- Beranda
- Stories from the Heart
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
...
TS
Leny.Khan
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
ANGKUHNYA CINTA (PART 1-22 ending)
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
Diubah oleh Leny.Khan 30-07-2023 00:52
bukhorigan dan 17 lainnya memberi reputasi
16
11.1K
64
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
Leny.Khan
#36
ANGKUHNYA CINTA (BAB 9)
LENY KHAN
💐Bab 9💐
Aku sudah melakukan apa yang seharusnya kulakukan, melayaninya di meja makan, memberikan apa yang dia butuhkan, serta terus menemaninya hingga selesai menikmati makan malam.
Ekor matanya sejak tadi tak lepas memandangku, walaupun saat iris kami beradu dia segera membuang pandangan. Aku hanya tersenyum simpul saat melihat tingkah konyolnya itu.
“Kenapa senyum-senyum sendiri?” celetuknya.
“Tidak apa-apa, aku hanya sedang bahagia.”
“Bahagia kenapa? Apa karena dosenmu itu? Apa yang dia lakukan sehingga kamu seperti ini?”
“Abang apa-apaan sih? Cemburu, ya?”
“Bukan cemburu, hanya tidak suka saja.” Devan menyudahi makannya, meneguk habis segelas air mineral lalu menyeka mulut.
“Beda ya antara cemburu dan tidak suka?” Mataku membulat sambil menatapnya.
“Terserah kamulah, anak kecil!”
“Salah sendiri menikahi anak kecil!”
“Terpaksa!”
“Terpaksa karena cintamu padaku?”
Ia memalingkan wajah dan bertanya, “Besok kuliah?”
“Tidak.”
“Baguslah!” Devan berdiri, melangkah menuju ruang tengah.
“Ajak aku jalan-jalan dong, Bang!” pintaku sedikit merengek sambil mengekorinya. Kami sama-sama mendaratkan tubuh di sofa coklat muda itu.
“Jalan-jalan ke mana? Kamu kan tahu besok Abang kerja.” Tangannya sibuk memencet remot TV, mencari siaran favoritnya.
‘Tumben jawabannya bagus dan nadanya indah?’
“Kemana kek Bang, ke Mall juga boleh, aku mau shopping!”
“Dasar cewek, jalan-jalan tapi minta shopping!”
“Jadi nggak mau nih?”
Devan menghela napas, lalu memandangku. Langsung saja kuberikan senyum termanis yang kupunya.
“Tapi siangan dikit tidak apa-apa ya, Abang ada meeting pagi sampai pukul sebelas,”
‘Yesss, berhasil!’ teriakku dalam hati.
Aku sengaja menghambur memeluknya, memberanikan diri mengecup pipinya. “Terima kasih, Bang.”
Raut wajahnya tampak begitu terkejut. Detak jantungnya pun begitu kencang terasa saat tubuhku menempel padanya. Aku tak peduli, yang penting aku harus berhasil membuatnya berani menyatakan apa yang sebenarnya ia rasakan.
Devan hanya diam saat aku belum juga melepas pelukan, tetapi tetap saja ia tak membalasnya, membiarkanku menikmati kembali aroma tubuhnya yang begitu harum dan menggetarkan jiwa.
“Kamu ini ... suka sekali memeluk orang tanpa permisi,” celetuknya terbata.
“Apa salahnya memeluk suami sendiri? Dari pada memeluk Pak Dosen, kan dosa!” ejekku sambil terus mengeratkan pelukan.
“Berhenti membicarakan dosenmu itu!” tampiknya dengan nada kesal.
Aku melepas pelukan, lalu memandang wajah yang memiliki mata teduh itu. “Baiklah, aku akan berhenti membicarakannya. Asal ....“
“Asal apa?”
“Asalkan Abang ... tidak pernah meninggalkanku.”
Devan terdiam sembari menatap. Hanya beberapa detik saja, sebelum ia kembali mengalihkan matanya ke televisi yang tengah menyiarkan acara berita malam.
