Kaskus

Story

YenieSue0101Avatar border
TS
YenieSue0101
[SFTH) Aku dan Orang-orang dari Neraka
[SFTH) Aku dan Orang-orang dari Neraka


Sebagai seorang cowok, apa sih yang kalian pikirkan ketika harus tinggal di rumah kost berhantu? Pindah atau memutuskan bertahan? 


Mungkin sebagian cowok penakut di luar sana akan memutuskan untuk mencari rumah kost-an baru. Itu tidak berlaku bagiku. Bukan karena aku pemberani atau sok pemberani. Namun, karena tak ada pilihan lain. Dompet tipis, dan aku baru diterima kerja. Terlebih ini pertama kalinya aku merantau di kota ini. 


Sempurna sudah.

Tak ada alasan untuk pindah. Aku bertahan, walau bukan hanya hantu yang harus kuhadapi, tapi juga sekumpulan manusia-manusia aneh yang mengklaim diri mereka sebagai penguasa kegelapan. Penganut aliran sesat. Pemuja iblis!



*****



Malam itu sekitar jam sembilan malam, aku tiba di Surabaya. Sengaja aku berangkat sore dari Kediri karena enggan terjebak panas-panasan di dalam bus ekonomi. Dengan aplikasi ojek online dari terminal Bungurasih, aku menuju ke Pasar Turi. Untuk selanjutnya ke Kertopaten, tempat tujuanku. 


Rumah kost-an yang dimaksud tampak berdiri kokoh di antara bangunan-bangunan lainnya. Meski begitu, area itu terlihat sedikit suram, entah karena lampu teras yang mati atau karena pepohonan yang terlalu rimbun di depannya. Hawa negatif langsung muncul, seperti kata Mbak Eka, rumah kost-an ini memang sedikit berhantu. Ya, sedikit. Sungguh sebuah perkataan yang lebih seperti bujukan alih-alih penghiburan. 


Apapun itu, pokoknya hadapi saja! 


Tok! Tok! Tok! 


"Assalamualaikum." 


Aku mengetuk selot pintu gerbang dengan keras. Berharap tak membuat bising apalagi mengganggu istirahat si empunya kost. Tak dikunci, sih. Tapi, masa iya main terobos? 


Cklek! 


Terdengar suara seseorang menaril gerendel dan detik berikutnya pintu rumah itu terbuka. Di dalam rumah sedikit terang, walau tetap tak sepadan dengan luasnya rumah. Namun, aku masih bisa melihat bahwa sosok yang menghampiriku adalah seorang ibu-ibu berambut gimbal dan mengenakan pakaian tidur. 


"Siapa?" Alih-alih menjawab salamku, wanita itu malah balik bertanya. 


"Saya Daniel, Bu. Dari Kediri." 


"Daniel?"

"Nggeh. Yang kemaren sudah memesan salah satu kamar di rumah kost ini, atas nama Mbak Eka." 


Kost ini memang Mbak Eka yang mencarikan. Kakak perempuanku itu sudah lumayan lama tinggal di Surabaya, apalagi sejak berpisah dengan suaminya. Mbak Eka pula yang mendapatkan pekerjaan untukku. Walau tak tahu pekerjaan seperti apa, asal menghasilkan uang pokoknya sikat saja. Daripada tinggal di rumah malah jadi aib keluarga. Bujang nganggur? Mau jadi apa! 


"Owh, Nak Daniel, toh?" Wanita itu seperti mengingat sesuatu. 


"Leres, Bu." (Benar, Bu). 


"Mari-mari masuk, Nak. Tunggu di sini sebentar. Ibu ambil kunci kamarnya dulu." 


Beberapa saat kemudian Ibu itu keluar sambil membawa serentengan kunci. 


"Aduh, Ibu agak lupa sama kunci kamarmu," keluhnya sambil memilah-milah kunci. "Maklum, sudah tua." 


"Boleh saya pinjam semuanya, Bu." Aku berinisiatif. "Nanti kalo sudah ketemu dengan yang cocok, sisanya saya kembalikan." 


