- Beranda
- Stories from the Heart
KELOPAK BUNGA ANGGREK
...
TS
beavermoon
KELOPAK BUNGA ANGGREK

Halo semuanya.
Beavermoon kembali hadir dengan cerita terbaru, dan kali ini kita akan mengusung tema detektif.
Kenapa tema detektif? Karena sebenarnya cerita ini berawal dari cerita pendek yang dibuat untuk perlombaan. Berhubung terbatasnya jumlah kata saat itu, akhirnya dibuatlah versi lengkapnya yang baru selesai beberapa bulan lalu.
Kenapa tidak buat cerita romantis lagi? Kehabisan ide, atau bisa dibilang butuh waktu untuk mengistirahatkan diri dari romansa-romansa yang sudah semakin banyak.
Apa tidak akan membuat cerita romantis lagi? Masih dalam pembuatan.
Jika ada dari suhu-suhu sekalian yang belum sempat membaca karya-karya Beavermoon sebelumnya, bisa langsung ke TKP :
Semoga suhu-suhu terhibur dengan cerita tema detektif perdana dari Beavermoon.
Salam Lemon.
Spoiler for Ringkasan:
Kasus pembunuhan kembali terjadi setelah sekian lama. Ali dan Damar, yang bekerja sebagai detektif pun mulai memecahkan kasus yang ada. Sayangnya, belum selesai dengan satu kasus, muncul kasus lain yang semakin memperkeruh keadaan.
Teringat akan satu kasus beberapa tahun silam, dimana sang pembunuh memiliki pola yang terstruktur hingga sulit untuk dipecahkan. Ali dan Damar menjadikan laporan kasus itu sebagai alat bantu untuk mencari, siapa pembunuh yang kembali beraksi. Dugaan demi dugaan terus bermunculan, mulai dari orang yang belum pernah mereka temui, hingga orang-orang terdekat.
Lalu, siapakah pembunuh kali ini?
Spoiler for Episode:
1. Kasus Lama yang Terulang. (Part 1)
2. Kasus Lama yang Terulang. (Part 2)
3. Sudah Menemukan Petunjuk? (Part 1)
4. Sudah Menemukan Petunjuk? (Part 2)
5. Terbang Terlalu Tinggi, Namun Jatuh Dengan Keras. (Part 1)
6. Terbang Terlalu Tinggi, Namun Jatuh Dengan Keras. (Part 2)
7. Setitik Lentera dari Gelap Gulita. (Part 1)
8. Setitik Lentera dari Gelap Gulita. (Part 2)
9. Lentera Lain di Gelap Berbeda. (Part 1)
10. Lentera Lain di Gelap Berbeda. (Part 2)
11. Kejutan Demi Kejutan pun Berdatangan. (Part 1)
12. Kejutan Demi Kejutan pun Berdatangan. (Part 2)
13. Lalu, Siapakah Pelakunya? (Part 1)
14. Lalu, Siapakah Pelakunya? (Part 2)
15. Kebetulan? (Part 1)
16. Kebetulan? (Part 2)
17. Semakin Dekat? (Part 1)
18. Semakin Dekat? (Part 2)
19. Hilangnya Penunjuk Arah.
20. Lembaran Baru dengan Cerita yang Sama.
21. Upaya Terakhir yang Membuahkan Hasil. (Part 1)(FINALE)
22. Upaya Terakhir yang Membuahkan Hasil. (Part 2) (FINALE)
2. Kasus Lama yang Terulang. (Part 2)
3. Sudah Menemukan Petunjuk? (Part 1)
4. Sudah Menemukan Petunjuk? (Part 2)
5. Terbang Terlalu Tinggi, Namun Jatuh Dengan Keras. (Part 1)
6. Terbang Terlalu Tinggi, Namun Jatuh Dengan Keras. (Part 2)
7. Setitik Lentera dari Gelap Gulita. (Part 1)
8. Setitik Lentera dari Gelap Gulita. (Part 2)
9. Lentera Lain di Gelap Berbeda. (Part 1)
10. Lentera Lain di Gelap Berbeda. (Part 2)
11. Kejutan Demi Kejutan pun Berdatangan. (Part 1)
12. Kejutan Demi Kejutan pun Berdatangan. (Part 2)
13. Lalu, Siapakah Pelakunya? (Part 1)
14. Lalu, Siapakah Pelakunya? (Part 2)
15. Kebetulan? (Part 1)
16. Kebetulan? (Part 2)
17. Semakin Dekat? (Part 1)
18. Semakin Dekat? (Part 2)
19. Hilangnya Penunjuk Arah.
20. Lembaran Baru dengan Cerita yang Sama.
21. Upaya Terakhir yang Membuahkan Hasil. (Part 1)(FINALE)
22. Upaya Terakhir yang Membuahkan Hasil. (Part 2) (FINALE)
Diubah oleh beavermoon 20-05-2023 18:38
sukhhoi dan 2 lainnya memberi reputasi
3
3.4K
Kutip
35
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•1Anggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#23
Spoiler for 22. Upaya Terakhir yang Membuahkan Hasil. (Part 2) (FINALE):
Anggi mengangguk, “Kamu sadar apa ngga ya, kalau pekerjaan kamu itu ngebantu aku buat menghindar dari apa yang udah aku lakuin. Kamu yang pekerjaannya sebagai detektif, secara ngga langsung ngasih celah buat aku bergerak. Mulai dari laporan kamu, cara kerja kamu, dan masih banyak lagi. Masa iya kamu ngga sadar kalau aku pembunuhnya?”