“Baiklah, kalau Abang tidak mau berjanji. Berarti aku bebas mendekati dosenku itu, ya ‘kan?” ledekku.
Ia mendelik tajam. “Jangan konyol, kamu sudah bersuami tapi mau mendekati pria lain? Itu namanya selingkuh, Puja!”
“Kalau begitu … berjanjilah untuk tidak pernah meninggalkanku, apa pun yang terjadi!”
Kami saling menatap. “Bukan kamu yang seharusnya meminta hal itu, tapi Abang!”
“Kenapa? Apa yang sedang Abang coba jelaskan padaku?” tanyaku pelan.
“Tidak ... tidak ada.” Devan mengusap matanya. “Oh ya, kamu bisa bikin kopi? Kalau bisa tolong buatkan Abang secangkir kopi hitam.” Lagi-lagi ia coba berkilah.
“Oke, akan kubuatkan segera,” sahutku masih dengan sejuta tanda tanya bersarang di kepala. Aku bangkit dan melangkah ke dapur. Menemui Mbak Rima yang tengah mencuci piring.
“Ada yang bisa Mbak bantu, Non?” sapanya.
“Tidak Mbak, hanya mau bikin kopi saja,” sahutku seraya tersenyum.
“Ooh, baiklah.” Ia kembali fokus pada pekerjaannya.
Aku mengambil gula dan kopi secukupnya, memadukan keduanya di dalam cangkir keramik bermotif bunga-bunga kecil. ‘Andai saja aku gula dan Devan adalah kopinya, maka kami akan menjadi secangkir kopi manis saat berpadu tersiram air panas,’ batinku mengkhayal.
“Awww, aduh! Panas!” teriakku saat merasakan air panas itu menyiram tanganku.
Mbak Rima terkejut. “Non, hati-hati!” teriaknya sambil mendekatiku. Aku meringis kesakitan sambil meniup tangan kiriku yang memerah. Keteledoranku saat menuang air panas membuat ia meleset mengenai tangan.
“Sini Mbak kasih obat!” tangannya menarikku ke luar dari dapur.
“Ada apa, Pu?” Devan datang tergopoh.
“Ini Tuan, tangan Non Puja tersiram air panas.” Mbak Rima menyahut.
Devan memandang tangan yang masih berusaha kutiup untuk mengurangi rasa perih.
“Ya ampun Puja, sini Abang obatin!” Devan membawaku ke ruang tengah. “Makanya kamu itu hati-hati kalau melakukan pekerjaan, jangan sambil melamun!” cecarnya sembari mengoleskan salep yang diambil dari lemari obat.
“Tahu dari mana kalau aku melamun?” bantahku dengan wajah meringis.
“Kalau bukan melamun, bagaimana air panas yang seharusnya masuk ke cangkir malah tersiram ke tanganmu?”
Aku terdiam, karena ucapan Devan memang benar.
“Sakit?” tanyanya prihatin.
“Banget.”
“Lain kali hati-hati, ya?” Devan mengacak rambutku.
Aku sedikit kaget.
“Berarti besok kamu di rumah saja, jalan-jalannya di tunda saja dulu, oke?”
“Tidak mau. Yang jalan-jalan kan kaki, bukan tangan!” bantahku.
Devan tertawa. “Dasar anak kecil bandel!” Ia mencubit hidung bangirku.
Bahagia sekali menerima perlakuannya malam ini, semoga saja ini adalah awal dari kebahagiaan cinta yang kuimpikan. Biarlah aku mengalah demi bisa menaklukkan hatinya. Biarlah rasa tak suka akan sifatnya kalah dengan rasa cinta yang kumiliki. Akan kuukir kembali namanya di lembaran daun kering itu, meskipun angin akan membawanya terbang.
***
Dev ... jika cinta itu tak berwujud, maka biarkan ia melayang bersama angin, hingga harumnya mampu kucium.
