- Beranda
- Stories from the Heart
KELOPAK BUNGA ANGGREK
...
TS
beavermoon
KELOPAK BUNGA ANGGREK

Halo semuanya.
Beavermoon kembali hadir dengan cerita terbaru, dan kali ini kita akan mengusung tema detektif.
Kenapa tema detektif? Karena sebenarnya cerita ini berawal dari cerita pendek yang dibuat untuk perlombaan. Berhubung terbatasnya jumlah kata saat itu, akhirnya dibuatlah versi lengkapnya yang baru selesai beberapa bulan lalu.
Kenapa tidak buat cerita romantis lagi? Kehabisan ide, atau bisa dibilang butuh waktu untuk mengistirahatkan diri dari romansa-romansa yang sudah semakin banyak.
Apa tidak akan membuat cerita romantis lagi? Masih dalam pembuatan.
Jika ada dari suhu-suhu sekalian yang belum sempat membaca karya-karya Beavermoon sebelumnya, bisa langsung ke TKP :
Semoga suhu-suhu terhibur dengan cerita tema detektif perdana dari Beavermoon.
Salam Lemon.
Spoiler for Ringkasan:
Kasus pembunuhan kembali terjadi setelah sekian lama. Ali dan Damar, yang bekerja sebagai detektif pun mulai memecahkan kasus yang ada. Sayangnya, belum selesai dengan satu kasus, muncul kasus lain yang semakin memperkeruh keadaan.
Teringat akan satu kasus beberapa tahun silam, dimana sang pembunuh memiliki pola yang terstruktur hingga sulit untuk dipecahkan. Ali dan Damar menjadikan laporan kasus itu sebagai alat bantu untuk mencari, siapa pembunuh yang kembali beraksi. Dugaan demi dugaan terus bermunculan, mulai dari orang yang belum pernah mereka temui, hingga orang-orang terdekat.
Lalu, siapakah pembunuh kali ini?
Spoiler for Episode:
1. Kasus Lama yang Terulang. (Part 1)
2. Kasus Lama yang Terulang. (Part 2)
3. Sudah Menemukan Petunjuk? (Part 1)
4. Sudah Menemukan Petunjuk? (Part 2)
5. Terbang Terlalu Tinggi, Namun Jatuh Dengan Keras. (Part 1)
6. Terbang Terlalu Tinggi, Namun Jatuh Dengan Keras. (Part 2)
7. Setitik Lentera dari Gelap Gulita. (Part 1)
8. Setitik Lentera dari Gelap Gulita. (Part 2)
9. Lentera Lain di Gelap Berbeda. (Part 1)
10. Lentera Lain di Gelap Berbeda. (Part 2)
11. Kejutan Demi Kejutan pun Berdatangan. (Part 1)
12. Kejutan Demi Kejutan pun Berdatangan. (Part 2)
13. Lalu, Siapakah Pelakunya? (Part 1)
14. Lalu, Siapakah Pelakunya? (Part 2)
15. Kebetulan? (Part 1)
16. Kebetulan? (Part 2)
17. Semakin Dekat? (Part 1)
18. Semakin Dekat? (Part 2)
19. Hilangnya Penunjuk Arah.
20. Lembaran Baru dengan Cerita yang Sama.
21. Upaya Terakhir yang Membuahkan Hasil. (Part 1)(FINALE)
22. Upaya Terakhir yang Membuahkan Hasil. (Part 2) (FINALE)
2. Kasus Lama yang Terulang. (Part 2)
3. Sudah Menemukan Petunjuk? (Part 1)
4. Sudah Menemukan Petunjuk? (Part 2)
5. Terbang Terlalu Tinggi, Namun Jatuh Dengan Keras. (Part 1)
6. Terbang Terlalu Tinggi, Namun Jatuh Dengan Keras. (Part 2)
7. Setitik Lentera dari Gelap Gulita. (Part 1)
8. Setitik Lentera dari Gelap Gulita. (Part 2)
9. Lentera Lain di Gelap Berbeda. (Part 1)
10. Lentera Lain di Gelap Berbeda. (Part 2)
11. Kejutan Demi Kejutan pun Berdatangan. (Part 1)
12. Kejutan Demi Kejutan pun Berdatangan. (Part 2)
13. Lalu, Siapakah Pelakunya? (Part 1)
14. Lalu, Siapakah Pelakunya? (Part 2)
15. Kebetulan? (Part 1)
16. Kebetulan? (Part 2)
17. Semakin Dekat? (Part 1)
18. Semakin Dekat? (Part 2)
19. Hilangnya Penunjuk Arah.
20. Lembaran Baru dengan Cerita yang Sama.
21. Upaya Terakhir yang Membuahkan Hasil. (Part 1)(FINALE)
22. Upaya Terakhir yang Membuahkan Hasil. (Part 2) (FINALE)
Diubah oleh beavermoon 20-05-2023 18:38
sukhhoi dan 2 lainnya memberi reputasi
3
3.4K
Kutip
35
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#22
Spoiler for 21. Upaya Terakhir yang Membuahkan Hasil. (Part 1) (FINALE):
Ali menghentikan mobilnya di tepi jalan, ia pun keluar lalu berjalan dengan santai menaiki bukit menuju makam Damar. Setibanya di sana, ia pun duduk di samping batu nisan, lalu memandang ke arah perkotaan. Ali mengambil dua batang rokok dari bungkusnya, ia menyalakan satu batang lalu meletakkan satu batang lain di atas makam Damar.
“Kayaknya pelaku bakalan balik lagi...”
Ali menghembuskan asap rokok dari mulutnya.
“...gue harus gimana ya Mar? Lo udah ngga ada, Agung udah ngga ada, Kania udah ngga ada, sisa gue sendirian. Kita berempat aja gagal buat nangkep dia, apalagi cuma gue?...”
Ali menghisap rokoknya, bersamaan dengan angin semilir yang datang.
