- Beranda
- Stories from the Heart
story keluarga indigo.
...
TS
ny.sukrisna
story keluarga indigo.

Quote:
KKN Di Dusun Kalimati
Quote:
Kembali ke awal tahun 1990an . Dusun Kalimati kedatangan sekelompok mahasiswa yang hendak KKN. Rupanya salah satu peserta KKN adalah Hermawan, yang biasa dipanggil dengan nama Armand. Dia adalah Kakek Aretha, yang tidak lain adalah ayah Nisa.
Bagai de javu, apa yang dialami oleh Armand juga sama mengerikannya seperti apa yang Aretha alami Di desa itu. Di masa lalu, tempat ini jauh lebih sakral daripada saat Aretha tinggal di sana. Berbagai sesaji diletakkan di beberapa sudut desa. Warga masih banyak yang memeluk kepercayaan memberikan sesaji untuk leluhur. Padahal leluhur yang mereka percayai justru seorang iblis yang sudah hidup selama ribuan tahun.
Banyak rumah yang kosong karena penghuninya sudah meninggal, dan Armand bersama teman temannya justru tinggal di lingkungan kosong itu. Rumah bekas bunuh diri yang letaknya tak jauh dari mereka, membuat semua orang was was saat melewatinya. Apalagi saat malam hari.

INDEKS
Part 1 sampai di desa
Part 2 rumah posko
part 3 setan rumah sebelau
Part 4 rumah Pak Sobri
Part 5 Kuntilanak
Part 6 Rumah di samping Pak Sobri
Part 7 ada ibu ibu, gaes
Part 8 Mbak Kunti
Part 9 Fendi hilang
Part 10 pencarian
Part 11 proker sumur
Part 12 Fendi yang diteror terus menerus
Part 13 Rencana Daniel
Part 14 Fendi Kesurupan lagi
Part 15 Kepergian Daniel ke Kota
Part 16 Derry yang lain
Part 17 Kegelisahan Armand
Part 18 Bantuan Datang
Part 19 Flashback Perjalanan Daniel
Part 20 Menjemput Kyai di pondok pesantren
Part 21 Leluhur Armand
Part 22 titik terang
Part 23 Bertemu Pak Sobri
Part 24 Sebuah Rencana
Part 25 Akhir Merihim
Part 26 kembali ke rumah

Quote:
Quote:
Saat hari beranjak petang, larangan berkeliaran di luar rumah serta himbauan menutup pintu dan jendela sudah menjadi hal wajib di desa Alas Ketonggo.
Aretha yang berprofesi menjadi seorang guru bantu, harus pindah di desa Alas Ketonggo, yang berada jauh dari keramaian penduduk.
Dari hari ke hari, ia menemukan banyak keganjilan, terutama saat sandekala(waktu menjelang maghrib).
INDEKS
Part 1 Desa Alas ketonggo
Part 2 Rumah Bu Heni
Part 3 Misteri Rumah Pak Yodi
Part 4 anak ayam tengah malam
part 5 dr. Daniel
Part 6 ummu sibyan
Part 7 tamu aneh
Part 8 gangguan
Part 9 belatung
Part 10 kedatangan Radit
Part 11 Terungkap
Part 12 menjemput Dani
Part 13 nek siti ternyata...
part 14 kisah nek siti
part 15 makanan menjijikkan
Part 16 pengorbanan nenek
Part 17 merihim
Part 18 Iblis pembawa bencana
Part 19 rumah
Part 20 penemuan mayat
Part 21 kantor baru
Part 22 rekan kerja
Part 23 Giska hilang
part 24 pak de yusuf
Part 25 makhluk apa ini
Part 26 liburan
Part 27 kesurupan
Part 28 hantu kamar mandi
Part 29 jelmaan
Part 30 keanehan citra
part 31 end

Quote:
Quote:
INDEKS
Part 1 kehidupan baru
Part 2 desa alas purwo
part 3 rumah mes
part 4 kamar mandi rusak
part 5 malam pertama di rumah baru
part 6 bu jum
part 7 membersihkan rumah
part 8 warung bu darsi
part 9 pak rt
part 10 kegaduhan
part 11 teteh
part 12 flashback
part 13 hendra kena teror
part 14 siapa makhluk itu?