"Ya sudah kalo gitu, Nak Daniel bawa saja semua. Besok saja mengembalikannya, Ibu soalnya mau istirahat ini. Lagi nggak enak  badan. Oh, ya jangan lupa besok sekalian bawa fotokopi ktp ya, Nak Daniel." 


"Nggeh, Bu. Kalo gitu saya permisi." 


"Eh, tunggu!"

"Ya?"

"Memangnya Nak Daniel sudah tahu di mana letak kamarnya?"

"Eh, belum Bu, hehe."

Aku cengengesan menyadari kesalahan sendiri. 


"Ya sudah yuk Ibu antarkan. Kamar Nak Daniel ada di lantai dua." 


Wanita berkata sambil mengisyaratkanku untuk mengikutinya. Beliau membawa sebuah senter kecil yang aku tak tahu buat apa. Setelah mendekati anak tangga menuju lantai dua, baru aku mengerti apa gunanya senter tadi. 


Tangga menuju lantai dua gelap gulita. Entah memang sengaja tak memakai penerangan atau lampunya pada mati. Ibu Kost menyalakan senter lalu berjalan mendahului. 


"Lampunya mati ya, Bu?" Aku bertanya basa-basi, demi mengurangi rasa bergidik yang disebabkan oleh suasana gelap dan sunyi. 


Namun, usahaku untuk memerangi rasa takut sia-sia karena ibu itu tak menjawab. Dia terus menaiki tangga dengan sedikit tergesa. Suara sandal tepleknya keplak-keplak menggema memenuhi lorong tangga. 


Selanjutnya aku hanya bisa menguatkan diri dan hati. Kembali mengingat perkataan Mbak Eka bahwa rumah kostan ini memang berhantu. Walau klaimnya 'sedikit', tetap saja namanya hantu pasti bisa menciptakan rasa takut dalam pikiran manusia. 


Aku cowok. Tidak boleh lemah terhadap hantu atau apapun itu! 


"Nah, sudah sampai." Ibu Kost akhirnya membuka suara ketika telah menapaki sisa tangga terakhir. 


Aku memandang berkeliling. Kamar atas terdiri dari dua baris saling berhadapan. Masing-masing baris terdiri dari empat kamar. Jadi total ada delapan kamar. Di sisi kiri dariku, lampu menyala di depan pintu tiga kamar. Sementara pintu paling ujung terlihat gelap. Begitu melihat sisi kanan yang berhadapan dengan sisi kiri, aku syok berat. Keempat pintunya gelap. Tak ada satu pun penerangan di depan kamar-kamar itu. Semoga kamarku bukan di antara empat kamar itu. 


"Bu, kok lampu di sini juga mati?" Aku kembali bertanya karena tak tahan lagi. 


"Ibu tidak tahu. Ibu jarang naik ke lantai dua," katanya, setengah berbisik. "Sudah ya, Ibu turun dulu. Tanya-tanyanya dilanjut besok pagi saja kalau sudah terang. Oh ya, kamar Nak Daniel ada di deretan kanan. Yang paling ujung ya." 


"Hah?" Aku berseru, tak memercayai apa yang baru saja kudengar. 


"Ibu permisi dulu." 


"Eh, tapi Bu ...." 


Aku tak sempat melanjutkan perkataanku karena wanita itu sudah terlebih dulu melesat menuruni tangga. Terdengar suara berisik dan langkah terburu yang ditimbulkan kakinya. 


Aku masih melongo di tempat. Bingung harus berbuat apa. Tempat ini begitu sepi. Benar-benar menawarkan kengerian tersendiri di benak para penghuninya. Betah sekali mereka hidup gelap-gelapan seperti ini! 


Aku merogoh ponsel dan menyalakan lampu flash kemudian berjalan menuju deretan kamar di sisi kanan. Sampai pada pintu pertama, aku menemukan saklar di dekat pintu. Kuarahkan lampu flash ke plafon. Ada sebuah lampu terpasang di sana.

Dengan sedikit takut, kutekan saklar lampu. 


Ctek! 


Lampu menyala. Kelegaan memenuhi hatiku. Aku mulai berpikir mungkin kamar ini tidak ada penghuninya, jadi tidak ada yang menyalakan lampu. Atau mungkin penghuninya belum pulang dari bekerja sejak pagi, jadi otomatis lampu tak menyala. 