“...nah, lo aja bingung. Apa pasrah aja ya Mar? Biarin dia selesaiin apa yang dia mau, siapapun korbannya?...”
Tiba-tiba saja angin kencang berhembus dari belakang.
“...oke kalau lo ngga setuju, tapi gimana caranya Mar kalau cuma gue sendirian? Gue sempet mikir untuk kembali investigasi kayak yang mau Agung lakuin, cuma gue ngga tau harus mulai dari mana... bentar...”
Ali menatap ke arah nisan.
“...gue harus nemuin ajudannya Agung yang dulu, mungkin dia tau rencana Agung untuk investigasi di luar wewenangnya. Bener ngga?...”
Suasana sangat hening di pemakaman ini.
“....oke, kalau gitu gue cari ajudannya dia.” Ucap Ali.
Ali bangun dari duduknya dan meninggalkan makam Damar untuk kembali masuk ke dalam mobil. Ia pun berlalu menuju kantor polisi, di mana mungkin saja ajudan Agung yang dulu masih bertugas di sana. Pagi berawan pun menemani Ali, hingga ia memarkirkan mobilnya di antara mobil-mobil lain. Ali keluar dari mobil menuju pos keamanan yang ada di depan, ada dua orang petugas yang sedang berjaga di sana.
“Permisi Pak.” Sapa Ali.
“Iya Pak, ada yang bisa dibantu?” Tanya salah satu petugas.
“Saya mau tanya, apa ajudannya mendiang Pak Agung yang dulu masih bertugas di sini?” Tanya Ali.
“Oh masih Pak, sekarang dia di bagian logistik. Ada perlu apa ya Pak?” Ucap Petugas.
“Saya mau ketemu Pak, udah lumayan lama terakhir saya ketemu sama dia, terlebih setelah kejadian mendiang Pak Agung.” Ucap Ali.
“Oh boleh Pak, silahkan Bapak ke arah gedung di selatan. Ruangannya ada di pintu pertama dan ada tulisan logistiknya.” Jawab Petugas.
“Baik Pak, terima kasih.” Ucap Ali.
Ali pun berlalu sesuai petunjuk dari petugas tersebut, ia berjalan menuju gedung yang ada di selatan. Setibanya di sana, ia melihat pintu pertama dan menemukan ajudan mendiang Agung yang sedang menghisap rokok di sana. Ali pun mempercepat jalannya untuk menghampirinya.
“Permisi...”
Ajudan itu menatap ke arah Ali, ia pun sedikit terkejut.
“...masih inget saya Pak?” Tanya Ali.
“Oh Pak detektif ya? Inget Pak...” Mereka pun berjabat tangan, “apa kabar Pak? Udah lama ngga ketemu.”
“Iya Pak, kita sama-sama sibuk.” Jawab Ali.
“Ada perlu apa ya Pak?” Tanyanya.
“Jadi, ada yang mau saya tanya perihal mendiang Pak Agung. Apa Bapak tau rencana-rencana Pak Agung terkait pembunuhan berantai beberapa bulan lalu?” Tanya Ali.
“Rencana? Maksudnya?” Tanyanya bingung.
“Maksud saya, apa dulu Pak Agung ada rencana untuk bertindak di luar wewenangnya dia? Seperti penyelidikan independen gitu?” Tanya Ali.
Ali dengan mudah menyadari adanya perubahan ekspresi dari ajudan itu, namun ia memilih untuk diam dan memberi ruang untuknya berpikir.
“A... ada Pak. Bapak tunggu di sini sebentar ya.” Ucapnya.
Ali menganggukkan kepalanya, ajudan itu berlalu ke dalam ruangan. Ali menyalakan sebang rokok selagi menunggu, sampai akhirnya ajudan itu kembali dari ruangannya.
“Ini Pak...”
Ajudan itu menyerahkan buku bersampul kulit berwarna hitam, dan Ali pun menerima buku itu.
“...saya pernah diceritakan soal rencana itu sama mendiang Pak Agung, sayangnya sebelum rencananya terjadi, pelaku sudah memburu beliau lebih cepat.” Jelasnya.
“Saya boleh lihat isinya Pak?” Tanya Ali.
“Simpen aja Pak, siapa tau suatu saat nanti ada penyelidikan lagi.” Jawabnya.
“Baik Pak, terima kasih.” Ucap Ali.
“Semoga pelaku bisa diadili suatu saat nanti.” Sahut ajudan.
Ali mengangguk secara perlahan. Ia dapat merasakan dendam yang terpancar dari mata sang ajudan, bersamaan dengan rasa sedih yang muncul begitu saja. Ali mewajarkan jika ia merasakan itu, sama seperti apa yang ia rasakan ketika Damar menjadi korban berikutnya.
Akhirnya Ali memutuskan untuk pergi dari kantor polisi, ia masuk ke dalam mobil seraya menghisap rokoknya. Ia pun membuka buku yang baru diberikan, secara perlahan Ali membaca apa yang tertulis di sana. Tulisan tangan dengan tinta biru pun mencolok, dengan mudahnya Ali membaca apa saja yang sudah dituliskan Agung. Kata demi kata Ali baca dalam hati, ia mencari bagian mana yang membahas tentang pelaku pembunuhan yang dimaksud.
“Ini dia.” Ucap Ali.
“Kasus pembunuhan dengan bunga anggrek, Payung Kuning lain yang kembali muncul setelah sekian lama. Jika dibandingkan, pelaku lebih rapi dan lebih terstruktur. Namun serapi apapun, akan selalu meninggalkan jejak.
Pertama, benang yang digunakan selalu benang jahit. Terlalu spesifik kepada seseorang yang terbiasa menggunakan benang jahit dan mengerucut pada beberapa latar belakang.
Kedua, pelaku cukup ahli menggunakan pisau. Terbukti dengan hasil sayatan yang rapi dan terarah, bukan sesuatu yang dikerjakan dengan sembarangan. Arah pun semakin mengerucut pada beberapa ahli profesi.
