- Beranda
- Stories from the Heart
[SFTH) Aku dan Orang-orang dari Neraka
...
TS
YenieSue0101
[SFTH) Aku dan Orang-orang dari Neraka
Sebagai seorang cowok, apa sih yang kalian pikirkan ketika harus tinggal di rumah kost berhantu? Pindah atau memutuskan bertahan?
Mungkin sebagian cowok penakut di luar sana akan memutuskan untuk mencari rumah kost-an baru. Itu tidak berlaku bagiku. Bukan karena aku pemberani atau sok pemberani. Namun, karena tak ada pilihan lain. Dompet tipis, dan aku baru diterima kerja. Terlebih ini pertama kalinya aku merantau di kota ini.
Sempurna sudah.
Tak ada alasan untuk pindah. Aku bertahan, walau bukan hanya hantu yang harus kuhadapi, tapi juga sekumpulan manusia-manusia aneh yang mengklaim diri mereka sebagai penguasa kegelapan. Penganut aliran sesat. Pemuja iblis!
*****
Malam itu sekitar jam sembilan malam, aku tiba di Surabaya. Sengaja aku berangkat sore dari Kediri karena enggan terjebak panas-panasan di dalam bus ekonomi. Dengan aplikasi ojek online dari terminal Bungurasih, aku menuju ke Pasar Turi. Untuk selanjutnya ke Kertopaten, tempat tujuanku.
Rumah kost-an yang dimaksud tampak berdiri kokoh di antara bangunan-bangunan lainnya. Meski begitu, area itu terlihat sedikit suram, entah karena lampu teras yang mati atau karena pepohonan yang terlalu rimbun di depannya. Hawa negatif langsung muncul, seperti kata Mbak Eka, rumah kost-an ini memang sedikit berhantu. Ya, sedikit. Sungguh sebuah perkataan yang lebih seperti bujukan alih-alih penghiburan.
Apapun itu, pokoknya hadapi saja!
Tok! Tok! Tok!
"Assalamualaikum."
Aku mengetuk selot pintu gerbang dengan keras. Berharap tak membuat bising apalagi mengganggu istirahat si empunya kost. Tak dikunci, sih. Tapi, masa iya main terobos?
Cklek!
Terdengar suara seseorang menaril gerendel dan detik berikutnya pintu rumah itu terbuka. Di dalam rumah sedikit terang, walau tetap tak sepadan dengan luasnya rumah. Namun, aku masih bisa melihat bahwa sosok yang menghampiriku adalah seorang ibu-ibu berambut gimbal dan mengenakan pakaian tidur.
"Siapa?" Alih-alih menjawab salamku, wanita itu malah balik bertanya.
"Saya Daniel, Bu. Dari Kediri."
"Daniel?"
"Nggeh. Yang kemaren sudah memesan salah satu kamar di rumah kost ini, atas nama Mbak Eka."
Kost ini memang Mbak Eka yang mencarikan. Kakak perempuanku itu sudah lumayan lama tinggal di Surabaya, apalagi sejak berpisah dengan suaminya. Mbak Eka pula yang mendapatkan pekerjaan untukku. Walau tak tahu pekerjaan seperti apa, asal menghasilkan uang pokoknya sikat saja. Daripada tinggal di rumah malah jadi aib keluarga. Bujang nganggur? Mau jadi apa!
"Owh, Nak Daniel, toh?" Wanita itu seperti mengingat sesuatu.
"Leres, Bu." (Benar, Bu).
"Mari-mari masuk, Nak. Tunggu di sini sebentar. Ibu ambil kunci kamarnya dulu."
Beberapa saat kemudian Ibu itu keluar sambil membawa serentengan kunci.
"Aduh, Ibu agak lupa sama kunci kamarmu," keluhnya sambil memilah-milah kunci. "Maklum, sudah tua."
"Boleh saya pinjam semuanya, Bu." Aku berinisiatif. "Nanti kalo sudah ketemu dengan yang cocok, sisanya saya kembalikan."
"Ya sudah kalo gitu, Nak Daniel bawa saja semua. Besok saja mengembalikannya, Ibu soalnya mau istirahat ini. Lagi nggak enak badan. Oh, ya jangan lupa besok sekalian bawa fotokopi ktp ya, Nak Daniel."
"Nggeh, Bu. Kalo gitu saya permisi."
"Eh, tunggu!"
"Ya?"
"Memangnya Nak Daniel sudah tahu di mana letak kamarnya?"
"Eh, belum Bu, hehe."
Aku cengengesan menyadari kesalahan sendiri.
"Ya sudah yuk Ibu antarkan. Kamar Nak Daniel ada di lantai dua."
Wanita berkata sambil mengisyaratkanku untuk mengikutinya. Beliau membawa sebuah senter kecil yang aku tak tahu buat apa. Setelah mendekati anak tangga menuju lantai dua, baru aku mengerti apa gunanya senter tadi.
