- Beranda
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
...
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
risqigun dan 190 lainnya memberi reputasi
187
271.1K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.5KThread•41.7KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#950
#73 - Family is Earlier Heaven
Spoiler for #73 - Family is Earlier Heaven:
“Serius mau Mamay yang gantiin lo?”Tanya gua.
“Setelah dipikir-pikir, selama ini Mamay kan nggak pernah punya salah ke gue. Dia cuma kebetulan lahir jadi adik gue, dan kebetulan pula pas dia lahir, kondisi ekonomi bokap dan nyokap langsung meroket dalam sekejap…”
“...”
“... So, kayaknya selama ini kebencian gue ke dia nggak beralasan deh…” Tambahnya.
Gua meringis, membayangkan Mamay yang selama ini harus menerima kebencian dari kakaknya sendiri akibat dari perbuatan orang tuanya.
“... Tapi, kalo keinget dulu, gue tuh masih sebel banget sama Mamay Je…” Lady kembali menambahkan.
“Terus gimana nih? Jadi nggak?” Tanya gua.
Lady terdiam, ia menatap keluar jendela mobil, menggigit bibir bawahnya, terlihat berpikir seraya memainkan ujung kuku.
Kemudian ia menghela nafas panjang, berpaling ke arah gua dan memberi jawaban; “Yaudah…”
“Ok then, lo coba bilang ke Sari untuk reach Mamay lagi…” Ucap gua.
“Ngapain. Gue telpon langsung aja orangnya…”
“Oh yaudah…” Jawab gua.
Lady lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, dan mencari nama dalam kontaknya dan menempelkan ponsel di telinganya. Sesaat kemudian, ia mulai bicara sendiri; “Halo, Sar.. Minta tolong kirimin nomor ponsel kandidat yang namanya Ratimaya Diana dong. Nanti kirim ke gue ya.. Thank you…”
Gua tersentak. Hampir saja tanpa sengaja menghentikan mobil saat mendengarnya menghubungi Sari untuk bertanya nomor ponsel adiknya sendiri. ‘Kakak macam apa yang nggak punya nomor ponsel adiknya sendiri?’batin gua dalam hati. Gua lalu menoleh ke arahnya sambil meringis, nggak sanggup membayangkannya.
“Lo beneran nggak punya nomor Mamay?” Tanya gua.
“Punya. Dulu. Waktu itu gue apus…” Jawabnya santai.
Nggak lama berselang, ponsel miliknya bergetar, sepertinya Sari baru saja mengirimkan kontak Mamay ke Lady.
“Lo mau denger percakapan awkward antara kakak beradik yang nggak akur?” Tanya Lady sambil nyengir.
“Hahaha… Mau, penasaran” Gua menjawab.
Lady lantas menghubungkan ponsel miliknya dengan pengeras suara pada dashboard mobil dengan sambungan nirkabel.
Nada sambung terdengar beberapa kali, hingga suara yang mirip dengan suara Lady menyambut.
“Halo, Lad..” Sapa Mamay dari ujung sana.
“Heh dimana lo?” Tanya Lady, tanpa menjawab sapaan adiknya.
“Lagi photoshoot di luar, kenapa?”
“Lo masih mau kerja di tempat Jeje nggak?” Tanya Lady.
“Jeje? Jeje siapa?.. Oh iya iya.. Jeje yang pacar lo? yang CEO perusahaan tempat gue interview, Kenapa emang?”
“Masih mau kerja di tempatnya nggak?” Lady mengulang pertanyaannya.
“Hmmm… Kalo masih mau kenapa, kalo udah nggak mau kenapa?”
“Ih.. udah jawab aja sih, nyebelin banget lo!” Seru Lady, kemudian langsung mengakhiri panggilan dan melempar ponsel ke atas dashboard mobil.
Nggak lama berselang, ponselnya berdering. Deringnya tersambung pada pengeras suara mobil karena ponselnya masih terhubung pada koneksi dashboard. Pada layarnya muncul nama ‘B*tch!’, rupanya Lady baru saja menyimpan nomor Mamay dan menamainya dengan sebutan kurang pantas. Lady melirik ke arah ponsel miliknya dan bergeming.