Ketiga, semuanya berubah ketika salah satu ahli profesi juga menjadi korban yang semula menjadi terduga. Arah pun semakin meluas dan tak terbatas, bahkan semakin abu-abu hingga memungkinkan mencapai batas akhir yang diberikan oleh pengadilan.
Dengan itu, rencana cadangan pun akan dilakukan. Penyelidikan diluar wewenang akan dimulai pada malam ini, dengan beberapa rencana. Bantuan dari beberapa anggota untuk disebar ke beberapa titik, dengan maksud meminimalisir pergerakan pelaku jika ada pembunuhan lain.
Dari barang-barang bukti yang ditemukan, termasuk dengan surat-surat yang diterima oleh detektif, hipotesa sementara merujuk pada ahli profesi di bidang benang jahit, bidang pembedahan, dan bidang penulisan...”
“Bidang penulisan?” Tanya Ali.
“...bidang penulisan muncul belakangan setelah beberapa surat ditemukan, dengan gaya bahasanya yang bisa dikatakan cukup fasih. Ahli profesi pun beragam terkait bidang ini, bisa termasuk pujangga hingga guru, bahkan ada beberapa ahli profesi yang tidak terpikirkan. Bisa saja orang-orang yang bekerja di bidang kreatif seperti agensi hingga pertelevisian.
Penjahit? Bukan. Dokter bedah? Bukan. Talia?
Instruksikan satu sampai dua orang untuk membuntuti pergerakan Talia, sementara beberapa orang lain ditempatkan di kantornya untuk memperluas pencarian.”
“Talia?” Tanya Ali seorang diri.
Ali menutup buku tersebut lalu ia letakkan ke dalam laci mobil, ia kembali menyalakan sebatang rokok seraya membuka kaca jendela. Ali mencoba memikirkan apakah ia akan mengikuti rencana yang ditulis Agung, atau ia punya rencana lain. Beberapa saat berlalu, akhirnya Ali membuang rokoknya ke luar lalu mengemudikan mobilnya pada siang berawan ini.
Mobil pun berhenti di tepi jalan, Ali menatap ke arah seberang di mana kantor LTV berada. Ia memutuskan tidak masuk ke dalam kawasan kantor, ia cukup dikenal berkat Anggi yang juga bekerja di sana. Ali pun menyandarkan tubuhnya seraya menyalakan sebatang rokok, berharap Talia akan muncul kapan saja.
Tiga puluh menit berlalu, Ali masih belum menemukan Talia dari pandangannya. Ada banyak orang yang berlalu lalang di kawasan kantor, namun tidak ada satupun Talia di sana. Ali menghela nafasnya, ia kembali menyalakan sebatang rokok dan memberi waktu lagi untuk menunggu.
Satu jam pun terlewati dengan rasa bosan, Ali menyandarkan kepalanya pada setir mobil seraya memejamkan matanya. Rasanya sia-sia apa yang sudah ia lakukan, namun ia masih ingin memberikan waktu sedikit lagi untuk yang terakhir kalinya, meskipun tidak ada jaminan jika ia akan menemukan Talia di sana.
Dua jam berlalu, Ali menghisap rokok dan menghembuskan asapnya ke arah jendela. Ting! Ada pesan masuk dari ponselnya, ia sempat membaca pesan tersebut. Talia pun akhirnya muncul, ia berjalan keluar dari gedung menuju parkiran mobil. Ali pun menyadari kemunculannya, ia kembali memasukkan ponsel dan fokus mengikuti ke mana Talia melangkah. Talia masuk ke dalam mobil lalu meninggalkan kawasan kantor, Ali pun tidak menyia-nyiakan usahanya untuk membuntuti Talia dari belakang.
Beberapa saat berlalu, akhirnya Talia menghentikan mobilnya di tepi jalan. Ia pun keluar dari mobil lalu berjalan menuju bangunan tua yang sudah lama tak dihuni. Ali menghentikan mobilnya beberapa meter di belakang, ia pun menatap Talia yang berjalan ke arah bangunan itu. Talia sempat melihat ke arah sekeliling, sebelum akhirnya ia kembali berjalan ke belakang bangunan itu.
“Mau ngapain dia?” Tanya Ali.
Ali pun ikut keluar dari mobil, secara perlahan ia mengikuti ke mana Talia pergi. Ali pun menghentikan langkahnya ketika mendengar ada perbincangan, ia sempat mengintip ke arah Talia berada. Ia pun menemukan Talia yang sedang berbincang dengan seorang wanita tua yang duduk bersandar pada bangunan. Talia berlutut di hadapan wanita itu seraya merogoh sakunya, Ali pun melepas pistol dari sabuk pengaman yang dipasang di pinggangnya untuk berjaga. Akhirnya, Ali kembali memasang pistol pada sabuk pengaman lagi, ketika melihat apa yang ada di hadapannya.
Talia memberikan sejumlah uang kepada wanita itu, ia pun terlihat bahagia setelah memberikan uang itu. Wanita itu pun juga tersenyum kepadanya, ia pun memeluk Talia dengan hangat seraya memejamkan matanya. Ali menghela nafasnya, pikirannya serasa bermain-main ketika kecurigaannya berbanding terbalik dengan apa yang ia temukan. Ada rasa bersalah yang muncul begitu saja, mencurigai seseorang yang ternyata sedang berbuat kebaikan kepada orang lain yang membutuhkan.
“Kalau gitu, aku pamit ya.” Ucap Talia.
Ali yang mendengar itu pun dengan segera kembali menuju mobilnya agar tidak ketahuan. Ia pun masuk ke dalam mobil untuk menunggu Talia yang akan segera kembali. Ali merasa ada yang janggal ketika beberapa menit sudah berlalu, namun Talia tak kunjung kembali.
“Ada yang aneh.” Ucap Ali.