part 15 wanita di kebun teh
part 16 anak hilang
part 17 orang tua kinanti
part 18 gangguan di rumah
part 19 curahan hati pak slamet
part 20 halaman belakang rumah
part 21 kondangan
part 22 warung gaib
part 23 sosok lain
part 24 misteri kematian keisha
part 25 hendra di teror
part 26 mimpi yang sama
part 27 kinanti masih hidup
part 28 Liya
part 29 kembali ke dusun kalimati
part 30 desa yg aneh
part 31 ummu sibyan
part 32 nek siti
part 33 tersesat
part 34 akhir kisah
part 35 nasib sial bu jum
part 36 pasukan lengkap
part 37 godaan alam mimpi
part 38 tahun 1973
part 39 rumah sukarta
part 40 squad yusuf
part 41 aretha pulang
Konten Sensitif
Quote:
Kembali ke kisah Khairunisa. Ini season pertama dari keluarga Indigo. Dulu pernah saya posting, sekarang saya posting ulang. Harusnya sih dibaca dari season ini dulu. Duh, pusing nggak ngab. Mon maap ya. Silakan disimak. Semoga suka. Eh, maaf kalau tulisan kali ini berantakan. Karena ini trit pertama dulu di kaskus, terus ga sempet ane revisi.
INDEKS
part 1 Bertemu Indra
part 2 misteri olivia
part 3 bersama indra
part 4 kak adam
part 5 pov kak adam
part 6 mantra malik jiwa
part 7 masuk alam gaib
part 8 vila angker
part 9 kepergian indra
part 10 pria itu
part 11 sebuah insiden
part 12 cinta segitiga
part 13 aceh
part 14 lamaran
part 15 kerja
part 16 pelet
part 17 pertunangan kak yusuf
part 18 weding
part 19 madu pernikahan
part 20 Bali
part 21 pulang
part 22 Davin
part 23 tragedi
part 24 penyelamatan
part 25 istirahat
part 26 hotel angker
part 27 diana
part 28 kecelakaan
part 29 pemulihan
part 30 tumbal
part 31 vila Fergie
part 32 misteri vila
part 33 kembali ingat
part 34 kuliner malam
part 35 psikopat
part 36 libur
part 37 sosok di rumah om gunawan
part 38 sosok pendamping
part 39 angel kesurupan
part 40 Diner
part 41 diculik
part 42 trimester 3
part 43 kelahiran
part 44 rumah baru
part 45 holiday
part 46nenek aneh
part 47 misteri kolam
part 48 tamu

Quote:
Quote:
INDEKS
part 1 masuk SMU
part 2 bioskop
part 3 Makrab
part 4 kencan
part 5 pentas seni
part 6 lukisan
part 7 teror di rumah kiki
part 8 Danu Dion dalam bahaya
part 9 siswa baru
part 10 Fandi
part 11 Eyang Prabumulih
part 12 Alya
part 13 cinta segitiga
part 14 maaf areta
part 15 i love you
part 16 bukit bintang
part 17 ujian
part 18 liburan
part 19 nenek lestari
part 20 jalan jalak
part 21 leak
part 22 rangda
INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 18-05-2023 21:46
arieaduh dan 22 lainnya memberi reputasi
21
21.6K
306
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#182
8. Danu Dion Dalam Bahaya
Selesai makan, menonton film adalah hal yang menarik. Kebetulan koleksi kaset DVD Kiki cukup banyak. Ponsel Kiki berdering. Ia lalu menerima panggilan teleponnya agak menjauh karena suara speaker pasti akan mengganggu pendengarannya, terlebih mamanya yang menelepon. Kiki kembali dengan wajah ditekuk.
"Kenapa tuh muka?" tanyaku sambil sesekali menatap layar TV di depan kami.
"Gaes ... Malam ini kalian nginap sini ya, please ..." pinta Kiki memohon.
"Kenapa, Ki?" tanya Radit yang memegang remote TV dan duduk di lantai, tepatnya di bawahku. Doni dan aku duduk di sofa. Sementara Kak Arden duduk di sofa lain sibuk dengan laptop miliknya.
"Papa mamaku nggak bisa pulang, masih ada urusan .... Aku takut kalau sendirian di rumah," rengeknya dengan mata berkaca-kaca.