Aku melakukan hal yang sama pada pintu kedua dan ketiga. Terakhir, pintu keempat. Calon kamarku. Keempat lampu menyala. Sekali lagi aku mengembuskan napas lega. 


Detik berikutnya aku segera sibuk memasukan kunci satu persatu untuk menemukan mana yang cocok. Setelah lebih dari separuh kunci kucoba, akhirnya ada yang cocok. Saat hendak masuk, aku mendengar suara gerendel pintu yang ditarik. Detik berikutnya, tiga pintu kamar di sebelahku berderit. Suara deritnya memecah keheningan malam hingga membuat bulu kuduk berdiri. Ketiganya membuka secara bersamaan. 


Aku menelan ludah demi melihat tiga sosok yang keluar dari masing-masing pintu. Dari bawah sinar lampu aku tampak kepala-kepala mereka yang plontos, mata yang lebih gelap, kulit pucat dan bibir gelap. Kemudian tubuh yang kurus dibalut pakaian serba hitam. Dan walaupun mata mereka tampak gelap, aku bisa melihat bahwa ketiganya sedang menatapku. Dengan raut wajah yang penuh amarah. 


Apakah mereka manusia? 


Ctek! 


Kemudian sosok-sosok itu menghilang ditelan gelap. Setelah mematikan lampu di depan kamar masing-masing, kemudian ketiganya membanting pintu dengan suara keras. Meninggalkanku yang masih berdiri kaku di sini sambil memegangi serenteng kunci dengan perasaan syok luar biasa. 


Butuh beberapa menit untuk menetralisir degub di jantungku. Setelah kemudian tersadar akan bahayanya berdiri di luar kamar di tengah malam begini. Aku pun bergegas masuk dan mengunci pintu dari dalam. Seketika aku langsung tersedak. 


Aroma apa ini? Apa ada bangkai tikus yang mati di kamar ini? Aku refleks menutup hidung dan mulut menggunakan masker, kemudian berusaha menyingkirkan debu-debu dan sarang laba-laba yang bergelantungan di mana-mana? 


Ini kamar kost atau gudang, sih? Pemiliknya pasti jarang mengunjungi kamar ini. Dan mungkin kamar ini sudah lama tak ada penghuninya. Memangnya siapa yang mau tidur berdampingan dengan orang-orang aneh nan horor itu? 


Pantas saja kamar ini harganya murah. Separo harga dari kamar yang ada di lantai bawah. Kalau nanti sudah gajian lebih baik aku pindah ke kamar bawah saja lah. Barangkali di bawah ada yang kosong. Sementara, biarlah aku bertahan di sini. 


Aku membersihkan debu yang menempel di perabot dalam kamar itu. Walaupun kamar ini tak terlalu luas, tapi lumayan lengkap dengan adanya sepasang meja kursi dan kompor di ujung ruangan. Di sisi kiri, terdapat satu dipan kecil dengan kasur keras menempel di dinding. Bantalnya sudah bau tengik dengan sprei yang mungkin sudah setahun tak dicuci. 


Aku benar-benar menyerah dengan kamar ini. Kubuka pintu kamar mandi di sebelah wastafel, berharap ada pengharapan di sana. Closet jongkoknya cukup bersih. Dilengkapi dengan gayung dan ember berukuran sedang. Kuulir kran air dan menyala dengan air yang bersih. Aman. 


Setelah bersih-bersih dan membongkar tas -- ah rasanya tak perlu dibongkar karena kamar ini tak ada lemari -- kuputuskan untuk mandi. Setelah sebelumnya menyemprot seluruh sudut ruangan dengan parfum demi menetralisir bau. 


Di sela-sela suara kran yang bergemericik, tiba-tiba aku mendengar suara orang bersiul. Aku mematikan kran demi memastikan pendengaranku sendiri. Itu benar-benar suara siulan. 


Siapa gerangan orang yang bersiul malam-malam begini? 


Semakin lama suara siulan itu semakin dekat, seolah memang sedang mendekati kamarku. Aku menoleh berkeliling, memastikan tak ada lubang di dinding kamar mandi. Kemudian cepat-cepat menyelesaikan mandi. 