Ali memutuskan untuk kembali keluar dari mobilnya, ia pun berjalan mendekat ke arah bangunan tua. Ali kembali mengintip, ia tak menemukan Talia di sana, hanya ada wanita tua yang masih duduk seraya menyandarkan tubuhnya. Ali yang penasaran pun mendekat ke arah wanita itu seraya berlutut.
“Ibu, permisi...”
Wanita itu menatap ke arahnya.
“...apa ada wanita yang ke sini bernama Talia?” Tanya Ali.
“Oh ada, barusan dia di sini, terus dipanggil ke sana.” Jawabnya.
Wanita itu menunjuk ke arah seberang jalan, Ali pun mengangguk lalu meninggalkannya untuk kembali membuntuti ke mana Talia pergi. Ali menyeberangi jalan menuju jalan kecil di antara banyaknya apartemen tinggi, ia kembali mengambil pistol untuk berjaga. Ali pun menghentikan langkahnya, ketika melihat Talia yang sudah duduk bersandar pada tempat sampah besar, seragamnya yang berwarna putih sudah berubah karena tubuhnya yang bersimbah darah. Dengan cepat, Ali berlari lalu berlutut di hadapannya.
“Talia, Talia...”
Talia sempat mengangkat kepalanya untuk menatap Ali sesaat, ia pun kembali tertunduk dan menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya. Ali melihat ada secarik kertas dan bunga anggrek di tangan kanan Talia, ia pun mengambil kertas itu.
“Apa sekarang waktu yang tepat untuk membunuhmu?”
Ali menatap ke arah sekeliling, ia pun mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi ambulans seraya berjalan menjauh dari tempat kejadian.
“Halo, saya mau melaporkan ada kasus pembunuhan di jalan Malawi. Segera kirim ambulans dan petugas kepolisian sekarang.” Ucap Ali.
Ali memutuskan panggilan tersebut lalu berjalan lebih cepat ke ujung jalan, dengan harapan pelaku masih belum terlalu jauh dari lokasinya sekarang. Sayangnya, tidak ada yang bisa ia curigai, Ali pun memutuskan untuk kembali ke mobilnya.
Ali mengemudikan mobilnya, meninggalkan mobil Talia yang masih terparkir di tepi jalan. Dengan sengaja Ali berbelok ke arah tempat kejadian, sudah ada ambulans dan petugas kepolisian yang memasang garis pembatas. Ali memelankan laju mobil untuk sekedar melihat, mayat Talia sudah dimasukkan ke dalam plastik untuk di bawa, dan Ali pun melanjutkan perjalanannya.
Genggaman tangan Ali yang kuat pada setir mobil cukup menggambarkan apa yang ia rasakan, emosinya nampak terbakar mengetahui pelaku mempermainkannya dengan mencari korban lain. Tatapannya menajam seraya kepalanya berpikir untuk mencari ke mana pelaku pergi, sampai akhirnya Ali menepikan mobilnya.
“Apa sekarang waktu yang tepat untuk membunuhmu?”
Ali kembali membaca kertas itu berulang-ulang, ia tidak menemukan petunjuk ke mana pelaku akan bergerak kemudian. Ali kembali menghela nafasnya untuk kesekian kalinya, agar pikirannya bisa berjalan lebih baik, sampai akhirnya Ali melihat sisi belakang kertas tersebut.
“Atau Sasa dulu?”
Dengan cepat Ali mengambil ponselnya untuk menghubungi Sasa, Ali pun menggoyangkan kakinya selagi menunggu karena khawatir.
“Angkat dong Sa.” Ucapnya.
“Halo Bang.”
“Halo, Sa lagi di mana?” Tanya Ali.
“Aku lagi di rumah Bang...”
Tingtong!
“...eh, bentar ya Bang.”
“Jangan Sa!” Ucap Ali.
“Jangan kenapa Bang? Itu kan cuma jasa antar barang.”
“Lo yakin?” Tanya Ali.
“Iya, ini bisa keliatan dari jendela. Ada apa sih Bang?”
“Nanti gue ceritain kalau udah sampai sana, abis terima barang langsung kunci pintu Sa. Pintu depan, pintu garasi, pintu belakang, dan jangan banyak tanya.” Ucap Ali.
Ali mematikan panggilan secara sepihak, ia bergegas mengendarai mobilnya menuju rumah Sasa. Jalanan menjelang sore pun mulai dipadati oleh kendaraan-kendaraan, Ali pun merasa khawatir terhadap apa yang akan pelaku lakukan kepada Sasa. Beberapa menit lebih lama dari biasanya, akhirnya Ali menepikan mobilnya tepat di belakang mobil Sasa. Ia pun keluar lalu berlari menuju pintu.
Tok! Tok! Tok!
“Masuk aja Bang.”
Ali mendengar sahutan Sasa dari dalam, ia pun membuka pintu dan dibuat terdiam ketika melihat lantai yang sudah berceceran darah. Ali mematung, masih menggenggam gagang pintu, pandangannya beralih mengikuti ke mana darah itu menuju, naik ke lantai atas, dan menghilang.
Ali menelan ludahnya sendiri, ia mengambil pistol untuk siaga. Helaan nafas panjang pun terjadi, akhirnya Ali melangkah masuk ke dalam tanpa menutup kembali pintu. Langkah demi langkah, Ali memandangi sekeliling, ia kembali mengikuti jejak darah itu yang naik ke lantai atas.
“Naik aja Bang.”
Ali dibuat kembali mematung, pikiranya melayang tak beraturan. Apakah pelaku yang berpura-pura menjadi Sasa, atau Sasa pelaku sebenarnya yang berpura-pura? Lantas, jika memang benar dia pelakunya, apa kejadian penembakan Damar pada malam itu adalah kecerobohannya sendiri?
Ali melangkah lebih pelan, detak jantungnya sudah tidak karuan, hawa tidak enak pun mengelilinginya setelah masuk ke dalam rumah ini. Setibanya di lantai atas, noda darah masuk ke dalam salah satu kamar dengan pintu yang terbuka. Ali menguatkan genggamannya pada pistol lalu melepas pengamannya, ia pun tiba di depan pintu yang terbuka.
