gitartua24Avatar border
TS
gitartua24
TREYA & TAHUN KEHIDUPANNYA
"....and after  all, we just have to move on."







"Terkadang, gue ingin menyesali pilihah hidup yang sudah gue ambil. Kemudian, gue menyadari apa yang gue miliki sekarang. Apakah ada jaminan kalau gue akan lebih bahagia."

Ketika sampai di rumah sekitar pukul satu malam, gue langsung beranjak menuju kamar setelah melepas sepatu dan meninggalkannya di pintu depan rumah. Di dalam kamar, kasur dengan sprei berwarna coklat tersusun rapih beserta selimut dengan warna senada yang masih terlipat. Pasti nyokap yang beresin, pikir gue.

Gue melepaskan celana jeans, jaket, kaus kaki beserta masker, lalu menggantungkannya di atas pintu kamar. Laptop yang dalam posisi terbuka langusung gue nyalakan dan sambil menunggunya menyala gue merebahkan diri di atas kasur.

Akhir-akhir ini, pekerjaan yang gue lakukan memaksa gue untuk pulang menjelang pagi. Bukan pekerjaan kantoran atau agensi tentunya. Bisa dibilang, gue hanya seorang 'kuncen' dari sebuah tempat hiburan.

Akibat pandemi, gue bekerja di tempat tersebut disaat-saat nggak banyak acara yang diselenggarakan. Di sisi lain, acara rutin yang selalu dilakukan di tempat kerja gue selalu dilaksanakan pada malam minggu.

Entah sudah berapa bulan gue lewati tanpa merayakan malam minggu bersama teman-teman kampus gue. Padahal, biasanya hampir setiap malam minggu gue lewati bersama mereka. Tetapi gue meyakinkan diri kalau ini adalah proses yang harus gue lalui untuk mendapatkan apa yang gue inginkan.

Gue menyalakan handphone dan memeriksa whatsapp, nggak ada pesan masuk di sana. Kemudian gue beralih membuka instagram, nggak ada satu pun DM yang gue dapat. Isi instagram gue hanya teman-teman dan kenalan gue memamerkan kegiatan malam minggu mereka, begitu juga teman dan kenalan gue yang sebelumnya berada di tempat yang sama seperti gue. Sama sekali nggak ada perasaan terkejut, ini sudah menjadi keseharian. Malahan gue akan bingung kalau banyak pesan yang masuk di handphone gue.

Saat laptop yang gue nyalakan sudah berjalan sempurna, gue beranjak dari kasur kemudian mengklik sebuah file yang berisikan cerita lanjutan dari cerita yang sudah gue selesaikan sebelumnya. Di saat itu juga, pikiran dan khayalan gue berenang-renang melewati momori masa lalu dan menuliskannya di secarik kertas digital.



Prolog

Tahun Pertama

Part 1 - Encounter
Part 2 - A 'Lil Chat
Part 3 - Introduction
Part 4 - Her Name Is...
Part 5 - Norwegian Wood
Part 6 - Invitation
Part 7 - Not Ready For Collage
Part 8 - Saperate
Part 9 - Request
Part 10 - It's Just The First day Of Collage
Part 11 - Troublemaker
Part 12 - In The Rains
Part 13 - Old Time Sake
Part 14 - Long Night
Part 15 - All Night Long
Part 16 - Hangover Girl
Part 17 - Morning Talk
Part 18 - A Book That Change
Part 19 - Where Are We Going
Part 20 - A Story About Past
Part 21 - Don't Cross The Line
Part 22 - Some Kind A Favor
Part 23 - Mission Almost Impossible
Part 24 - The Game We Play
Part 25 - Game Of Heart
Diubah oleh gitartua24 03-04-2024 00:12
anavlasyllor
rinandya
ismetbakri49508
ismetbakri49508 dan 40 lainnya memberi reputasi
39
24.2K
159
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.2KAnggota
Tampilkan semua post
gitartua24Avatar border
TS
gitartua24
#104
Part 23 - Misson Almost Impossible

“Lo lagi dimana? Sini ke bambu.”