Keluar dari kamar mandi, aku dikejutkan dengan suara langkah yang mendekat. Hingga langkah itu terhenti tepat di depan kamarku. Suara siulan itu pun ikut berhenti. Kemudian .... 


Ctek! 


Ruangan kamarku menjadi gelap gulita. Begitupun di luar sana. Bagaimana bisa? Padahal yang ditekannya adalah saklar di luar, di dekat pintu? Apa kabelnya terhubung. 


Aku gegas mencari ponselku kemudian menyalakan lampu flash. Kuarahkan lampu ke segala arah demi mencari saklar lampu. Tidak ada. Kamar ini tak mempunyai saklar lampu di dalam. Begitu pun dengan kamar mandi. 


Kemudian aku teringat saat pertama kali masuk tadi, semua lampu memang sudah menyala begitu aku menyalakan lampu depan. Jadi? Kamar model apa yang hanya memiliki satu saklar lampu. Di luar pula! 


Merasa gusar dengan keadaan yang sama sekali tak baik ini aku bergegas menuju pintu dan membukanya secara sembarangan. Tak peduli apakah si penyiul itu hantu atau manusia, pokoknya aku harus melayangkan protes. Setidaknya, aku harus meluapkan amarah! 


Namun, sial. Begitu membuka pintu, orang tersebut telah pergi. Aku bisa melihat bayangannya dalam gelap, menuju tangga di sebelah kamarku. Eh, ada tangga menuju lantai tiga! Apakah ada kamar lagi di atas sana? 


Aku hendak mengikuti orang itu, tetapi urung. Sosok itu melangkah cepat menaiki tangga yang gelap. Membuat nyaliku menciut. Sempat terpikir untuk mengarahkan flash ke arah tangga, tetapi urung juga. Aku takut membayangkan sosok berwajah seram akan menghampiri lalu mencekik leherku. 


Kebanyakan menonton film horor, ya beginilah akibatnya! 


Malam yang cukup panjang dan pengap. Saklar tak bisa kembali kunyalakan entah apa sebabnya. Ruangan kamar terasa gerah dan menakutkan. Terpaksa kunyalakan flash semalaman agar tak terlalu gelap. Kelelahan, akhirnya rasa kantuk datang juga. 


"Aaaaaaaaaa .....!" 


Entah berapa lama tertidur, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara teriakan. Siapa yang berteriak? Yang pasti bukan tiga orang aneh di sebelahku, karena suara yang kudengar adalah suara seorang perempuan. 


Aku terbangun gelagapan. Merasa terganggu. Lebih syok lagi karena lampu kamarku kini sudah menyala. Kuambil ponsel yang sudah sekarat lalu mengisinya. 


Tok! Tok! Tok! 


"Tolong! Buka pintu! Tolong!" 


Terdengar suara perempuan memukul-mukul pintu kamarku dari luar. Membuatku berjengit ketakutan.

Siapa perempuan itu? 







Diubah oleh YenieSue0101 30-05-2023 12:44
pilotproject715Avatar border
arieaduhAvatar border
andrianallsizeAvatar border
andrianallsize dan 31 lainnya memberi reputasi
32
9.7K
119
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
YenieSue0101Avatar border
TS
YenieSue0101
#34
BAGIAN 3
Aku terbangun di dalam kamar kost. Rupanya mereka menyeretku ke sini. Sekujur tubuhku penuh lebam dan belakang kepala masih terasa sakit terkena pukulan orang-orang aneh itu. 


Kulihat Mbak Eka sedang sibuk memasak entah apa, dan Radhit anaknya tiduran di lantai. Kedua matanya fokus mengamati benda pipih dengan layar warna-warni dalam genggamannya. 


"Sudah bangun, Nil? Kirain pingsan." Mbak Eka menoleh di sela kesibukannya. 


Ya memang pingsan, Mbak, digebukin preman kost-kostan. Ingin kujawab begitu tetapi urung. 


"Mbak kapan datang? Kok aku nggak dengar?" kataku akhirnya. Bisa-bisanya Mbak Eka tak mengabariku kalau mau datang lebih awal. 


"Dua jam yang lalu," sahutnya pendek. 