Dev ... aksaramu sering melukai batin,
menambah pilu setiap rongga,
tapi jiwaku bahagia mereguk cinta,
walau telingaku tak pernah mendengar senandung cinta dari cawan madumu.
Dev ... mungkin aku bukanlah bulan yang mampu menyinari malammu,
tapi cintaku, bagai sinar mentari, yang tak pernah lelah menghangatkan bumi.
Puja loved you, Dev ...
***
Aku mengekori Devan saat lelaki itu hendak beranjak ke kamarnya, ketika jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
“Kamu mau ke mana?” Devan menghentikan langkah saat sampai di depan pintu kamar dan menyadari keberadaanku.
“Mau ikut Abang,” sahutku.
“Kamarmu di sana, bukan di sini.”
“Tapi malam ini aku mau tidur di kamar Abang, boleh ‘kan?” Aku membulatkan mata.
“Tidak boleh.”
“Kenapa?”
Devan menatap tajam tanpa menjawab pertanyaanku.
“Aku ‘kan istrimu, aku juga ingin diperlakukan seperti Meera.”
“Jangan coba-coba samakan dirimu dengannya!” hardiknya. “Kamu dan Meera sama sekali berbeda, kamu tahu itu?”
Aku tertegun, Devan bersikap dingin lagi, membentakku kembali.
“Apa yang membuatku berbeda dengannya? Apa aku kalah cantik darinya? Atau karena Meera adalah wanita yang lemah lembut? Ataukah karena ... Meera adalah wanita yang sangat Abang cintai sedangkan aku tidak? Begitu?”
Devan tak menyahut, ia masih menatapku tajam.
“Aku sebenarnya tidak peduli,” ujarku seraya melangkah mendekatinya, “Abang mencintaiku atau tidak, tapi ... izinkan aku selalu berada di dekatmu, izinkan setiap malam aku berada dalam pelukmu.” Kembali kulingkarkan kedua tangan di pinggangnya, memeluknya dengan erat, mendengarkan irama jantungnya yang selalu indah saat kudekati. Irama yang takkan bisa memungkiri apa sesungguhnya yang tengah ia rasakan.
Pria itu membiarkanku seperti biasa, tapi kali ini, aku merasakan tangannya bergerak. Ia membalas pelukanku. Aku tersenyum penuh kemenangan, dan semakin mengeratkan pelukan.
“Terima kasih.” ucapku setengah berbisik.
“Untuk apa?”
“Untuk pelukan saat ini.”
Devan bergeming. Beberapa menit, sampai ia menjauhkan tubuhku secara perlahan. “Sudah malam, tidurlah. Besok Abang ada meeting pagi, Abang tidak mau terlambat.”
“Tidur sama Abang, ya?”
“Kamu tidak takut tidur sama Abang?” bisiknya.
Aku terhenyak. “Takut kenapa? Bukankah Abang pernah menyelinap masuk kamarku dan tidur di ranjangku? Tidak terjadi apa-apa bukan?”
“Kamu tidak takut kalau Abang memaksamu melakukan hal seperti waktu itu?” Ada nada ancaman dalam kalimatnya.
“Kenapa harus takut jika Abang ingin melakukannya secara baik-baik, bukan dengan paksaan,” jawabku lugas.
Pria yang memiliki rahang kokoh itu menatap tak percaya, sepertinya ia kesulitan mencari alasan lain. Kemudian tanpa bicara lagi, ia menarik tanganku untuk masuk ke kamarnya. Lalu mengunci pintu setelah kami berdua berada di dalamnya.
“Sana tidur!” perintahnya.
“Kita tidur?”
“Kamu saja, biar Abang tidurnya di sofa.”
“Tidak mau, kalau Abang tidur di sofa, maka aku juga akan ikut tidur di sana.”
“Ya ampun, Puja!” geramnya.