Kira-kira begitu isi pesan singkat yang dikirimkan Kirana. Gue baru aja selesai dari kelas bahasa inggris dimana gue terpisah dengan beberapa teman gue yang lain. Sama seperti kelas yang gue jalani dengan Kirana. Entah karena alasan tertentu, gue jadi nggak bareng dengan teman-teman jurusan.

Gue membalas singkat pesan dari Kirana dengan menyebutkan posisi gue sekarang, dan mengatakan akan menuju tempatnya, mungkin.

Saat ini di dalam diri gue sedang terjadi dilema besar apakah gue harus mengikuti keinginan Kirana atau mengababaikannya. Mustahil untuk menolak keduanya, begitu juga dengan menerimanya.

Beberapa hari yang lalu, Kirana meminta gue berpura-pura untuk menjadi pacarnya. Dengan mudah gue mengiyakan permintaan tersebut tanpa tahu konsekuensi buat diri gue maupun orang lain.

Alasan Kirana membutuhkan bantuan gue karena ia merasa lelah dengan beberapa gangguin yang ia terima dari laki-laki yang saat ini mencoba mendekati dirinya. Gue kira cuman Alda, anak kelasan gue yang juga satu kelompok untuk mengajar paud yang saat ini cukup mengganggu bagi Kirana. Ternyata menurut Kirana ada beberapa anak kelasnya yang cukup mengganggu. Bahkan ada satu anak yang cukup getol untuk PDKT dengan Kirana.

Saat gue bilang untuk menolak orang tersebut dengan sopan, Kirana malah menjelaskan kalau ia sudah menolaknya dengan cara apapun, tetapi keinginannya untuk mendekati Kirana seperti nggak berubah.

Gue terdiam selama beberapa saat, nggak memberikan reaksi yang seharusnya gue berikan. Gue bahkan nggak tahu harus bereaksi seperti apa.

“Mulai dari kapan?” Gue akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, meskipun gue nggak tahu apakah gue bisa memberikan kepastian atau sebaliknya.

“Nanti pas di kampus, pas gue kabarin lo nyemperin gue.”

“Nanya siapa sih cowok yang ngedeketin lo sampe segitunya?”

“Kenapa emangnya? Lo cemburu yaa?” Tanya Kirana dengan senyum jail.

“Jangan geer lo, gue cuman jaga-jaga aja. Paling enggak gue tahu nama orang yang sebentar lagi anggep gue jadi musuhnya.”

Seolah tergelitik dengan jawaban gue, Kirana tertawa, lalu menjawab,“Namanya Andre”

Dan disini lah gue sekarang. Berada di dalam kebingungan dan keraguan. Persetan, kata gue dalam hati. Kita ikutan aja gimana kedepannya. Dengan cepat gue memasukkan telepon genggam gue kembali ke dalam kantong celana dan berjalan menuju tempat Kirana saat ini berada. Terikma matahari siang sama sekali nggak melambatkan langkah gue menuju sesuatu yang nggak akan gue duga nantinya.

Di dalam tempat makan yang sering anak kampus gue sebut dengan Bambu, gue melewati meja-meja yang sudah terisi penuh dengan mahasiswa entah dari jurusan apa. Sedang menikmati waktu mereka sambil ngobrol dengan tema mereka ditemani dengan sebatang rokok yang menyala di mulutnya.

Setiap kali gue berjalan melewati meja-meja untuk menghampiri seseorang (atau setiap senis kerumunan), gue selalu merasa setiap pasang mata melihat ke arah gue. Menatap dengan tatapan penuh penilaian dan merendahkan. Seolah-olah gue nggak pantas perada di sekitar sini. Tentu aja itu hanya perasaan gue. Yang sebenarnya terjadi nggak ada satu pun yang peduli dengan kehadiran gue sekarang. Seperti angin lalu yang berhembus.

Gue melihat kehadiran Kirana di sebrang. Ada sekitar lima orang termasuk dirinya. Salah satunya sedang berdiri di samping meja mereka berkumpul. Segera gue mgnhampiri dan memanggil Kirana ketika jarak antara gue dengan meja mereka cukup dekat. Kirana yang mendengar namanya dipanggil langsung berdiri dan menoleh ke arah suara tersebut.