"Katanya mau datang agak sorean?" tanyaku seraya bangun perlahan menahan nyeri di tengkuk. Kupandangi dengkul dan lenganku yang lecet dan kebiru-biruan. Seperti habis gulat di atas ring. 


"Lah, sekarang kan sudah sore, Daniel!" 


"Loh, masa?" 


Aku melirik jam di ponsel. Sedikit terkejut karena ternyata sudah jam setengah enam sore. Kulongok keluar jendela sudah mulai nampak gelap. 


Selama itu kah aku tak sadarkan diri? Pantas saja perutku terasa melilit. Mbak Eka yang mendengar bunyi gemerucuk perutku mendecak. 


"Makanya kalau tidur tuh pasang alarm, Nil. Sudah tahu kebo." 


"Aku nggak tidur, Mbak," bantahku. "Aku ping ...." tak kulanjutkan perkataanku. 


Setelah menimbang-nimbang, kurasa Mbak Eka tak perlu tahu dengan apa yang telah terjadi. Aku tak mau dia merasa cemas, apalagi sampai melapor pada Ibu. Anak bujang Ibu dikejar hantu? Mau ditaruh di mana mukaku? 


"Sana mandi dulu trus kita makan bareng. Radhit sudah nggak sabar mau diajak jalan-jalan dan beli jajan. Keponakan mau datang kok nggak siapin cemilan sih?" 


Tanpa membantah lagi, segera kusambar handuk dan bergegas mandi. Aku teringat kembali pada kejadian di atap tadi siang. Bagaimana nasib orang yang terkurung di dalam kamar terkunci itu? Apakah masih bisa diselamatkan? Di mana lelaki berpunggung aneh dan para kroninya? Bukankah apa yang mereka lakukan adalah tindak kriminal? Haruskah kugedor tiga pintu di sebelah? 


Akh! Aku membasuh kepala dengan frustasi. Setengah berharap apa yang kualami tadi adalah mimpi. Namun, melihat bekas lecet di tubuh membuat harapanku sirna seketika. Kejadian itu nyata.



*****



Usai mandi dan makan bersama Mbak Eka dan Radhit, aku berniat ke atap untuk mengecek apakah suara-suara itu masih terdengar. Tetapi Radhit sudah merengek dari tadi dan membuat Mbak Eka sedikit kesal. 


"Sana kamu bawa Radhit beli jajanan, Nil. Berisik banget nih anak." Mbak Eka mengerecutkan bibirnya. 


"Mbak nggak ikut?" 


"Enggak. Mbak capek tadi harus desak-desakan di bus. Eh, sampai sini masih harus masak, beres-beres. Mbak mau tiduran bentar." 


"Ya sudah, Mbak istirahat saja. Yuk, Dhit." 


Aku menggandeng bocah enam tahun itu menuruni tangga. Sesaat sebelum turun, kami melewati tiga pintu para lelaki botak yang terkunci rapat. Begitupun dengan kamar-kamar di seberang. Seolah tak ada kehidupan. Sepi. Beruntung lampu tangga kini menyala. Jadi, aku bisa berjalan dengan hati yang tenang. 


"Om, Om, kata Ibu di sini ada hantunya, ya?" celetuk Radhit. "Kok aku nggak lihat?" 


"Hust!" Aku berjengit mendengar ocehan bocah itu. "Nggak ada kok. Jangan ngomong yang aneh-aneh. 


Radhit malah tertawa cekikikan melihatku. Dia pasti beranggapan bahwa akan seru jika bisa bertemu dan mengobrol dengan hantu. Suatu kebiasaan yang bocah itu lakukan sejak bisa berbicara. Tentu saja, kelakuannya yang polos dan jahil membuat orang-orang di sekelilingnya ketakutan. Kali ini, tidak akan kubiarkan hal itu terjadi! 


Kami telah mencapai pintu gerbang yang entah kenapa malam ini begitu terang benderang dan ramai. Beberapa penghuni kamar bawah tampak bercengkrama di depan kamar maupun di teras rumah bu kost. Benar-benar sangat normal seolah berada di dunia yang berbeda jika dibandingkan dengan kamar kost atas. 


"Hai, Bro! Penghuni baru ya?" Seseorang menyapa. 