Tangga menuju lantai dua gelap gulita. Entah memang sengaja tak memakai penerangan atau lampunya pada mati. Ibu Kost menyalakan senter lalu berjalan mendahului.
"Lampunya mati ya, Bu?" Aku bertanya basa-basi, demi mengurangi rasa bergidik yang disebabkan oleh suasana gelap dan sunyi.
Namun, usahaku untuk memerangi rasa takut sia-sia karena ibu itu tak menjawab. Dia terus menaiki tangga dengan sedikit tergesa. Suara sandal tepleknya keplak-keplak menggema memenuhi lorong tangga.
Selanjutnya aku hanya bisa menguatkan diri dan hati. Kembali mengingat perkataan Mbak Eka bahwa rumah kostan ini memang berhantu. Walau klaimnya 'sedikit', tetap saja namanya hantu pasti bisa menciptakan rasa takut dalam pikiran manusia.
Aku cowok. Tidak boleh lemah terhadap hantu atau apapun itu!
"Nah, sudah sampai." Ibu Kost akhirnya membuka suara ketika telah menapaki sisa tangga terakhir.
Aku memandang berkeliling. Kamar atas terdiri dari dua baris saling berhadapan. Masing-masing baris terdiri dari empat kamar. Jadi total ada delapan kamar. Di sisi kiri dariku, lampu menyala di depan pintu tiga kamar. Sementara pintu paling ujung terlihat gelap. Begitu melihat sisi kanan yang berhadapan dengan sisi kiri, aku syok berat. Keempat pintunya gelap. Tak ada satu pun penerangan di depan kamar-kamar itu. Semoga kamarku bukan di antara empat kamar itu.
"Bu, kok lampu di sini juga mati?" Aku kembali bertanya karena tak tahan lagi.
"Ibu tidak tahu. Ibu jarang naik ke lantai dua," katanya, setengah berbisik. "Sudah ya, Ibu turun dulu. Tanya-tanyanya dilanjut besok pagi saja kalau sudah terang. Oh ya, kamar Nak Daniel ada di deretan kanan. Yang paling ujung ya."
"Hah?" Aku berseru, tak memercayai apa yang baru saja kudengar.
"Ibu permisi dulu."
"Eh, tapi Bu ...."
Aku tak sempat melanjutkan perkataanku karena wanita itu sudah terlebih dulu melesat menuruni tangga. Terdengar suara berisik dan langkah terburu yang ditimbulkan kakinya.
Aku masih melongo di tempat. Bingung harus berbuat apa. Tempat ini begitu sepi. Benar-benar menawarkan kengerian tersendiri di benak para penghuninya. Betah sekali mereka hidup gelap-gelapan seperti ini!
Aku merogoh ponsel dan menyalakan lampu flash kemudian berjalan menuju deretan kamar di sisi kanan. Sampai pada pintu pertama, aku menemukan saklar di dekat pintu. Kuarahkan lampu flash ke plafon. Ada sebuah lampu terpasang di sana.
Dengan sedikit takut, kutekan saklar lampu.
Ctek!
Lampu menyala. Kelegaan memenuhi hatiku. Aku mulai berpikir mungkin kamar ini tidak ada penghuninya, jadi tidak ada yang menyalakan lampu. Atau mungkin penghuninya belum pulang dari bekerja sejak pagi, jadi otomatis lampu tak menyala.
Aku melakukan hal yang sama pada pintu kedua dan ketiga. Terakhir, pintu keempat. Calon kamarku. Keempat lampu menyala. Sekali lagi aku mengembuskan napas lega.
Detik berikutnya aku segera sibuk memasukan kunci satu persatu untuk menemukan mana yang cocok. Setelah lebih dari separuh kunci kucoba, akhirnya ada yang cocok. Saat hendak masuk, aku mendengar suara gerendel pintu yang ditarik. Detik berikutnya, tiga pintu kamar di sebelahku berderit. Suara deritnya memecah keheningan malam hingga membuat bulu kuduk berdiri. Ketiganya membuka secara bersamaan.
Aku menelan ludah demi melihat tiga sosok yang keluar dari masing-masing pintu. Dari bawah sinar lampu aku tampak kepala-kepala mereka yang plontos, mata yang lebih gelap, kulit pucat dan bibir gelap. Kemudian tubuh yang kurus dibalut pakaian serba hitam. Dan walaupun mata mereka tampak gelap, aku bisa melihat bahwa ketiganya sedang menatapku. Dengan raut wajah yang penuh amarah.
Apakah mereka manusia?
Ctek!
Kemudian sosok-sosok itu menghilang ditelan gelap. Setelah mematikan lampu di depan kamar masing-masing, kemudian ketiganya membanting pintu dengan suara keras. Meninggalkanku yang masih berdiri kaku di sini sambil memegangi serenteng kunci dengan perasaan syok luar biasa.
Butuh beberapa menit untuk menetralisir degub di jantungku. Setelah kemudian tersadar akan bahayanya berdiri di luar kamar di tengah malam begini. Aku pun bergegas masuk dan mengunci pintu dari dalam. Seketika aku langsung tersedak.
