaku yang setia mendampingi di masa-masa sulitku. Sementara Mami dan Ayah belum juga luluh sampai detik ini. Bahkan saat putrinya ini meminta Mami menemani saat bersalin saja beliau tidak sudi.
“Ma, kalau kita pulang dari rumah sakit nanti, kita langsung ke tempat Bang Dev ya? Biar dia lihat putrinya, agar dia memiliki semangat baru dalam menjalani ujian ini,” pintaku dengan linangan air mata.
Mama dan Papa tersenyum, lalu mengangguk mengiakan permintaan menantunya ini.
***
Devan terpaku menatap bayi mungil dalam pangkuanku. Ia mendekat dengan mata berbinar. Mengambil dan mengecupnya berulang kali sambil membisikkan sebaris doa. Aku pun tak kuasa menahan tangis kala menyaksikan suasana haru itu.
“Terima kasih, Puja.” Devan beralih mengecup dahiku. Hanya senyuman yang mampu kuberikan sebagai jawaban. Kemudian pandangan kembali tertuju pada bayi kami.
“Kita beri nama siapa, ya, Bang?”
“Kamu maunya siapa?”
“Abang saja yang memberinya nama, ‘kan Abang ayahnya.” Aku mencubit ujung hidung Devan.
“Hmm ….” Devan tampak berpikir keras. “Kalau kita kasih nama Alisha, apa kamu keberatan?”
“Nama yang bagus, Bang, aku setuju. Alisha … Alisha binti Devan.”
Wajah Devan semringah. Tak lama Mama dan Papa masuk. Jam besuk sudah berakhir dan kami harus meninggalkan ruangan ini. Devan seolah tak rela melepas Alisha. Berulangkali ia mendekap tubuh mungil itu dan mnciumnya dengan linangan air mata.
“Maafkan, Ayah, Nak,” bisiknya sambil menangis.
Kupeluk pria itu dengan erat. “Aku masih berharap, Allah memberi kita waktu untuk dapat berkumpul.”
“Seandainya di dunia kita tidak bisa berkumpul, maka berdoalah pada Allah, agar kita bisa berkumpul di Jannah-Nya kelak.” Devan mengecup puncak kepalaku.
Tangis kembali pecah, sebelum akhirnya Devan harus lebih dulu kembali ke selnya.
“Kita pulang, Sayang?” ajak Mama.
Aku mengangguk. Mama membantu menggendong Alisha. Kupegang lengan Papa sebagai tumpuan saat berjalan, lantas kami meninggalkan tempat itu dengan sebuah harapan yang tak pernah pudar.
💐Bab 20💐
Sudah satu bulan lamanya aku tidak ke kantor, dan selama itu pula aku tinggal di rumah orang tua Devan. Sebab sebelum pergi, ternyata Mbak Rima mampir ke rumah mereka, memberi kabar kalau dia tidak bisa bekerja lagi denganku. Sehingga malamnya mereka langsung datang ke rumah dan membawaku tinggal bersama mereka.
Saat kucoba menghubungi Mami dan Ayah, mereka mengabaikanku. Mereka sepertinya masih marah dengan putrinya ini. Tapi ya sudahlah, nanti mereka juga akan terbuka hatinya setelah melihat cucunya lahir.
Walau aku tinggal di rumah orang tua Devan, setiap pagi Rafi tidak pernah absen mengantarkan seikat mawar merah untukku. Tepatnya bunga dari Devan. Entah sudah berapa banyak bunga yang kuterima, hingga semua rumah Mama berhias mawar merah di setiap sudutnya. Vas-vas kesayangan Mama pun tak luput dari tempat nongkrongnya mawar-mawar indah itu. Untunglah wanita glamour itu tak keberatan sama sekali.
***
“Maafkan aku, Bang. Sudah lama tidak menjenguk Abang ke sini. Aku sebulan kemarin harus istirahat total, jadi ....“
“Tidak apa-apa, Sayang.” Devan membelai wajahku dengan lembut. “Mama sudah bilang kok sama Abang.”
“Abang apa kabar? Sehat ‘kan?” tanyaku lirih sambil menelisik sudut wajahnya yang terlihat lebih tirus dibanding terakhir kali aku bertemu dengannya.
Rambut yang menghias rahang hingga dagunya membuat ia tampak jauh lebih dewasa.
“Alhamdulillaah, Abang sehat,” jawabnya seraya tersenyum.
Hening, saat iris kami saling beradu. Menyampaikan rasa rindu yang tak lagi bisa diungkapkan lewat kata-kata.
“Bang ... kata Mama, Papa sudah berusaha memberi jaminan agar Abang bisa bebas, tapi ... katanya ditolak. Apa kita suap saja mereka, Bang? Agar Abang bisa secepatnya keluar dari sini.”
