- Beranda
- Stories from the Heart
Panglarangan : Mantra Pengikat Roh Pendatang Di Tanah Kalimantan
...
TS
benbela
Panglarangan : Mantra Pengikat Roh Pendatang Di Tanah Kalimantan
Panglarangan : Mantra Pengikat Roh Pendatang di Tanah Kalimantan
Assalamualaikum wrwb.
Setelah sekian lama merantau, akhirnya ane balik kandang dengan cerita horor tanah kelahiran ane. Moga aja cerita kali ini gak ada lagi yang nyolong terus diikutin lomba nulis novel, atawa diakuin trus diajuin kontrak ke salah satu platform nulis yang bertebaran di luar sana.
Kali ini ane ngangkat salah satu mitos yang kerap menghantui pendatang yang merantau ke Kalimantan. Kebetulan, cerita ini diangkat berdasarkan pengalaman teman bini ane hingga akhirnya jadilah sebuah cerita.
Semoga agan-agan semua terhibur, mari kita kemon
Prolog.
Mungkin di antara kalian pernah mendengar cerita tentang para perantau dari tanah Jawa yang tidak bisa pulang begitu menginjakkan kaki di tanah Kalimantan. Sebenarnya bukan hanya dari pulau Jawa, beberapa pendatang dari daerah lain juga pernah mengalami kejadian serupa.
Konon, rohnya diikat menggunakan mantra oleh seorang tetua Dayak, dimasukan ke dalam guci, dan dikubur di dalam tanah. Memang terdengar mengada-ada, tapi begitulah selentingan yang sering kudengar.
Suku Dayak di daerah sungai Barito menyebutnya panglarangan, yaitu mantra pengikat roh. Bisa jadi, daerah lainnya di Kalimantan memiliki istilah yang berbeda, tapi tujuannya sama.
Menurut kabar angin, seseorang yang terkena panglarangan akan kesulitan saat hendak pulang kampung. Berbagai kejadian ganjil dan di luar nalar akan segera terjadi, meskipun sang korban hendak pergi diam-diam. Dan, tidak sedikit cerita tentang korban yang terpaksa menghabiskan sisa hidupnya di tanah rantauan.
Tidak sedikit cerita tentang perantau yang mendadak demam panas sewaktu hendak kembali ke kampung halaman. Juga pernah tersiar kabar cerita tentang karyawan sawit yang mendadak kembali ke mess perusahaan dalam keadaan linglung, padahal sudah mencapai bandara.
Bahkan, ada pula yang meregang nyawa dalam perjalanan. Ada penumpamg yang meninggal tanpa sebab di pesawat, ada pula yang menghembuskan napas terakhir saat sedang di atas kapal laut.
Berbagai cerita tersebut, awalnya kuanggap hanyalah isapan jempol. Tidak lebih dari omong kosong untuk menakut-nakuti anak kecil. Selama 34 tahun aku hidup di Kalimantan, tak pernah sekalipun aku bertemu hantu.
Dan, inilah kisahku.
Assalamualaikum wrwb.
Setelah sekian lama merantau, akhirnya ane balik kandang dengan cerita horor tanah kelahiran ane. Moga aja cerita kali ini gak ada lagi yang nyolong terus diikutin lomba nulis novel, atawa diakuin trus diajuin kontrak ke salah satu platform nulis yang bertebaran di luar sana.
Kali ini ane ngangkat salah satu mitos yang kerap menghantui pendatang yang merantau ke Kalimantan. Kebetulan, cerita ini diangkat berdasarkan pengalaman teman bini ane hingga akhirnya jadilah sebuah cerita.
Semoga agan-agan semua terhibur, mari kita kemon
Quote:
Prolog
Prolog.
Mungkin di antara kalian pernah mendengar cerita tentang para perantau dari tanah Jawa yang tidak bisa pulang begitu menginjakkan kaki di tanah Kalimantan. Sebenarnya bukan hanya dari pulau Jawa, beberapa pendatang dari daerah lain juga pernah mengalami kejadian serupa.
Konon, rohnya diikat menggunakan mantra oleh seorang tetua Dayak, dimasukan ke dalam guci, dan dikubur di dalam tanah. Memang terdengar mengada-ada, tapi begitulah selentingan yang sering kudengar.
Suku Dayak di daerah sungai Barito menyebutnya panglarangan, yaitu mantra pengikat roh. Bisa jadi, daerah lainnya di Kalimantan memiliki istilah yang berbeda, tapi tujuannya sama.
Menurut kabar angin, seseorang yang terkena panglarangan akan kesulitan saat hendak pulang kampung. Berbagai kejadian ganjil dan di luar nalar akan segera terjadi, meskipun sang korban hendak pergi diam-diam. Dan, tidak sedikit cerita tentang korban yang terpaksa menghabiskan sisa hidupnya di tanah rantauan.