"Iya, Mas. Baru kemaren." 


"Oh. Mau ke mana?" 


"Jalan-jalan sebentar." Aku menjawab pendek. 


Pemuda yang mungkin berusia sepantaranku itu mengisap dalam-dalam rokok yang tinggal seruas jari kemudian membuang puntung dan menginjak dengan salah satu kakinya. 


"Gue Hafid," katanya, sambil mengulurkan tangan. "Kamar gue di paling ujung." 


"Daniel, Mas." Aku menyambut uluran tangannya. 


"Jangan panggil gue Mas lah. Berasa tua, gue. Panggil Hafid aja." 


"Oke." 


"Mau jalan ke mana? Ke pasar malam?" 


"Nggak tahu ini. Terserah anaknya saja mau ke mana. Mau nyari jajan, dia." 


"Gue anter ke pasar malam aja gimana?" Hafid menawarkan diri. "Rame di sama. Ada pertunjukan reog." 


"Om, mau lihat reog," rengek Radhit sambil menarik-narik ujung kaosku. 


Melihat Hafid yang antusias mau mengantar dan Radhit yang merengek, akhirnya kusetujui usulannya untuk ke pasar malam saja. Lagi pula aku tidak terlalu mengenal daerah sini dan belum sempat berkeliling. 


Kami jalan kaki menuju pasar malam yang kata Hafid ada di lapangan dekat komplek perumahan Kertopaten. Sepanjang jalan, Hafid terlihat semangat mengoceh ini itu. Sepertinya dia pemuda yang cukup ramah untuk ditanya-tanyai. 


"Setiap bulan, pasar malam di daerah sini selalu mengadakan pertunjukan-pertunjukan seni. Kadang reog, jaranan, campursari. Kadang ada dangdutan juga." 


"Oh, gitu ya?" kataku, tak begitu tertarik. "Boleh nanya nggak?" 


"Apaan?" 


"Kamu kenal dengan para penghuni kost atas?" 


"Yang mana?" 


"Tiga laki-laki berkepala plontos yang kebetulan tinggal bersebelahan dengan kamarku." Aku berkata hati-hati sambil memerhatikan mimik wajahnya. 


"Kenapa?" Hafid malah balik bertanya. 


"Kenal, nggak?" Aku mendesak. 


"Tahu sih. Tapi nggak kenal." 


"Menurutmu mereka orang seperti apa?" 


"Seperti apa gimana?" Hafid menatapku. Wajahnya berubah serius. 


"Ya, apakah mereka terlihat aneh atau orang normal seperti lainnya." 


"Hahaha!" Dia malah tertawa. 


"Jadi lu udah mulai mengenal 'mereka' ya? Tiga bersaudara." 


"Tiga bersaudara?" Aku mengernyit. "Jadi, mereka sodaraan?" 


"Bisa dibilang begitu sih." Hafid melanjutkan jalan. Kini dia berinisiatif menggandeng Radhit yang jalannya mulai merembet-rembet ke tengah. Lalu lalang kendaraan membuat kedua matanya awas. 


"Maksudnya? Mereka manusia normal, kan? Bukan hantu, maksudku. Dan apakah kamu tahu apa-apa yang mereka lakukan setiap harinya? Mereka jarang terlihat keluar kamar. Bukan hanya mereka bertiga, sih? Tapi hampir semua penghuni lantai dua jarang terlihat. Apakah mereka introvert atau memang sibuk bekerja, aku nggak tahu. Sedangkan di kamar bawah semua tampak normal. Apakah kamu menyadari hal itu?" 


Hafid tampak termenung setelah mendengar perkataanku yang beruntun. Pandangannya menyebar ke jalanan, menatap lalu lintas yang lumayan ramai. 


"Fid?" Aku menatapnya serius. Bahkan aku merasa telah mengakrabkan diri dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. 


"Pertanyaan lu banyak sekali," dia tertawa kecil. "Gue bingung jawabnya." 


Aku menghela napas, sedikit kecewa. 


"Oke, aku cuma mau nanya dikit tentang lelaki botak yang katamu tiga bersaudara. Bisa kamu jelaskan siapa mereka?" 


"Godil." Hafid menyebutkan kosakata yang asing di telinga. 