Ali menggelengkan kepalanya pelan, Anggi pun kembali tersenyum. Ia merogoh sakunya, sontak membuat Ali bersiaga dengan pistol di tangannya. Anggi mengeluarkan bungkus rokok dari sakunya, ia pun menyalakan sebatang rokok.
“Kamu mau?...”
Ali hanya diam dengan tangannya yang gemetar.
“...yaudah kalau ngga mau. Jadi, apa lagi yang mau kamu tanya?” Tanya Anggi.
“Dari kapan?” Tanya Ali.
“Dari kapan? Dari kapan aku membunuh maksud kamu?...”
Ali terdiam menunggu jawaban.
“...kalau itu maksud kamu, berarti aku memulai ini semua pas aku umur tiga belas tahun, tapi itu secara ngga sengaja. Ada pria brengsek yang selalu ganggu aku setiap aku pulang sekolah lewat jalan kecil. Suatu ketika aku muak sama perilakunya dia, dan aku ingat sama sebuah film tentang pembunuh berantai yang suka menyiksa korbannya...”
Ali memandang dengan tajam.
“...dari situ aku coba untuk melawan, mukul dia pakai balok, sayangnya ngga kena. Dia pun ngedorong aku ke tembok dan coba buat cium aku, untungnya kaki aku berhasil nendang kelaminnya dia. Dia sedikit menjauh, dan aku dorong dia, yang aku ngga tau itu kalau di belakangnya ada paku-paku yang timbul di tembok. Beberapa paku itu masuk ke kepalanya, dia ngga bisa bergerak, sampai akhirnya dia mati begitu aja...”
Ali menelan ludahnya.
“...disitulah aku ngerasa puas sama apa yang udah aku lakuin. Aku pun akan melakukan itu ke orang-orang yang ganggu aku. Kalau dihitung sampai sekarang, kayaknya udah ada empat belas korban.” Jelas Anggi.
“Empat belas? Delapan di antaranya, kejadian belakangan ini?” Tanya Ali terkejut.
“Delapan? Siapa aja?” Tanya Anggi bingung.
“Korban di selokan, model di belakang panggung, penjahit, dokter Kania, Agung, Damar, Talia, dan terakhir Sasa. Itu delapan korban kan?” Ucap Ali.
“Kayaknya kamu salah deh, mau duduk dulu sambil aku cerita?” Tanya Anggi.
Ali hanya menggelengkan kepalanya dalam diam.
“Oke, aku ceritain satu-satu ya. Sebenernya aku udah lama banget ngga ngebunuh orang, sampai akhirnya kasus pembunuhan di selokan muncul di permukaan. Aku ngerasa termotivasi sama apa yang udah dia lakuin, tapi aku butuh motif untuk ngelakuin itu semua, dan aku inget sama salah satu model yang akhirnya aku bunuh...”
Anggi menghisap rokoknya.
“...dia salah satu orang yang pernah kerja bareng sama aku di LTV. Dia selalu cerita kalau punya mimpi jadi model, sampai dia bela-belain bolos dari kantor untuk ikut salah satu kompetisi model. Singkat cerita, dia akhirnya keluar dari kantor karena berhasil jadi model, ninggalin tugasnya begitu aja. Itu bisa jadi motif aku buat ngebunuh dia...”
Ali menghela nafasnya.
“...terus dokter yang aku bunuh, aku rasa keberadaannya dia akan mengancam. Itu pun yang bikin aku bunuh dia di ruangannya. Begitu juga dengan Agung, dia orang yang paling mengancam di antara semua korban. Soal Damar, aku ngga sengaja...”
Ali menguatkan genggamannya pada pistol.
“...aku beneran ngga sengaja buat nembak dia, ngga ada sama sekali rencana aku untuk ngebunuh dia. Semuanya diluar rencana yang udah aku bikin, itu juga yang akhirnya buat aku harus membunuh Sasa juga.” Jawab Anggi.
“Terus korban di selokan dan Talia?” Tanya Ali.
“Cukup lama buat aku nyadarin, kalau Talia adalah pelaku dari korban itu, sampai akhirnya aku berhasil bongkar itu semua...”
“Kalau gitu, aku pamit ya.” Ucap Talia.
Wanita itu tersenyum setelah mendapat bantuan berupa uang. Talia pun berdiri dan bersiap untuk kembali menuju di mana mobilnya terparkir.
“Tal...”
Talia membalikan badannya.
“...Talia.” Sapa Anggi.
Talia melihat Anggi yang melambaikan tangan padanya di seberang jalan, ia pun melambaikan tangan seraya tersenyum. Talia akhirnya menghampiri Anggi untuk sekedar menyapa, ia menyeberangi jalan.
“Eh Kak Anggi, kok ada di sini?” Tanya Talia.
“Aku abis mampir tadi. Kamu sendiri?” Ucap Anggi.
“Aku... abis ketemu sama kenalan aku.” Jawabnya.
“Kenalan kamu? Di bangunan itu?” Tanya Anggi heran.
Talia menghela nafas, “Ada seorang wanita yang dulu pernah bantu aku semasa kecil. Sampai akhirnya aku ketemu lagi sama dia, dan dia tinggal di situ. Aku ngerasa punya hutang budi sama dia, jadi sebisa mungkin aku mau bantu dia.”
