- Beranda
- Stories from the Heart
Thread Horor: MENJEMPUT GELAP
...
TS
saujanastory
Thread Horor: MENJEMPUT GELAP
Halo Agan semua, salam kenal. Ane Jana, yang biasa menceritakan dan kisah horor baik berdasarkan kisah nyata, atau terinspirasi dari kisah nyata. Monggo disimak, jangan lupa diramaikan.

Sekian Agan-Agan semua, malam Minggu depan ceritanya akan dilanjutkan.
MENJEMPUT GELAP

Quote:
Original Posted By Bab 1: Kontrakan Bangsal Tiga
Hari ini kondisi cuaca cukup cerah dengan sedikit gumpalan awan berarak yang menjadi tanda bahwasanya hujan tidak akan turun. Dari balik kaca, lelaki itu memandangi jalanan sambil menyesap segelas kopi yang tak lagi panas.
Siang ini ia terpikir beberapa hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Sebuah misi yang seharusnya ia lakukan bertahun-tahun lalu. Mengunjungi tanah leluhurnya. Namun yang ia temukan adalah hal mengerikan yang seharusnya tak pernah terungkap. Sebuah rahasia masa lalu yang disimpan rapat oleh seluruh penduduk desa.
Kemal, 32 tahun. Seorang pemuda medioker yang masih terus berkutat dengan segala hobi dan kegemarannya. Kehidupan keluarganya yang sangat sederhana membuat masa kecilnya lebih terbatas jika dibandingkan dengan kawan sebayanya.
Ayahnya yang ketika itu masih berada di posisi cukup rendah di tempat kerjanya membuat hidup keluarga sangat sederhana. Ayah Kemal yang memulai karir di sebuah BUMN sebagai sekuriti hanya mendapatkan gaji 275 ribu rupiah per bulan. Saat itu masih sekitar tahun 1991.
Ibunya sedang mengandung sang adik. Sementara Kemal yang statusnya ‘disembunyikan’ berada di desa asal sang ibu. Sebuah desa tertinggal di provinsi paling timur di pulau Jawa. Sebuah desa yang pada saat itu hanya dihuni para petani, dengan kehidupan miskin dan jauh dari kata cukup.
Pada saat itu, ayah Kemal baru saja mendapatkan pekerjaanya. Dan menurut peraturan, pegawai tidak boleh menikah sebelum 3 tahun masa kerja. Karena ayah dan ibu Kemal menikah di luar ketentuan itu, maka kelahiran Kemal terpaksa disembunyikan dari rekan kerja sang ayah.
Dan ia pun dirawat oleh sang nenek, si mbok dari sang ibu.
Dalam rumah bangsal petak itu Harti sedang menggigil ketakutan. Keringat dingin membasahi tubuhnya, sementara ia hanya berada di kontrakan itu sendirian. Husin sedang bertugas sebagai sekuriti dan akan pulang pukul 11 malam. Yang mana akan tiba di rumah 20 hingga 30 menit setelah shift jaga selesai.
Sedari pukul 10, Harti mendengar ada sosok yang sedang tertawa cekikikan di depan pintu rumahnya. Sementara ia sangat tahu, bahwa lingkungan tempat tinggalnya adalah lingkungan yang sepi setelah shalat Isya.
Di dalam rumah, Harti tak bisa melakukan apa pun. Hanya bisa duduk meringkuk diatas ranjang sambil melindungi kandungannya yang sudah cukup besar. Ia hanya berdoa semampu yang ia ingat, diiringi kucuran keringat dan tubuhnya yang menggigil ketakutan.
Hingga pukul 11.25, hampir tengah malam suara vespa memecah keheningan malam itu. Husin datang dan langsung memarkirkan motornya tepat di depan rumah. Ia masuk dan disambut dengan tangisan yang memecah keheningan malam.
“Pak, di situ!! Tadi ada orang ketawa nyaring, cekikikan gak berhenti.” Harti tergagap sambil memeluk erat pinggang suaminya.
“Di mana?! Bentar, biar ku bacok kalo emang ada.” Husin langsung mengambil sebilah golok dan kembali mengecek teras rumah mereka. Dan yang ia temukan hanyalah sepinya malam dengan suara jangkrik dari
seberang jalan yang lebarnya tak lebih dari 2 meter.
Malam itu Harti terselamatkan, ia kembali tenang setelah sang suami memastikan tidak ada yang bisa ia temukan di depan rumahnya. Mereka akhirnya bisa terlelap sambil ditemani beberapa benda tajam seperti jarum, silet, gunting dan bulu landak sebagai proteksi sang jabang bayi.