Aroma apa ini? Apa ada bangkai tikus yang mati di kamar ini? Aku refleks menutup hidung dan mulut menggunakan masker, kemudian berusaha menyingkirkan debu-debu dan sarang laba-laba yang bergelantungan di mana-mana?
Ini kamar kost atau gudang, sih? Pemiliknya pasti jarang mengunjungi kamar ini. Dan mungkin kamar ini sudah lama tak ada penghuninya. Memangnya siapa yang mau tidur berdampingan dengan orang-orang aneh nan horor itu?
Pantas saja kamar ini harganya murah. Separo harga dari kamar yang ada di lantai bawah. Kalau nanti sudah gajian lebih baik aku pindah ke kamar bawah saja lah. Barangkali di bawah ada yang kosong. Sementara, biarlah aku bertahan di sini.
Aku membersihkan debu yang menempel di perabot dalam kamar itu. Walaupun kamar ini tak terlalu luas, tapi lumayan lengkap dengan adanya sepasang meja kursi dan kompor di ujung ruangan. Di sisi kiri, terdapat satu dipan kecil dengan kasur keras menempel di dinding. Bantalnya sudah bau tengik dengan sprei yang mungkin sudah setahun tak dicuci.
Aku benar-benar menyerah dengan kamar ini. Kubuka pintu kamar mandi di sebelah wastafel, berharap ada pengharapan di sana. Closet jongkoknya cukup bersih. Dilengkapi dengan gayung dan ember berukuran sedang. Kuulir kran air dan menyala dengan air yang bersih. Aman.
Setelah bersih-bersih dan membongkar tas -- ah rasanya tak perlu dibongkar karena kamar ini tak ada lemari -- kuputuskan untuk mandi. Setelah sebelumnya menyemprot seluruh sudut ruangan dengan parfum demi menetralisir bau.
Di sela-sela suara kran yang bergemericik, tiba-tiba aku mendengar suara orang bersiul. Aku mematikan kran demi memastikan pendengaranku sendiri. Itu benar-benar suara siulan.
Siapa gerangan orang yang bersiul malam-malam begini?
Semakin lama suara siulan itu semakin dekat, seolah memang sedang mendekati kamarku. Aku menoleh berkeliling, memastikan tak ada lubang di dinding kamar mandi. Kemudian cepat-cepat menyelesaikan mandi.
Keluar dari kamar mandi, aku dikejutkan dengan suara langkah yang mendekat. Hingga langkah itu terhenti tepat di depan kamarku. Suara siulan itu pun ikut berhenti. Kemudian ....
Ctek!
Ruangan kamarku menjadi gelap gulita. Begitupun di luar sana. Bagaimana bisa? Padahal yang ditekannya adalah saklar di luar, di dekat pintu? Apa kabelnya terhubung.
Aku gegas mencari ponselku kemudian menyalakan lampu flash. Kuarahkan lampu ke segala arah demi mencari saklar lampu. Tidak ada. Kamar ini tak mempunyai saklar lampu di dalam. Begitu pun dengan kamar mandi.
Kemudian aku teringat saat pertama kali masuk tadi, semua lampu memang sudah menyala begitu aku menyalakan lampu depan. Jadi? Kamar model apa yang hanya memiliki satu saklar lampu. Di luar pula!
Merasa gusar dengan keadaan yang sama sekali tak baik ini aku bergegas menuju pintu dan membukanya secara sembarangan. Tak peduli apakah si penyiul itu hantu atau manusia, pokoknya aku harus melayangkan protes. Setidaknya, aku harus meluapkan amarah!
Namun, sial. Begitu membuka pintu, orang tersebut telah pergi. Aku bisa melihat bayangannya dalam gelap, menuju tangga di sebelah kamarku. Eh, ada tangga menuju lantai tiga! Apakah ada kamar lagi di atas sana?
Aku hendak mengikuti orang itu, tetapi urung. Sosok itu melangkah cepat menaiki tangga yang gelap. Membuat nyaliku menciut. Sempat terpikir untuk mengarahkan flash ke arah tangga, tetapi urung juga. Aku takut membayangkan sosok berwajah seram akan menghampiri lalu mencekik leherku.
Kebanyakan menonton film horor, ya beginilah akibatnya!
Malam yang cukup panjang dan pengap. Saklar tak bisa kembali kunyalakan entah apa sebabnya. Ruangan kamar terasa gerah dan menakutkan. Terpaksa kunyalakan flash semalaman agar tak terlalu gelap. Kelelahan, akhirnya rasa kantuk datang juga.
"Aaaaaaaaaa .....!"
Entah berapa lama tertidur, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara teriakan. Siapa yang berteriak? Yang pasti bukan tiga orang aneh di sebelahku, karena suara yang kudengar adalah suara seorang perempuan.