”Hai Bang Ali...”
Ali kembali menelan ludahnya sendiri ketika menemukan Sasa yang sudah melayang, dengan bantuan banyaknya benang jahit yang menggantung pada langit-langit kamar. Pelaku yang ada di sana sedang menguatkan benang-benang lain agar tubuh Sasa bisa melayang selama mungkin.
“...apa kabar Bang Ali?” Tanya Pelaku.
“Angkat tangan, atau gue tembak!” Ucap Ali.
“Yakin mau nembak? Berani?” Tanya Pelaku.
“Diem lo! Angkat tangan!” Teriak Ali.
“Jangan terlalu galak, nanti Leony takut.” Ucap Pelaku.
“Tau dari mana lo soal keluarga gue?” Tanya Ali.
“Karena aku Mamanya...”
Pelaku membuka topeng yang ia kenakan dengan tangan kanannya, Ali pun dibuat terdiam setelah melihat Anggi yang mengibaskan rambutnya lalu tersenyum seperti biasa.
“...hai Sayang.” Ucap Anggi.
Ali mematung hingga tak bisa mengucapkan kata-kata, ia tidak percaya dengan apa yang ada di hadapannya saat ini. Anggi pun melambaikan tangannya, seperti tidak terjadi apa-apa.
“Kamu udah makan?...”
Ali masih mematung tak percaya.
“...kalau belum, rencananya malam ini aku mau masak ginjal lada hitam. Kebetulan, ginjalnya Sasa masih sehat dan bisa dimakan.” Ucap Anggi.
Ali merasa mual begitu saja mendengar apa yang Anggi katakan, ia kembali teringat akan bahan-bahan makanan yang tersimpan di lemari es. Ada beberapa organ yang biasa digunakan sebagai bahan masakan oleh Anggi, termasuk ginjal, hati, jantung, hingga paru-paru. Anggi pun mengikat mati benang yang ia genggam, ia menepuk tangannya beberapa kali kemudian maju selangkah ke arah Ali.
“Kamu kenapa sih? Kok begitu?” Tanya Anggi.
“Ke... kenapa... bisa?” Tanya Ali.
“Maksudnya?” Tanya Anggi.
“Jadi... pembunuh bunga anggrek itu... kamu?” Tanya Ali.
Anggi tersenyum, “Kamu kenapa kaget gitu sih? Harusnya biasa aja. Emangnya aku ngga boleh jadi pembunuh kayak pelaku-pelaku lain? Boleh kan? Terlebih kamu udah bantuin aku untuk ngelakuin ini semua.”
“A... aku?” Tanya Ali.
“Kayaknya pelaku bakalan balik lagi...”
Ali menghembuskan asap rokok dari mulutnya.
“...gue harus gimana ya Mar? Lo udah ngga ada, Agung udah ngga ada, Kania udah ngga ada, sisa gue sendirian. Kita berempat aja gagal buat nangkep dia, apalagi cuma gue?...”
Ali menghisap rokoknya, bersamaan dengan angin semilir yang datang.
“...nah, lo aja bingung. Apa pasrah aja ya Mar? Biarin dia selesaiin apa yang dia mau, siapapun korbannya?...”
Tiba-tiba saja angin kencang berhembus dari belakang.
“...oke kalau lo ngga setuju, tapi gimana caranya Mar kalau cuma gue sendirian? Gue sempet mikir untuk kembali investigasi kayak yang mau Agung lakuin, cuma gue ngga tau harus mulai dari mana... bentar...”
Ali menatap ke arah nisan.
“...gue harus nemuin ajudannya Agung yang dulu, mungkin dia tau rencana Agung untuk investigasi di luar wewenangnya. Bener ngga?...”
Suasana sangat hening di pemakaman ini.
“....oke, kalau gitu gue cari ajudannya dia.” Ucap Ali.
Ali bangun dari duduknya dan meninggalkan makam Damar untuk kembali masuk ke dalam mobil. Ia pun berlalu menuju kantor polisi, di mana mungkin saja ajudan Agung yang dulu masih bertugas di sana. Pagi berawan pun menemani Ali, hingga ia memarkirkan mobilnya di antara mobil-mobil lain. Ali keluar dari mobil menuju pos keamanan yang ada di depan, ada dua orang petugas yang sedang berjaga di sana.
“Permisi Pak.” Sapa Ali.
“Iya Pak, ada yang bisa dibantu?” Tanya salah satu petugas.
“Saya mau tanya, apa ajudannya mendiang Pak Agung yang dulu masih bertugas di sini?” Tanya Ali.
“Oh masih Pak, sekarang dia di bagian logistik. Ada perlu apa ya Pak?” Ucap Petugas.
“Saya mau ketemu Pak, udah lumayan lama terakhir saya ketemu sama dia, terlebih setelah kejadian mendiang Pak Agung.” Ucap Ali.
“Oh boleh Pak, silahkan Bapak ke arah gedung di selatan. Ruangannya ada di pintu pertama dan ada tulisan logistiknya.” Jawab Petugas.
“Baik Pak, terima kasih.” Ucap Ali.
Ali pun berlalu sesuai petunjuk dari petugas tersebut, ia berjalan menuju gedung yang ada di selatan. Setibanya di sana, ia melihat pintu pertama dan menemukan ajudan mendiang Agung yang sedang menghisap rokok di sana. Ali pun mempercepat jalannya untuk menghampirinya.
“Permisi...”
Ajudan itu menatap ke arah Ali, ia pun sedikit terkejut.
“...masih inget saya Pak?” Tanya Ali.
“Oh Pak detektif ya? Inget Pak...” Mereka pun berjabat tangan, “apa kabar Pak? Udah lama ngga ketemu.”
“Iya Pak, kita sama-sama sibuk.” Jawab Ali.
