Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

YenieSue0101Avatar border
TS
YenieSue0101
[SFTH) Aku dan Orang-orang dari Neraka
[SFTH) Aku dan Orang-orang dari Neraka


Sebagai seorang cowok, apa sih yang kalian pikirkan ketika harus tinggal di rumah kost berhantu? Pindah atau memutuskan bertahan? 


Mungkin sebagian cowok penakut di luar sana akan memutuskan untuk mencari rumah kost-an baru. Itu tidak berlaku bagiku. Bukan karena aku pemberani atau sok pemberani. Namun, karena tak ada pilihan lain. Dompet tipis, dan aku baru diterima kerja. Terlebih ini pertama kalinya aku merantau di kota ini. 


Sempurna sudah.

Tak ada alasan untuk pindah. Aku bertahan, walau bukan hanya hantu yang harus kuhadapi, tapi juga sekumpulan manusia-manusia aneh yang mengklaim diri mereka sebagai penguasa kegelapan. Penganut aliran sesat. Pemuja iblis!



*****



Malam itu sekitar jam sembilan malam, aku tiba di Surabaya. Sengaja aku berangkat sore dari Kediri karena enggan terjebak panas-panasan di dalam bus ekonomi. Dengan aplikasi ojek online dari terminal Bungurasih, aku menuju ke Pasar Turi. Untuk selanjutnya ke Kertopaten, tempat tujuanku. 


Rumah kost-an yang dimaksud tampak berdiri kokoh di antara bangunan-bangunan lainnya. Meski begitu, area itu terlihat sedikit suram, entah karena lampu teras yang mati atau karena pepohonan yang terlalu rimbun di depannya. Hawa negatif langsung muncul, seperti kata Mbak Eka, rumah kost-an ini memang sedikit berhantu. Ya, sedikit. Sungguh sebuah perkataan yang lebih seperti bujukan alih-alih penghiburan. 


Apapun itu, pokoknya hadapi saja! 


Tok! Tok! Tok! 


"Assalamualaikum." 


Aku mengetuk selot pintu gerbang dengan keras. Berharap tak membuat bising apalagi mengganggu istirahat si empunya kost. Tak dikunci, sih. Tapi, masa iya main terobos? 


Cklek! 


Terdengar suara seseorang menaril gerendel dan detik berikutnya pintu rumah itu terbuka. Di dalam rumah sedikit terang, walau tetap tak sepadan dengan luasnya rumah. Namun, aku masih bisa melihat bahwa sosok yang menghampiriku adalah seorang ibu-ibu berambut gimbal dan mengenakan pakaian tidur. 


"Siapa?" Alih-alih menjawab salamku, wanita itu malah balik bertanya. 


"Saya Daniel, Bu. Dari Kediri." 


"Daniel?"

"Nggeh. Yang kemaren sudah memesan salah satu kamar di rumah kost ini, atas nama Mbak Eka." 


Kost ini memang Mbak Eka yang mencarikan. Kakak perempuanku itu sudah lumayan lama tinggal di Surabaya, apalagi sejak berpisah dengan suaminya. Mbak Eka pula yang mendapatkan pekerjaan untukku. Walau tak tahu pekerjaan seperti apa, asal menghasilkan uang pokoknya sikat saja. Daripada tinggal di rumah malah jadi aib keluarga. Bujang nganggur? Mau jadi apa! 


"Owh, Nak Daniel, toh?" Wanita itu seperti mengingat sesuatu. 


"Leres, Bu." (Benar, Bu). 


"Mari-mari masuk, Nak. Tunggu di sini sebentar. Ibu ambil kunci kamarnya dulu." 


Beberapa saat kemudian Ibu itu keluar sambil membawa serentengan kunci. 


"Aduh, Ibu agak lupa sama kunci kamarmu," keluhnya sambil memilah-milah kunci. "Maklum, sudah tua." 


"Boleh saya pinjam semuanya, Bu." Aku berinisiatif. "Nanti kalo sudah ketemu dengan yang cocok, sisanya saya kembalikan." 


"Ya sudah kalo gitu, Nak Daniel bawa saja semua. Besok saja mengembalikannya, Ibu soalnya mau istirahat ini. Lagi nggak enak  badan. Oh, ya jangan lupa besok sekalian bawa fotokopi ktp ya, Nak Daniel." 