Aku terbangun gelagapan. Merasa terganggu. Lebih syok lagi karena lampu kamarku kini sudah menyala. Kuambil ponsel yang sudah sekarat lalu mengisinya.
Tok! Tok! Tok!
"Tolong! Buka pintu! Tolong!"
Terdengar suara perempuan memukul-mukul pintu kamarku dari luar. Membuatku berjengit ketakutan.
Siapa perempuan itu?
Mungkin sebagian cowok penakut di luar sana akan memutuskan untuk mencari rumah kost-an baru. Itu tidak berlaku bagiku. Bukan karena aku pemberani atau sok pemberani. Namun, karena tak ada pilihan lain. Dompet tipis, dan aku baru diterima kerja. Terlebih ini pertama kalinya aku merantau di kota ini.
Sempurna sudah.
Tak ada alasan untuk pindah. Aku bertahan, walau bukan hanya hantu yang harus kuhadapi, tapi juga sekumpulan manusia-manusia aneh yang mengklaim diri mereka sebagai penguasa kegelapan. Penganut aliran sesat. Pemuja iblis!
*****
Malam itu sekitar jam sembilan malam, aku tiba di Surabaya. Sengaja aku berangkat sore dari Kediri karena enggan terjebak panas-panasan di dalam bus ekonomi. Dengan aplikasi ojek online dari terminal Bungurasih, aku menuju ke Pasar Turi. Untuk selanjutnya ke Kertopaten, tempat tujuanku.
Rumah kost-an yang dimaksud tampak berdiri kokoh di antara bangunan-bangunan lainnya. Meski begitu, area itu terlihat sedikit suram, entah karena lampu teras yang mati atau karena pepohonan yang terlalu rimbun di depannya. Hawa negatif langsung muncul, seperti kata Mbak Eka, rumah kost-an ini memang sedikit berhantu. Ya, sedikit. Sungguh sebuah perkataan yang lebih seperti bujukan alih-alih penghiburan.
Apapun itu, pokoknya hadapi saja!
Tok! Tok! Tok!
"Assalamualaikum."
Aku mengetuk selot pintu gerbang dengan keras. Berharap tak membuat bising apalagi mengganggu istirahat si empunya kost. Tak dikunci, sih. Tapi, masa iya main terobos?
Cklek!
Terdengar suara seseorang menaril gerendel dan detik berikutnya pintu rumah itu terbuka. Di dalam rumah sedikit terang, walau tetap tak sepadan dengan luasnya rumah. Namun, aku masih bisa melihat bahwa sosok yang menghampiriku adalah seorang ibu-ibu berambut gimbal dan mengenakan pakaian tidur.
"Siapa?" Alih-alih menjawab salamku, wanita itu malah balik bertanya.
"Saya Daniel, Bu. Dari Kediri."
"Daniel?"
"Nggeh. Yang kemaren sudah memesan salah satu kamar di rumah kost ini, atas nama Mbak Eka."
Kost ini memang Mbak Eka yang mencarikan. Kakak perempuanku itu sudah lumayan lama tinggal di Surabaya, apalagi sejak berpisah dengan suaminya. Mbak Eka pula yang mendapatkan pekerjaan untukku. Walau tak tahu pekerjaan seperti apa, asal menghasilkan uang pokoknya sikat saja. Daripada tinggal di rumah malah jadi aib keluarga. Bujang nganggur? Mau jadi apa!
"Owh, Nak Daniel, toh?" Wanita itu seperti mengingat sesuatu.
"Leres, Bu." (Benar, Bu).
"Mari-mari masuk, Nak. Tunggu di sini sebentar. Ibu ambil kunci kamarnya dulu."
Beberapa saat kemudian Ibu itu keluar sambil membawa serentengan kunci.
"Aduh, Ibu agak lupa sama kunci kamarmu," keluhnya sambil memilah-milah kunci. "Maklum, sudah tua."
"Boleh saya pinjam semuanya, Bu." Aku berinisiatif. "Nanti kalo sudah ketemu dengan yang cocok, sisanya saya kembalikan."
"Ya sudah kalo gitu, Nak Daniel bawa saja semua. Besok saja mengembalikannya, Ibu soalnya mau istirahat ini. Lagi nggak enak badan. Oh, ya jangan lupa besok sekalian bawa fotokopi ktp ya, Nak Daniel."
"Nggeh, Bu. Kalo gitu saya permisi."
"Eh, tunggu!"
"Ya?"
"Memangnya Nak Daniel sudah tahu di mana letak kamarnya?"
"Eh, belum Bu, hehe."
Aku cengengesan menyadari kesalahan sendiri.
"Ya sudah yuk Ibu antarkan. Kamar Nak Daniel ada di lantai dua."
Wanita berkata sambil mengisyaratkanku untuk mengikutinya. Beliau membawa sebuah senter kecil yang aku tak tahu buat apa. Setelah mendekati anak tangga menuju lantai dua, baru aku mengerti apa gunanya senter tadi.