"Apa?" tanyaku, memintanya mengulang. 


"Mereka bersaudara di Godil. Dulunya." 


"Apa itu Godil?" 


Hafid menunjuk deretan penjual makanan dan kerumunan. Suara-suara musik mulai riuh terdengar. 


"Pasar malamnya udah ramai. Kayaknya pertunjukan reog-nya juga mau mulai. Yuk, kita masuk." 


Radhit tampak kegirangan dan setengah berlari menuju kerumunan. Diikuti Hafid yang mengejar kemudian menyambar salah satu pergelangan tangan keponakanku. Mengapa mereka justru lebih akrab. Apa aku adalah Om yang buruk untuk Radhit? 


Semua pertanyaanku menggantung tak menemui jawaban. Dengan sedikit malas, kuikuti mereka.



*****



Kini Radhit telah membawa sekantong sosis dan telur gulung. Kami duduk beralaskan plastik di barisan paling belakang. Membuat bocah itu terus mengeluh karena tak bisa melihat dengan jelas pertunjukan di depan sana. Kami sengaja mengambil tempat paling jauh agar tak terlalu berisik dan ramai. Kami duduk di sebelah penjual kopi sachetan di dekat pagar pembatas. Menikmati angin sepoi dan kerlip lampu di hadapan. 


"Kopinya, Mas." Seorang bapak-bapak menyodorkan dua gelas kopi krimer. 


"Terima kasih, Pak." 


Hafid tampak bersantai sambil sesekali mengajak Radhit mengobrol. Sementara aku duduk dengan gelisah menantikan obrolan panjang nan menegangkan. 


"Jadi, Godil itu apa?" Kuulang pertanyaanku yang sempat disela intermezo super panjang dan membosankan. 


"Semacam perkumpulan orang-orang yang memiliki keyakinan sendiri." 


Aku menatapnya serius. Bersiap mendengarkan dongeng. 


"Jadi, dulu--eh, enggak dulu sih, sekarang pun masih. Ada sebuah perkumpulan yang menganut suatu aliran. Ya, kayak misalnya punya tuhan sendiri. Semacam itulah. Mereka hidup berkelompok dan suka mengadakan ritual-ritual. Ritual yang biasanya mereka lakukan di malam hari, saat hujan di tanggal-tanggal tertentu. Ritual yang katanya ada persembahannya. Ya, begitulah." 


Hafid berhenti bicara kemudian menyalakan rokok dan mengisapnya. Barangkali dia merasa bahwa penjelasannya sangat tidak jelas dan membingungkan bagi orang awam sepertiku. 


"Beberapa anggota Godil tinggal di kost-an kita. Tapi gue nggak tahu pasti siapa-siapa saja orangnya. Jadi, jangan nanya. Gue cuma tau kalau tiga bersaudara yang lu tanyain itu mantan anggota Godil. Entah apa yang membuat mereka keluar dari Godil, gue nggak tahu. Sependek pengetahuan gue yang tinggal di sana selama dua tahun, dulunya tiga bersaudara itu normal. Mereka gemuk, nggak plontos dan yang pasti ramah. Lalu kemudian ada desas-desus mereka keluar dari Godil. Jadilah mereka kayak sekarang." 


"Jadi kamu mengakui kan kalau mereka itu nggak normal?" tanyaku, menegaskan. 


"Mereka normal kok. Setidaknya masih manusia. Ya, walau udah nggak pernah nyapa orang lagi. Dan sering melihat orang dengan penuh kebencian." 


Aku masih berusaha menerka perkataan Hafid. Godil? Aliran Sesat? Ritual saat hujan? Persembahan? Rasanya seperti di film-film. Sekarang pertanyaannya adalah tentang keberadaan Godil itu sendiri. Aneh, tapi nyata. 


"Kenapa orang-orang itu harus berbaur dengan kita? Maksudku, Godil itu? Kenapa nggak bikin perkumpulan sendiri?" 


"Kan udah gue bilang, mereka dulunya berkelompok. Kini menyebar karena mau memperluas jaringan. Kalau lu kenal mereka, mungkin suatu saat juga bakal direkrut jadi anggota." 