“Ada perlu apa ya Pak?” Tanyanya.
“Jadi, ada yang mau saya tanya perihal mendiang Pak Agung. Apa Bapak tau rencana-rencana Pak Agung terkait pembunuhan berantai beberapa bulan lalu?” Tanya Ali.
“Rencana? Maksudnya?” Tanyanya bingung.
“Maksud saya, apa dulu Pak Agung ada rencana untuk bertindak di luar wewenangnya dia? Seperti penyelidikan independen gitu?” Tanya Ali.
Ali dengan mudah menyadari adanya perubahan ekspresi dari ajudan itu, namun ia memilih untuk diam dan memberi ruang untuknya berpikir.
“A... ada Pak. Bapak tunggu di sini sebentar ya.” Ucapnya.
Ali menganggukkan kepalanya, ajudan itu berlalu ke dalam ruangan. Ali menyalakan sebang rokok selagi menunggu, sampai akhirnya ajudan itu kembali dari ruangannya.
“Ini Pak...”
Ajudan itu menyerahkan buku bersampul kulit berwarna hitam, dan Ali pun menerima buku itu.
“...saya pernah diceritakan soal rencana itu sama mendiang Pak Agung, sayangnya sebelum rencananya terjadi, pelaku sudah memburu beliau lebih cepat.” Jelasnya.
“Saya boleh lihat isinya Pak?” Tanya Ali.
“Simpen aja Pak, siapa tau suatu saat nanti ada penyelidikan lagi.” Jawabnya.
“Baik Pak, terima kasih.” Ucap Ali.
“Semoga pelaku bisa diadili suatu saat nanti.” Sahut ajudan.
Ali mengangguk secara perlahan. Ia dapat merasakan dendam yang terpancar dari mata sang ajudan, bersamaan dengan rasa sedih yang muncul begitu saja. Ali mewajarkan jika ia merasakan itu, sama seperti apa yang ia rasakan ketika Damar menjadi korban berikutnya.
Akhirnya Ali memutuskan untuk pergi dari kantor polisi, ia masuk ke dalam mobil seraya menghisap rokoknya. Ia pun membuka buku yang baru diberikan, secara perlahan Ali membaca apa yang tertulis di sana. Tulisan tangan dengan tinta biru pun mencolok, dengan mudahnya Ali membaca apa saja yang sudah dituliskan Agung. Kata demi kata Ali baca dalam hati, ia mencari bagian mana yang membahas tentang pelaku pembunuhan yang dimaksud.
“Ini dia.” Ucap Ali.
“Kasus pembunuhan dengan bunga anggrek, Payung Kuning lain yang kembali muncul setelah sekian lama. Jika dibandingkan, pelaku lebih rapi dan lebih terstruktur. Namun serapi apapun, akan selalu meninggalkan jejak.
Pertama, benang yang digunakan selalu benang jahit. Terlalu spesifik kepada seseorang yang terbiasa menggunakan benang jahit dan mengerucut pada beberapa latar belakang.
Kedua, pelaku cukup ahli menggunakan pisau. Terbukti dengan hasil sayatan yang rapi dan terarah, bukan sesuatu yang dikerjakan dengan sembarangan. Arah pun semakin mengerucut pada beberapa ahli profesi.
Ketiga, semuanya berubah ketika salah satu ahli profesi juga menjadi korban yang semula menjadi terduga. Arah pun semakin meluas dan tak terbatas, bahkan semakin abu-abu hingga memungkinkan mencapai batas akhir yang diberikan oleh pengadilan.
Dengan itu, rencana cadangan pun akan dilakukan. Penyelidikan diluar wewenang akan dimulai pada malam ini, dengan beberapa rencana. Bantuan dari beberapa anggota untuk disebar ke beberapa titik, dengan maksud meminimalisir pergerakan pelaku jika ada pembunuhan lain.
Dari barang-barang bukti yang ditemukan, termasuk dengan surat-surat yang diterima oleh detektif, hipotesa sementara merujuk pada ahli profesi di bidang benang jahit, bidang pembedahan, dan bidang penulisan...”
“Bidang penulisan?” Tanya Ali.
“...bidang penulisan muncul belakangan setelah beberapa surat ditemukan, dengan gaya bahasanya yang bisa dikatakan cukup fasih. Ahli profesi pun beragam terkait bidang ini, bisa termasuk pujangga hingga guru, bahkan ada beberapa ahli profesi yang tidak terpikirkan. Bisa saja orang-orang yang bekerja di bidang kreatif seperti agensi hingga pertelevisian.
Penjahit? Bukan. Dokter bedah? Bukan. Talia?
Instruksikan satu sampai dua orang untuk membuntuti pergerakan Talia, sementara beberapa orang lain ditempatkan di kantornya untuk memperluas pencarian.”
“Talia?” Tanya Ali seorang diri.
Ali menutup buku tersebut lalu ia letakkan ke dalam laci mobil, ia kembali menyalakan sebatang rokok seraya membuka kaca jendela. Ali mencoba memikirkan apakah ia akan mengikuti rencana yang ditulis Agung, atau ia punya rencana lain. Beberapa saat berlalu, akhirnya Ali membuang rokoknya ke luar lalu mengemudikan mobilnya pada siang berawan ini.
Mobil pun berhenti di tepi jalan, Ali menatap ke arah seberang di mana kantor LTV berada. Ia memutuskan tidak masuk ke dalam kawasan kantor, ia cukup dikenal berkat Anggi yang juga bekerja di sana. Ali pun menyandarkan tubuhnya seraya menyalakan sebatang rokok, berharap Talia akan muncul kapan saja.
Tiga puluh menit berlalu, Ali masih belum menemukan Talia dari pandangannya. Ada banyak orang yang berlalu lalang di kawasan kantor, namun tidak ada satupun Talia di sana. Ali menghela nafasnya, ia kembali menyalakan sebatang rokok dan memberi waktu lagi untuk menunggu.