Tangga menuju lantai dua gelap gulita. Entah memang sengaja tak memakai penerangan atau lampunya pada mati. Ibu Kost menyalakan senter lalu berjalan mendahului.
"Lampunya mati ya, Bu?" Aku bertanya basa-basi, demi mengurangi rasa bergidik yang disebabkan oleh suasana gelap dan sunyi.
Namun, usahaku untuk memerangi rasa takut sia-sia karena ibu itu tak menjawab. Dia terus menaiki tangga dengan sedikit tergesa. Suara sandal tepleknya keplak-keplak menggema memenuhi lorong tangga.
Selanjutnya aku hanya bisa menguatkan diri dan hati. Kembali mengingat perkataan Mbak Eka bahwa rumah kostan ini memang berhantu. Walau klaimnya 'sedikit', tetap saja namanya hantu pasti bisa menciptakan rasa takut dalam pikiran manusia.
Aku cowok. Tidak boleh lemah terhadap hantu atau apapun itu!
"Nah, sudah sampai." Ibu Kost akhirnya membuka suara ketika telah menapaki sisa tangga terakhir.
Aku memandang berkeliling. Kamar atas terdiri dari dua baris saling berhadapan. Masing-masing baris terdiri dari empat kamar. Jadi total ada delapan kamar. Di sisi kiri dariku, lampu menyala di depan pintu tiga kamar. Sementara pintu paling ujung terlihat gelap. Begitu melihat sisi kanan yang berhadapan dengan sisi kiri, aku syok berat. Keempat pintunya gelap. Tak ada satu pun penerangan di depan kamar-kamar itu. Semoga kamarku bukan di antara empat kamar itu.
"Bu, kok lampu di sini juga mati?" Aku kembali bertanya karena tak tahan lagi.
"Ibu tidak tahu. Ibu jarang naik ke lantai dua," katanya, setengah berbisik. "Sudah ya, Ibu turun dulu. Tanya-tanyanya dilanjut besok pagi saja kalau sudah terang. Oh ya, kamar Nak Daniel ada di deretan kanan. Yang paling ujung ya."
"Hah?" Aku berseru, tak memercayai apa yang baru saja kudengar.
"Ibu permisi dulu."
"Eh, tapi Bu ...."
Aku tak sempat melanjutkan perkataanku karena wanita itu sudah terlebih dulu melesat menuruni tangga. Terdengar suara berisik dan langkah terburu yang ditimbulkan kakinya.
Aku masih melongo di tempat. Bingung harus berbuat apa. Tempat ini begitu sepi. Benar-benar menawarkan kengerian tersendiri di benak para penghuninya. Betah sekali mereka hidup gelap-gelapan seperti ini!
Aku merogoh ponsel dan menyalakan lampu flash kemudian berjalan menuju deretan kamar di sisi kanan. Sampai pada pintu pertama, aku menemukan saklar di dekat pintu. Kuarahkan lampu flash ke plafon. Ada sebuah lampu terpasang di sana.
Dengan sedikit takut, kutekan saklar lampu.
Ctek!
Lampu menyala. Kelegaan memenuhi hatiku. Aku mulai berpikir mungkin kamar ini tidak ada penghuninya, jadi tidak ada yang menyalakan lampu. Atau mungkin penghuninya belum pulang dari bekerja sejak pagi, jadi otomatis lampu tak menyala.
Aku melakukan hal yang sama pada pintu kedua dan ketiga. Terakhir, pintu keempat. Calon kamarku. Keempat lampu menyala. Sekali lagi aku mengembuskan napas lega.
Detik berikutnya aku segera sibuk memasukan kunci satu persatu untuk menemukan mana yang cocok. Setelah lebih dari separuh kunci kucoba, akhirnya ada yang cocok. Saat hendak masuk, aku mendengar suara gerendel pintu yang ditarik. Detik berikutnya, tiga pintu kamar di sebelahku berderit. Suara deritnya memecah keheningan malam hingga membuat bulu kuduk berdiri. Ketiganya membuka secara bersamaan.
Aku menelan ludah demi melihat tiga sosok yang keluar dari masing-masing pintu. Dari bawah sinar lampu aku tampak kepala-kepala mereka yang plontos, mata yang lebih gelap, kulit pucat dan bibir gelap. Kemudian tubuh yang kurus dibalut pakaian serba hitam. Dan walaupun mata mereka tampak gelap, aku bisa melihat bahwa ketiganya sedang menatapku. Dengan raut wajah yang penuh amarah.
Apakah mereka manusia?
Ctek!
Kemudian sosok-sosok itu menghilang ditelan gelap. Setelah mematikan lampu di depan kamar masing-masing, kemudian ketiganya membanting pintu dengan suara keras. Meninggalkanku yang masih berdiri kaku di sini sambil memegangi serenteng kunci dengan perasaan syok luar biasa.