"Hiih! Nggak mau lah." Aku begidik. "Kamu nggak takut hidup berdampingan dengan mereka?" 


Hafid terkekeh melihatku. 


"Mereka bukan setan atau iblis. Mereka itu normal seperti kita. Mereka seperti organisasi kebanyakan. Punya batasan wilayahnya tersendiri. Selama kita nggak ganggu, ngapain harus takut?" 


Mengganggu? Mendadak satu kata itu mengusikku? Aku teringat kejadian yang kualami di atap tadi siang. 


"Kamu tahu nggak, ada ruangan terkunci di lantai tiga?" 


"Tahu. Itu adalah gudang penyimpanan barang bekas. Kenapa?" 


Aku menceritakan kembali tentang adanya suara orang merintih di ruangan tersebut dan kemunculan tiga bersaudara yang menyeret dan memukul belakang leherku. Serta lelaki berpunggung aneh yang sepertinya adalah pemimpin mereka. 


"Penyekapan?" Hafid mengernyit. "Maksudmu, Godil menyekap orang di dalam gudang?" 


"Mungkin," kataku meragu. 


"Lu lihat orangnya? Lu lihat siapa yang disekap?" 


"Enggak sih, cuma suara." 


"Mungkin itu cuma halusinasi lu aja." 


"Nggak lah. Jelas-jelas aku dengar ada suara. Kalau memang nggak ada apa-apa, kenapa orang-orang itu menyeretku. Kalau bukan karena mereka takut ketahuan olehku?" 


Hafid tampak merenung. Membuatku tak sabar. 


"Godil atau apapun itu sebutannya. Telah melakukan kejahatan yang meresahkan. Kita bisa lapor polisi untuk memberantas perkumpulan aneh itu. Kita bisa lihat buktinya besok. Kita minta bantuan Pak Kost untuk bukain gudang itu. Apa beliau selama ini nggak tahu kalau kost-kostannya jadi sarang penjahat?" 


"Bukan Godil pelakunya." Mendadak Hafid berbicara dengan yakin. 


"Lah? Kenapa bukan?" 


"Lu bilang yang menyeret lu si tiga bersaudara. Mereka bukan Godil. Mereka itu mantan anggota Godil. Jadi, kenapa lu ngotot nuduh Godil?" 


"Kamu anggota Godil, ya?" tanyaku sesat. 


"Hah?" 


"Segitunya membela Godil. Bisa aja kan, mereka cuma berpura-pura keluar dari Godil. Padahal menjadi algojo tersembunyi. Kayaknya aku cerita sama orang yang salah deh. Kamu pasti bagian dari mereka juga." 


"Lu tahu apa soal Godil, Kunyuk!" Hafid tampak emosi. "Jangan hanya karena Godil nggak seperti kebanyakan orang, trus lu bebas ngejudge apa aja tentang mereka. Mereka menyakiti lu, apa? Lu tuh cuma anak baru yang nggak tahu apa-apa. Sebelum ngomong, baiknya cari tahu dulu kebenarannya. Gue bukan anggota Godil, gue nggak mengenal dan tahu seluk beluk di dalam Godil. Gue cuma tahu, selama gue tinggal di sini, Godil nggak pernah nyenggol hidup gue. Lu coba tanya aja sama para penghuni kost bawah. Entah mereka Godil atau bukan, mereka nggak pernah bikin onar. Kecuali si autis noh, yang kadang suka nyuri barang orang. Tapi kita maklum, karena dia 'sakit'. Tapi Godil bukan suatu penyakit yang harus dibasmi. Dan orang-orangnya nggak 'sakit'. Inget itu baik-baik!" 


Usai meluapkan emosinya, Hafid bangkit dan meninggalkan kami. Radhit yang sejak tadi melongo melihat dua lelaki dewasa adu urat, kini mulai menangis. Tidak. Bocah itu tidak takut dengan pertengkaran kami. Kedua matanya fokus ke arah lain. Satu tangannya menunjuk-nunjuk sambil terus menangis. Aku melihat mengikuti arah yang ditunjuk Radhit. Di sana sesosok pria berpakaian serba hitam dan punggung yang menyembul aneh sedang melotot ke arah kami.



69banditos
namakuve
itkgid
itkgid dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.