“Kalau hutang budi sama korban di selokan gimana?...”
Sontak Talia terkejut dengan apa yang Anggi ucapkan.
“...kamu kan yang ngebunuh dia?” Tanya Anggi.
“Kok... Kak Anggi...”
Talia tak melanjutkan ucapannya ketika Anggi melempar senyum, ia merasa terintimidasi dengan senyuman itu. Secara cepat Anggi mendekat ke arah Talia seraya menusuk tubuh Talia dengan pisau yang disembunyikan di balik lengannya.
“Ak!...”
“Jadi gimana soal hutang budi itu?...”
Talia tak bisa berkata-kata dengan rasa sakit yang ia rasakan.
“...tapi berkat kamu, aku jadi punya motivasi untuk membunuh lagi, terima kasih ya.” Ucap Anggi.
Anggi kembali menusukkan pisau beberapa kali di tubuh Talia. Secara perlahan, Anggi menyandarkan tubuh Talia pada tempat sampah besar. Ia menyadari bahwa Talia masih bernafas, Anggi pun berlutut di hadapan Talia seraya merogoh sakunya. Ia mengeluarkan kertas dan pulpen lalu menuliskan kata-kata di sana, kemudian Anggi meletakkan kertas itu dan juga bunga anggrek di tangan Talia.
“Sampaikan pesan ini pada Ali...”
Anggi tersenyum kemudian berdiri.
“...makasih ya.” Ucap Anggi.
Anggi pun berlalu meninggalkan Talia, ia berjalan menuju di mana mobilnya terparkir. Anggi mengemudikan mobilnya seraya menghubungi Sasa dari ponselnya.
“Halo Sa, kamu di rumah kan? Aku boleh mampir?” Tanya Anggi.
“...kurang lebih kayak gitu.” Jelas Anggi.
“Leony di mana?” Tanya Ali.
“Di rumah.” Jawabnya.
“Kamu... ngga bunuh dia kan?” Tanya Ali.
“Ngga ada motif buat bunuh dia.” Jawab Anggi lagi.
“Lebih baik kamu angkat tangan sekarang, hukuman kamu akan lebih ringan kalau kamu menyerahkan diri dan cerita semuanya.” Ucap Ali.
“Kalau aku ngga mau gimana? Kamu masih mau ngelindungin aku ngga?...” Anggi membuang puntung rokok ke lantai, “kamu kan suami aku, kamu sayang sama aku, mau ngga?”
“Kamu jangan gila!” Teriak Ali.
“Jadi... kamu ngga mau?” Tanya Anggi.
Ali menggelengkan kepalanya secara pelan, kemudian Anggi pun tersenyum. Secara tiba-tiba, Anggi melempat pisau yang berasal dari sakunya dan menancap tepat di jantung Ali.
“Ak!...”
Ali diam tak berkutik menahan rasa sakit, secara perlahan Anggi pun berjalan mendekat ke arahnya. Mereka pun sudah berdiri berhadapan seraya beradu pandang, tangan Anggi meraih pisau yang menancap pada tubuh Ali dan dilepas secara perlahan. Rasa sakit tak terhindarkan hingga Ali terduduk lemas di lantai, Anggi pun berlutut di hadapannya seraya tersenyum.
“Maaf ya Sayang...”
Anggi sempat mencium Ali, kemudian ia kembali menusukkan pisau ke arah tubuh Ali di tempat yang berbeda.
“...karena kamu ngga mau lindungin aku.” Ucap Anggi.
Anggi kembali melepas pisau lalu menancapkan ke tempat yang berbeda, berkali-kali hingga tubuh Ali bersimbah darah. Anggi pun menancapkan pisau di tubuh Ali untuk yang terakhir kalinya, ketika Ali sudah memejamkan matanya, terbaring tak bernyawa di lantai.
Anggi pun bangun lalu berjalan keluar dari kamar seraya tersenyum, ia pun keluar dari rumah Sasa menuju mobilnya yang terparkir cukup jauh. Anggi menyalakan sebatang rokok seraya berjalan, ia pun menghembuskan asapnya ke arah langit lalu tersenyum begitu saja. Sore mengukuhkan raganya dengan sinar mentari yang akan terbenam, meninggalkan yang tersisa dan menutup kisah yang terungkap.
“Kasus pembunuhan bunga anggrek kembali terjadi, kali ini langsung memakan tiga korban sekaligus dalam satu waktu. Korban pertama berinisial T, yang merupakan salah satu wartawan televisi swasta. Korban kedua berinisial S, seorang perancang busana ternama. Korban terakhir berinisial A, yang diduga adalah salah satu detektif, di mana rekannya sudah menjadi korban terlebih dahulu. Pelaku kembali menunjukkan taringnya setelah beberapa bulan lalu menghilang begitu saja, lantas apa yang menjadi motifnya untuk kembali membunuh? Bersama saya, Anggi Mahardika, inilah Usut Tuntas.”
Tayangan pun menunjukkan lokasi di mana korban-korban ditemukan, seperti Talia yang duduk bersandar pada tempat sampah besar di jalan kecil, Ali dan Sasa yang ditemukan di dalam kamar. Anggi membaca kertas yang ia pegang, kemudian ia menatap ke arah layar yang sedang menyiarkan liputan tersebut, dan Anggi pun tersenyum.