Melihat gue sebagai sumber suara yang memanggil namanya, Kirana langsung tampak terlihat bersemangat dan ceria. Gue nggak terlalu bisa melihat dengan jelas bagaimana ekspresi wajahnya sesaat sebelumnya, namun melihatnya kali ini gue merasa kalau gestur dan tingkah lakunya sedikit banyak jauh berbeda meskipun sejauh ini kami sering berdua.

Sebelum ada permintaan tolong yang bisa dibilang gila untuk gue, gestur yang diberikan Kirana nggak pernah secerah ini. Meskipun Kirasa selalu berusa tersenyum saat bersama, gue bisa merasakan suasana kemurungan dari balik dirinya. Seperti ada sesuatu yang Kirana sembunyikan dalam-dalam pada dirinya.

Namun sekarang gue bisa melihat sisi Kirana ketika ia menjadi pribadi yang ceria dan tampa beban. Senyum yang ia berikan adalah senyuman terindah dari perempuan lain selain nyokap gue sendiri yang gue terima. Dari pancaran tubuhnya terasa sesuatu yang sangat menggembirakan untuk dirinya ketika betemu dengan gue. Kalau gue nggak cepat-cepat menjajak bumi dan mengingat kalau semua ini hanya sebuah permintaan dan permaian, kemungkinan besar gue pasti akan jatuh hati mendapat perlakuan seperti itu.

Kirana lekas menghampiri gue, membuka pergelangan tangannya lebar-lebar untuk menyambut pelukan. Dengan refleks kilat gue juga melakukan hal yang dilakukan oleh Kirana. “Hallo sayang! kemana aja sih? Aku tungguin dari tadi lama banget.”

Begitu ucapnya tepat sesaat kami berpelukan, kemudian Kirana menempelkan kedua pipinya di kedua pipi gue. Apa ini nggak terlalu berlebihan, pikir gue dalam hati. Gue yang belum memilik pengalaman menjalin hubungan serius dengan perempun pun berusaha sebaik mungkin agar permainan ini terlihat natural. Meskipun gue nggak yakin kalau usaha yang gue lakukan sudah terlihat maksimal.

“Iya, maaf. Tadi ada urusan tugas dulu.” Ucap gue berbohong.

“Aku kenalin ke temen-temen aku yuk!” Kirana menggenggam tangan gue, membawanya kepada teman-temannya, lalu memperkenalkan gue dengan teman-temannya satu persatu sebagai pacarnya.

Perkenalan berjalan dengan lancar, setidaknya untuk tiga orang pertama. Selayaknya perkenalan pada umumnya, gue dan teman-teman Kirana menyebutkan nama kami masing-masing, lalu berjabat tangan, kemudian basi-basi dengan kegiatan yang kami lakukan sebelumnya. Teman-teman Kirana mejelaskan kalau saat ini mereka hanya sekedar membunuh waktu untuk menunggu kelas yang harus terjeda satu mata kuliah kosong.

Sampai akhirnya gue berhadapan dengan pria yang menatap gue dengan sinis. Secara gestur, pria ini dengan terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya terhadap gue. Kalau gue boleh tebak, sosok yang bernama Andre yang sempat diceritakan Kirana adalah pria ini.

Andre mengenakan sepatu Air Jordan terbaru dengan siluet merah putih, celana jeans belel penuh tambalan yang nggak alami. Kayaknya memang dijual dengan model seperti itu, bukan denim yang rusak secara alami. Andre juga mengenakan kaos putih polos dan dibalut jaket varsity tebal dengan patch disegala penjuru sisi jaket. Kebanyakan menunjukkan motif nama sebuah kota di Amerika. Andre juga mengenakan kalung emas di lehernya yang entah asli atau palsu.

Emangnya nggak panas yaa pake jaket kaya gitu siang-siang, pikir gue sesaat. Saat itu gaya hype beast lagi ngetrend di kalangan anak-anak seusia gue. Brand-brand kayak Bape, Supreme, atau barang-barang yang sejatinya untuk kultur skateboard, basket, dan streetwera lagi digandrungi. Kalau gue memiliki uang yang berlimpah, sepertinya gue juga akan ikut-ikutan.