Sore itu, Harti merasa sakit perut dan ingin buang hajat. Ia lalu keluar rumah melalui pintu belakang dan menuju toilet bersama yang berada tepat di belakang kontrakannya. Perlahan ia turun menuju belakang rumah, sambil memegangi perut besarnya dan melihat toilet dalam kondisi tertutup.
Harti menunggu sejenak. Karena tak ada suara, ia memutuskan untuk mendorong pintu toilet tersebut. Ia terkejut, pintu itu tak terkunci, namun di dalamnya ada seorang nenek yang sedang duduk berjongkok di atas kloset seperti sedang membuang hajat.
“Maaf, saya kira gak ada orang.” Ucapnya sambil langsung menutup pintu dan menunggu di mulut pintu rumahnya.
Beberapa menit berlalu, tak ada tanda bahwa sang nenek sudah selesai. Bahkan tidak ada suara sama sekali dari dalam toilet. Sementara hajat Harti sudah sulit untuk ditahan. Ia pun kembali mengetuk pintu toilet tersebut, seketika toilet itu terbuka. Di dalamnya tak ada orang, nenek yang sedang berjongkok di atas toilet sudah hilang.
Karena sudah menunggu lama dan tak bisa ditahan lagi. Maka Harti langsung saja masuk ke dalam toilet dan menuntaskan hajatnya yang sudah hampir tak terbendung. Sore itu, adalah pertama kali Harti melihat sosok tak asing yang mungkin saja bukan manusia.
Pagi menyingsing, hawa dingin dan sejuk mengiringi niat Harti yang ingin berjalan-jalan. Kumpulan tumbuhan pandan tumbuh di depan rumahnya yang di bawahnya merupakan genangan air. Kontrakan 3 pintu yang hanya memilik satu toilet bersama. Toilet yang berada tepat di belakang dapur rumah Harti.
Ditemani sang suami, Harti berjalan-jalan sambil menikmati udara pagi
yang segar. Disambut dengan sapaan para tetangga yang mayoritas adalah warga suku lokal. Dengan logat Kutai dan Banjar yang kental, mereka menyapa sembari menyapu atau menyiram tanaman.
“Hendak ke mana kita? Gaknya tumat lagi lahir ni. – Mau kemana? Sepertinya sebentar lagi lahiran.” ucap seorang wanita penjual kue-kue basah yang biasa dipanggil dengan sebutan Mbok Joi dengan logat Kutai
yang kental.
“Ohh, bejalanan aja. Biar kena kalo lahiran lancar, – Mau jalan-jalan saja. Supaya nanti lahiran lancar,” jawab Husin dengan logat Banjar.
“Bulu landak ngan gunting jangan lupa dibawa, biar ndik dilirik kuyang, – Bulu landak sama gunting jangan lupa dibawa, supaya tidak dilirik (hantu) kuyang,” timpal Mbok Joi lagi sambil tersenyum sembari merapikan kue dagangannya.
“Iya, makasih, Mbok Joi.” Husin tersenyum sambil melanjutkan menemani Harti berjalan berkeliling.
Di kota ini, mitos dan rumor tentang kuyang memang sangat dipercaya. Terutama oleh para warga asli yang memang sangat memegang teguh kepercayaan lokal. Dan entah, percaya/tidak percaya semua itu diceritakan turun-temurun dan kabarnya memang sudah ada yang pernah membuktikan keberadaan dan kebenarannya.
Harti dan Husin berjalan menikmati pagi dengan santai. Embun masih terasa membasahi kulit, juga meninggalkan titik-titik bulir air di atas dedaunan di kiri-kanan gang. Banyak orang berlalu-lalang membawa keranjang belanjaan karena pasar juga masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Juga anak-anak sekolah yang sedang jalan bergerombol menuju tempat mereka menuntut ilmu. Juga beberapa ibu yang sedang berjalan berlainan arah. Salah satunya menggunakan kerudung dengan ujung yang melilit di lehernya.
Mereka bercakap sambil salah satunya menatap Harti yang dengan pandangan yang menyelidik. Hingga saat perpapasan, ia bahkan sampai menolehkan kepalanya memandang Harti yang sedang berjalan sambil memegangi perutnya Wanita itu menelan ludahnya sambil menjilat bibirnya sendiri.
“Hmmm.. Wangi..” batinnya.