Tidak sedikit cerita tentang perantau yang mendadak demam panas sewaktu hendak kembali ke kampung halaman. Juga pernah tersiar kabar cerita tentang karyawan sawit yang mendadak kembali ke mess perusahaan dalam keadaan linglung, padahal sudah mencapai bandara.
Bahkan, ada pula yang meregang nyawa dalam perjalanan. Ada penumpamg yang meninggal tanpa sebab di pesawat, ada pula yang menghembuskan napas terakhir saat sedang di atas kapal laut.
Berbagai cerita tersebut, awalnya kuanggap hanyalah isapan jempol. Tidak lebih dari omong kosong untuk menakut-nakuti anak kecil. Selama 34 tahun aku hidup di Kalimantan, tak pernah sekalipun aku bertemu hantu.
Dan, inilah kisahku.
Quote:
Diubah oleh benbela 22-10-2023 11:44
bruno95 dan 74 lainnya memberi reputasi
73
34K
Kutip
394
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.9KThread•44.5KAnggota
Tampilkan semua post
TS
benbela
#103
Quote:
Bab 7 : Bersembunyi Di Balik Kabut
"Kembali! Cepat putar balik! Kita akan celaka bila terus di atas tanah!" teriak mina Kurik penuh emosi.
"Aku hafal jalan ini, mina. Aku dulu kerja di sini. Tenang saja, kita tidak akan tersesat."
Mobil terus melaju kencang walau jarak pandang seadanya. Mina Kurik celingak-celinguk, selalu menoleh ke balik jendela. Wajahnya terlihat cemas, kedua lututnya gemetaran dan dadanya kembang kempis.
Di jok tengah, Pakde dan Dibyo panik, berusaha menyadarkan Bude yang pingsan. Kata-kata makian dalam bahasa Jawa meluncur deras dari mulut mereka, tapi aku tak mengerti.
Suara raungan mesin terdengar sayup-sayup di belakang. Dibalik kabut asap bercampur debu, suara itu terdengar mendekat dari jarak yang jauh. Rupanya Ateng Kayau belum berhenti mengejar. Orang gila itu memang terkenal gigih dalam memburu mangsa.
Kupacu mobil menerobos kepulan asap pekat sembari memperhatikan tanda di pinggir jalan. Afdeling 11, ketemu! Sebuah plang bertuliskan Afdeling 11 terpampang di pertigaan jalan. Deretan huruf berwarna biru mencolok dengan latar plat besi putih, tampak samar tertutup kabut pekat, berdiri di antara juntaian daun kelapa sawit.
Kuarahkan mobil ke kiri, melaju beberapa meter lantas keluar dari badan jalan. Mobil agak kesusahan bergerak, karena kami melintasi tanah yang ditumbuhi rerumputan kering. Posisinya sedikit lebih tinggi dari badan jalan, tapi masih bisa dilewati. Akhirnya mobil kuhentikan tepat di bawah salah satu pohon sawit yang rimbun.
Mina Kurik kembali hendak mengoceh, tapi keburu kupotong. Kucondongkan badan dan menatap mina Kurik dengan mata melotot. Tak kuhiraukan sabuk pengaman yang terasa kencang mencekik dada dan pinggang.
"Diam, mina! Jangan bersuara. Orang-orang ini sedang memburuku. Mereka preman suruhan yang haus darah. Tak perlu kau tanya kenapa, tak ada waktu menjelaskan. Jika mereka menemukanku, kalianpun tak lepas dari bahaya. Sekarang, sebaiknya kita semua tak bersuara hingga mereka menjauh."
Mina Kurik melengos, membuang muka. Kulirik, semua orang yang duduk di belakang tampak memendam amarah tapi tak bisa berbuat apa-apa. Selama beberapa detik kami bungkam, menahan napas sewaktu lampu mobil Ateng Kayau tampak mendekat dengan perlahan di pertigaan jalan.
Detik demi detik terasa berlalu sangat lama, semua orang tegang di kursi masing-masing. Kami beruntung, mobil Ateng Kayau lewat begitu saja tanpa berbelok ke arah kami. Sejurus kemudian, lampu belakang para pengejar mulai menghilang ditelan kabut asap.
Aku menarik napas lega, sementara para penumpangku masih kebingungan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Kulihat jam di tangan, sudah hampir pukul 10 malam. Rupanya kami telah kehilangan waktu hampir dua jam. Sedangkan untuk keluar dari area perkebunan sawit ini memerlukan waktu sekitar satu jam.
Mina Kurik terlihat cemas, menyadari kami tidak akan sampai pelabuhan tepat waktu. Waktu yang kami miliki semakin sedikit, sedangkan perjalanan kami belum juga seperempat dari tujuan. Ia mendesakku untuk bergegas, dan aku berbasa-basi untuk menenangkan.