"Iya, Sayang, aku mau kok nginap sini, " kata Doni sambil senyum-senyum nakal.
Kak Arden meliriknya sinis lalu melemparnya dengan bantal yang dia pegang. "Modus!" hardik Kak Arden.
"Sirik lu!" Doni membela diri.
"Iya, nggak apa-apa deh. Lagian aku masih trauma di rumah sendiri," celetuk Radit sambil terus menatap film yang sedang diputar. Tatapan matanya kosong. Sekalipun kejadian itu sudah berlalu, dan lukisan berdarah itu sudah tidak ada di rumahnya, pasti Radit masih sedikit trauma.
"Kenapa lu?" tanya Doni yang belum tahu kejadian di rumah Radit kemarin.
Belum sempat Radit menjawab, suara dentuman keras dari jendela yang ditutup cukup keras membuat kami semua terdiam dan saling pandang.
"Kalian sih! Pakai bahas gituan!" Kiki mulai resah lalu memeluk lenganku yang duduk di sampingnya. Ia yang sudah tahu cerita tentang lukisan di rumah Radit, menyadari kalau pembahasan itu sebaiknya tidak kami lakukan di saat malam-malam begini.
"Kak," panggilku, memberikan isyarat kepada kak Arden. Kak Arden memutar bola matanya, karena jengah. Ia paham maksudku. "Ayo, Dit," ajak Kak Arden lalu menarik Radit ke sumber suara yang sepertinya dari arah dapur. Kami bertiga yang tinggal di ruang TV menunggu dengan perasaan gundah.
Saat mereka kembali, Radit terlihat kesal. "Keterlaluan! Kita dikerjain nih!" umpat Radit, melemparkan sebuah kotak ke meja di depan kami bertiga. Doni lalu membuka kotak itu, dan semua terkejut dengan isi di dalamnya. Ada sebuah bangkai burung yang berlumuran darah. Lebih tepatnya burung gagak.
"Kerjaan siapa sih ini?" tanya Doni mulai emosi.
"Ini kayanya ada yang sengaja meneror kamu deh, Ki," ucap Radit yakin, "kamu punya pandangan nggak? Kira-kira siapa orangnya? Apa kamu punya musuh?" tanya Radit secara terperinci mirip detektif saja.
Kiki diam sejenak. Mencoba menarik benang merah atas masalah ini
"Siapa sih? Aku beneran nggak tahu," katanya frustrasi sambil menjambak rambutnya sendiri.
"Aku yakin, lama kelamaan dia pasti bakal muncul, tapi kita juga harus waspada, " saranku.
"Tunggu! Sebaiknya kalian lihat dulu ini." Kak Arden mengutak-atik laptop miliknya. "Tadi, aku minta tolong Danu buat cek kamera CCTV di sekitar rumah Kiki. Aku yakin, orangnya sering mondar-mandir di sekitar sini. Dan, ini ..." tunjuk Kak Arden ke monitor di depannya.
"Ini orang mencurigakan banget," gumam Kak Arden menunjuk seorang pengendara motor yang berhenti di halaman depan rumah Kiki.
"Itu kapan?" tanyaku mulai tertarik.
"Kurang lebih ...." Kak Arden mengklik beberapa tombol, "Sekitar habis magrib tadi."
Aku dan Radit saling bertukar pandang. Hal ini ditangkap oleh Doni dan Kak Arden. "Kalian tahu sesuatu?" tanya Doni.
"Apa suara tadi ya, Dit?" tanyaku sambil mengingat kejadian tadi.
"Bisa jadi."
"Suara apa?" tanya Doni penasaran.
"Tadi waktu aku sama Radit di teras, kita dengar suara. Aku pikir ada orang, tapi setelah kita cari, nggak ada," terangku. Yang lain hanya menanggapi dengan anggukan pelan.
"Eh, tapi, kok aku nggak asing ya, sama orang ini," celetuk Doni sambil mengusap dagunya.
Mereka ikut mengamati pria dalam rekaman CCTV yang Danu kirimkan. "Kayanya aku tahu siapa dia!" timpal Radit yakin.
"Serius? Yang bener, Dit. Jangan asal nuduh," tukas Doni.