"Nggeh, Bu. Kalo gitu saya permisi." 


"Eh, tunggu!"

"Ya?"

"Memangnya Nak Daniel sudah tahu di mana letak kamarnya?"

"Eh, belum Bu, hehe."

Aku cengengesan menyadari kesalahan sendiri. 


"Ya sudah yuk Ibu antarkan. Kamar Nak Daniel ada di lantai dua." 


Wanita berkata sambil mengisyaratkanku untuk mengikutinya. Beliau membawa sebuah senter kecil yang aku tak tahu buat apa. Setelah mendekati anak tangga menuju lantai dua, baru aku mengerti apa gunanya senter tadi. 


Tangga menuju lantai dua gelap gulita. Entah memang sengaja tak memakai penerangan atau lampunya pada mati. Ibu Kost menyalakan senter lalu berjalan mendahului. 


"Lampunya mati ya, Bu?" Aku bertanya basa-basi, demi mengurangi rasa bergidik yang disebabkan oleh suasana gelap dan sunyi. 


Namun, usahaku untuk memerangi rasa takut sia-sia karena ibu itu tak menjawab. Dia terus menaiki tangga dengan sedikit tergesa. Suara sandal tepleknya keplak-keplak menggema memenuhi lorong tangga. 


Selanjutnya aku hanya bisa menguatkan diri dan hati. Kembali mengingat perkataan Mbak Eka bahwa rumah kostan ini memang berhantu. Walau klaimnya 'sedikit', tetap saja namanya hantu pasti bisa menciptakan rasa takut dalam pikiran manusia. 


Aku cowok. Tidak boleh lemah terhadap hantu atau apapun itu! 


"Nah, sudah sampai." Ibu Kost akhirnya membuka suara ketika telah menapaki sisa tangga terakhir. 


Aku memandang berkeliling. Kamar atas terdiri dari dua baris saling berhadapan. Masing-masing baris terdiri dari empat kamar. Jadi total ada delapan kamar. Di sisi kiri dariku, lampu menyala di depan pintu tiga kamar. Sementara pintu paling ujung terlihat gelap. Begitu melihat sisi kanan yang berhadapan dengan sisi kiri, aku syok berat. Keempat pintunya gelap. Tak ada satu pun penerangan di depan kamar-kamar itu. Semoga kamarku bukan di antara empat kamar itu. 


"Bu, kok lampu di sini juga mati?" Aku kembali bertanya karena tak tahan lagi. 


"Ibu tidak tahu. Ibu jarang naik ke lantai dua," katanya, setengah berbisik. "Sudah ya, Ibu turun dulu. Tanya-tanyanya dilanjut besok pagi saja kalau sudah terang. Oh ya, kamar Nak Daniel ada di deretan kanan. Yang paling ujung ya." 


"Hah?" Aku berseru, tak memercayai apa yang baru saja kudengar. 


"Ibu permisi dulu." 


"Eh, tapi Bu ...." 


Aku tak sempat melanjutkan perkataanku karena wanita itu sudah terlebih dulu melesat menuruni tangga. Terdengar suara berisik dan langkah terburu yang ditimbulkan kakinya. 


Aku masih melongo di tempat. Bingung harus berbuat apa. Tempat ini begitu sepi. Benar-benar menawarkan kengerian tersendiri di benak para penghuninya. Betah sekali mereka hidup gelap-gelapan seperti ini! 


Aku merogoh ponsel dan menyalakan lampu flash kemudian berjalan menuju deretan kamar di sisi kanan. Sampai pada pintu pertama, aku menemukan saklar di dekat pintu. Kuarahkan lampu flash ke plafon. Ada sebuah lampu terpasang di sana.

Dengan sedikit takut, kutekan saklar lampu. 


Ctek! 


Lampu menyala. Kelegaan memenuhi hatiku. Aku mulai berpikir mungkin kamar ini tidak ada penghuninya, jadi tidak ada yang menyalakan lampu. Atau mungkin penghuninya belum pulang dari bekerja sejak pagi, jadi otomatis lampu tak menyala. 


Aku melakukan hal yang sama pada pintu kedua dan ketiga. Terakhir, pintu keempat. Calon kamarku. Keempat lampu menyala. Sekali lagi aku mengembuskan napas lega. 