“Astaghfirullaah, istighfar Puja,” cegahnya dengan raut tak suka. “Kamu tahu kan suap itu hukumnya seperti apa dalam agama kita?” Devan memandangku lekat.
Aku terdiam, menunduk.
“Bukankah sudah Abang katakan, jika penjara adalah lebih baik bagi Abang agar Allah mengampuni dosa-dosa Abang, Abang rela selamanya berada di sini,” ujarnya setengah berbisik.
“Tapi bagaimana denganku? Bagaimana dengan anak kita nanti?”
Devan menggenggam jemariku, hangat tangannya membuat rindu padanya semakin menggebu. Terlihat mata pria itu berkabut, dan satu persatu butiran bening jatuh membasahi pipinya.
“Sesungguhnya ... Abang ingin melepasmu, agar kamu bisa menentukan jalan hidupmu sendiri, tanpa terbebani dengan Abang. Akan tetapi ... Abang tidak sanggup. Abang tidak sanggup menyerahkanmu pada orang lain. Jangankan melepasmu dalam nyata, membayangkan dirimu disentuh lelaki lain saja hati ini sangat sakit, Pu.”
“Jangan pernah berniat melepasku. Karena aku pun takkan sanggup.” Aku terisak. “Menunggu keajaiban dari Allah adalah keputusanku. Aku yakin akan kekuatan doa. Karena hanya doa yang mampu mengubah takdir. Walau butuh waktu lama untuk menunggunya.” pungkasku.
Kuusap wajah Devan dengan kedua tanganku, sambil berdoa dan berharap agar wajah ini bisa kulihat lagi saat mataku terbuka setiap pagi.
Cinta itu memang angkuh. Dia tak pernah menyerah dalam keadaan apa pun. Dia selalu merasa kuat walau sesungguhnya dia sudah hampir kalah. Akan tetapi, keangkuhan itulah yang membuatnya bisa bertahan hingga saat ini. Karena cinta yakin, keangkuhan yang ia miliki mampu membawanya pada sebuah kebahagiaan. Meskipun entah kapan kebahagiaan itu akan menghampiri.
***
Usia kandunganku sudah menginjak delapan bulan, artinya sebulan lagi aku akan melihat buah hatiku lahir ke dunia. Menikmati hari demi hari kehamilan yang begitu penuh drama membuatku begitu bahagia. Apalagi saat mengetahui jenis kelamin bayiku adalah perempuan, betapa besarnya hatiku.
Akan tetapi rasa bahagia itu surut saat membayangkan anakku lahir tanpa ayahnya. Rasa sakit dan perih mampir di rongga dada. Membuat air mataku kembali berderai. Menangis sesegukan di sofa balkon lantai dua, hingga tak sadar aku tertidur di sana.
Ada tangan hangat kurasakan tengah mengelus pelan perut besarku. Antara mimpi dan nyata, kucoba membuka mata yang terasa berat dan sembab.
“Bang Dev?” gumamku pelan sambil mengucek mata. Lalu aku terdiam. Hanya semilir angin yang menyapa wajah dengan lembut, dan aku menangis. Menyadari bahwa itu hanyalah mimpi yang singgah. Mimpi yang selalu datang karena rindu yang tak pernah padam.
Aku terisak. Terkadang hati ini berontak, menghujat Sang Pemilik Cinta, kenapa nasib cintaku harus seperti ini? Kenapa kebahagiaan yang kurasakan hanya sekejap saja bersama Devan? Akan tetapi pada akhirnya aku sadar, ini hanyalah dunia. Dunia tempat persinggahan, dan aku berharap, Allah akan menyatukan kami kembali di surga-Nya yang abadi.
***
“Kenapa kamu bisa bertahan untuk Devan?” pertanyaan mama mertuaku terlontar saat beliau datang ke kamar selepas shalat Isya. “Kamu masih muda, cantik, pasti banyak lelaki yang siap menjadi pengganti Devan.” Kulihat matanya berkaca-kaca.
Kutatap mata bulatnya, lalu tersenyum sebisa mungkin meskipun hati teramat perih. “Aku mencintai Dev, Ma. Susah payah aku membuatnya mengakui kalau sebenarnya dia juga mencintaiku, dan banyak waktu yang kulalui hingga bisa hidup bersamanya. Lalu apakah dengan ujian kecil ini aku mampu meninggalkannya? Apakah di saat dia sedang dalam posisi tersulit seperti sekarang aku harus pergi begitu saja?”
Mama tertegun memandangku.
“Tidak, Ma,” kugelengkan kepala, “bukanlah cinta namanya jika ia dirasakan hanya saat raga saling berdekatan, tapi cinta ... adalah yang selalu menjaga setia di saat raga berjauhan.”