Gua menekan tombol pada sisi kemudi, menjawab panggilannya.
“Halo May, ini gua Jeje…” Sapa gue.
“Eh.. halo kak…”
“Apa kabar?” Tanya gua.
“Baik kak.. Lady nya mana kak?”
“Udah ngomong sama gua aja..”
“...”
“... Jadi gini May, sekarang ini ada posisi kosong di kantor dan gua mau nawarin lo untuk posisi tersebut. Tapi, bukan sebagai CMO…”
“Terus sebagai apa?”
“Head of Marketing. Gimana? masih berminat nggak?”
“Hmmm… aku pikir-pikir dulu gimana kak?”
“No worries, take your time…” Jawab gua.
Lalu tiba-tiba, Lady angkat bicara, menyela percakapan kami berdua; “Nggak usah sok jual mahal deh lo.. kalo lo nggak mau langsung bilang aja, masih banyak orang lain yang mau…” Serunya.
Namun, sepertinya Mamay nggak terpengaruh dengan provokasi dari kakaknya tersebut. Ia lalu kembali bicara ke gua; “Boleh besok aku kasih kabar ke Kakak?” Tanyanya.
“Boleh dong, santai aja…” Jawab gua ramah, mencoba membayar ketidaksopanan kakaknya tadi.
“Mmm… Boleh minta kontaknya kak” Pinta Mamay.
Belum sempat gua menjawab, Lady kembali buka suara; “Lo kabarin gue aja. Nggak usah ganjen pake minta nomor dia segala..” Jawab Lady, lalu menekan tombol di pada kemudi; mengakhiri panggilan.
Gua menggelengkan kepala saat melihat sikapnya. Namun, gua cukup mengerti dengan apa yang Lady rasakan saat ini. Egonya terlalu besar untuk langsung bisa get closer dengan adiknya itu. Ia jelas masih butuh waktu. Gua meraih kepala dan memeluknya; “Jangan gitu dong…”
“Kesel gue..” Gumamnya pelan.
“...”
“... Terus ngapain sih lo tadi ramah banget ke dia?” Lady menambahkan, seraya memukul bahu gua.
“Ya kan gua nggak ada masalah personal sama dia. Masa iya harus nggak ramah…”
Sebelum pulang ke rumah, kami menyempatkan diri untuk mampir ke salah satu resto yang terletak nggak begitu jauh dari toko plastik. Gua sengaja mencari resto yang memiliki ruang tersendiri agar bisa digunakan untuk meeting.
Dengan menggunakan laptop milik Lady, kami berbagi earphone sambil menunggu Claire dan Aldina masuk ke dalam ruang meeting online. Karena mengenakan earphone yang sama, saat ini posisi gua dan Lady begitu dekat. Saking dekatnya, gua bahkan bisa mendengar tarikan nafasnya. Gua menoleh dan menatapnya, seperti biasa, ia terlihat cantik.
Menyadari gua tengah menatap ke arahnya, Lady juga ikut menoleh dan bertanya; “Kenapa?”
“Gapapa…”
“Kenapa?” Lady kembali mengulang pertanyaan, kini dengan nada sedikit memaksa.
“Lo cantik…”
“Wah… tumben..” Jawabnya seraya tersenyum lalu pasang pose dua tangan di dekat pipinya, mirip seperti orang bersiap untuk di foto.
Lalu, suara serak Claire menggaung; “Yo… whats up guys?”
“Superb…” Gua menjawab singkat.
“Are we still waiting for some… oh Dina ya?...”
“Yes..”
Nggak seberapa lama, Aldina dengan wajahnya yang tampak seperti baru saja bangun tidur muncul di layar laptop, bersisian dengan wajah Claire. Aldina berdehem sebentar, kemudian bicara; “Any update?”
Gua lalu mulai menjelaskan hasil pertemuan gua dengan Salsa barusan, seraya mengangkat amplop putih berukuran besar di tangan gua.