Satu jam pun terlewati dengan rasa bosan, Ali menyandarkan kepalanya pada setir mobil seraya memejamkan matanya. Rasanya sia-sia apa yang sudah ia lakukan, namun ia masih ingin memberikan waktu sedikit lagi untuk yang terakhir kalinya, meskipun tidak ada jaminan jika ia akan menemukan Talia di sana.
Dua jam berlalu, Ali menghisap rokok dan menghembuskan asapnya ke arah jendela. Ting! Ada pesan masuk dari ponselnya, ia sempat membaca pesan tersebut. Talia pun akhirnya muncul, ia berjalan keluar dari gedung menuju parkiran mobil. Ali pun menyadari kemunculannya, ia kembali memasukkan ponsel dan fokus mengikuti ke mana Talia melangkah. Talia masuk ke dalam mobil lalu meninggalkan kawasan kantor, Ali pun tidak menyia-nyiakan usahanya untuk membuntuti Talia dari belakang.
Beberapa saat berlalu, akhirnya Talia menghentikan mobilnya di tepi jalan. Ia pun keluar dari mobil lalu berjalan menuju bangunan tua yang sudah lama tak dihuni. Ali menghentikan mobilnya beberapa meter di belakang, ia pun menatap Talia yang berjalan ke arah bangunan itu. Talia sempat melihat ke arah sekeliling, sebelum akhirnya ia kembali berjalan ke belakang bangunan itu.
“Mau ngapain dia?” Tanya Ali.
Ali pun ikut keluar dari mobil, secara perlahan ia mengikuti ke mana Talia pergi. Ali pun menghentikan langkahnya ketika mendengar ada perbincangan, ia sempat mengintip ke arah Talia berada. Ia pun menemukan Talia yang sedang berbincang dengan seorang wanita tua yang duduk bersandar pada bangunan. Talia berlutut di hadapan wanita itu seraya merogoh sakunya, Ali pun melepas pistol dari sabuk pengaman yang dipasang di pinggangnya untuk berjaga. Akhirnya, Ali kembali memasang pistol pada sabuk pengaman lagi, ketika melihat apa yang ada di hadapannya.
Talia memberikan sejumlah uang kepada wanita itu, ia pun terlihat bahagia setelah memberikan uang itu. Wanita itu pun juga tersenyum kepadanya, ia pun memeluk Talia dengan hangat seraya memejamkan matanya. Ali menghela nafasnya, pikirannya serasa bermain-main ketika kecurigaannya berbanding terbalik dengan apa yang ia temukan. Ada rasa bersalah yang muncul begitu saja, mencurigai seseorang yang ternyata sedang berbuat kebaikan kepada orang lain yang membutuhkan.
“Kalau gitu, aku pamit ya.” Ucap Talia.
Ali yang mendengar itu pun dengan segera kembali menuju mobilnya agar tidak ketahuan. Ia pun masuk ke dalam mobil untuk menunggu Talia yang akan segera kembali. Ali merasa ada yang janggal ketika beberapa menit sudah berlalu, namun Talia tak kunjung kembali.
“Ada yang aneh.” Ucap Ali.
Ali memutuskan untuk kembali keluar dari mobilnya, ia pun berjalan mendekat ke arah bangunan tua. Ali kembali mengintip, ia tak menemukan Talia di sana, hanya ada wanita tua yang masih duduk seraya menyandarkan tubuhnya. Ali yang penasaran pun mendekat ke arah wanita itu seraya berlutut.
“Ibu, permisi...”
Wanita itu menatap ke arahnya.
“...apa ada wanita yang ke sini bernama Talia?” Tanya Ali.
“Oh ada, barusan dia di sini, terus dipanggil ke sana.” Jawabnya.
Wanita itu menunjuk ke arah seberang jalan, Ali pun mengangguk lalu meninggalkannya untuk kembali membuntuti ke mana Talia pergi. Ali menyeberangi jalan menuju jalan kecil di antara banyaknya apartemen tinggi, ia kembali mengambil pistol untuk berjaga. Ali pun menghentikan langkahnya, ketika melihat Talia yang sudah duduk bersandar pada tempat sampah besar, seragamnya yang berwarna putih sudah berubah karena tubuhnya yang bersimbah darah. Dengan cepat, Ali berlari lalu berlutut di hadapannya.
“Talia, Talia...”
Talia sempat mengangkat kepalanya untuk menatap Ali sesaat, ia pun kembali tertunduk dan menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya. Ali melihat ada secarik kertas dan bunga anggrek di tangan kanan Talia, ia pun mengambil kertas itu.
“Apa sekarang waktu yang tepat untuk membunuhmu?”
Ali menatap ke arah sekeliling, ia pun mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi ambulans seraya berjalan menjauh dari tempat kejadian.
“Halo, saya mau melaporkan ada kasus pembunuhan di jalan Malawi. Segera kirim ambulans dan petugas kepolisian sekarang.” Ucap Ali.
Ali memutuskan panggilan tersebut lalu berjalan lebih cepat ke ujung jalan, dengan harapan pelaku masih belum terlalu jauh dari lokasinya sekarang. Sayangnya, tidak ada yang bisa ia curigai, Ali pun memutuskan untuk kembali ke mobilnya.
Ali mengemudikan mobilnya, meninggalkan mobil Talia yang masih terparkir di tepi jalan. Dengan sengaja Ali berbelok ke arah tempat kejadian, sudah ada ambulans dan petugas kepolisian yang memasang garis pembatas. Ali memelankan laju mobil untuk sekedar melihat, mayat Talia sudah dimasukkan ke dalam plastik untuk di bawa, dan Ali pun melanjutkan perjalanannya.
Genggaman tangan Ali yang kuat pada setir mobil cukup menggambarkan apa yang ia rasakan, emosinya nampak terbakar mengetahui pelaku mempermainkannya dengan mencari korban lain. Tatapannya menajam seraya kepalanya berpikir untuk mencari ke mana pelaku pergi, sampai akhirnya Ali menepikan mobilnya.