“Ayo kita tidur!” Kutarik tangannya menuju ke peraduan malam. Pria itu tak menolak, mengikuti langkahku. Kami sama-sama merebahkan diri di ranjang. Devan tampak canggung saat aku meletakkan kepalaku di dadanya. Aku suka sekali mendengar debaran jantungnya saat berdekatan denganku, debaran yang selalu menyanyikan lagu cinta untukku.
“Bang Dev ….”
“Ya?”
“Bolehkah aku bertanya sesuatu?”
“Apa?”
“Kenapa tak satu pun foto Meera berada di kamar ini? Bukankah dulu, Abang tak mengizinkan foto Meera diganggu?”
“Bukan urusanmu!” Ia berpura-pura memejamkan mata.
“Tapi semua urusan Abang sekarang adalah urusanku juga, aku istrimu, aku berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
“Kalau kamu tahu, semua akan hancur. Kamu pasti akan meninggalkan Abang, dan Abang tidak mau itu terjadi.” Lirih terdengar suaranya.
Aku mengangkat kepala, ternyata pria itu tengah menangis, air mata mengalir begitu saja menuruni pipinya. Lembut kuusap air matanya dengan jemari tangan kananku. Devan langsung menangkap tanganku, menggenggamnya ke dada, lalu menciumnya. Mata basahnya menatap nanar.
“Maafkan Abang, Abang suami yang tidak bertanggung jawab, Abang sudah menyusahkan hidupmu, Abang selalu membuatmu kesal dan sakit hati. Seharusnya Abang tak memaksamu menikah dengan Abang. Seharusnya Abang membiarkanmu bahagia dengan kehidupanmu. Tapi entah kenapa, saat Abang tahu kalau kamu mencintai Abang, Abang begitu takut kehilanganmu. Hingga ....“ Devan menggantung kalimatnya. Aku tak berusaha menimpali, membiarkannya meluahkan apa yang sedang dia rasakan. “Hingga Abang membuat seolah-olah pernikahan ini atas kehendak orang tua kita, padahal ... semua kehendak Abang sendiri. Maafkan Abang!” Pria itu menangis tergugu.
Aku bangkit, Devan pun ikut duduk. Kami saling berhadapan.
Kutatap matanya dalam, mencari sebuah kejujuran dan kepercayaan di sana. “Abang juga mencintaiku?” Setengah berbisik aku bertanya.
Devan memegang kedua belah pipiku, mengusapnya pelan, menatapku dengan mata yang masih basah. “Abang jatuh cinta padamu, sejak pertama kali melihatmu di rumah itu, dan sampai detik ini rasa itu tak pernah berubah.”
Aku menarik napas panjang, ada sesak yang menyeruak memenuhi rongga dada mendengar pengakuan yang sudah lama ingin kudengar langsung dari bibirnya.
“Benarkah?” Mataku mulai berkaca-kaca, ada genangan yang siap tumpah.
Devan mengangguk yakin. Kuusap pipi basahnya dengan sapuan jemariku. Devan tersenyum menerima perlakuanku.
“Lalu kenapa menikahi Meera? Kenapa bukan aku?”
Pria itu gugup, ia membuang pandangan dari wajahku, tangannya pun tak lagi memegang pipiku.
“Sudah malam, kita tidur, Abang tidak mau terlambat ke kantor besok,” ucapnya sedikit terbata sambil merebahkan diri kembali. Kemudian ia menarik tanganku agar tidur di sampingnya. “Hati-hati, tangan kirimu masih sakit bukan?” Lembut ia memegang tangan kiriku dan meniupnya perlahan.
Aku tak bisa berkata apa-apa, bahkan tak berusaha memaksanya agar mengatakan semuanya malam ini. Biarlah waktu yang akan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Bagiku yang terpenting saat ini, aku tahu kalau Devan juga sangat mencintaiku. Aku berhasil membuatnya mengakui tanpa butuh waktu lama.
Devan mengecup dahiku. “I love you, Puja!” bisiknya. Aku tersenyum begitu bahagia, apa lagi saat Devan membawaku ke dada bidangnya yang hangat.