Keduanya lalu pasang tampang shock. Aldina yang sebelumnya tengah berbaring di atas ranjang kini terduduk, ia mulai mengikat rambutnya yang berantakan dan mendekatkan wajahnya ke layar. Mencoba untuk melihat lebih jelas dokumen yang kini gua tunjukan.
Melihat hal tersebut, Lady dengan cepat menutupi layar laptop yang menampilkan wajah Aldina dengan telapak tangannya. Kini yang terlihat hanya wajah Claire yang juga melakukan hal yang sama dengan Aldina; mendekatkan wajah ke layar.
“Can you do the translation for me… anyone?” Ucap Claire.
Lady lalu meraih dokumen dari tangan gua dan mulai menerjemahkan isi dokumen kepada Claire, melupakan rencananya menutupi wajah Aldina karena tangannya ia gunakan untuk memegang lembaran dokumen. Sementara, di ujung sana Claire terlihat mengangguk sambil fokus mendengarkan penjelasan Lady.
Agar suaranya lebih jelas, Lady sedikit menarik kabel earphone dimana microphonenya berada. Gua ikut mendekat saat Lady menarik kabelnya. Tiba-tiba, Aldina berseru; “Woi! bisa nggak kalian berdua nggak sedeket itu!”
Lady menghentikan penjelasannya, menatap ke arah layar lalu mematikan kamera pada laptop. “Bacot!” balasnya singkat, kemudian melanjutkan penjelasan.
Selesai dengan pembahasan perihal sikap Salsa yang akhirnya mau melanjutkan investasinya. Gua mengalihkan topik perkara Izar yang baru saja dapat funding serie C dan bersiap mengubah model bisnisnya serupa dengan kami.
“Tuh, gimana bos lo?” Tanya Lady. Pertanyaan tersebut tentu saja ia tujukan ke Aldina.
“Mantan bos gue” Jawab Aldina.
“Oh, lo udah cabut juga dari sana?” Tanya Lady lagi.
“Iya, kenapa?”
Gua menoleh dan memandang ke arah Lady, memberinya tatapan penuh harap. Agar ia menghentikan perdebatan ini. Lady menelan ludah lalu terdiam.
“You should make a new strategic plan Je…” Ucap Claire.
“Ya..”
“Need some help?” Tanya Aldina.
“It's something I need to tackle on my own, Ce… But thanks anyway” Jawab gua, berusaha menolak bantuan tanpa menyakiti hatinya.
“Alright...”
“Cool. Then, When should we regroup for the next plan review?” Tanya Claire.
“Next week?”
“Really?” Tanya Claire, ragu.
“Yeah…” Gua menjawab, yakin.
Begitu selesai dengan meeting, gua meraih ponsel dan mencoba menghubungi Reni yang kebetulan masih menginap di rumah karena Robi sedang dinas keluar kota. Gua meminta ia untuk datang ke resto dengan mengajak Anggi. Kemudian, ganti menghubungi Rohman, juga untuk memintanya datang kesini, sekalian makan malam bersama-sama.
—
Besoknya, gua sengaja membawa Anggi ke kantor. Karena Reni sudah kembali pulang dan kebetulan memang gua belum menemukan sekolah TK yang tepat untuknya. ‘Nanti saja kalau memang semua urusan sudah beres’ Batin gua dalam hati. Semua urusan berarti, urusan akuisisi dan urusan pernikahan.
Beberapa karyawan langsung menghampiri Anggi begitu kami masuk ke ruang kerja. Sementara, yang lain sibuk menggodanya, Anggi malah berlari dan langsung menghampiri Lady yang terlihat tengah duduk seraya menghadapi layar laptopnya. Sepertinya ia nggak menyadari kehadiran kami berdua.
“Mamah cantik…” Seru Anggi.
Tentu saja seruannya tersebut membuat shock seisi ruangan. Beberapa karyawan yang mendengarnya langsung saling pandang dan mulai berbisik-bisik.
“Waaah… siapa ini? kamu ikut ke kantor ya?” Tanya Lady seraya memeluk tubuh mungil Anggi.