Detik berikutnya aku segera sibuk memasukan kunci satu persatu untuk menemukan mana yang cocok. Setelah lebih dari separuh kunci kucoba, akhirnya ada yang cocok. Saat hendak masuk, aku mendengar suara gerendel pintu yang ditarik. Detik berikutnya, tiga pintu kamar di sebelahku berderit. Suara deritnya memecah keheningan malam hingga membuat bulu kuduk berdiri. Ketiganya membuka secara bersamaan. 


Aku menelan ludah demi melihat tiga sosok yang keluar dari masing-masing pintu. Dari bawah sinar lampu aku tampak kepala-kepala mereka yang plontos, mata yang lebih gelap, kulit pucat dan bibir gelap. Kemudian tubuh yang kurus dibalut pakaian serba hitam. Dan walaupun mata mereka tampak gelap, aku bisa melihat bahwa ketiganya sedang menatapku. Dengan raut wajah yang penuh amarah. 


Apakah mereka manusia? 


Ctek! 


Kemudian sosok-sosok itu menghilang ditelan gelap. Setelah mematikan lampu di depan kamar masing-masing, kemudian ketiganya membanting pintu dengan suara keras. Meninggalkanku yang masih berdiri kaku di sini sambil memegangi serenteng kunci dengan perasaan syok luar biasa. 


Butuh beberapa menit untuk menetralisir degub di jantungku. Setelah kemudian tersadar akan bahayanya berdiri di luar kamar di tengah malam begini. Aku pun bergegas masuk dan mengunci pintu dari dalam. Seketika aku langsung tersedak. 


Aroma apa ini? Apa ada bangkai tikus yang mati di kamar ini? Aku refleks menutup hidung dan mulut menggunakan masker, kemudian berusaha menyingkirkan debu-debu dan sarang laba-laba yang bergelantungan di mana-mana? 


Ini kamar kost atau gudang, sih? Pemiliknya pasti jarang mengunjungi kamar ini. Dan mungkin kamar ini sudah lama tak ada penghuninya. Memangnya siapa yang mau tidur berdampingan dengan orang-orang aneh nan horor itu? 


Pantas saja kamar ini harganya murah. Separo harga dari kamar yang ada di lantai bawah. Kalau nanti sudah gajian lebih baik aku pindah ke kamar bawah saja lah. Barangkali di bawah ada yang kosong. Sementara, biarlah aku bertahan di sini. 


Aku membersihkan debu yang menempel di perabot dalam kamar itu. Walaupun kamar ini tak terlalu luas, tapi lumayan lengkap dengan adanya sepasang meja kursi dan kompor di ujung ruangan. Di sisi kiri, terdapat satu dipan kecil dengan kasur keras menempel di dinding. Bantalnya sudah bau tengik dengan sprei yang mungkin sudah setahun tak dicuci. 


Aku benar-benar menyerah dengan kamar ini. Kubuka pintu kamar mandi di sebelah wastafel, berharap ada pengharapan di sana. Closet jongkoknya cukup bersih. Dilengkapi dengan gayung dan ember berukuran sedang. Kuulir kran air dan menyala dengan air yang bersih. Aman. 


Setelah bersih-bersih dan membongkar tas -- ah rasanya tak perlu dibongkar karena kamar ini tak ada lemari -- kuputuskan untuk mandi. Setelah sebelumnya menyemprot seluruh sudut ruangan dengan parfum demi menetralisir bau. 


Di sela-sela suara kran yang bergemericik, tiba-tiba aku mendengar suara orang bersiul. Aku mematikan kran demi memastikan pendengaranku sendiri. Itu benar-benar suara siulan. 


Siapa gerangan orang yang bersiul malam-malam begini? 


Semakin lama suara siulan itu semakin dekat, seolah memang sedang mendekati kamarku. Aku menoleh berkeliling, memastikan tak ada lubang di dinding kamar mandi. Kemudian cepat-cepat menyelesaikan mandi. 


Keluar dari kamar mandi, aku dikejutkan dengan suara langkah yang mendekat. Hingga langkah itu terhenti tepat di depan kamarku. Suara siulan itu pun ikut berhenti. Kemudian .... 


Ctek! 


Ruangan kamarku menjadi gelap gulita. Begitupun di luar sana. Bagaimana bisa? Padahal yang ditekannya adalah saklar di luar, di dekat pintu? Apa kabelnya terhubung. 