Butuh beberapa menit untuk menetralisir degub di jantungku. Setelah kemudian tersadar akan bahayanya berdiri di luar kamar di tengah malam begini. Aku pun bergegas masuk dan mengunci pintu dari dalam. Seketika aku langsung tersedak.
Aroma apa ini? Apa ada bangkai tikus yang mati di kamar ini? Aku refleks menutup hidung dan mulut menggunakan masker, kemudian berusaha menyingkirkan debu-debu dan sarang laba-laba yang bergelantungan di mana-mana?
Ini kamar kost atau gudang, sih? Pemiliknya pasti jarang mengunjungi kamar ini. Dan mungkin kamar ini sudah lama tak ada penghuninya. Memangnya siapa yang mau tidur berdampingan dengan orang-orang aneh nan horor itu?
Pantas saja kamar ini harganya murah. Separo harga dari kamar yang ada di lantai bawah. Kalau nanti sudah gajian lebih baik aku pindah ke kamar bawah saja lah. Barangkali di bawah ada yang kosong. Sementara, biarlah aku bertahan di sini.
Aku membersihkan debu yang menempel di perabot dalam kamar itu. Walaupun kamar ini tak terlalu luas, tapi lumayan lengkap dengan adanya sepasang meja kursi dan kompor di ujung ruangan. Di sisi kiri, terdapat satu dipan kecil dengan kasur keras menempel di dinding. Bantalnya sudah bau tengik dengan sprei yang mungkin sudah setahun tak dicuci.
Aku benar-benar menyerah dengan kamar ini. Kubuka pintu kamar mandi di sebelah wastafel, berharap ada pengharapan di sana. Closet jongkoknya cukup bersih. Dilengkapi dengan gayung dan ember berukuran sedang. Kuulir kran air dan menyala dengan air yang bersih. Aman.
Setelah bersih-bersih dan membongkar tas -- ah rasanya tak perlu dibongkar karena kamar ini tak ada lemari -- kuputuskan untuk mandi. Setelah sebelumnya menyemprot seluruh sudut ruangan dengan parfum demi menetralisir bau.
Di sela-sela suara kran yang bergemericik, tiba-tiba aku mendengar suara orang bersiul. Aku mematikan kran demi memastikan pendengaranku sendiri. Itu benar-benar suara siulan.
Siapa gerangan orang yang bersiul malam-malam begini?
Semakin lama suara siulan itu semakin dekat, seolah memang sedang mendekati kamarku. Aku menoleh berkeliling, memastikan tak ada lubang di dinding kamar mandi. Kemudian cepat-cepat menyelesaikan mandi.
Keluar dari kamar mandi, aku dikejutkan dengan suara langkah yang mendekat. Hingga langkah itu terhenti tepat di depan kamarku. Suara siulan itu pun ikut berhenti. Kemudian ....
Ctek!
Ruangan kamarku menjadi gelap gulita. Begitupun di luar sana. Bagaimana bisa? Padahal yang ditekannya adalah saklar di luar, di dekat pintu? Apa kabelnya terhubung.
Aku gegas mencari ponselku kemudian menyalakan lampu flash. Kuarahkan lampu ke segala arah demi mencari saklar lampu. Tidak ada. Kamar ini tak mempunyai saklar lampu di dalam. Begitu pun dengan kamar mandi.
Kemudian aku teringat saat pertama kali masuk tadi, semua lampu memang sudah menyala begitu aku menyalakan lampu depan. Jadi? Kamar model apa yang hanya memiliki satu saklar lampu. Di luar pula!
Merasa gusar dengan keadaan yang sama sekali tak baik ini aku bergegas menuju pintu dan membukanya secara sembarangan. Tak peduli apakah si penyiul itu hantu atau manusia, pokoknya aku harus melayangkan protes. Setidaknya, aku harus meluapkan amarah!
Namun, sial. Begitu membuka pintu, orang tersebut telah pergi. Aku bisa melihat bayangannya dalam gelap, menuju tangga di sebelah kamarku. Eh, ada tangga menuju lantai tiga! Apakah ada kamar lagi di atas sana?
Aku hendak mengikuti orang itu, tetapi urung. Sosok itu melangkah cepat menaiki tangga yang gelap. Membuat nyaliku menciut. Sempat terpikir untuk mengarahkan flash ke arah tangga, tetapi urung juga. Aku takut membayangkan sosok berwajah seram akan menghampiri lalu mencekik leherku.
Kebanyakan menonton film horor, ya beginilah akibatnya!
Malam yang cukup panjang dan pengap. Saklar tak bisa kembali kunyalakan entah apa sebabnya. Ruangan kamar terasa gerah dan menakutkan. Terpaksa kunyalakan flash semalaman agar tak terlalu gelap. Kelelahan, akhirnya rasa kantuk datang juga.
"Aaaaaaaaaa .....!"
Entah berapa lama tertidur, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara teriakan. Siapa yang berteriak? Yang pasti bukan tiga orang aneh di sebelahku, karena suara yang kudengar adalah suara seorang perempuan.