Bagaimana pun juga, aku tak pernah berniat mengantarkan mereka ke pelabuhan kapal laut. Tujuan utamaku adalah merampas harta benda mereka sebelum perbatasan propinsi. Namun pertama, aku harus lepas dulu dari kejaran Ateng Kayau dan anak buahnya.
*****
Belum sempat kunyalakan mesin mobil, kami lagi-lagi terhenyak dengan napas tercekat. Sepasang cahaya mobil dari arah Ateng Kayau tadi menghilang kembali terlihat bergerak mendekat. Cahaya itu semakin lama semakin jelas berpendar menembus kabut asap yang menutupi separuh jalan latrit.
Dan, benar saja. Itu adalah mobilnya Ateng Kayau. Suara mesinnya yang meraung-raung menggentarkan nyali. Butir-butir peluh kembali mengaliri di sekujur tubuhku, sembari berharap orang beringas itu tidak menemukan kami.
"Ssttt…jangan bersuara," ucapku lirih.
Semua kembali mengunci mulut sangat rapat dengan penuh kegelisahan. Dari balik spion tengah, wajah Dibyo memerah tegang. Beberapa kali inhaler asma ia hirup supaya napasnya lega. Sedangkan Bude tampaknya sudah sadar meski tubuhnya masih terkulai lemas.
Entah kenapa, saat ini rasa takutku tumbuh menjadi-jadi. Bahkan, rasa takutnya melebihi rasa takut sewaktu kami dikejar hantu api tadi. Memang, manusia bisa berbuat lebih kejam dibandingkan bangsa jin.
Mobil Ateng Kayau tiba-tiba berhenti di pertigaan, seiring detak jantungku yang semakin tidak karuan. Sesaat mereka tampak ragu, apakah berbelok ke arah kami atau mengambil jalan lurus. Setelah beberapa saat, arah mobil Ateng Kayau membuat darah kami berdesir cepat hingga ke ubun-ubun.
Mobil itu berbelok ke arah kami mengikuti petunjuk afdeling 11. Aku menarik napas dalam-dalam, seraya terus mengawasi mobil Ateng Kayau yang melintasi jalan latrit di samping. Mobil itu bergerak perlahan, berguncang-guncang di atas tanah liat yang tidak rata. Kata-kata kotor dan penuh ancaman terdengar jelas dari mulut mereka, membuat kami yang bersembunyi semakin terdiam dengan jantung deg-degan.
Kabut asap yang tebal bak awan ditambah rimbun juntaian daun kelapa sawit, untuk sementara membuat posisi kami tak terlihat. Aku menatap ke balik kaca depan dengan perasaan gugup tidak karuan, tatkala mobil Ateng Kayau mendadak berhenti beberapa meter di depan.
Seorang pria tiba-tiba keluar dari sisi kiri pintu tengah, melangkah gontai ke pinggir jalan. Tapak demi tapak kakinya melangkah, di situlah jantungku berdegup-degup. Lelaki itu tampak riang, bernyanyi dengan suara yang sumbang. Ia lantas berdiri di antara rimbun pakis liar, lalu menurunkan celana hingga beberapa senti di bawah pantat.
Mina Kurik membuang wajah, tak sudi melihat lelaki itu membuang hajat. Dapat kurasakan suasana dalam mobil benar-benar dilanda kekhawatiran. Semua orang terlihat pucat dan gelisah.
Aku mengamati lelaki itu dengan seksama, ia masih bernyanyi dengan suara sumbang. Aku bersiap-siap di balik kemudi, bersiap menghadapi kemungkinan lelaki itu menoleh dan melihat mobil kami yang hanya berjarak 35 meter di belakangnya.
Rencanaku adalah menyalakan mobil, menginjak pedal gas sedalamnya lalu melindas lelaki itu. Setelah itu melarikan diri ke komplek mess karyawan dan meminta bantuan satpam di sana. Setidaknya, di sana masih banyak karyawan senior kenalanku. Segarang-garangnya Ateng Kayau, ia pasti tidak berkutik menghadapi massa.
Usai menuntaskan hajat dan membetulkan posisi celana, lelaki itu terdiam beberapa saat. Sepertinya ia menyadari sesuatu, lalu balik badan. Matanya yang liar menatap tajam ke arah kami, bergerak ke sana kemari menyusuri hamparan barisan pohon sawit yang tertutup kegelapan.
Aku bersiap melaksanakan rencanaku, tapi keburu dicegah mina Kurik. "Tahan, jangan dulu!" desahnya sambil menggeleng.