Radit hanya tersenyum tipis. Menandakan sesuatu.
________
Paginya kami pulang ke rumah masing-masing. Hari ini adalah hari senin dan tentu kami harus masuk sekolah seperti biasa. Sampai di halaman parkir sekolah, kami berkumpul sesuai kesepakatan. Radit menyapu pandang ke sekitar, seperti menunggu seseorang.
"Kenapa lu?" tanya Doni yang menyadari tingkah aneh Radit.
"Kalian ingat, motor orang yang semalam ada di rekaman CCTV rumah Kiki?" tanya Radit serius.
"Apa yah? Nggak perhatiin, Dit. Lagian nggak begitu jelas ah," tukas Doni ragu.
"Ah, payah!" sindir Radit.
"Emang kenapa, Dit?"
"Aku ngerasa pernah lihat motor itu di sekolah ini, Tha," sahutnya dengan berbisik. Semua tertarik atas apa yang diungkapkan Radit, kami lalu membentuk lingkaran dan berdiskusi.
"Motor apaan, Dit?" tanya Dion ikut penasaran.
"Motor sport, warna merah!"
Dahi kami serentak berkerut. Otomatis melihat sekitar. Mencari motor yang di maksud Radit.
"Motor sport, warna merah? Di sekolah ini cuma ada empat orang yang pakai," kataku yakin.
"Elu perhatian bener, Tha?" tanya Dion sedikit mencandainya.
"Iyalah, teman kelas kita sering banget itu bahas mereka berempat."
"Mereka berempat?" tanya Radit penasaran.
"Elu hafal bener, Tha?" tanya Danu sambil melirik dan menyikut Radit yang ada di sampingnya.
"Habisnya, anak cewek di kelasku itu selalu ngomongin mereka berempat, Roni, Pandu, Fredi, dan Putra, karena motor mereka keren," jelasku. "Siapa sih yang nggak klepek-klepek sama mereka berempat, kecuali ..."
"Kita berdua, ya Tha!" sambung Kiki dengan bangganya. Kami mengangguk sambil menyapu pandang sekitar.
"Oke, jadi kita harus selidiki mereka berempat. Kita harus bagi tugas," kata Kak Arden.
Dedi dan Ari menyelidiki Fredi, Danu dan Dion menyelidiki Roni, Radit dan Doni menyelidiki Pandu. Sementara Putra adalah bagian Kak Arden seorang diri. Karena Putra aktif di kegiatan Rohis, jadi mudah untuk Kak Arden mencari tahu jati dirinya. Sekalipun anak Rohis, Putra tidak bisa dianggap bersih dari semua tuduhan.
"Oke, nanti pulang sekolah, kita kumpul lagi di sini," kata Kak Arden semangat.
Kebetulan hari ini, kegiatan belajar mengajar diliburkan, karena ada perayaan ulang tahun sekolah. Kesempatan ini sangat mudah bagi kami untuk mencari tahu, siapa peneror rumah Kiki. Hari sudah beranjak siang, rasa panas tidak lagi terelakkan. Semua berkumpul di halaman parkir sesuai kesepakatan tadi. Hanya saja, Danu dan Dion tidak juga tampak. Bahkan saat ponsel mereka dihubungi, selalu saja tidak aktif. Hal ini membuat kami sedikit gusar.
"Ke kantin dulu yuk, haus," pinta Kiki. Akhirnya kami setuju kembali ke kantin, hanya Dedi dan Ari saja yang tinggal di dalam mobil Radit. Mereka menunggu Danu dan Dion, siapa tahu mereka berdua muncul.
"Mau pesen apa, Tha?" tanya Radit ramah, kami duduk berdekatan hingga sebuah tempat tisu melayang mengenai kepala Radit.
"Ya ampun, Den! Kejam bener, lu!" timpal Radit sambil mengelus kepalanya yang sedikit nyeri.
"Jaga jarak aman, satu meter! Minggir-minggir!" sindir Kak Arden lalu duduk di antara Radit dan aku.
"Den, ya ampun! Nggak gue apa-apain adik lu!" kata Radit sedikit jengah.
"Ssttt!" Kak Arden hanya meletakkan jari telunjuknya di depan mulut, menyuruh Radit berhenti bicara.