Aku gegas mencari ponselku kemudian menyalakan lampu flash. Kuarahkan lampu ke segala arah demi mencari saklar lampu. Tidak ada. Kamar ini tak mempunyai saklar lampu di dalam. Begitu pun dengan kamar mandi. 


Kemudian aku teringat saat pertama kali masuk tadi, semua lampu memang sudah menyala begitu aku menyalakan lampu depan. Jadi? Kamar model apa yang hanya memiliki satu saklar lampu. Di luar pula! 


Merasa gusar dengan keadaan yang sama sekali tak baik ini aku bergegas menuju pintu dan membukanya secara sembarangan. Tak peduli apakah si penyiul itu hantu atau manusia, pokoknya aku harus melayangkan protes. Setidaknya, aku harus meluapkan amarah! 


Namun, sial. Begitu membuka pintu, orang tersebut telah pergi. Aku bisa melihat bayangannya dalam gelap, menuju tangga di sebelah kamarku. Eh, ada tangga menuju lantai tiga! Apakah ada kamar lagi di atas sana? 


Aku hendak mengikuti orang itu, tetapi urung. Sosok itu melangkah cepat menaiki tangga yang gelap. Membuat nyaliku menciut. Sempat terpikir untuk mengarahkan flash ke arah tangga, tetapi urung juga. Aku takut membayangkan sosok berwajah seram akan menghampiri lalu mencekik leherku. 


Kebanyakan menonton film horor, ya beginilah akibatnya! 


Malam yang cukup panjang dan pengap. Saklar tak bisa kembali kunyalakan entah apa sebabnya. Ruangan kamar terasa gerah dan menakutkan. Terpaksa kunyalakan flash semalaman agar tak terlalu gelap. Kelelahan, akhirnya rasa kantuk datang juga. 


"Aaaaaaaaaa .....!" 


Entah berapa lama tertidur, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara teriakan. Siapa yang berteriak? Yang pasti bukan tiga orang aneh di sebelahku, karena suara yang kudengar adalah suara seorang perempuan. 


Aku terbangun gelagapan. Merasa terganggu. Lebih syok lagi karena lampu kamarku kini sudah menyala. Kuambil ponsel yang sudah sekarat lalu mengisinya. 


Tok! Tok! Tok! 


"Tolong! Buka pintu! Tolong!" 


Terdengar suara perempuan memukul-mukul pintu kamarku dari luar. Membuatku berjengit ketakutan.

Siapa perempuan itu? 







Diubah oleh YenieSue0101 30-05-2023 05:44
namakuve
pilotproject715
arieaduh
arieaduh dan 30 lainnya memberi reputasi
31
8.7K
117
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Tampilkan semua post
YenieSue0101Avatar border
TS
YenieSue0101
#59
BAGIAN 11

Sudah satu minggu sejak peristiwa nyaris matiku, aku belum menemui Seto. Dia tak masuk kerja sejak saat itu. Tak ada yang bisa menjelaskan karena bocah itu tak ada kabar sama sekali. Ada yang bilang dia kabur karena dikejar pinjol, ada pula yang bilang dia sakit keras. 


Yang kedua ini aku sedikit sanksi. Mengingat bahwa terakhir kali kami bertemu dia tampak bugar. Bahkan mungkin juga bahagia karena mendapat 'keuntungan istimewa' dari Sang Tuan setelah menjadikanku tumbal. Meskipun sampai sekarang pun aku tak paham keuntungan apa yang mereka maksudkan. 


Dan aku tak peduli. Sungguh. Aku hanya ingin bertemu dengannya dan meminta penjelasan. Kenapa dari sekian banyak temannya, aku yang dijadikannya tumbal? Itu merupakan rencananya sejak awal atau memang kepepet karena takut kepergok menyelundupkan orang luar? 


Beragam pertanyaan itu hampir saja meluap ketika seseorang datang menepuk pundakku. Aku sedang asyik menikmati makan siang di kantin toserba saat Dainty datang. Gadis itu mengambil tempat duduk di seberang meja. 


"Aku sudah tahu di mana Seto," ucapnya antusias. Kedua matanya bulat berbinar kala berbicara. 