Air mata jatuh satu persatu di pipiku. “Aku mencintai Dev, Ma. Puja sangat mencintai Devan.”
Tangisku pecah dan Mama langsung memelukku erat. Kami menangis berdua, memecah kesunyian malam.
“Terima kasih, Puja. Terima kasih, Nak. Mama tidak tahu harus berkata apa padamu. Kamu ... kamu terlalu baik untuk Devan. Padahal Devan sudah ....“ Mama menggantung kalimatnya.
Kurenggangkan pelukanku. “Ma ... bukankah Devan sudah bilang kenapa dia melakukan itu?”
Mama terdiam sambil terus terisak.
“Devan melakukan itu demi aku, Ma. Demi menjagaku. Agar tak ada yang bisa melukaiku. Walaupun tindakannya tidak bisa dibenarkan tapi ... tapi Dev, sangat mencintaiku.” Suaraku terdengar parau.
“Iya, iya, Mama tahu, Nak. Mama tahu.” Kembali ia merengkuhku dalam peluknya.
“Ah, sudahlah!” Mama melepas pelukannya. “Kita nggak boleh sedih-sedih terus, kasihan cucu Mama yang di dalam sana, nanti dia ikutan sedih,” ucap Mama sembari menyentuh perut besarku.
Aku tersenyum getir. “Iya, Ma. Kita tidak boleh larut dalam kesedihan. Kita harus semangat, agar Dev juga semangat menjalani ujian ini.”
Mama mengangguk seraya tersenyum.
***
Satu bulan kemudian, akhirnya hari yang kutunggu-tunggu datang juga. Aku melahirkan. Air mata haru mengalir deras di pipi, saat suara tangis bayi tanpa dosa itu pecah di ruang tempatku bersalin. Mengundang bahagia yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata.
“Bang Dev, andai kamu ada di sini menemaniku, kamu pasti sangat bahagia melihat putri kecil kita. Dia sangat cantik dan mirip sekali denganmu, Bang,” batinku sembari mengecup bayi yang masih merah itu.
Saat ini aku sudah dipindahkan ke ruang perawatan.
Hanya mertuaku yang setia mendampingi di masa-masa sulitku. Sementara Mami dan Ayah belum juga luluh sampai detik ini. Bahkan saat putrinya ini meminta Mami menemani saat bersalin saja beliau tidak sudi.
“Ma, kalau kita pulang dari rumah sakit nanti, kita langsung ke tempat Bang Dev ya? Biar dia lihat putrinya, agar dia memiliki semangat baru dalam menjalani ujian ini,” pintaku dengan linangan air mata.
Mama dan Papa tersenyum, lalu mengangguk mengiakan permintaan menantunya ini.
***
Devan terpaku menatap bayi mungil dalam pangkuanku. Ia mendekat dengan mata berbinar. Mengambil dan mengecupnya berulang kali sambil membisikkan sebaris doa. Aku pun tak kuasa menahan tangis kala menyaksikan suasana haru itu.
“Terima kasih, Puja.” Devan beralih mengecup dahiku. Hanya senyuman yang mampu kuberikan sebagai jawaban. Kemudian pandangan kembali tertuju pada bayi kami.
“Kita beri nama siapa, ya, Bang?”
“Kamu maunya siapa?”
“Abang saja yang memberinya nama, ‘kan Abang ayahnya.” Aku mencubit ujung hidung Devan.
“Hmm ….” Devan tampak berpikir keras. “Kalau kita kasih nama Alisha, apa kamu keberatan?”
“Nama yang bagus, Bang, aku setuju. Alisha … Alisha binti Devan.”
Wajah Devan semringah. Tak lama Mama dan Papa masuk. Jam besuk sudah berakhir dan kami harus meninggalkan ruangan ini. Devan seolah tak rela melepas Alisha. Berulangkali ia mendekap tubuh mungil itu dan mnciumnya dengan linangan air mata.
“Maafkan, Ayah, Nak,” bisiknya sambil menangis.
Kupeluk pria itu dengan erat. “Aku masih berharap, Allah memberi kita waktu untuk dapat berkumpul.”
“Seandainya di dunia kita tidak bisa berkumpul, maka berdoalah pada Allah, agar kita bisa berkumpul di Jannah-Nya kelak.” Devan mengecup puncak kepalaku.
Tangis kembali pecah, sebelum akhirnya Devan harus lebih dulu kembali ke selnya.
“Kita pulang, Sayang?” ajak Mama.
Aku mengangguk. Mama membantu menggendong Alisha. Kupegang lengan Papa sebagai tumpuan saat berjalan, lantas kami meninggalkan tempat itu dengan sebuah harapan yang tak pernah pudar.
0