Tiba-tiba ponsel ku berdering. Ada sebuah pesan masuk dari Danu.
[Tha, kami ketahuan, tolong!]
Aku menatap semua teman-teman dengan wajah panik lalu menunjukkan pesan yang Danu kirim. "Cari mereka berdua! Hubungin Dedi sama Ari, cari di tiap sudut sekolah," suruh Radit bergegas.
Semua bergerak mencari keberadaan Danu dan Dion. Yang kami tahu, kedua orang itu dalam bahaya. Sudah beberapa menit kami mencari, tetapi hasilnya nihil. Di semua ruang kelas, perpustakaan, bahkan sampai aula, tidak juga kami temui keberadaan Danu dan Dion. Kini, kami ada di taman dekat kantin. Semua diam dengan pikiran masing-masing. Aku terlihat paling gelisah di antara yang lain. Mondar-mandir ke sana kemari. Aku memang tipe orang yang mudah cemas dan khawatir. Radit mendekati lalu menarik tanganku agar duduk di bangku bawah pohon.
Radit jongkok di depanku sambil menatap dalam kedua bola mataku dalam.
"Kamu jangan khawatir, ya. Kita pasti bakal nemuin Danu sama Dion," katanya berusaha menenangkan. Radit menggenggam tanganku, hingga membuat jantungku makin berdetak cepat.
"Kita berpencar lagi. Nggak bisa diam aja di sini!" kata Kak Arden makin cemas walau terkadang sikapnya cuek, tetapi dia sangat peduli terhadap kawan-kawannya.
"Astaga! Kenapa nggak kepikiran sih!" pekik Radit tiba-tiba, membuat semua kaget dan menatapnya heran.
"Apaan sih, Dit?"
"CCTV, Bro! "
"Cakep! Yuk ke ruang guru!"
Kami benar-benar lupa, kalau ada CCTV di sekolah. Kami lantas beramai-ramai ke ruang guru. Beruntung di sana kami bertemu Om Feri yang memang akan bersiap mengajar. Om Feri menyipitkan mata melihat kelompok kami mendekat.
"Om ... Eh, Pak ... Kita mau minta tolong, bisa?" tanyaku sambil menahan On Feri yang hendak pergi.
"Mau ngapain coba kalian? Dari mukanya udah kelihatan mau aneh-aneh nih," tuduh Om Feri yang memang hafal tingkah aku dan Kak Arden beserta antek-antek di hadapannya ini.
Kak Arden lalu menceritakan masalah kami ke Om Feri, ia terdiam beberapa saat, "Ya sudah, ayo masuk."
Kami mengekor hingga sampai ruangan CCTV yang tidak dijaga. Om Feri lalu duduk di kursi itu dan memainkan mouse komputer dan mulai melihat rekaman CCTV hari ini. Semua mata terus memperhatikan setiap detail ruang demi ruangan yang terpantau CCTV, tidak ada yang terlewat dari pengawasan mata kami.
"Nah! Itu mereka!" pekik Doni.
"Eh iya bener, si Danu tuh lagi ditarik gitu sama Roni. Dion ya ampun! Mukanya berdarah," ucap kiki sedikit heboh melihat teman masa kecilnya babak belur. Gambar di CCTV memang tidak begitu jelas. Hanya saja, warna merah di wajah dua teman mereka, terlihat jelas. Mereka berdua diseret menuju gudang belakang sekolah.
"Langsung kita grebek aja!"ajak Radit semangat.
"Eh ... Jangan pada main hakim sendiri. Biar Bapak yang urus." Emosi terkadang membuat kami lupa sekitar. Kami lupa, bahwa Om Feri, wali kelasku sekaligus guru fisika kami, masih ada di sini.
"Tapi Pak, kelamaan. Keburu Danu sama Dion disate nanti," tegasku tidak sabaran.
"Kamu ini, sama aja kaya bundamu!"gerutu Feri sinis. Aku malah mengerutkan kening, tak paham maksud pria di depanku ini.
"Terus kita harus gimana dong, Pak?" tanya Kak Arden mencoba sabar.