Kini gua dan Lady sudah mulai ‘berdamai’ dengan penilaian orang lain terhadap kami berdua. “Bodo amat, orang mau bilang apa…” Ucap Lady suatu ketika.
Dari posisi gua saat ini, terlihat Lady mengangkat tubuh Anggi dan memangkunya. Ia lalu mengeluarkan ponsel miliknya, sepertinya memutarkan video kartun untuk Anggi, sementara ia melanjutkan pekerjaannya.
Gua duduk, membuka laptop dan mulai mengerjakan strategic plan yang baru.
Tiba-tiba Sari mendekat dan langsung duduk di kursi di sebelah gua. Ia menyodorkan ponsel miliknya ke arah gua dan berbisik; “Ratimaya…”
“Oh..”
Gua meraih ponsel miliknya dan menempelkannya di telinga.
“Halo…”
“Halo kak, Aku Mamay..”
“Iya, gimana may. Udah buat keputusan?”
“Mmm… Aku boleh tau numbers-nya nggak kak?” Tanya Mamay.
“Oh, kalo urusan offering sih nanti sama Sari. Yang penting lo mau apa nggak?” Tanya gua.
“Mau sih kak, Tapi…”
“Tapi apa?”
“Tapi nanti Lady jadi atasan aku kan?” Tanyanya, terdengar sedikit kekhawatiran dari nada bicaranya.
“Nggak lo tenang aja. Justru lo itu buat gantiin posisinya dia..”
“Oh gitu… Terus Lady pindah?”
“Iya..”
“Pindah kemana?”
“Nggak tau.. Kenapa lo nggak tanya aja langsung dan ngobrol dari hati ke hati sekalian handover pekerjaan?” Tanya gua, berlagak pilon.
“Hahaha, bisa aja lo kak.. Yaudah deh, terus aku harus apa nih?”
“Ok gini, abis ini Sari bakal ngasih tau lo step selanjutnya ya…”
Oke deh kak… Oiya, boleh aku minta nomor Kak Jeje?” [/I]
“Boleh, nanti minta sama Sari sekalian ya..”
“Oke, Thank you ya kak…”
Gua lalu mengakhiri panggilan dan mengembalikan ponsel ke Sari.
“Sar, kasih dia Job offer as a Head of marketing ya…” Ucap gua ke Sari.
“Oh, lah terus Lady?” Tanya Sari.
“Dia mau cabut…”
“Hah serius? kalian mau married ya?” Tanyanya lagi, kini sambil berbisik.
Gua nggak menjawab, hanya terdiam sambil tersenyum.
“...”
“... Ah gokil…” Serunya.
“...”
“.. Terus mau dikasih offer salary berapa si Ratimaya ini?”
“Samain aja dengan salarynya Lady yang sekarang…”
“Ok…” Jawabnya kemudian bersiap pergi.
“Oiya Sar, Boleh hubungin orang ini buat gua..” Gua bicara seraya mengganti tab pada browser dan menampilkan profil seorang berjilbab dengan jabatan General Affair pada sebuah perusahaan.
Sari mendekat dan menatap layar laptop dengan seksama. “Buat GA?” Tanya Sari.
“Iya…”
“Mau di approach?” Tanyanya lagi.
“Iya…”
“Buat? gue masih bisa kok handle sendiri…” Ucap Sari.
“Biar lo fokus ngurusin human-nya, nanti dia yang ngurusin hal-hal umum lain. Lagian, gua kayaknya ada rencana mau mindahin kantor ke tempat yang lebih kecil tapi lebih proper…”
“Oh ok, Share link-nya dong…” Ucap Sari.
“Ok..”
“... Since dia masih kerja di tempat lain, kayaknya butuh hot offer nih buat hijack dia…”
“Sebut aja nama gua…” Ucap gua pelan.
“Oh Wow, udah mulai jualan nama ya sekarang…” Sari menggumam pelan sambil berlalu pergi.