Siang ini ia terpikir beberapa hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Sebuah misi yang seharusnya ia lakukan bertahun-tahun lalu. Mengunjungi tanah leluhurnya. Namun yang ia temukan adalah hal mengerikan yang seharusnya tak pernah terungkap. Sebuah rahasia masa lalu yang disimpan rapat oleh seluruh penduduk desa.
***
Kemal, 32 tahun. Seorang pemuda medioker yang masih terus berkutat dengan segala hobi dan kegemarannya. Kehidupan keluarganya yang sangat sederhana membuat masa kecilnya lebih terbatas jika dibandingkan dengan kawan sebayanya.
Ayahnya yang ketika itu masih berada di posisi cukup rendah di tempat kerjanya membuat hidup keluarga sangat sederhana. Ayah Kemal yang memulai karir di sebuah BUMN sebagai sekuriti hanya mendapatkan gaji 275 ribu rupiah per bulan. Saat itu masih sekitar tahun 1991.
Ibunya sedang mengandung sang adik. Sementara Kemal yang statusnya ‘disembunyikan’ berada di desa asal sang ibu. Sebuah desa tertinggal di provinsi paling timur di pulau Jawa. Sebuah desa yang pada saat itu hanya dihuni para petani, dengan kehidupan miskin dan jauh dari kata cukup.
Pada saat itu, ayah Kemal baru saja mendapatkan pekerjaanya. Dan menurut peraturan, pegawai tidak boleh menikah sebelum 3 tahun masa kerja. Karena ayah dan ibu Kemal menikah di luar ketentuan itu, maka kelahiran Kemal terpaksa disembunyikan dari rekan kerja sang ayah.
Dan ia pun dirawat oleh sang nenek, si mbok dari sang ibu.
***
Dalam rumah bangsal petak itu Harti sedang menggigil ketakutan. Keringat dingin membasahi tubuhnya, sementara ia hanya berada di kontrakan itu sendirian. Husin sedang bertugas sebagai sekuriti dan akan pulang pukul 11 malam. Yang mana akan tiba di rumah 20 hingga 30 menit setelah shift jaga selesai.
Sedari pukul 10, Harti mendengar ada sosok yang sedang tertawa cekikikan di depan pintu rumahnya. Sementara ia sangat tahu, bahwa lingkungan tempat tinggalnya adalah lingkungan yang sepi setelah shalat Isya.
Di dalam rumah, Harti tak bisa melakukan apa pun. Hanya bisa duduk meringkuk diatas ranjang sambil melindungi kandungannya yang sudah cukup besar. Ia hanya berdoa semampu yang ia ingat, diiringi kucuran keringat dan tubuhnya yang menggigil ketakutan.
Hingga pukul 11.25, hampir tengah malam suara vespa memecah keheningan malam itu. Husin datang dan langsung memarkirkan motornya tepat di depan rumah. Ia masuk dan disambut dengan tangisan yang memecah keheningan malam.
“Pak, di situ!! Tadi ada orang ketawa nyaring, cekikikan gak berhenti.” Harti tergagap sambil memeluk erat pinggang suaminya.
“Di mana?! Bentar, biar ku bacok kalo emang ada.” Husin langsung mengambil sebilah golok dan kembali mengecek teras rumah mereka. Dan yang ia temukan hanyalah sepinya malam dengan suara jangkrik dari
seberang jalan yang lebarnya tak lebih dari 2 meter.
Malam itu Harti terselamatkan, ia kembali tenang setelah sang suami memastikan tidak ada yang bisa ia temukan di depan rumahnya. Mereka akhirnya bisa terlelap sambil ditemani beberapa benda tajam seperti jarum, silet, gunting dan bulu landak sebagai proteksi sang jabang bayi.
***
Sore itu, Harti merasa sakit perut dan ingin buang hajat. Ia lalu keluar rumah melalui pintu belakang dan menuju toilet bersama yang berada tepat di belakang kontrakannya. Perlahan ia turun menuju belakang rumah, sambil memegangi perut besarnya dan melihat toilet dalam kondisi tertutup.
Harti menunggu sejenak. Karena tak ada suara, ia memutuskan untuk mendorong pintu toilet tersebut. Ia terkejut, pintu itu tak terkunci, namun di dalamnya ada seorang nenek yang sedang duduk berjongkok di atas kloset seperti sedang membuang hajat.
“Maaf, saya kira gak ada orang.” Ucapnya sambil langsung menutup pintu dan menunggu di mulut pintu rumahnya.
Beberapa menit berlalu, tak ada tanda bahwa sang nenek sudah selesai. Bahkan tidak ada suara sama sekali dari dalam toilet. Sementara hajat Harti sudah sulit untuk ditahan. Ia pun kembali mengetuk pintu toilet tersebut, seketika toilet itu terbuka. Di dalamnya tak ada orang, nenek yang sedang berjongkok di atas toilet sudah hilang.