"Ya sudah, kalian tunggu sini, biar Bapak ke ruang kepala sekolah. Coba sharing dulu ya, sama Pak Kepsek," kata Om Feri menenangkan kami. Kami, para muridnya hanya menganggukkan kepala. Setelah Om Feri pergi ke ruang kepala sekolah, kami semua mengambil langkah seribu berlari ke gudang sekolah. Gudang sekolah ada dua. Yang satu di belakang, dan yang satu lagi di dekat aula. Kami pergi ke gudang dekat aula.
Sampai di gudang, kami masuk pelan-pelan agar tidak diketahui oleh musuh di dalam. Keadaan cukup sunyi di luar, tetapi tidak dengan bagian dalam gudang ini. Beberapa kali terdengar suara perkelahian yang cukup ramai. Saat mengintip melalui jendela, kami melihat Danu dan Dion dengan keadaan tangan terikat. Wajah mereka sudah lebam dan penuh luka. Karena tidak tahan, Radit merangsek masuk ke dalam.
"Lepaskan mereka!" suruh Radit dengan nada tinggi. Kemunculannya mengagetkan semua orang di dalam. Tentu saja kelegaan dirasakan dua orang yang sedang dikeroyok hampir sepuluh orang. Wajah Radit benar-benar tampak emosi.
Roni yang awalnya kaget lalu tertawa lepas."Enak aja! Nangkapnya aja susah kok, masa gampang banget gue lepasin!"
"Lepasin mereka!" Radit yang makin kalap perlahan mendekati mereka. Ia benar-benar tidak punya rasa takut.
"Berisik banget! Hajar!"perintah Roni ke teman-temannya.
Melihat Radit akan dikeroyok, Kak Arden, Doni, Dedi dan Ari ikut masuk dan melawan mereka. Terjadilah baku hantam di dalam. Pukulan demi pukulan mereka layangkan ke musuh masing-masing. Aku dan Kiki mendekati Danu dan Dion. Melihat kedua pria di depan mereka tak berdaya, Kiki dan aku merasa iba. Dilepaskannya ikatan di kedua tangan itu lalu membantu mereka berdiri, segera keluar dari gudang ini.
Namun, belum sampai mereka keluar, teman-teman Roni menghadang kami.
"Tha, gimana dong," rengek Kiki sedikit ketakutan. Aku tmm berpikir keras, akan mengalah atau melawan. Aku memang sudah berjanji pada ayah tidak berkelahi lagi di sekolah.
"Maafin Aretha, Ayah," gumamku pelan.
Aku mendudukkan Danu yang meringis kesakitan memegang wajah dan perutnya.
"Tha! Jangan, Tha," larang Danu yang paham dengan apa yang dipikirkan olehku. Hanya saja tenaganya sudah habis untuk bisa mencegahku. Jangankan mencegah, untuk bernapas saja, ia masih kesulitan.
Tak menghiraukan larangan Danu, Aku berdiri di tengah-tengah mereka. Tanpa basa-basi lagi, aku mengambil balok kayu yang ada di dekat kaki. Lalu dihantamkan pada mereka yang ada di depan. Ditambah dengan pukulan serta tendangan bertubi-tubi. Sejak kecil kami sudah mendapat latihan bela diri yang kuat serta ilmu agama yang cukup, karena keistimewaan kami berdua, maka Pakde Yusuf sebagai yang satu-satunya paling paham masalah supranatural, terus membimbing kami. Sementara ilmu bela diri, diajarkan oleh ayah kami. Beruntung lawanku kali ini hanya berjumlah tiga orang saja.
Aku membuat mereka terkapar tak berdaya, hanya dalam beberapa kali pukulan. Melihat mereka sudah tidak bisa bangun lagi, Aku kembali memapah Danu. Lalu menyuruh Kiki segera pergi membawa Dion juga.
"Haagh!" rintih Danu tertahan, hampir terjatuh saat aku memapahnya.
"Kenapa, Dan?" tanyaku panik melihat ekspresi Danu yang menahan sakit.
"Punggungku ...."
"Astaga! Tha! Berdarah!" pekik Kiki heboh dengan menatap ke tubuh belakang Danu.
"Danu ketusuk tadi," terang Dion sambil menekan dadanya yang nyeri.
Aku segera memapah Danu agar cepat dibawa ke rumah sakit. Lukanya cukup parah. Jangan sampai Danu kehilangan banyak darah. Itu bisa fatal.