Aku terbangun gelagapan. Merasa terganggu. Lebih syok lagi karena lampu kamarku kini sudah menyala. Kuambil ponsel yang sudah sekarat lalu mengisinya.
Tok! Tok! Tok!
"Tolong! Buka pintu! Tolong!"
Terdengar suara perempuan memukul-mukul pintu kamarku dari luar. Membuatku berjengit ketakutan.
Siapa perempuan itu?
andrianallsize dan 31 lainnya memberi reputasi
32
8.9K
117
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.2KThread•46.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
YenieSue0101
#47
BAGIAN 8
"Dia bukan Godil!" ucap seseorang usai memeriksa pergelangan tanganku.
"Siapa yang membawamu ke sini? Katakan!"
Aku bergeming. Sorot mata jahat itu sama sekali tak membuatku takut. Aku hanya penasaran dengan apa yang tersembunyi di balik tatapan Sang Tuan. Tatapan misterius yang menyimpan banyak rahasia!
Mulutku bungkam. Namun, aku berusaha melepaskan diri dari dua orang yang kini memegangi tanganku. Aku ingin mendapat jawaban dari tatapan itu.
Keberadaanku berhasil mengusik hati Sang Tuan. Kini, lelaki itu berjalan perlahan ke arahku. Wajahnya kini terlihat jelas setelah dia menurunkan tudungnya. Sang Tuan mendekat kemudian menurunkan tudung di kepalaku.
Tatapan kami beradu. Teramat dekat. Dan bisa kurasakan bahwa Sang Tuan pun menyimpan rasa penasaran terhadapku.
"Siapa kau?" ulangnya. Tatapanku menembus ke dalam matanya dan berusaha mengorek semua rahasia di dalam sana. Namun, seperti apapun aku berusaha, aku tetap tak menemukan apa-apa. Tetapi kenapa, keterikatan ini sangat terasa jelas? Wajahnya mungkin asing, tapi rasanya aku seperti telah mengenalnya selama bertahun-tahun.
"Dan siapa kau?" Aku mengembalikan pertanyaannya.
"Tuan." Tiba-tiba Seto berbicara. Dia telah menyusul ke tengah lingkaran diikuti oleq seorang lelaki. Kini menunduk seperti menyembah di hadapan Sang Tuan. Membuat lelaki misterius itu berhenti menatapku dan memalingkan pandangannya.
Seto mungkin kini menjadi satu-satunya yang bisa menyelamatkanku sekarang. Ya, dia pasti akan mengerahkan sejuta cara untuk bisa mengeluarkanku dari sini.
"Sebelumnya saya minta maaf, Tuan. Aku yang membawanya ke sini," ucap Seto hati-hati.
Diam-diam aku merasa bersalah padanya. Maafkan temanmu yang bandel ini.
"Saya sudah mengonfirmasinya, Tuan," ujar lelaki di sebelahnya. "Seto memberikannya sebagai persembahan."
Deg! Apa maksudnya?
"Benar, Tuan. Semoga Tuan berkenan menerima."
"Seto, apa maksudmu? Persembahan apa?" Aku bertanya gusar. Namun, Seto tak menggubrisku. Dia masih tetap menunduk di hadapan Tuan.
"Jadi maksudmu, kau ingin lebih cepat mendapatkan keuntungan dari Godil, dengan membawa hadiah kepadaku?"
"Benar, Tuan. Saya sangat berharap Tuan senang dengan hadiah yang saya bawa."
"Tidak kusangka kau memberikan temanmu sebagai persembahan demi kejayaanmu di Godil."
"Apalah gunanya teman jika tak bisa memberi keuntungan. Saya hanya ingin memiliki segala-galanya bersama Godil.
Aku sungguh tak mengerti apa maksud perkataan mereka. Keuntungan apa? Hadiah apa? Dia menyebutku hadiah! Aku bukan barang!
"Baiklah jika itu maumu. Ritual akan segera dimulai. Segera persiapkan semuanya." Sang Tuan bertitah. Sementara aku semakin kebingungan. Apa yang akan mereka lakukan kepadaku? Apa aku akan dijadikan tumbal? Seto keparat!
Aku terus berontak dan meneriaki Seto, saat mereka mulai menyeretku dan memasungku di sebuah tiang. Tubuhku terikat pada sebuah tiang dan nyaris tak bisa kugerakkan. Namun, anehnya mereka membiarkan tangan kiriku bebas tak terikat, hingga memungkinkanku untuk bisa melepas tali yang membelit tubuhku. Namun, sebelum semua itu bisa kulakukan, salah satu dari mereka memegangi lenganku dengan erat. Menggerakkannya ke atas ke bawah mengikuti aba-aba dan pergerakan mereka.
Ritual aneh itu pun dimulai. Mereka mulai menebar bunga dan wewangian di sekitar tempatku berdiri. Sementara di bawah kakiku mengalir amis darah bekas penjagalan tadi. Mayat tersebut telah dimasukkan ke dalam kantong mayat kemudian dibawa entah ke mana.