Karena sudah menunggu lama dan tak bisa ditahan lagi. Maka Harti langsung saja masuk ke dalam toilet dan menuntaskan hajatnya yang sudah hampir tak terbendung. Sore itu, adalah pertama kali Harti melihat sosok tak asing yang mungkin saja bukan manusia.
***
Pagi menyingsing, hawa dingin dan sejuk mengiringi niat Harti yang ingin berjalan-jalan. Kumpulan tumbuhan pandan tumbuh di depan rumahnya yang di bawahnya merupakan genangan air. Kontrakan 3 pintu yang hanya memilik satu toilet bersama. Toilet yang berada tepat di belakang dapur rumah Harti.
Ditemani sang suami, Harti berjalan-jalan sambil menikmati udara pagi
yang segar. Disambut dengan sapaan para tetangga yang mayoritas adalah warga suku lokal. Dengan logat Kutai dan Banjar yang kental, mereka menyapa sembari menyapu atau menyiram tanaman.
“Hendak ke mana kita? Gaknya tumat lagi lahir ni. – Mau kemana? Sepertinya sebentar lagi lahiran.” ucap seorang wanita penjual kue-kue basah yang biasa dipanggil dengan sebutan Mbok Joi dengan logat Kutai
yang kental.
“Ohh, bejalanan aja. Biar kena kalo lahiran lancar, – Mau jalan-jalan saja. Supaya nanti lahiran lancar,” jawab Husin dengan logat Banjar.
“Bulu landak ngan gunting jangan lupa dibawa, biar ndik dilirik kuyang, – Bulu landak sama gunting jangan lupa dibawa, supaya tidak dilirik (hantu) kuyang,” timpal Mbok Joi lagi sambil tersenyum sembari merapikan kue dagangannya.
“Iya, makasih, Mbok Joi.” Husin tersenyum sambil melanjutkan menemani Harti berjalan berkeliling.
Di kota ini, mitos dan rumor tentang kuyang memang sangat dipercaya. Terutama oleh para warga asli yang memang sangat memegang teguh kepercayaan lokal. Dan entah, percaya/tidak percaya semua itu diceritakan turun-temurun dan kabarnya memang sudah ada yang pernah membuktikan keberadaan dan kebenarannya.
Harti dan Husin berjalan menikmati pagi dengan santai. Embun masih terasa membasahi kulit, juga meninggalkan titik-titik bulir air di atas dedaunan di kiri-kanan gang. Banyak orang berlalu-lalang membawa keranjang belanjaan karena pasar juga masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Juga anak-anak sekolah yang sedang jalan bergerombol menuju tempat mereka menuntut ilmu. Juga beberapa ibu yang sedang berjalan berlainan arah. Salah satunya menggunakan kerudung dengan ujung yang melilit di lehernya.
Mereka bercakap sambil salah satunya menatap Harti yang dengan pandangan yang menyelidik. Hingga saat perpapasan, ia bahkan sampai menolehkan kepalanya memandang Harti yang sedang berjalan sambil memegangi perutnya Wanita itu menelan ludahnya sambil menjilat bibirnya sendiri.
“Hmmm.. Wangi..” batinnya.
***
Spoiler for Bab Selanjutnya Gan!:
Spoiler for Bab Selanjutnya Gan!:
Spoiler for Bab Selanjutnya, Gan!:
Spoiler for Lanjut lagi, Gan!:
Spoiler for Selamat bermalam Minggu, Gan!:
Spoiler for Habis konser, lanjut cerita!:
Spoiler for Telat sehari.:
Spoiler for Lanjutan lagi!:
Spoiler for Malming sendu:
Spoiler for Capek motoran:
Spoiler for Habis selesein cerita untuk KUNCEN:
Spoiler for Mau nonton layar tancap:
Spoiler for Minggu pertama Oktober!! Gas!!:
Spoiler for Udah sepertiga cerita nih!:
Sekian Agan-Agan semua, malam Minggu depan ceritanya akan dilanjutkan.
Diubah oleh saujanastory 14-10-2023 19:36
itkgid dan 19 lainnya memberi reputasi
20
4.4K
Kutip
57
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
saujanastory
#6
Lanjut ceritanya ya, Gan.
Bab II. Malam Mencekam
Kalimantan, 1992
Gelegar suara bayi terdengar keras dan lantang di sebuah kamar bersalin di salah satu rumah sakit. Setelah mengalami kontraksi kurang lebih 8 jam, akhirnya Harti berhasil melahirkan seorang putri mungil.