Tiba-tiba ...
Aku dipukul dengan papan tulis bekas yang tergeletak di bawah oleh salah satu teman Roni. Tubuhku lemas, pandangan mataku memburam, lalu jatuh menimpa Danu. Danu yang juga terluka berusaha menahan tubuhku.
"Tha!" teriak Radit yang melihat aku roboh. Ia segera menghampiri orang yang memukulku tadi. Dipukulnya orang itu hingga babak belur. Ia segera meraihku lalu berteriak memanggil Doni agar ikut memapah Danu. Doni mendekat membantu Danu. Kiki memapah Dion yang lukanya tidak separah Danu, hanya saja kakinya pincang karena diinjak oleh Roni tadi.
Sampai di mobil, aku duduk di samping kemudi, di belakang ada Danu, Dion, dan Kiki. Melihat darah terus mengalir, aku melepas sweter yang kupakai lalu memberikannya ke Danu. "Tutupin lukamu, biar darahnya nggak terlalu banyak yang keluar."
Sampai rumah sakit, kami segera dilarikan ke IGD. Sedangkan masalah di sekolah sudah di tangani pihak sekolah dan polisi tentunya. Kiki telah menelepon kantor polisi terdekat agar Roni dan teman-temannya segera diringkus karena tindakan kriminal mereka. Yang pasti, Roni akan dikeluarkan dari sekolah dan akan mendekam di balik jeruji besi karena perbuatannya.
"Kenapa tuh muka?" tanyaku sambil sesekali menatap layar TV di depan kami.
"Gaes ... Malam ini kalian nginap sini ya, please ..." pinta Kiki memohon.
"Kenapa, Ki?" tanya Radit yang memegang remote TV dan duduk di lantai, tepatnya di bawahku. Doni dan aku duduk di sofa. Sementara Kak Arden duduk di sofa lain sibuk dengan laptop miliknya.
"Papa mamaku nggak bisa pulang, masih ada urusan .... Aku takut kalau sendirian di rumah," rengeknya dengan mata berkaca-kaca.
"Iya, Sayang, aku mau kok nginap sini, " kata Doni sambil senyum-senyum nakal.
Kak Arden meliriknya sinis lalu melemparnya dengan bantal yang dia pegang. "Modus!" hardik Kak Arden.
"Sirik lu!" Doni membela diri.
"Iya, nggak apa-apa deh. Lagian aku masih trauma di rumah sendiri," celetuk Radit sambil terus menatap film yang sedang diputar. Tatapan matanya kosong. Sekalipun kejadian itu sudah berlalu, dan lukisan berdarah itu sudah tidak ada di rumahnya, pasti Radit masih sedikit trauma.
"Kenapa lu?" tanya Doni yang belum tahu kejadian di rumah Radit kemarin.
Belum sempat Radit menjawab, suara dentuman keras dari jendela yang ditutup cukup keras membuat kami semua terdiam dan saling pandang.
"Kalian sih! Pakai bahas gituan!" Kiki mulai resah lalu memeluk lenganku yang duduk di sampingnya. Ia yang sudah tahu cerita tentang lukisan di rumah Radit, menyadari kalau pembahasan itu sebaiknya tidak kami lakukan di saat malam-malam begini.
"Kak," panggilku, memberikan isyarat kepada kak Arden. Kak Arden memutar bola matanya, karena jengah. Ia paham maksudku. "Ayo, Dit," ajak Kak Arden lalu menarik Radit ke sumber suara yang sepertinya dari arah dapur. Kami bertiga yang tinggal di ruang TV menunggu dengan perasaan gundah.
Saat mereka kembali, Radit terlihat kesal. "Keterlaluan! Kita dikerjain nih!" umpat Radit, melemparkan sebuah kotak ke meja di depan kami bertiga. Doni lalu membuka kotak itu, dan semua terkejut dengan isi di dalamnya. Ada sebuah bangkai burung yang berlumuran darah. Lebih tepatnya burung gagak.
"Kerjaan siapa sih ini?" tanya Doni mulai emosi.
"Ini kayanya ada yang sengaja meneror kamu deh, Ki," ucap Radit yakin, "kamu punya pandangan nggak? Kira-kira siapa orangnya? Apa kamu punya musuh?" tanya Radit secara terperinci mirip detektif saja.