“Apa sekarang waktu yang tepat untuk membunuhmu?”
Ali kembali membaca kertas itu berulang-ulang, ia tidak menemukan petunjuk ke mana pelaku akan bergerak kemudian. Ali kembali menghela nafasnya untuk kesekian kalinya, agar pikirannya bisa berjalan lebih baik, sampai akhirnya Ali melihat sisi belakang kertas tersebut.
“Atau Sasa dulu?”
Dengan cepat Ali mengambil ponselnya untuk menghubungi Sasa, Ali pun menggoyangkan kakinya selagi menunggu karena khawatir.
“Angkat dong Sa.” Ucapnya.
“Halo Bang.”
“Halo, Sa lagi di mana?” Tanya Ali.
“Aku lagi di rumah Bang...”
Tingtong!
“...eh, bentar ya Bang.”
“Jangan Sa!” Ucap Ali.
“Jangan kenapa Bang? Itu kan cuma jasa antar barang.”
“Lo yakin?” Tanya Ali.
“Iya, ini bisa keliatan dari jendela. Ada apa sih Bang?”
“Nanti gue ceritain kalau udah sampai sana, abis terima barang langsung kunci pintu Sa. Pintu depan, pintu garasi, pintu belakang, dan jangan banyak tanya.” Ucap Ali.
Ali mematikan panggilan secara sepihak, ia bergegas mengendarai mobilnya menuju rumah Sasa. Jalanan menjelang sore pun mulai dipadati oleh kendaraan-kendaraan, Ali pun merasa khawatir terhadap apa yang akan pelaku lakukan kepada Sasa. Beberapa menit lebih lama dari biasanya, akhirnya Ali menepikan mobilnya tepat di belakang mobil Sasa. Ia pun keluar lalu berlari menuju pintu.
Tok! Tok! Tok!
“Masuk aja Bang.”
Ali mendengar sahutan Sasa dari dalam, ia pun membuka pintu dan dibuat terdiam ketika melihat lantai yang sudah berceceran darah. Ali mematung, masih menggenggam gagang pintu, pandangannya beralih mengikuti ke mana darah itu menuju, naik ke lantai atas, dan menghilang.
Ali menelan ludahnya sendiri, ia mengambil pistol untuk siaga. Helaan nafas panjang pun terjadi, akhirnya Ali melangkah masuk ke dalam tanpa menutup kembali pintu. Langkah demi langkah, Ali memandangi sekeliling, ia kembali mengikuti jejak darah itu yang naik ke lantai atas.
“Naik aja Bang.”
Ali dibuat kembali mematung, pikiranya melayang tak beraturan. Apakah pelaku yang berpura-pura menjadi Sasa, atau Sasa pelaku sebenarnya yang berpura-pura? Lantas, jika memang benar dia pelakunya, apa kejadian penembakan Damar pada malam itu adalah kecerobohannya sendiri?
Ali melangkah lebih pelan, detak jantungnya sudah tidak karuan, hawa tidak enak pun mengelilinginya setelah masuk ke dalam rumah ini. Setibanya di lantai atas, noda darah masuk ke dalam salah satu kamar dengan pintu yang terbuka. Ali menguatkan genggamannya pada pistol lalu melepas pengamannya, ia pun tiba di depan pintu yang terbuka.
”Hai Bang Ali...”
Ali kembali menelan ludahnya sendiri ketika menemukan Sasa yang sudah melayang, dengan bantuan banyaknya benang jahit yang menggantung pada langit-langit kamar. Pelaku yang ada di sana sedang menguatkan benang-benang lain agar tubuh Sasa bisa melayang selama mungkin.
“...apa kabar Bang Ali?” Tanya Pelaku.
“Angkat tangan, atau gue tembak!” Ucap Ali.
“Yakin mau nembak? Berani?” Tanya Pelaku.
“Diem lo! Angkat tangan!” Teriak Ali.
“Jangan terlalu galak, nanti Leony takut.” Ucap Pelaku.
“Tau dari mana lo soal keluarga gue?” Tanya Ali.
“Karena aku Mamanya...”
Pelaku membuka topeng yang ia kenakan dengan tangan kanannya, Ali pun dibuat terdiam setelah melihat Anggi yang mengibaskan rambutnya lalu tersenyum seperti biasa.
“...hai Sayang.” Ucap Anggi.
Ali mematung hingga tak bisa mengucapkan kata-kata, ia tidak percaya dengan apa yang ada di hadapannya saat ini. Anggi pun melambaikan tangannya, seperti tidak terjadi apa-apa.
“Kamu udah makan?...”
Ali masih mematung tak percaya.
“...kalau belum, rencananya malam ini aku mau masak ginjal lada hitam. Kebetulan, ginjalnya Sasa masih sehat dan bisa dimakan.” Ucap Anggi.
Ali merasa mual begitu saja mendengar apa yang Anggi katakan, ia kembali teringat akan bahan-bahan makanan yang tersimpan di lemari es. Ada beberapa organ yang biasa digunakan sebagai bahan masakan oleh Anggi, termasuk ginjal, hati, jantung, hingga paru-paru. Anggi pun mengikat mati benang yang ia genggam, ia menepuk tangannya beberapa kali kemudian maju selangkah ke arah Ali.
“Kamu kenapa sih? Kok begitu?” Tanya Anggi.
“Ke... kenapa... bisa?” Tanya Ali.
“Maksudnya?” Tanya Anggi.
“Jadi... pembunuh bunga anggrek itu... kamu?” Tanya Ali.
Anggi tersenyum, “Kamu kenapa kaget gitu sih? Harusnya biasa aja. Emangnya aku ngga boleh jadi pembunuh kayak pelaku-pelaku lain? Boleh kan? Terlebih kamu udah bantuin aku untuk ngelakuin ini semua.”
“A... aku?” Tanya Ali.
0
Kutip
Balas