“Selamat Bapak, bayinya perempuan. Sehat, dan cantik. Biar kami bersihkan dulu, nanti Bapak akan kami panggil ketika seluruh proses persalinan sudah selesai,” ucap seorang dokter berbadan gempal dan berambut tipis kepada Husin yang sedang menunggu proses kelahiran
istrinya.
“Terimakasih Dok!” jawabnya sambil menyalami sang dokter, ditemani beberapa keluarga terdekat.
Rumah sakit tempat Harti melahirkan merupakan sebuah rumah sakit tua yang sudah beroperasi puluhan tahun lamanya. Ditandai dengan bentuk gedung yang hanya satu lantai dengan koridor-koridor panjang, tiang-tiang dari kayu ulin bercat hijau menjadi salah satu tandanya.
Dikabarkan rumah sakit ini sudah ada sejak awal kemerdekaan. Koridor-koridor remang terlihat dari kejauhan, mengelilingi sebuah taman dengan tanaman-tanaman hias dan bunga-bunga berkelopak kecil berwarna
merah.
Sejenak Husin memandang sekitar dan memejamkan matanya sekilas. Tangannya menengadah. Ia sedang berdoa dan berucap syukur kepada Sang Pencipta atas kelahiran buah hatinya, juga atas lancaran dan keselamatan istrinya.
Hari masih terlalu dini untuk bisa memandang bebas ke sekitar. Beberapa keluarga dekat sedang riuh berbisik dan berceloteh bahagia. Mereka menyambut hadirnya sang keponakan baru sambil meminum teh yang dibeli dari penjaja keliling yang membawa termos. Tak berapa lama seorang perawat datang menghampiri.
“Mari Bapak, istri dan bayinya sudah bisa dijenguk. Seluruh proses persalinan sudah selesai, tapi masuknya maksimal dua orang ya,” ucap seorang perawat berjilbab berpakaian putih dengan aksen garis hijau di bagian pinggir pakaian dinasnya.
“Baik Sus, terimakasih,” ucap Husin, disusul anggukan seluruh keluarganya. Mereka pun bergegas menuju kamar perawatan yang hanya berjarak beberapa kamar dari tempat mereka menunggu.
Sebulan berlalu..
Harti dan Husin sangat menikmati waktu-waktu bersama merawat putri mereka yang masih sangat kecil. Terkadang beberapa saudara datang untuk mampir dan membawakan beberapa makanan kecil sambil melihat keadaan sang putri kecil. Rosiana, nama putri kecil itu.
Rosi saat itu masih sering dibedong, dan itu memberikannya kehangatan dan ketenangan untuk bisa terus tidur maksimal setiap harinya. Dan Harti jelas bisa mengerjakan urusan dapur layaknya ibu rumah tangga lainnya.
“Bu, aku berangkat yaa. Nanti pulang kayak biasa, jam 11 selesai piket. Mudahan gak kelamaan di jalan,” ucap Husin sambil berpamitan pada Harti dan tak lupa mengecup dahi Rosi yang masih terpejam.
“Iya, jangan mampir-mampir. Tau sendiri di sini tuh ‘agak-agak’,” ucap Harti
yang selalu khawatir ketika sang suami dinas hingga larut malam.
“Iya, gak akan mampir-mampir,” jawab Husin sambil menyodorkan tangannya. Harti menyambut sambil mencium punggung tangan suaminya.
Husin yang sudah berpakaian sekuriti lengkap berlapis jaket pun akhirnya pergi. Suara vespa yang seperti kaleng akhirnya menjauh dari rumah dan perlahan menghilang.
Kini hanya tinggal Harti dan Rosi. Ada kecemasan di dalam hatinya, pikiran-pikiran berkecamuk jika ia memikirkan bahwa akan pergantian gelap dan terang hanya berdua. Lingkungan gang tempat mereka tinggal memang padat penduduk, guyub dan saling bantu. Namun ketika selepas Isya, maka hampir semua orang akan masuk ke dalam rumah untuk beristirahat, menonton drama Oshin, atau mungkin bersiap menonton MacGyver atau Friday the Thirteen.
Saat itu akses informasi mereka sangat terbatas, bahkan tv berwarna adalah barang mewah yang tak dimiliki masyarakat kebanyakan, terutama kelas menengah ke bawah. Mayoritas dari mereka hanya memiliki tv tabung hitam-putih dengan cover seperti flipping door pada ruko sebagai penutup layar. Rangka tv rata-rata dari kayu dengan kenop dan bingkai layar dari besi. Juga pada kaki-kakinya.