—
Urusan investasi dan akuisisi resmi dimulai saat gua menandatangani dokumen fund raise dari Salsa sebagai investor utama. Sementara, Aldina dan Rossi mulai menandatangani dokumen akuisisi perusahaan. Jadi, mulai saat ini Group perusahaan milik Rossi sudah berpindah tangan ke perusahaan guling yang dipimpin oleh Aldina.
Berita tentang investasi Salsa dan akuisisi Aldina dengan cepat menyebar di kalangan dunia startup. Selanjutnya, beberapa venture capital mulai bergerak, berusaha melakukan approach untuk sama-sama memberikan investasinya.
Gua nggak langsung menyetujui semua investasi yang akan masuk sebelum plan strategi yang baru selesai. Namun, Rossi sudah mulai menyortir beberapa diantaranya, bersiap seandainya strategi baru selesai dalam waktu dekat ini.
Ada sedikit kekhawatiran yang menyelimuti Rossi. Ia takut jika kami menolak beberapa investasi yang akan masuk, maka investasi tersebut akan berpaling dan masuk ke perusahaan Izar, since mereka punya model bisnis yang sama.
“Yaudah biarin aja. Emang lo mau terima semuanya? serakah..” Gua memberi jawaban ke Rossi.
Di sisi lain, Lady mulai membenahi pekerjaannya. Jadi, ia bisa dengan cepat melakukan handover pekerjaan tanpa harus berlama-lama bersama dengan Mamay. Bahkan, saking enggannya ia terlalu lama dengan Mamay, Lady sudah bersiap menjelaskan semua perihal pekerjaannya ke Paul dan Fitri.
Gua duduk, bersandar pada sofa dengan kedua kaki sengaja gua luruskan di lantai. Jam menunjukkan pukul 8 malam, kondisi kantor sudah mulai sepi. Terlihat beberapa karyawan yang tersisa tengah menghabiskan waktu bermain game atau sekedar menonton film, sambil menunggu kemacetan Jakarta terurai. Sementara, Anggi sudah tertidur lelap di atas sofa tepat di sebelah gua.
Di sudut terjauh ruangan, Lady masih sibuk bekerja. Wajahnya terlihat berpendar akibat pantulan cahaya laptop di hadapannya.
“Pulang duluan ya kak…” Sapa salah satu karyawan yang tengah bersiap pulang.
“Iya, ati-ati..” Jawab gua.
Gua meraih ponsel dan menghubungi Lady.
Samar terdengar dering suara ponsel milik Lady. Terlihat ia melirik ke arah ponselnya yang tergeletak di atas meja kerjanya. Menyadari kalau gua yang menelpon, ia lalu menoleh dan menatap gua dari kejauhan. Sambil tersenyum, Lady menjawab panggilan.
“Halo…” Sapanya. Suaranya sengaja dibuat manja.
“Halo.. masih lama?” Tanya gua.
Mata kami saling bertemu, saling pandang dari kejauhan dengan suara masing-masing terdengar melalui sambungan ponsel.
“Sebentar lagi…”
“Kayak nggak ada hari esok aja…”
“Biar cepet selesai…” Jawabnya.
“Mau gua bantu?”
“Nggak usah, udah lo duduk disana aja sambil menatap gue…”
“Nggak ah, gua mau menatap lo nanti aja. Dari dekat…”
“Yaudah sabar kalo gitu…”
Ia lalu mengakhiri panggilan dan melanjutkan pekerjaannya.
Hampir setengah jam berikutnya. Lady selesai dengan pekerjaannya, ia berjalan dengan langkah gontai mendekat ke gua. Kemudian membungkuk di sisi sofa dimana Anggi terlelap dan mulai mengecup pelan dahinya.
“Mamah pengen buru-buru menyelesaikan semua ini. Pengen buru-buru menghabiskan waktu dengan kamu…” Gumamnya pelan seraya memainkan ujung rambut Anggi.
Gua berdiri dan mulai menggendong Anggi.
Ia sempat mengigau sebentar saat posisinya berubah, menggumamkan nama Lady; “Mamah cantik…” Sementara matanya masih terpejam.