“Makasih ya semua.” Ucap Anggi.
Anggi pun meninggalkan ruang rias setelah menyelesaikan siaran berita yang ia bawakan, ia berjalan dengan santainya dengan membawa tas di tangan kanannya. Anggi masuk ke dalam lift menuju lantai dasar bersama beberapa orang lain, hanya hening yang menemaninya di antara orang-orang yang sibuk dengan ponselnya. Anggi sempat melirik ke arah salah satu ponsel yang menampilkan berita pembunuhan Ali, ia kembali tersenyum begitu saja.
Ting! Pintu lift terbuka setibanya di lantai dasar, Anggi pun keluar bersama orang-orang itu. Ia berlalu menuju di mana mobilnya berada, Anggi pun masuk lalu meninggalkan kantor pada malam ini. Jari-jemarinya mengetuk-ngetuk pada setir mengikuti nada dari lagu yang ia dengar lewat radio, sesekali ia tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. Bahagia, menjadi satu-satunya ungkapan yang menggambarkan suasana hatinya saat ini. Tidak ada beban yang mengganggu pikirannya, sekalipun Ali menjadi korbannya.
Beberapa saat berlalu, Anggi memarkirkan mobilnya di tepi jalan. Ia pun keluar dari mobil lalu berjalan mendekat ke arah rumah. Ia melihat rangkaian-rangkaian bunga tanda berduka dari kerabat kerjanya, setelah mengetahui Ali menjadi korban pembunuhan. Hanya saja mereka tidak tau, siapa yang menjadi perenggut nyawa yang sebenarnya. Anggi kembali melempar senyum ke arah rangkaian-rangkaian bunga itu, sampai akhirnya ia membuka pintu lalu masuk ke dalam rumah.
“Mama pulang...”
Leony tidak menjawab sapaannya.
“...tidur kayaknya.” Ucap Anggi.
Anggi pun beranjak menuju dapur, ia mengambil minuman kaleng dari dalam lemari es. Ctek!Beberapa tegukan berhasil melepas dahaganya, ia membawa kaleng tersebut ke lantai atas. Anggi menyempatkan diri untuk masuk ke dalam kamar Leony, ia pun mendapati Leony yang sudah tertidur di atas kasur. Anggi pun tersenyum, ia meninggalkan kamar Leony untuk mengganti pakaian di kamarnya. Anggi membuka pintu kamarnya yang tidak pernah terkunci, lalu masuk ke dalam kamar.
“Ak!...”
Secara perlahan, Anggi menoleh ke arah samping, di mana ada Leony yang berdiri seraya menancapkan pisau ke arah perutnya dengan tepat. Anggi menatap ke arah pisau tersebut, hingga ia terduduk lemas di lantai. Ia kembali menatap Leony yang belum melepas pisau tersebut dari genggamannya.
“Ke... kenapa?” Tanyanya.
Leony mencabut pisau tersebut secara perlahan hingga membuat Anggi merintih kesakitan. Leony pun tersenyum begitu saja, melihat rintihan Anggi karena luka yang dibuatnya. Leony kembali menusukkan pisau ke arah perut Anggi beberapa kali, hingga Anggi bersimbah darah dan tak tertolong lagi.
Leony pun meletakkan pisau tersebut di tangan Anggi, kemudian ia merogoh sakunya untuk meletakkan kertas dan bunga anggrek untuk menutupi wajah Anggi. Ia pun berjalan keluar menuju kamarnya seraya melepas sarung tangan karet dari tangannya, benda itu pun dia simpan di dalam lemari pakaiannya. Leony pun menyibakkan selimut di kasurnya, hanya ada guling yang menyerupai bentuk tubuhnya. Ia pun meraih ponselnya lalu berjalan menuju lantai bawah dengan santainya.
Beberapa saat berlalu, petugas ambulans dan petugas kepolisian datang. Mereka menemukan Leony yang sedang menangis di halaman depan. Salah satu anggota polisi mencoba untuk menenangkannya.
“Mama...” Leony terisak, “Mama dibunuh.”
“Kamu yang sabar ya.” Ucap Petugas.
Petugas polisi yang lain masuk ke dalam rumah bersama petugas ambulans, mereka menyisir ruangan hingga menemukan Anggi yang sudah tewas di kamarnya. Petugas polisi yang sudah mengenakan sarung tangan karet, meraih kertas dan bunga anggrek yang menutupi wajah Anggi, untuk membaca apa yang tertulis di sana.
"Terima kasih untuk semua ilmunya. Sekarang, aku yang akan melanjutkan perjuangan pembunuh bunga anggrek darimu.”
Petugas itu kebingungan dengan apa yang dimaksud dari isi surat tersebut.
Leony terbangun dari tidurnya di tengah malam, ia memutuskan untuk keluar dari kamar menuju dapur untuk mengambil minum. Kling!
Ia menghentikan langkahnya setelah mendengar ada suara yang berasal dari dapur, secara perlahan Leony mencoba untuk mengintip dan mencari tahu apa yang terjadi. Ia pun menemukan Anggi yang sedang mencuci tangannya yang sudah bersimbar darah, Anggi pun juga membersihkan pisau yang juga bernoda. Leony nampak terkejut dengan apa yang ia lihat, dengan sabar ia menunggu apa yang akan Anggi lakukan berikutnya.