"Ada apa?" teriak seseorang dari dalam mobil. Dugaanku itu adalah Ateng Kayau. Suaranya cempreng, menggelegar, sekaligus menggetarkan nyali.
"Boss, kayaknya ada sesuatu di situ," lelaki itu menunjuk ke arah kami dengan memonyongkan bibir, "sebaiknya kuperiksa dulu, mungkin mereka bersembunyi di bawah pohon sawit itu."
"Arrgghh… sudah, sudah! Idemu gak ada yang benar. Semakin lama di sini, semakin jauh kita tertinggal. Malah, bisa-bisa kita tersesat di hutan sawit ini," bentak Ateng Kayau.
Lelaki itu merengut lalu kembali ke mobil dengan raut wajah kecewa. Kami menarik napas lega, ketika mobil Ateng Kayau kembali bergerak dan menghilang dari pandangan.
Namun, ada sesuatu yang mencurigakan. Mobil Ateng Kayau sepertinya hanya berpindah beberapa meter saja. Suara raungan mobilnya tiba-tiba lenyap begitu saja di balik kabut. Lampu belakang mobilnya yang tiba-tiba mati justru tampak mencurigakan.
Aku dan mina Kurik saling pandang, bertanya-tanya perihal apa yang terjadi dengan Ateng Kayau dan anak buahnya.
*****
Lima menit berlalu, tidak ada perubahan apa-apa di depan sana. Kabut asap akibat kebakaran lahan masih menutup badan jalan. Situasi seperti ini justru membuatku lebih khawatir, apakah Ateng Kayau benar-benar lenyap begitu saja, atau ia hanya bersiasat?
"Mina, jika lima menit lagi di depan sana masih sunyi, aku akan tancap gas," usulku tanpa menoleh ke samping.
Mina Kurik bergeming, tidak merespon sedikit pun. Ia sepertinya tengah memikirkan sesuatu yang lain. Ia menerawang, menatap lurus ke depan dengan hidung kembang kempis. Ia terlihat sangat gugup sembari menggigit bibir.
Di belakang, Pakde dan Dibyo sibuk membetulkan posisi koper besar mereka yang tergeser ke pojok. Sementara Bude masih terkulai, sekuat tenaga mengumpulkan tenaga yang tersisa.
Sejurus kemudian, sayup-sayup aku mendengar suara langkah kaki di balik kegelapan. Aku menajamkan kuping, akan tetapi suara itu justru menghilang saat aku mencoba fokus. Aku mengatur nafas sepelan mungkin, tapi tidak ada apapun yang terdengar.
Mungkin hanya halusinasi saja karena terbawa suasana sehingga otakku tidak bisa berpikir jernih. Apalagi, keadaan sekitar gelap gulita kecuali kabut asap yang bergerak pelan ditiup angin.
Aku menghela nafas, bersiap menyalakan starter mobil. Namun, suara derap langkah kaki kembali terdengar. Kali ini lebih riuh dari sebelumnya. Suara itu terdengar mendekat dari segala arah. Belum sepenuhnya sadar apa yang terjadi, sesuatu yang mengerikan tiba-tiba menghantam kaca jendela mobil dengan sangat keras, persis di sampingku.
Praaang…!
Kaca jendela mobil tiba-tiba pecah. Aku kaget setengah mati, sementara jerit ketakutan di kursi belakang langsung menggema di dalam mobil. Keadaan benar-benar kacau, semua orang dicekam ketakutan.
Aku tak berkutik di balik kemudi, terdiam bak patung dengan mata melotot. Seketika aku merasakan dada sangat sesak dan darah berdesir hebat di sekujur tubuh. Di batang tenggorokanku, menempel bilah mandau yang sangat tajam. Salah bergerak, tenggorokanku aku robek dalam sekejap.
"Halo, pahari. Ada salam dari komandan," ujar anah buah Ateng Kayau dari balik jendela. Ia menyeringai dengan sorot mata tajam.
Mendadak bulu-bulu halus di lengan dan tengkukku berdiri hebat. Sorot mata itu, sorot mata seorang pembunuh berdarah dingin. Garis-garis wajahnya menandakan ia orang yang sudah terbiasa menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah.
Di samping, entah apa yang dilakukan mina Kurik. Ia masih anteng seolah hilang kesadaran walau mandau siap menggorok batang lehernya kapan saja.
"Mi-mina, tolong aku. Tolong lakukan sesuatu…" pintaku memelas dengan suara lirih.
Di sekitar kami, kabut asap semakin pekat, menggumpal laksana awan berjalan di atas tanah. Kabut itu terus berarak satu arah, mengikuti kemana angin meniupnya.
…bersambung…
Sampai Jumpa di Malam Senin. Tabe 😇🙏
bruno95 dan 33 lainnya memberi reputasi
34
Kutip
Balas
Tutup