Harti memutuskan untuk menyulam kain dengan motif bunga, ditemani suara tv yang sedang menyiarkan Berita Malam di TVRI. Rosi sedang tidur dengan dibekali beberapa benda tajam sebagai penjagaan. Gunting kecil, jarum, bulu landak, juga bawang tunggal dibungkus dan diletakkan di atas kepala dekat si bayi. Sebuah kepercayaan masyarakat yang katanya bisa membantu menjaga sang bayi dari roh dan hal-hal jahat.
Meskipun bukan orang Kalimantan asli, Harti mengikuti adat dan kepercayaan setempat sebagai cara untuk menghormati budaya. Karena seperti yang banyak diketahui, Kalimantan merupakan tanah dengan budaya lokal yang kuat.
Ditambah, info dan kabar-kabar tentang keberadaan kuyang memang santer terdengar. Karena itu, ia mengikuti saran-saran dari para tetangga dan menyediakan benda-benda penjaga untuk Rosi.
Kondisi ruangan menghangat, padahal di luar malam cukup dingin. Harti memandang jam dinding untuk memastikan berapa lama lagi ia harus menunggu sang suami pulang dari piketnya.
Pukul 9, keadaan di luar rumah sudah benar-benar sepi dan hampir tidak ada suara. Hanya ada suara jangkrik dan kodok bersautan lirih dari seberang rumah. Tanah rawa yang ditumbuhi beberapa tanaman liar.
Harti menyesap teh hangatnya, lalu meletakkannya kembali ke atas meja Oshin sambil sesekali melirik Rosi yang masih tertidur tenang. Memang, hampir semua orang memiliki meja kayu bundar seperti yang biasa dilihat di drama Oshin. Karena memang drama itu sangat populer saat itu. Drama Jepang berlatar era Meiji yang cukup sedih.
Entah, namun rasa gugup dan tidak tenang berkecamuk di dalam dirinya. Rasa khawatir yang selalu ia rasakan jika sang suami piket dan pulang tengah malam. Dan seketika keadaan mendadak hening. Bersamaan, suara kodok dan jangkring menghilang. Suasana di luar rumah menjadi hening total, hanya tersisa lirih suara tv, detak jam dinding, dan detak jantungnya sendiri yang berdegup kencang tanpa sebab.
Harti meletakkan perlengkapan menyulamnya, dan segera menghampiri Rosi yang sedang tertidur. Didekapnya putri kecilnya itu sambil merapal doa. Ia sadar, keadaan sedang tidak baik-baik saja.
Tiba-tiba, suara-suara langkah terdengar di atas atap. Suara serupa pijakan kaki pada seng yang menyebabkan bunyi. Juga suara-suara deheman yang mulai terdengar dari pojok rumah. Tepat di sebelah tanaman pandan.
Setelah suara dehem menghilang, maka berganti suara kecipak air kotor di bawah kolong rumah. Seperti suara bebek yang sedang mencari makan di rawa dan kubangan. Suara itu seolah berjalan dari depan menuju belakang rumah dan menghilang. Digantikan derak seng yang seperti diinjak. Sementara tak akan mungkin ada orang yang bisa berjalan di atas atap karena kemiringan atap yang cukup curam. Hampir empat puluh lima derajat, bahkan lebih.
Siklus itu terus berlangsung selama kurang lebih setengah jam. Tak ada jalan keluar, tak ada kemampuan untuk berteriak dan meminta tolong pada tetangga yang hanya bersekat dinding kayu. Harti tercekat dan suaranya tertahan hingga pangkal rongga mulutnya.
Harti mulai panik, hanya ada ia berdua di rumah itu. Suara-suara aneh lain juga terdengar bergantian. Seolah ada yang sedang sengaja mengelilingi rumah. Bukan, bukan berkeliling. Seolah ada sosok yang berdehem di pojok depan rumah, memasuki kolong rumah, dan kembali naik ke atap.
Harti tak tahu apa yang sedang mengitari rumahnya. Yang ia tahu dan ia kenali adalah suara deheman yang tak lagi asing di telinganya. Deheman seperti seorang perempuan tua, dan suara itu baginya sangat mirip dengan suara seseorang.
Sekian dulu lanjutan ceritanya, Gan. Jangan lupa dikomen biar rame.