Anggi sedikit mendorong lemari es ke arah samping, ada laci kecil berbahan kayu yang dibuka. Ia pun meletakkan pisau tersebut ke dalam laci itu, bersama topeng dan juga pakaian yang ia kenakan. Tersisa pakaian dalam yang Anggi kenakan, ia kembali menutup laci itu dan kembali mendorong lemari es ke tempat semula. Anggi pun berjalan menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamarnya.
Leony yang penasaran pun beranjak menuju dapur dengan hati-hati. Setibanya di sana, ia pun melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan Anggi sebelumnya. Ia menemukan sebilah pisau, pakaian pelindung, hingga masker dengan warna senada. Leony juga menemukan sebuah kertas yang nampaknya ditulis tangan oleh Anggi.
“Kania, Agung...”
Leony membaca apa yang tertulis di sana.
“...Talia, maksudnya apa ya?” Tanya Leony bingung.
Ia pun bergegas untuk membereskan semuanya agar tidak ketahuan oleh Anggi dikemudian hari. Ia kembali masuk ke dalam kamar dengan segudang tanya di kepalanya.
Hari pun berganti, Leony keluar dari kamarnya pada pagi hari. Ia pun menuruni anak tangga menuju ruang tamu di mana suara televisi yang sedang menyiarkan berita terdengar.
“Selamat...”
Leony tak melanjutkan sapaannya setelah melihat Anggi yang sedang tersenyum seraya menyaksikan berita pembunuhan, dengan Kania yang menjadi korbannya. Ia kembali teringat dengan tulisan dari kertas di dalam laci rahasia Anggi, hingga ia menyadari bahwa itu adalah daftar-daftar korban berikutnya, yang akan Anggi bunuh entah kapan.
Malam demi malam pun berlalu, Leony mendapati Anggi yang kembali masuk ke dalam rumah dan membersihkan pisau yang sudah bernoda darah.
“Pasti Agung.” Ucap Leony.
Pagi menjelang, Leony bergegas menuju ruang tamu untuk memeriksa apa yang menjadi tebakannya sesuai dengan catatan Anggi. Benar saja, Agung menjadi korban pembunuhan. Namun tak disangka, Ali dan Anggi menangis saat melihat berita di televisi. Leony pun baru menyadari bahwa Damar juga menjadi korban pembunuhan yang dilakukan oleh Anggi dari siaran tersebut.
“Pasti sengaja...”
Ia melihat ke arah Anggi yang sedang menangis.
“...itu semua cuma pura-pura.” Ucap Leony datar.
Leony terisak di pelukan petugas kepolisian seraya menutup wajahnya dengan lengan kanannya, kemudian ia tersenyum dengan manisnya.
Ali menggelengkan kepalanya pelan, Anggi pun kembali tersenyum. Ia merogoh sakunya, sontak membuat Ali bersiaga dengan pistol di tangannya. Anggi mengeluarkan bungkus rokok dari sakunya, ia pun menyalakan sebatang rokok.
“Kamu mau?...”
Ali hanya diam dengan tangannya yang gemetar.
“...yaudah kalau ngga mau. Jadi, apa lagi yang mau kamu tanya?” Tanya Anggi.
“Dari kapan?” Tanya Ali.
“Dari kapan? Dari kapan aku membunuh maksud kamu?...”
Ali terdiam menunggu jawaban.
“...kalau itu maksud kamu, berarti aku memulai ini semua pas aku umur tiga belas tahun, tapi itu secara ngga sengaja. Ada pria brengsek yang selalu ganggu aku setiap aku pulang sekolah lewat jalan kecil. Suatu ketika aku muak sama perilakunya dia, dan aku ingat sama sebuah film tentang pembunuh berantai yang suka menyiksa korbannya...”
Ali memandang dengan tajam.
“...dari situ aku coba untuk melawan, mukul dia pakai balok, sayangnya ngga kena. Dia pun ngedorong aku ke tembok dan coba buat cium aku, untungnya kaki aku berhasil nendang kelaminnya dia. Dia sedikit menjauh, dan aku dorong dia, yang aku ngga tau itu kalau di belakangnya ada paku-paku yang timbul di tembok. Beberapa paku itu masuk ke kepalanya, dia ngga bisa bergerak, sampai akhirnya dia mati begitu aja...”
Ali menelan ludahnya.
“...disitulah aku ngerasa puas sama apa yang udah aku lakuin. Aku pun akan melakukan itu ke orang-orang yang ganggu aku. Kalau dihitung sampai sekarang, kayaknya udah ada empat belas korban.” Jelas Anggi.
“Empat belas? Delapan di antaranya, kejadian belakangan ini?” Tanya Ali terkejut.
“Delapan? Siapa aja?” Tanya Anggi bingung.
“Korban di selokan, model di belakang panggung, penjahit, dokter Kania, Agung, Damar, Talia, dan terakhir Sasa. Itu delapan korban kan?” Ucap Ali.
“Kayaknya kamu salah deh, mau duduk dulu sambil aku cerita?” Tanya Anggi.
Ali hanya menggelengkan kepalanya dalam diam.
“Oke, aku ceritain satu-satu ya. Sebenernya aku udah lama banget ngga ngebunuh orang, sampai akhirnya kasus pembunuhan di selokan muncul di permukaan. Aku ngerasa termotivasi sama apa yang udah dia lakuin, tapi aku butuh motif untuk ngelakuin itu semua, dan aku inget sama salah satu model yang akhirnya aku bunuh...”