"Di mana?" tanyaku. Aku memang sibuk menanyainya beberapa hari terakhir ini. Dainty bisa dibilang merupakan gebetan Seto. Entah siapa yang menggebet dan siapa yang digebet, aku tak begitu peduli. Intinya, mereka dekat. Jadi, sudah tepat jika aku menanyakan keberadaan Seto padanya. 


"Di kost an barunya." 


"Hah? Jadi dia pindah kost? Kost-nya yang lama saja aku nggak tahu. Ini sudah main pindah-pindah lagi." 


"Huum. Dia akhirnya meneleponku kemaren." 


"Apa katanya?" 


"Hmm, kasih tahu nggak ya?" Gadis itu sedikit ragu. 


"Kasih tahu lah. Ini penting banget. Darurat. Perkara hidup dan mati!" 


Dainty melongo. Membuatku harus meminta maaf karena sudah mengagetkannya dengan perkataanku yang tak masuk akal. Dainty ini termasuk gadis kalem, naif dan bahkan mungkin perasaannya juga halus. Jadi, mesti berhati-hati berbicara dengannya. 


"Jadi gini, dia bilang mau keluar dari kerjaan karena sudah dapat pekerjaan baru yang lebih menjanjikan. Tapi aku nggak tahu pekerjaannya apa." 


"Kamu nggak nanya?" 


Gadis itu menggeleng polos. Hmm, benar-benar merepotkan. 


"Oke, sekarang kamu kasih tahu aku di mana kost-an barunya." 


Dainty bergeming. Sepertinya dia ragu untuk mengatakannya. 


"Kamu ke sini  mau memberitahuku, kan?" desakku. Aku mengingatkannya akan tujuan awal dia menghampiriku tadi. 


"Eh, iya sih, Mas," ucapnya salah tingkah. 


"Ya sudah. Ayo kasih tahu!" 


"Hmm, tapi kamu harus janji dulu satu hal." 


"Apa?" tanyaku cepat. Aku benar-benar hilang kesabaran menghadapinya. 


"Kamu jangan menghajar Seto. Walaubagaimanapun sebuah kesalahpahaman bisa diselesaikan dengan ngobrol. Bukan dengan kekerasan." 


"Memangnya kamu tahu apa masalahku sama dia?" 


Gadis itu menggeleng. 


"Lalu kenapa kamu menganggap ini sebuah kesalahpahaman? Kamu masih mau membela Seto?" 


"Aku yakin dia orang baik." 


"Hahahaha!" Aku ngakak brutal mendengar perkataan naif gadis itu. Sampai dia memandangiku dengan sedikit heran. 


"Oke, permasalahanku dan Seto kamu nggak perlu tahu. Sekarang bilang di mana alamat dia yang baru." 


"Janji dulu." 


"Iya, iya, janji!" 


Ukh, cerewetnya gadis satu ini. 


***** 


Setelah mendapat alamat lengkap kost an Seto dari Dainty, sepulang kerja aku bergegas mengunjunginya. Kost nya yang baru berlawanan arah dengan tempat tinggalnya dulu. Bangunan berlantai dua itu tampak megah dengan taman di depan dan sampingnya. Ini kost apa rumah pribadi, sih? 


"Permisi," sapaku pada satpam di post penjaga. "Benar ini rumah kost Pak Daryan Syamsudin?" 


Si bapak satpam menyipitkan mata memandangku. "Benar. Anda siapa? Ada perlu apa?" 


"Eh, saya teman kerja salah seorang yang tinggal di kost ini. Yang baru pindah beberapa waktu lalu." 


"Seto?" 


"Nah, benar." Rupanya Seto langsung populer di sini. Dasar buaya keparat! 


"Langsung naik saja ke lantai dua. Kamarnya nomor dua empat." 


"Baik, terima kasih, Pak." 


Aku langsung menuju tempat yang dimaksud. Bangunan ini benar-benar megah luar dalam. Bahkan tiap-tiap kamar memiliki nomor dan sebuah jendela dengan kusen mengkilap. Sungguh jauh dengan tempat tinggalku yang terbilang kumuh. Pekerjaan macam apa yang disandang Seto saat ini hingga mampu membayar sebuah kamar keren seperti ini? 


Kamar nomor dua empat memiliki pintu yang sedikit terbuka. Dari luar terdengar suara musik keras yang cukup cumakkan telinga. Sedang apa sih dia di dalam! 