Dari segi fisik, Andre bisa dikatakan orang yang jelek. Malah masuk ke dalam kategori pria tampan. Meskipun nggak terlalu putih, tetapi kulitnya terawat. Rambutnya juga ditata sedemikian rupa hingga bisa bertahan dengan model yang sama hingga berjam-jam. Kalau dari segi fisik dan kantong, mungkin gue berada di belakang. Tetapi hal tersebut nggak ngebuat gue menjadi minder. Hal-hal seperti intimidasi dan lainnya udah sering gue rasakan di SMA dulu. Bahkan gue merasa apa yang anak-anak angkatan gue lakukan sekarang di perkuliahan, gue sudah lebih dulu merasakannya.

Gue berusaha menjabat tangan Andre mencoba menyalaminya. Namun bukannya langsung mendapat sambutan, gue malah merasa kalau Andre sedang melakukan screening terhadap gue. Baru ia meraih tangan gue dengan tatapan merendahkan. Namun gue nggak mempedulikannya dan menganggap perlakuan Andre sebagai angin lalu.

Namun nggak dengan Kirana. Sepertinya Kirana juga bisa merasakan ketidaksukaan Andre terhadap kehadiran gue. Gue pun bisa memaklumi hal tersebut. Siapa yang nggak marah kalau ternyata cewek yang dekat dengan kita dan kita taksir lebih dulu tiba-tiba sudah punya pacar, dalam kasus ini pacar bohongan. Terlebih lagi kalau Kita merasa kalau pacar cewek yang kita taksir ternyata berada di bawah diri kita.

Buru-buru Kirana mengajak gue duduk di sebelahnya dan seketika obrolan cair pun dimulai. Kebanyakan obrolan saat itu berkutat kepada gue dan Kirana. Bagaimana kami bisa bertemu, siapa yang pertama kali suka dengan siapa, dan hal-hal lainnya yang ditanyakan seorang teman ketika memiliki kekasih.

Sementara gue hanya bisa terdian di hampir sepanjang obrolan, Kirana bisa menjawab seluruh pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh teman-temannya. Seolah Kirana sudah merangkai sebuah cerita bagaimana hubungan kami bisa terjalin, dan Kirana merangkai cerita tersebut hampir tanpa cacat.

Selain gue yang kebanyakan hanya mendengar cerita bualan dari Kirana, Andre yang duduk di ujung meja juga hanya bisa terdiam mendengarkan cerita karangan Kirana, sambil sesekali masih memandang sinis ke arah gue.

Saat menjelang pukul tiga, sebelum Kirana dan teman-temannya kembali ke kelas, mereka merencanakan untuk pergi ke sebuah club malam. Tentu saja gue menjadi bagian dari mereka. Salah satu teman Kirana menanyakan apakah gue akan ikut untuk acara mereka malam ini. Dengan lugas gue menjawab kalau gue juga akan ikut, sambil berusaha meyakinkan teman-teman Kirana kalau gue benar-benar pacar Kirana. Lagi pula menemani Kirana kemana pun sudah menjadi kontran tidak tertulis saat gue menjadi pacar bohongan Kirana.

“Nanti lo bareng gue aja, Ran.” Sekonyong-konyong Andre menawarkan diri untuk mengantar Kirana. Entah mengapa ego gue sebagai laki-laki sedikir tersegol. Bukan karena gue cemburu. Kalau pun gue cemburu gue nggak punya hak apa pun terhadap perasaan gue. Melainkan karena keberadaan gue yang nggak dianggap.

“Lo ngapain sih Dre, orang Kirana ada cowoknya.” Sahut teman wanita Kirana dengan nada nggak terima.

“Cowoknya Kirana kan jauh rumahnya, lagian kan jadi muter-muter kalau dia jemput dulu.” Dengan ramah dan jelas Andre memberikan alasan. Atau mungkin bisa disebut alibi.

“Gapapa, nanti gue aja yang jemput cewek gue.” Jawab gue yang membuat Andre kembali terdiam.

Saat Kirana dan rombongannya memutuskan untuk kembali ke kelas, sekali lagi Kirana memberikan kecupan di pipi gue. Kecupan yang terasa sangat tulus kalau gue nggak berpikir cepat kalau situasi ini hanyalah sebuah setingan.

“Dadah sayang!” Begitu ucapnya sebelum ia menghilang dari pandangan gue, meninggalkan gue seorang diri.
aftzack
JabLai cOY
unhappynes
unhappynes dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.