Anggi menghisap rokoknya.
“...dia salah satu orang yang pernah kerja bareng sama aku di LTV. Dia selalu cerita kalau punya mimpi jadi model, sampai dia bela-belain bolos dari kantor untuk ikut salah satu kompetisi model. Singkat cerita, dia akhirnya keluar dari kantor karena berhasil jadi model, ninggalin tugasnya begitu aja. Itu bisa jadi motif aku buat ngebunuh dia...”
Ali menghela nafasnya.
“...terus dokter yang aku bunuh, aku rasa keberadaannya dia akan mengancam. Itu pun yang bikin aku bunuh dia di ruangannya. Begitu juga dengan Agung, dia orang yang paling mengancam di antara semua korban. Soal Damar, aku ngga sengaja...”
Ali menguatkan genggamannya pada pistol.
“...aku beneran ngga sengaja buat nembak dia, ngga ada sama sekali rencana aku untuk ngebunuh dia. Semuanya diluar rencana yang udah aku bikin, itu juga yang akhirnya buat aku harus membunuh Sasa juga.” Jawab Anggi.
“Terus korban di selokan dan Talia?” Tanya Ali.
“Cukup lama buat aku nyadarin, kalau Talia adalah pelaku dari korban itu, sampai akhirnya aku berhasil bongkar itu semua...”
“Kalau gitu, aku pamit ya.” Ucap Talia.
Wanita itu tersenyum setelah mendapat bantuan berupa uang. Talia pun berdiri dan bersiap untuk kembali menuju di mana mobilnya terparkir.
“Tal...”
Talia membalikan badannya.
“...Talia.” Sapa Anggi.
Talia melihat Anggi yang melambaikan tangan padanya di seberang jalan, ia pun melambaikan tangan seraya tersenyum. Talia akhirnya menghampiri Anggi untuk sekedar menyapa, ia menyeberangi jalan.
“Eh Kak Anggi, kok ada di sini?” Tanya Talia.
“Aku abis mampir tadi. Kamu sendiri?” Ucap Anggi.
“Aku... abis ketemu sama kenalan aku.” Jawabnya.
“Kenalan kamu? Di bangunan itu?” Tanya Anggi heran.
Talia menghela nafas, “Ada seorang wanita yang dulu pernah bantu aku semasa kecil. Sampai akhirnya aku ketemu lagi sama dia, dan dia tinggal di situ. Aku ngerasa punya hutang budi sama dia, jadi sebisa mungkin aku mau bantu dia.”
“Kalau hutang budi sama korban di selokan gimana?...”
Sontak Talia terkejut dengan apa yang Anggi ucapkan.
“...kamu kan yang ngebunuh dia?” Tanya Anggi.
“Kok... Kak Anggi...”
Talia tak melanjutkan ucapannya ketika Anggi melempar senyum, ia merasa terintimidasi dengan senyuman itu. Secara cepat Anggi mendekat ke arah Talia seraya menusuk tubuh Talia dengan pisau yang disembunyikan di balik lengannya.
“Ak!...”
“Jadi gimana soal hutang budi itu?...”
Talia tak bisa berkata-kata dengan rasa sakit yang ia rasakan.
“...tapi berkat kamu, aku jadi punya motivasi untuk membunuh lagi, terima kasih ya.” Ucap Anggi.
Anggi kembali menusukkan pisau beberapa kali di tubuh Talia. Secara perlahan, Anggi menyandarkan tubuh Talia pada tempat sampah besar. Ia menyadari bahwa Talia masih bernafas, Anggi pun berlutut di hadapan Talia seraya merogoh sakunya. Ia mengeluarkan kertas dan pulpen lalu menuliskan kata-kata di sana, kemudian Anggi meletakkan kertas itu dan juga bunga anggrek di tangan Talia.
“Sampaikan pesan ini pada Ali...”
Anggi tersenyum kemudian berdiri.
“...makasih ya.” Ucap Anggi.
Anggi pun berlalu meninggalkan Talia, ia berjalan menuju di mana mobilnya terparkir. Anggi mengemudikan mobilnya seraya menghubungi Sasa dari ponselnya.
“Halo Sa, kamu di rumah kan? Aku boleh mampir?” Tanya Anggi.
“...kurang lebih kayak gitu.” Jelas Anggi.
“Leony di mana?” Tanya Ali.
“Di rumah.” Jawabnya.
“Kamu... ngga bunuh dia kan?” Tanya Ali.
“Ngga ada motif buat bunuh dia.” Jawab Anggi lagi.
“Lebih baik kamu angkat tangan sekarang, hukuman kamu akan lebih ringan kalau kamu menyerahkan diri dan cerita semuanya.” Ucap Ali.
“Kalau aku ngga mau gimana? Kamu masih mau ngelindungin aku ngga?...” Anggi membuang puntung rokok ke lantai, “kamu kan suami aku, kamu sayang sama aku, mau ngga?”
“Kamu jangan gila!” Teriak Ali.
“Jadi... kamu ngga mau?” Tanya Anggi.
Ali menggelengkan kepalanya secara pelan, kemudian Anggi pun tersenyum. Secara tiba-tiba, Anggi melempat pisau yang berasal dari sakunya dan menancap tepat di jantung Ali.