“I love you too, Bang Dev!”
Entah berapa lama aku terbuai dalam pelukannya, hingga mata terasa berat dan kami tertidur pulas hingga pagi menjelang.
***
LENY KHAN
💐Bab 9💐
Aku sudah melakukan apa yang seharusnya kulakukan, melayaninya di meja makan, memberikan apa yang dia butuhkan, serta terus menemaninya hingga selesai menikmati makan malam.
Ekor matanya sejak tadi tak lepas memandangku, walaupun saat iris kami beradu dia segera membuang pandangan. Aku hanya tersenyum simpul saat melihat tingkah konyolnya itu.
“Kenapa senyum-senyum sendiri?” celetuknya.
“Tidak apa-apa, aku hanya sedang bahagia.”
“Bahagia kenapa? Apa karena dosenmu itu? Apa yang dia lakukan sehingga kamu seperti ini?”
“Abang apa-apaan sih? Cemburu, ya?”
“Bukan cemburu, hanya tidak suka saja.” Devan menyudahi makannya, meneguk habis segelas air mineral lalu menyeka mulut.
“Beda ya antara cemburu dan tidak suka?” Mataku membulat sambil menatapnya.
“Terserah kamulah, anak kecil!”
“Salah sendiri menikahi anak kecil!”
“Terpaksa!”
“Terpaksa karena cintamu padaku?”
Ia memalingkan wajah dan bertanya, “Besok kuliah?”
“Tidak.”
“Baguslah!” Devan berdiri, melangkah menuju ruang tengah.
“Ajak aku jalan-jalan dong, Bang!” pintaku sedikit merengek sambil mengekorinya. Kami sama-sama mendaratkan tubuh di sofa coklat muda itu.
“Jalan-jalan ke mana? Kamu kan tahu besok Abang kerja.” Tangannya sibuk memencet remot TV, mencari siaran favoritnya.
‘Tumben jawabannya bagus dan nadanya indah?’
“Kemana kek Bang, ke Mall juga boleh, aku mau shopping!”
“Dasar cewek, jalan-jalan tapi minta shopping!”
“Jadi nggak mau nih?”
Devan menghela napas, lalu memandangku. Langsung saja kuberikan senyum termanis yang kupunya.
“Tapi siangan dikit tidak apa-apa ya, Abang ada meeting pagi sampai pukul sebelas,”
‘Yesss, berhasil!’ teriakku dalam hati.
Aku sengaja menghambur memeluknya, memberanikan diri mengecup pipinya. “Terima kasih, Bang.”
Raut wajahnya tampak begitu terkejut. Detak jantungnya pun begitu kencang terasa saat tubuhku menempel padanya. Aku tak peduli, yang penting aku harus berhasil membuatnya berani menyatakan apa yang sebenarnya ia rasakan.
Devan hanya diam saat aku belum juga melepas pelukan, tetapi tetap saja ia tak membalasnya, membiarkanku menikmati kembali aroma tubuhnya yang begitu harum dan menggetarkan jiwa.
“Kamu ini ... suka sekali memeluk orang tanpa permisi,” celetuknya terbata.
“Apa salahnya memeluk suami sendiri? Dari pada memeluk Pak Dosen, kan dosa!” ejekku sambil terus mengeratkan pelukan.
“Berhenti membicarakan dosenmu itu!” tampiknya dengan nada kesal.
Aku melepas pelukan, lalu memandang wajah yang memiliki mata teduh itu. “Baiklah, aku akan berhenti membicarakannya. Asal ....“
“Asal apa?”
“Asalkan Abang ... tidak pernah meninggalkanku.”
Devan terdiam sembari menatap. Hanya beberapa detik saja, sebelum ia kembali mengalihkan matanya ke televisi yang tengah menyiarkan acara berita malam.
“Baiklah, kalau Abang tidak mau berjanji. Berarti aku bebas mendekati dosenku itu, ya ‘kan?” ledekku.