Quote:
Bab II. Malam Mencekam
Kalimantan, 1992
Gelegar suara bayi terdengar keras dan lantang di sebuah kamar bersalin di salah satu rumah sakit. Setelah mengalami kontraksi kurang lebih 8 jam, akhirnya Harti berhasil melahirkan seorang putri mungil.
“Selamat Bapak, bayinya perempuan. Sehat, dan cantik. Biar kami bersihkan dulu, nanti Bapak akan kami panggil ketika seluruh proses persalinan sudah selesai,” ucap seorang dokter berbadan gempal dan berambut tipis kepada Husin yang sedang menunggu proses kelahiran
istrinya.
“Terimakasih Dok!” jawabnya sambil menyalami sang dokter, ditemani beberapa keluarga terdekat.
Rumah sakit tempat Harti melahirkan merupakan sebuah rumah sakit tua yang sudah beroperasi puluhan tahun lamanya. Ditandai dengan bentuk gedung yang hanya satu lantai dengan koridor-koridor panjang, tiang-tiang dari kayu ulin bercat hijau menjadi salah satu tandanya.
Dikabarkan rumah sakit ini sudah ada sejak awal kemerdekaan. Koridor-koridor remang terlihat dari kejauhan, mengelilingi sebuah taman dengan tanaman-tanaman hias dan bunga-bunga berkelopak kecil berwarna
merah.
Sejenak Husin memandang sekitar dan memejamkan matanya sekilas. Tangannya menengadah. Ia sedang berdoa dan berucap syukur kepada Sang Pencipta atas kelahiran buah hatinya, juga atas lancaran dan keselamatan istrinya.
Hari masih terlalu dini untuk bisa memandang bebas ke sekitar. Beberapa keluarga dekat sedang riuh berbisik dan berceloteh bahagia. Mereka menyambut hadirnya sang keponakan baru sambil meminum teh yang dibeli dari penjaja keliling yang membawa termos. Tak berapa lama seorang perawat datang menghampiri.
“Mari Bapak, istri dan bayinya sudah bisa dijenguk. Seluruh proses persalinan sudah selesai, tapi masuknya maksimal dua orang ya,” ucap seorang perawat berjilbab berpakaian putih dengan aksen garis hijau di bagian pinggir pakaian dinasnya.
“Baik Sus, terimakasih,” ucap Husin, disusul anggukan seluruh keluarganya. Mereka pun bergegas menuju kamar perawatan yang hanya berjarak beberapa kamar dari tempat mereka menunggu.
***
Sebulan berlalu..
Harti dan Husin sangat menikmati waktu-waktu bersama merawat putri mereka yang masih sangat kecil. Terkadang beberapa saudara datang untuk mampir dan membawakan beberapa makanan kecil sambil melihat keadaan sang putri kecil. Rosiana, nama putri kecil itu.
Rosi saat itu masih sering dibedong, dan itu memberikannya kehangatan dan ketenangan untuk bisa terus tidur maksimal setiap harinya. Dan Harti jelas bisa mengerjakan urusan dapur layaknya ibu rumah tangga lainnya.
“Bu, aku berangkat yaa. Nanti pulang kayak biasa, jam 11 selesai piket. Mudahan gak kelamaan di jalan,” ucap Husin sambil berpamitan pada Harti dan tak lupa mengecup dahi Rosi yang masih terpejam.
“Iya, jangan mampir-mampir. Tau sendiri di sini tuh ‘agak-agak’,” ucap Harti
yang selalu khawatir ketika sang suami dinas hingga larut malam.
“Iya, gak akan mampir-mampir,” jawab Husin sambil menyodorkan tangannya. Harti menyambut sambil mencium punggung tangan suaminya.
Husin yang sudah berpakaian sekuriti lengkap berlapis jaket pun akhirnya pergi. Suara vespa yang seperti kaleng akhirnya menjauh dari rumah dan perlahan menghilang.
Kini hanya tinggal Harti dan Rosi. Ada kecemasan di dalam hatinya, pikiran-pikiran berkecamuk jika ia memikirkan bahwa akan pergantian gelap dan terang hanya berdua. Lingkungan gang tempat mereka tinggal memang padat penduduk, guyub dan saling bantu. Namun ketika selepas Isya, maka hampir semua orang akan masuk ke dalam rumah untuk beristirahat, menonton drama Oshin, atau mungkin bersiap menonton MacGyver atau Friday the Thirteen.
Saat itu akses informasi mereka sangat terbatas, bahkan tv berwarna adalah barang mewah yang tak dimiliki masyarakat kebanyakan, terutama kelas menengah ke bawah. Mayoritas dari mereka hanya memiliki tv tabung hitam-putih dengan cover seperti flipping door pada ruko sebagai penutup layar. Rangka tv rata-rata dari kayu dengan kenop dan bingkai layar dari besi. Juga pada kaki-kakinya.