“Ak!...”
Ali diam tak berkutik menahan rasa sakit, secara perlahan Anggi pun berjalan mendekat ke arahnya. Mereka pun sudah berdiri berhadapan seraya beradu pandang, tangan Anggi meraih pisau yang menancap pada tubuh Ali dan dilepas secara perlahan. Rasa sakit tak terhindarkan hingga Ali terduduk lemas di lantai, Anggi pun berlutut di hadapannya seraya tersenyum.
“Maaf ya Sayang...”
Anggi sempat mencium Ali, kemudian ia kembali menusukkan pisau ke arah tubuh Ali di tempat yang berbeda.
“...karena kamu ngga mau lindungin aku.” Ucap Anggi.
Anggi kembali melepas pisau lalu menancapkan ke tempat yang berbeda, berkali-kali hingga tubuh Ali bersimbah darah. Anggi pun menancapkan pisau di tubuh Ali untuk yang terakhir kalinya, ketika Ali sudah memejamkan matanya, terbaring tak bernyawa di lantai.
Anggi pun bangun lalu berjalan keluar dari kamar seraya tersenyum, ia pun keluar dari rumah Sasa menuju mobilnya yang terparkir cukup jauh. Anggi menyalakan sebatang rokok seraya berjalan, ia pun menghembuskan asapnya ke arah langit lalu tersenyum begitu saja. Sore mengukuhkan raganya dengan sinar mentari yang akan terbenam, meninggalkan yang tersisa dan menutup kisah yang terungkap.
*
“Kasus pembunuhan bunga anggrek kembali terjadi, kali ini langsung memakan tiga korban sekaligus dalam satu waktu. Korban pertama berinisial T, yang merupakan salah satu wartawan televisi swasta. Korban kedua berinisial S, seorang perancang busana ternama. Korban terakhir berinisial A, yang diduga adalah salah satu detektif, di mana rekannya sudah menjadi korban terlebih dahulu. Pelaku kembali menunjukkan taringnya setelah beberapa bulan lalu menghilang begitu saja, lantas apa yang menjadi motifnya untuk kembali membunuh? Bersama saya, Anggi Mahardika, inilah Usut Tuntas.”
Tayangan pun menunjukkan lokasi di mana korban-korban ditemukan, seperti Talia yang duduk bersandar pada tempat sampah besar di jalan kecil, Ali dan Sasa yang ditemukan di dalam kamar. Anggi membaca kertas yang ia pegang, kemudian ia menatap ke arah layar yang sedang menyiarkan liputan tersebut, dan Anggi pun tersenyum.
ø
“Makasih ya semua.” Ucap Anggi.
Anggi pun meninggalkan ruang rias setelah menyelesaikan siaran berita yang ia bawakan, ia berjalan dengan santainya dengan membawa tas di tangan kanannya. Anggi masuk ke dalam lift menuju lantai dasar bersama beberapa orang lain, hanya hening yang menemaninya di antara orang-orang yang sibuk dengan ponselnya. Anggi sempat melirik ke arah salah satu ponsel yang menampilkan berita pembunuhan Ali, ia kembali tersenyum begitu saja.
Ting! Pintu lift terbuka setibanya di lantai dasar, Anggi pun keluar bersama orang-orang itu. Ia berlalu menuju di mana mobilnya berada, Anggi pun masuk lalu meninggalkan kantor pada malam ini. Jari-jemarinya mengetuk-ngetuk pada setir mengikuti nada dari lagu yang ia dengar lewat radio, sesekali ia tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. Bahagia, menjadi satu-satunya ungkapan yang menggambarkan suasana hatinya saat ini. Tidak ada beban yang mengganggu pikirannya, sekalipun Ali menjadi korbannya.
Beberapa saat berlalu, Anggi memarkirkan mobilnya di tepi jalan. Ia pun keluar dari mobil lalu berjalan mendekat ke arah rumah. Ia melihat rangkaian-rangkaian bunga tanda berduka dari kerabat kerjanya, setelah mengetahui Ali menjadi korban pembunuhan. Hanya saja mereka tidak tau, siapa yang menjadi perenggut nyawa yang sebenarnya. Anggi kembali melempar senyum ke arah rangkaian-rangkaian bunga itu, sampai akhirnya ia membuka pintu lalu masuk ke dalam rumah.
“Mama pulang...”
Leony tidak menjawab sapaannya.
“...tidur kayaknya.” Ucap Anggi.
Anggi pun beranjak menuju dapur, ia mengambil minuman kaleng dari dalam lemari es. Ctek!Beberapa tegukan berhasil melepas dahaganya, ia membawa kaleng tersebut ke lantai atas. Anggi menyempatkan diri untuk masuk ke dalam kamar Leony, ia pun mendapati Leony yang sudah tertidur di atas kasur. Anggi pun tersenyum, ia meninggalkan kamar Leony untuk mengganti pakaian di kamarnya. Anggi membuka pintu kamarnya yang tidak pernah terkunci, lalu masuk ke dalam kamar.
“Ak!...”
Secara perlahan, Anggi menoleh ke arah samping, di mana ada Leony yang berdiri seraya menancapkan pisau ke arah perutnya dengan tepat. Anggi menatap ke arah pisau tersebut, hingga ia terduduk lemas di lantai. Ia kembali menatap Leony yang belum melepas pisau tersebut dari genggamannya.