Ia mendelik tajam. “Jangan konyol, kamu sudah bersuami tapi mau mendekati pria lain? Itu namanya selingkuh, Puja!”
“Kalau begitu … berjanjilah untuk tidak pernah meninggalkanku, apa pun yang terjadi!”
Kami saling menatap. “Bukan kamu yang seharusnya meminta hal itu, tapi Abang!”
“Kenapa? Apa yang sedang Abang coba jelaskan padaku?” tanyaku pelan.
“Tidak ... tidak ada.” Devan mengusap matanya. “Oh ya, kamu bisa bikin kopi? Kalau bisa tolong buatkan Abang secangkir kopi hitam.” Lagi-lagi ia coba berkilah.
“Oke, akan kubuatkan segera,” sahutku masih dengan sejuta tanda tanya bersarang di kepala. Aku bangkit dan melangkah ke dapur. Menemui Mbak Rima yang tengah mencuci piring.
“Ada yang bisa Mbak bantu, Non?” sapanya.
“Tidak Mbak, hanya mau bikin kopi saja,” sahutku seraya tersenyum.
“Ooh, baiklah.” Ia kembali fokus pada pekerjaannya.
Aku mengambil gula dan kopi secukupnya, memadukan keduanya di dalam cangkir keramik bermotif bunga-bunga kecil. ‘Andai saja aku gula dan Devan adalah kopinya, maka kami akan menjadi secangkir kopi manis saat berpadu tersiram air panas,’ batinku mengkhayal.
“Awww, aduh! Panas!” teriakku saat merasakan air panas itu menyiram tanganku.
Mbak Rima terkejut. “Non, hati-hati!” teriaknya sambil mendekatiku. Aku meringis kesakitan sambil meniup tangan kiriku yang memerah. Keteledoranku saat menuang air panas membuat ia meleset mengenai tangan.
“Sini Mbak kasih obat!” tangannya menarikku ke luar dari dapur.
“Ada apa, Pu?” Devan datang tergopoh.
“Ini Tuan, tangan Non Puja tersiram air panas.” Mbak Rima menyahut.
Devan memandang tangan yang masih berusaha kutiup untuk mengurangi rasa perih.
“Ya ampun Puja, sini Abang obatin!” Devan membawaku ke ruang tengah. “Makanya kamu itu hati-hati kalau melakukan pekerjaan, jangan sambil melamun!” cecarnya sembari mengoleskan salep yang diambil dari lemari obat.
“Tahu dari mana kalau aku melamun?” bantahku dengan wajah meringis.
“Kalau bukan melamun, bagaimana air panas yang seharusnya masuk ke cangkir malah tersiram ke tanganmu?”
Aku terdiam, karena ucapan Devan memang benar.
“Sakit?” tanyanya prihatin.
“Banget.”
“Lain kali hati-hati, ya?” Devan mengacak rambutku.
Aku sedikit kaget.
“Berarti besok kamu di rumah saja, jalan-jalannya di tunda saja dulu, oke?”
“Tidak mau. Yang jalan-jalan kan kaki, bukan tangan!” bantahku.
Devan tertawa. “Dasar anak kecil bandel!” Ia mencubit hidung bangirku.
Bahagia sekali menerima perlakuannya malam ini, semoga saja ini adalah awal dari kebahagiaan cinta yang kuimpikan. Biarlah aku mengalah demi bisa menaklukkan hatinya. Biarlah rasa tak suka akan sifatnya kalah dengan rasa cinta yang kumiliki. Akan kuukir kembali namanya di lembaran daun kering itu, meskipun angin akan membawanya terbang.
***
Dev ... jika cinta itu tak berwujud, maka biarkan ia melayang bersama angin, hingga harumnya mampu kucium.
Dev ... aksaramu sering melukai batin,
menambah pilu setiap rongga,
tapi jiwaku bahagia mereguk cinta,
walau telingaku tak pernah mendengar senandung cinta dari cawan madumu.