Aku tak menyangka Seto akan tega melakukan ini padaku. Apakah dari awal dia memang berniat mau membuatku menjadi tumbal mereka? Benar-benar pengkhianat! Harusnya aku tak memercayai satu pun perkataannya!
Kini harus apa aku? Mereka semakin tak terkendali. Sementara di sini aku mulai menggila ketika salah satu dari mereka mengeluarkan pisau belati bermata dua dan mengacungkan tanganku.
"Bersiaplah engkau menjadi bagian dari kami, wahai manusia!"
"Arrgghhh! Tidak! Tidak! Arghhh!!" Aku menjerit sekuat tenaga ketika pisau itu menggores pergelangan tangan kiriku. Panas, nyeri, kemarahan, semua bercampur menjadi satu. Aku bisa merasakan ketika urat nadi mulai putus dan darah mengalir di bawah kakiku.
Tubuhku mengejang seiring dengan lepasnya tali-tali yang membelitku. Aku merasa tulangku seperti meremuk dan darahku mendidih. Kesakitan yang teramat asing bagiku. Rasanya seperti ketika nyawamu dicabut dari tubuhmu.
Apakah aku akan mati? Apakah hidupku akan berakhir di tempat ini, tanpa sepengetahuan keluargaku? Ah, rasanya mustahil. Harus ada penyelamatku. Siapa penyelamatku? Siapa dia? Datanglah! Aku mohon datanglah sebelum darah di tubuhku terkuras. Datanglah sebelum napas ini berhenti!
Aku mohon! Aku mohon!
Baru kali ini aku menangis dalam hati. Aku merengek bagai bayi mendambakan susu. Aku memohon-mohon seperti budak yang dicampakkan tuannya.
Siapa penyelamatku? Tolonglah, siapa saja, aku mohon. Seto, kau di mana? Tolong selamatkan aku!
Mata ini belum lagi terpejam. Rasa nyeri masih bisa kurasakan. Namun, tubuhku sama sekali tak bisa kugerakkan. Aku terkapar dengan sisa napas yang tersendat-sendat.
Sementara mereka mulai mengeliliku dengan sorak sorai dan puja-puji. Aku tak bisa melihat Sang Tuan maupun Seto. Di mana mereka?
Hujan terus mengguyur kian malam kian deras. Sungguh aneh karena tak ada satu pun orang yang tinggal di kost an ini terbangun karena keributan ini. Seolah ini adalah hipnotis tingkat dewa.
Kuperhatikan mereka mulai meninggalkanku satu persatu. Dalam sekejap saja mereka sudah lenyap di balik pintu. Bahkan suara langkah-langkah mereka menuruni tangga pun bisa kudengar.
Kemudian seseorang yang amat kukenali mendekat padaku. Menggoyang-goyangkan tubuhku.
"Bangun, Nil! Kamu baik-baik saja?"
Aku mendengar suara. Seto memandangku aneh. Pertanyaannya juga aneh. Setelah apa yang terjadi padaku di depan matanya, bagaimana mungkin dia masih bertanya apakah aku baik-baik saja.
Cepat panggilkan ambulans, baik! Ingin ku teriak tetapi nyaris tak ada suara yang bisa kukeluarkan. Tenagaku telah habis bahkan hanya untuk bernapas.
"Kamu tenang saja. Kamu akan hidup, Daniel. Percayalah padaku."
"Aku harus pergi dari sini. Maafkan aku. Ini rencana sempurna yang tak boleh gagal."
Setelah mengatakan omong kosong, Seto si keparat itu benar-benar pergi. Dia meninggalkanku di tengah hujan dengan tubuh berlumuran darah. Teman macam apa yang menjadikan temannya sebagai persembahan iblis!
Kemudian menit berikutnya segalanya menjadi gelap. Tetesan hujan dan rasa nyeri mulai menghilang dan tubuhku terasa ringan.
*****
Aku merasa seperti tertidur di awang-awang. Seorang bocah perempuan menjawil-jawil tanganku dan membuatku terjaga. Bocah itu menampakkan ekspresi khawatir yang berlebihan. Bocah itu kira-kira seusia Radhit. Perawakannya kurus dan berkulit pucat. Iris matanya yang gelap seperti menyiratkan luka yang mendalam.
Setelah mata kami saling beradu, bocah itu berlari. Aku melihatnya memasuki sebuah kamar dan membangunkan seseorang di atas tempat tidur.
Kamar itu? Sepertinya aku pernah melihatnya. Tetapi di mana?
Ah ya! Aku ingat! Dia adalah ....
Seorang lelaki setengah baya bangkit dari ranjang, kemudian berjalan mengikuti bocah tadi. Lelaki yang sama yang pernah kutemui waktu itu. Hanya saja kali ini punggungnya tampak normal.
Apakah bocah itu anaknya?
Kenapa aku menyaksikan penampakan ini?
itkgid dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Tutup