“Ke... kenapa?” Tanyanya.
Leony mencabut pisau tersebut secara perlahan hingga membuat Anggi merintih kesakitan. Leony pun tersenyum begitu saja, melihat rintihan Anggi karena luka yang dibuatnya. Leony kembali menusukkan pisau ke arah perut Anggi beberapa kali, hingga Anggi bersimbah darah dan tak tertolong lagi.
Leony pun meletakkan pisau tersebut di tangan Anggi, kemudian ia merogoh sakunya untuk meletakkan kertas dan bunga anggrek untuk menutupi wajah Anggi. Ia pun berjalan keluar menuju kamarnya seraya melepas sarung tangan karet dari tangannya, benda itu pun dia simpan di dalam lemari pakaiannya. Leony pun menyibakkan selimut di kasurnya, hanya ada guling yang menyerupai bentuk tubuhnya. Ia pun meraih ponselnya lalu berjalan menuju lantai bawah dengan santainya.
Beberapa saat berlalu, petugas ambulans dan petugas kepolisian datang. Mereka menemukan Leony yang sedang menangis di halaman depan. Salah satu anggota polisi mencoba untuk menenangkannya.
“Mama...” Leony terisak, “Mama dibunuh.”
“Kamu yang sabar ya.” Ucap Petugas.
Petugas polisi yang lain masuk ke dalam rumah bersama petugas ambulans, mereka menyisir ruangan hingga menemukan Anggi yang sudah tewas di kamarnya. Petugas polisi yang sudah mengenakan sarung tangan karet, meraih kertas dan bunga anggrek yang menutupi wajah Anggi, untuk membaca apa yang tertulis di sana.
"Terima kasih untuk semua ilmunya. Sekarang, aku yang akan melanjutkan perjuangan pembunuh bunga anggrek darimu.”
Petugas itu kebingungan dengan apa yang dimaksud dari isi surat tersebut.
Leony terbangun dari tidurnya di tengah malam, ia memutuskan untuk keluar dari kamar menuju dapur untuk mengambil minum. Kling!
Ia menghentikan langkahnya setelah mendengar ada suara yang berasal dari dapur, secara perlahan Leony mencoba untuk mengintip dan mencari tahu apa yang terjadi. Ia pun menemukan Anggi yang sedang mencuci tangannya yang sudah bersimbar darah, Anggi pun juga membersihkan pisau yang juga bernoda. Leony nampak terkejut dengan apa yang ia lihat, dengan sabar ia menunggu apa yang akan Anggi lakukan berikutnya.
Anggi sedikit mendorong lemari es ke arah samping, ada laci kecil berbahan kayu yang dibuka. Ia pun meletakkan pisau tersebut ke dalam laci itu, bersama topeng dan juga pakaian yang ia kenakan. Tersisa pakaian dalam yang Anggi kenakan, ia kembali menutup laci itu dan kembali mendorong lemari es ke tempat semula. Anggi pun berjalan menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamarnya.
Leony yang penasaran pun beranjak menuju dapur dengan hati-hati. Setibanya di sana, ia pun melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan Anggi sebelumnya. Ia menemukan sebilah pisau, pakaian pelindung, hingga masker dengan warna senada. Leony juga menemukan sebuah kertas yang nampaknya ditulis tangan oleh Anggi.
“Kania, Agung...”
Leony membaca apa yang tertulis di sana.
“...Talia, maksudnya apa ya?” Tanya Leony bingung.
Ia pun bergegas untuk membereskan semuanya agar tidak ketahuan oleh Anggi dikemudian hari. Ia kembali masuk ke dalam kamar dengan segudang tanya di kepalanya.
Hari pun berganti, Leony keluar dari kamarnya pada pagi hari. Ia pun menuruni anak tangga menuju ruang tamu di mana suara televisi yang sedang menyiarkan berita terdengar.
“Selamat...”
Leony tak melanjutkan sapaannya setelah melihat Anggi yang sedang tersenyum seraya menyaksikan berita pembunuhan, dengan Kania yang menjadi korbannya. Ia kembali teringat dengan tulisan dari kertas di dalam laci rahasia Anggi, hingga ia menyadari bahwa itu adalah daftar-daftar korban berikutnya, yang akan Anggi bunuh entah kapan.
Malam demi malam pun berlalu, Leony mendapati Anggi yang kembali masuk ke dalam rumah dan membersihkan pisau yang sudah bernoda darah.
“Pasti Agung.” Ucap Leony.
Pagi menjelang, Leony bergegas menuju ruang tamu untuk memeriksa apa yang menjadi tebakannya sesuai dengan catatan Anggi. Benar saja, Agung menjadi korban pembunuhan. Namun tak disangka, Ali dan Anggi menangis saat melihat berita di televisi. Leony pun baru menyadari bahwa Damar juga menjadi korban pembunuhan yang dilakukan oleh Anggi dari siaran tersebut.
“Pasti sengaja...”
Ia melihat ke arah Anggi yang sedang menangis.
“...itu semua cuma pura-pura.” Ucap Leony datar.
Leony terisak di pelukan petugas kepolisian seraya menutup wajahnya dengan lengan kanannya, kemudian ia tersenyum dengan manisnya.
ø ø ø
© BeaverMoon. 2023.
© BeaverMoon. 2023.
0
Kutip
Balas