Dev ... mungkin aku bukanlah bulan yang mampu menyinari malammu,
tapi cintaku, bagai sinar mentari, yang tak pernah lelah menghangatkan bumi.
Puja loved you, Dev ...
***
Aku mengekori Devan saat lelaki itu hendak beranjak ke kamarnya, ketika jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
“Kamu mau ke mana?” Devan menghentikan langkah saat sampai di depan pintu kamar dan menyadari keberadaanku.
“Mau ikut Abang,” sahutku.
“Kamarmu di sana, bukan di sini.”
“Tapi malam ini aku mau tidur di kamar Abang, boleh ‘kan?” Aku membulatkan mata.
“Tidak boleh.”
“Kenapa?”
Devan menatap tajam tanpa menjawab pertanyaanku.
“Aku ‘kan istrimu, aku juga ingin diperlakukan seperti Meera.”
“Jangan coba-coba samakan dirimu dengannya!” hardiknya. “Kamu dan Meera sama sekali berbeda, kamu tahu itu?”
Aku tertegun, Devan bersikap dingin lagi, membentakku kembali.
“Apa yang membuatku berbeda dengannya? Apa aku kalah cantik darinya? Atau karena Meera adalah wanita yang lemah lembut? Ataukah karena ... Meera adalah wanita yang sangat Abang cintai sedangkan aku tidak? Begitu?”
Devan tak menyahut, ia masih menatapku tajam.
“Aku sebenarnya tidak peduli,” ujarku seraya melangkah mendekatinya, “Abang mencintaiku atau tidak, tapi ... izinkan aku selalu berada di dekatmu, izinkan setiap malam aku berada dalam pelukmu.” Kembali kulingkarkan kedua tangan di pinggangnya, memeluknya dengan erat, mendengarkan irama jantungnya yang selalu indah saat kudekati. Irama yang takkan bisa memungkiri apa sesungguhnya yang tengah ia rasakan.
Pria itu membiarkanku seperti biasa, tapi kali ini, aku merasakan tangannya bergerak. Ia membalas pelukanku. Aku tersenyum penuh kemenangan, dan semakin mengeratkan pelukan.
“Terima kasih.” ucapku setengah berbisik.
“Untuk apa?”
“Untuk pelukan saat ini.”
Devan bergeming. Beberapa menit, sampai ia menjauhkan tubuhku secara perlahan. “Sudah malam, tidurlah. Besok Abang ada meeting pagi, Abang tidak mau terlambat.”
“Tidur sama Abang, ya?”
“Kamu tidak takut tidur sama Abang?” bisiknya.
Aku terhenyak. “Takut kenapa? Bukankah Abang pernah menyelinap masuk kamarku dan tidur di ranjangku? Tidak terjadi apa-apa bukan?”
“Kamu tidak takut kalau Abang memaksamu melakukan hal seperti waktu itu?” Ada nada ancaman dalam kalimatnya.
“Kenapa harus takut jika Abang ingin melakukannya secara baik-baik, bukan dengan paksaan,” jawabku lugas.
Pria yang memiliki rahang kokoh itu menatap tak percaya, sepertinya ia kesulitan mencari alasan lain. Kemudian tanpa bicara lagi, ia menarik tanganku untuk masuk ke kamarnya. Lalu mengunci pintu setelah kami berdua berada di dalamnya.
“Sana tidur!” perintahnya.
“Kita tidur?”
“Kamu saja, biar Abang tidurnya di sofa.”
“Tidak mau, kalau Abang tidur di sofa, maka aku juga akan ikut tidur di sana.”
“Ya ampun, Puja!” geramnya.
“Ayo kita tidur!” Kutarik tangannya menuju ke peraduan malam. Pria itu tak menolak, mengikuti langkahku. Kami sama-sama merebahkan diri di ranjang. Devan tampak canggung saat aku meletakkan kepalaku di dadanya. Aku suka sekali mendengar debaran jantungnya saat berdekatan denganku, debaran yang selalu menyanyikan lagu cinta untukku.