Aku berhambur masuk dan mendapati bocah itu sedang bersantai di atas ranjang empuk sambil menikmati musik. Begitu melihatku, sepasang matanya membelalak, seperti tak menduga kedatanganku. 


Awalnya aku akan menepati janjiku pada Dainty untuk menyelesaikan permasalahan dengan mengobrol saja, tetapi melihat si Seto tampak santai dan tanpa rasa bersalah begini sungguh membuatku naik pitam. 


Bugg! 


Crott! 


Satu bogem mentah berhasil mendarat di pipi sebelah kirinya. Sepercik darah muncrat dari mulutnya. Untuk sesaat aku terpana dengan kekuatan tanganku sendiri. Aku memang pernah memukul orang, tetapi kurasa tak pernah memiliki efek sedahsyat ini. Apakah menjadi Godil pada akhirnya menjadikanku kuat? 


"Aarggh! Apa-apaan kamu, Daniel? Sakiiit, ughh!" 


Melihat Seto mengerang kesakitan sejenak membuatku merasa bersalah. Siapa sangka pukulanku akan sekuat ini? 


"Itu bayaran karena sudah menumbalkan temanmu," ucapku akhirnya. 


"Itu kan salahmu sendiri. Kenapa musti teriak-teriak di depan mereka. Kamu yang membahayakan temanmu," elaknya. 


"Tapi bukan berarti seenaknya mempermainkan nyawa orang!" 


"Halah, yang penting kan kamu masih hidup sekarang." 


"Gara-gara kamu, aku menjadi Godil!" teriakku sambil menahan amarah. 


"Apa salahnya menjadi Godil? Kamu akan merasakan banyak benefitnya nanti," kilahnya. Wajahnya berkerut-kerut saat bicara. Menahan sakit akibat pukulanku tadi. 


"Benefit katamu! Cuih!" 


Seto mengkeret melihatku murka. 


"Iya, iya deh, sorry. Enggak ada maksud untuk mempermainkan hidupmu. Tapi menurutku lebih baik menjadi Godil daripada mati konyol seperti si pengkhianat itu ...." 


Bughh! 


Bughh! 


Aku menghujamkan pukulan bertubi-tubi pada wajah playboy-nya. Mendengarnya terus berkelit mencari alasan sungguh membuatku muak. Entah apa yang terjadi padaku saat ini. Aku seperti tidak bisa menghentikan gerakan tanganku, meski tubuh itu menggelepar nyaris pingsan. 


Darah muncrat ke mana-mana. Di kasur, di dinding dan di lantai. Sepertinya aku tak bisa berhenti sebelum benar-benar membunuhnya. 


Seto telentang tak berdaya di lantai dengan aku duduk di atasnya. Belasan pukulan mendarat hingga meremukkan tulang pipinya, kurasa. Aku puas. Benar-benar puas. Iblis di dalam tubuhku mulai menunjukkan tajinya. 


Sebelum tubuh itu benar-benar kehilangan nyawanya, aku berhenti. Ah, tidak. Lebih tepatnya seseorang menghentikanku. Kulihat Botak Dua menyeretku keluar dengan satu tangan, sementara tangan lainnya membawa sebuah tas anyaman berisi sayur-mayur. 


"Berhenti atau kau akan membuatnya mati!" hardiknya.



*****



"Kenapa kau bawa-bawa itu?" tanyaku heran. Mataku fokus pada tas belanjaan yang dia bawa. 


Saat ini kami tengah berjalan menuju pulang. Setelah drama tarik menarik antara aku dan dia di dalam kamar Seto. Jujur saja, akan lebih baik jika aku membunuh teman laknat itu. 


"Makanan untuk para pasien,"jawabnya singkat. 


Aku tertawa. Namun, sedetik kemudian tawaku lenyap karena Botak Dua menatapku garang. 


"Oh, ya! Mengenai persetujuanku untuk bergabung di Pasukan Anti Godil ...." 


"Katakan saja itu nanti," potongnya cepat. "Kita akan menuju markas besar." 


Aku tercengang mendengar penuturannya, tetapi tetap mengikutinya di belakang. Jalannya cepat sekali! 


Markas besar? Sebuah pertanyaan kini menyembul di otakku.



itkgid
arieaduh
bolapantai
bolapantai dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.