Harti memutuskan untuk menyulam kain dengan motif bunga, ditemani suara tv yang sedang menyiarkan Berita Malam di TVRI. Rosi sedang tidur dengan dibekali beberapa benda tajam sebagai penjagaan. Gunting kecil, jarum, bulu landak, juga bawang tunggal dibungkus dan diletakkan di atas kepala dekat si bayi. Sebuah kepercayaan masyarakat yang katanya bisa membantu menjaga sang bayi dari roh dan hal-hal jahat.
Meskipun bukan orang Kalimantan asli, Harti mengikuti adat dan kepercayaan setempat sebagai cara untuk menghormati budaya. Karena seperti yang banyak diketahui, Kalimantan merupakan tanah dengan budaya lokal yang kuat.
Ditambah, info dan kabar-kabar tentang keberadaan kuyang memang santer terdengar. Karena itu, ia mengikuti saran-saran dari para tetangga dan menyediakan benda-benda penjaga untuk Rosi.
….
Kondisi ruangan menghangat, padahal di luar malam cukup dingin. Harti memandang jam dinding untuk memastikan berapa lama lagi ia harus menunggu sang suami pulang dari piketnya.
Pukul 9, keadaan di luar rumah sudah benar-benar sepi dan hampir tidak ada suara. Hanya ada suara jangkrik dan kodok bersautan lirih dari seberang rumah. Tanah rawa yang ditumbuhi beberapa tanaman liar.
Harti menyesap teh hangatnya, lalu meletakkannya kembali ke atas meja Oshin sambil sesekali melirik Rosi yang masih tertidur tenang. Memang, hampir semua orang memiliki meja kayu bundar seperti yang biasa dilihat di drama Oshin. Karena memang drama itu sangat populer saat itu. Drama Jepang berlatar era Meiji yang cukup sedih.
Entah, namun rasa gugup dan tidak tenang berkecamuk di dalam dirinya. Rasa khawatir yang selalu ia rasakan jika sang suami piket dan pulang tengah malam. Dan seketika keadaan mendadak hening. Bersamaan, suara kodok dan jangkring menghilang. Suasana di luar rumah menjadi hening total, hanya tersisa lirih suara tv, detak jam dinding, dan detak jantungnya sendiri yang berdegup kencang tanpa sebab.
Harti meletakkan perlengkapan menyulamnya, dan segera menghampiri Rosi yang sedang tertidur. Didekapnya putri kecilnya itu sambil merapal doa. Ia sadar, keadaan sedang tidak baik-baik saja.
Tiba-tiba, suara-suara langkah terdengar di atas atap. Suara serupa pijakan kaki pada seng yang menyebabkan bunyi. Juga suara-suara deheman yang mulai terdengar dari pojok rumah. Tepat di sebelah tanaman pandan.
Setelah suara dehem menghilang, maka berganti suara kecipak air kotor di bawah kolong rumah. Seperti suara bebek yang sedang mencari makan di rawa dan kubangan. Suara itu seolah berjalan dari depan menuju belakang rumah dan menghilang. Digantikan derak seng yang seperti diinjak. Sementara tak akan mungkin ada orang yang bisa berjalan di atas atap karena kemiringan atap yang cukup curam. Hampir empat puluh lima derajat, bahkan lebih.
Siklus itu terus berlangsung selama kurang lebih setengah jam. Tak ada jalan keluar, tak ada kemampuan untuk berteriak dan meminta tolong pada tetangga yang hanya bersekat dinding kayu. Harti tercekat dan suaranya tertahan hingga pangkal rongga mulutnya.
Harti mulai panik, hanya ada ia berdua di rumah itu. Suara-suara aneh lain juga terdengar bergantian. Seolah ada yang sedang sengaja mengelilingi rumah. Bukan, bukan berkeliling. Seolah ada sosok yang berdehem di pojok depan rumah, memasuki kolong rumah, dan kembali naik ke atap.
Harti tak tahu apa yang sedang mengitari rumahnya. Yang ia tahu dan ia kenali adalah suara deheman yang tak lagi asing di telinganya. Deheman seperti seorang perempuan tua, dan suara itu baginya sangat mirip dengan suara seseorang.
***
Sekian dulu lanjutan ceritanya, Gan. Jangan lupa dikomen biar rame.

Diubah oleh saujanastory 15-07-2023 19:03
itkgid dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Kutip
Balas
Tutup