“Iya sayang…” Jawab Lady seraya meraih tangan mungil Anggi yang kini berada di gendongan gua.
Dengan tangan kiri menahan tubuh Anggi di gendongan, tangan kanan gua meraih bahu Lady, membuatnya mendekat dan merangkulnya.
“Capek?”Tanya gua.
Lady lalu mengangguk pelan.
“Hari ini nggak usah pulang, tidur sama Anggi aja…” Ucap gua pelan.
“Boleh?” tanyanya.
“Ya daripada lo ntar kecapean nyetir sendiri…”
“Yes…”
—
Besoknya pagi-pagi sekali, rumah sudah terasa ramai. Lady yang tengah menemani Anggi mandi terdengar sesekali berteriak karena ulah Anggi yang dengan sengaja menciprati air ke arah Lady.
“Anggi, Mamah nggak ada baju lagi lho…” Seru Lady sambil terus menjauh dari pintu kamar mandi, sementara Anggi tertawa terbahak-bahak seraya mencoba memburu Lady.
Gua menghampiri mereka. “Anggi, udah nak mandinya.. nanti masuk angin lho…”
“Yah papah, kan lagi seru…”
“Seru apanya? dari tadi cuma nyiram-nyiram air doang..”
Lady lalu kembali mendekat, kini dengan selembar handuk, yang lalu dengan cekatan meraih tubuh mungil Anggi dalam dekapannya dan membawanya ke kamar.
Saat tengah mengepel sisa-sisa air di depan pintu kamar mandi, ponsel gua berdering. Gua merogoh saku celana dan menatap ke layar ponsel, nama Mamay muncul pada layarnya; “Halo…” Sapa gua.
“Halo kak…”
“Yes May..”
“Mmm, hari ini aku dateng ke kantor ya…”
“Oh iya May, nanti langsung ketemu sama Sari aja…”
“Oke…”
Saat masih berbicara dengan Mamay melalui sambungan ponsel, terdengar teriakan Lady yang bertanya tentang lotion milik Anggi. Suara teriakannya tentu saja terdengar oleh Mamay yang kemudian langsung bertanya; “Itu suara Lady ya kak?”
“Iya…” Jawab gua singkat.
“Dia ada di rumah lo pagi-pagi gini?”
“...”
“... atau dia? nginep?” Tanyanya.
“Hmmm… lo tanya aja nanti sama orangnya kalo ketemu…” Gua memberi jawaban lalu mengakhiri panggilan.
Setelah semuanya siap. Anggi sudah cantik dengan baju overall berbahan denim yang belum lama dibelikan oleh Lady. Sementara Lady masih mengenakan celana kerja yang sama dengan kemarin dan kaos berwarna putih berlogo incubus milik Reni yang ia lapis dengan Sweater RHCP hitam milik gua yang kini sepertinya sudah menjadi miliknya.
“Kalian berangkat duluan deh ya…” Ucap gua.
“Hah terus elo?”
“Gue mau ngelarin kerjaan dulu tinggal dikit, abis itu meeting finalisasi sama Rossi, baru nyusul kalian…”
“Meeting sama Rossinya di kantor kan?” Tanya Lady.
“Iya…”
“Yaudah, yuk nggi…”
Sementara mereka bersiap pergi, gua kembali ke kamar, duduk dan menatap layar laptop, melanjutkan strategic plan yang sebentar lagi selesai. Sesekali, gua beristirahat sebentar sambil menyulut sebatang rokok dan menyeruput kopi yang sudah tak lagi hangat. Kemudian melanjutkan pekerjaan.
Jam menunjukkan pukul 11 siang saat gua akhirnya menyelesaikan deck plan strategi yang baru. Gua menutup layar laptop, memasukkannya ke dalam tas dan bersiap untuk berangkat.
Saat baru saja gua keluar, terlihat sosok pria setengah baya berdiri tepat di muka rumah; Bapak.
---
The Fray - How to Save a Life
Diubah oleh robotpintar 13-11-2023 03:29
69banditos dan 60 lainnya memberi reputasi
61
Kutip
Balas
Tutup