“Bang Dev ….”
“Ya?”
“Bolehkah aku bertanya sesuatu?”
“Apa?”
“Kenapa tak satu pun foto Meera berada di kamar ini? Bukankah dulu, Abang tak mengizinkan foto Meera diganggu?”
“Bukan urusanmu!” Ia berpura-pura memejamkan mata.
“Tapi semua urusan Abang sekarang adalah urusanku juga, aku istrimu, aku berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
“Kalau kamu tahu, semua akan hancur. Kamu pasti akan meninggalkan Abang, dan Abang tidak mau itu terjadi.” Lirih terdengar suaranya.
Aku mengangkat kepala, ternyata pria itu tengah menangis, air mata mengalir begitu saja menuruni pipinya. Lembut kuusap air matanya dengan jemari tangan kananku. Devan langsung menangkap tanganku, menggenggamnya ke dada, lalu menciumnya. Mata basahnya menatap nanar.
“Maafkan Abang, Abang suami yang tidak bertanggung jawab, Abang sudah menyusahkan hidupmu, Abang selalu membuatmu kesal dan sakit hati. Seharusnya Abang tak memaksamu menikah dengan Abang. Seharusnya Abang membiarkanmu bahagia dengan kehidupanmu. Tapi entah kenapa, saat Abang tahu kalau kamu mencintai Abang, Abang begitu takut kehilanganmu. Hingga ....“ Devan menggantung kalimatnya. Aku tak berusaha menimpali, membiarkannya meluahkan apa yang sedang dia rasakan. “Hingga Abang membuat seolah-olah pernikahan ini atas kehendak orang tua kita, padahal ... semua kehendak Abang sendiri. Maafkan Abang!” Pria itu menangis tergugu.
Aku bangkit, Devan pun ikut duduk. Kami saling berhadapan.
Kutatap matanya dalam, mencari sebuah kejujuran dan kepercayaan di sana. “Abang juga mencintaiku?” Setengah berbisik aku bertanya.
Devan memegang kedua belah pipiku, mengusapnya pelan, menatapku dengan mata yang masih basah. “Abang jatuh cinta padamu, sejak pertama kali melihatmu di rumah itu, dan sampai detik ini rasa itu tak pernah berubah.”
Aku menarik napas panjang, ada sesak yang menyeruak memenuhi rongga dada mendengar pengakuan yang sudah lama ingin kudengar langsung dari bibirnya.
“Benarkah?” Mataku mulai berkaca-kaca, ada genangan yang siap tumpah.
Devan mengangguk yakin. Kuusap pipi basahnya dengan sapuan jemariku. Devan tersenyum menerima perlakuanku.
“Lalu kenapa menikahi Meera? Kenapa bukan aku?”
Pria itu gugup, ia membuang pandangan dari wajahku, tangannya pun tak lagi memegang pipiku.
“Sudah malam, kita tidur, Abang tidak mau terlambat ke kantor besok,” ucapnya sedikit terbata sambil merebahkan diri kembali. Kemudian ia menarik tanganku agar tidur di sampingnya. “Hati-hati, tangan kirimu masih sakit bukan?” Lembut ia memegang tangan kiriku dan meniupnya perlahan.
Aku tak bisa berkata apa-apa, bahkan tak berusaha memaksanya agar mengatakan semuanya malam ini. Biarlah waktu yang akan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Bagiku yang terpenting saat ini, aku tahu kalau Devan juga sangat mencintaiku. Aku berhasil membuatnya mengakui tanpa butuh waktu lama.
Devan mengecup dahiku. “I love you, Puja!” bisiknya. Aku tersenyum begitu bahagia, apa lagi saat Devan membawaku ke dada bidangnya yang hangat.
“I love you too, Bang Dev!”
Entah berapa lama aku terbuai dalam pelukannya, hingga mata terasa berat dan kami tertidur pulas hingga pagi menjelang.
***
0