Kiki diam sejenak. Mencoba menarik benang merah atas masalah ini
"Siapa sih? Aku beneran nggak tahu," katanya frustrasi sambil menjambak rambutnya sendiri.
"Aku yakin, lama kelamaan dia pasti bakal muncul, tapi kita juga harus waspada, " saranku.
"Tunggu! Sebaiknya kalian lihat dulu ini." Kak Arden mengutak-atik laptop miliknya. "Tadi, aku minta tolong Danu buat cek kamera CCTV di sekitar rumah Kiki. Aku yakin, orangnya sering mondar-mandir di sekitar sini. Dan, ini ..." tunjuk Kak Arden ke monitor di depannya.
"Ini orang mencurigakan banget," gumam Kak Arden menunjuk seorang pengendara motor yang berhenti di halaman depan rumah Kiki.
"Itu kapan?" tanyaku mulai tertarik.
"Kurang lebih ...." Kak Arden mengklik beberapa tombol, "Sekitar habis magrib tadi."
Aku dan Radit saling bertukar pandang. Hal ini ditangkap oleh Doni dan Kak Arden. "Kalian tahu sesuatu?" tanya Doni.
"Apa suara tadi ya, Dit?" tanyaku sambil mengingat kejadian tadi.
"Bisa jadi."
"Suara apa?" tanya Doni penasaran.
"Tadi waktu aku sama Radit di teras, kita dengar suara. Aku pikir ada orang, tapi setelah kita cari, nggak ada," terangku. Yang lain hanya menanggapi dengan anggukan pelan.
"Eh, tapi, kok aku nggak asing ya, sama orang ini," celetuk Doni sambil mengusap dagunya.
Mereka ikut mengamati pria dalam rekaman CCTV yang Danu kirimkan. "Kayanya aku tahu siapa dia!" timpal Radit yakin.
"Serius? Yang bener, Dit. Jangan asal nuduh," tukas Doni.
Radit hanya tersenyum tipis. Menandakan sesuatu.
________
Paginya kami pulang ke rumah masing-masing. Hari ini adalah hari senin dan tentu kami harus masuk sekolah seperti biasa. Sampai di halaman parkir sekolah, kami berkumpul sesuai kesepakatan. Radit menyapu pandang ke sekitar, seperti menunggu seseorang.
"Kenapa lu?" tanya Doni yang menyadari tingkah aneh Radit.
"Kalian ingat, motor orang yang semalam ada di rekaman CCTV rumah Kiki?" tanya Radit serius.
"Apa yah? Nggak perhatiin, Dit. Lagian nggak begitu jelas ah," tukas Doni ragu.
"Ah, payah!" sindir Radit.
"Emang kenapa, Dit?"
"Aku ngerasa pernah lihat motor itu di sekolah ini, Tha," sahutnya dengan berbisik. Semua tertarik atas apa yang diungkapkan Radit, kami lalu membentuk lingkaran dan berdiskusi.
"Motor apaan, Dit?" tanya Dion ikut penasaran.
"Motor sport, warna merah!"
Dahi kami serentak berkerut. Otomatis melihat sekitar. Mencari motor yang di maksud Radit.
"Motor sport, warna merah? Di sekolah ini cuma ada empat orang yang pakai," kataku yakin.
"Elu perhatian bener, Tha?" tanya Dion sedikit mencandainya.
"Iyalah, teman kelas kita sering banget itu bahas mereka berempat."
"Mereka berempat?" tanya Radit penasaran.
"Elu hafal bener, Tha?" tanya Danu sambil melirik dan menyikut Radit yang ada di sampingnya.
"Habisnya, anak cewek di kelasku itu selalu ngomongin mereka berempat, Roni, Pandu, Fredi, dan Putra, karena motor mereka keren," jelasku. "Siapa sih yang nggak klepek-klepek sama mereka berempat, kecuali ..."
"Kita berdua, ya Tha!" sambung Kiki dengan bangganya. Kami mengangguk sambil menyapu pandang sekitar.
"Oke, jadi kita harus selidiki mereka berempat. Kita harus bagi tugas," kata Kak Arden.
Dedi dan Ari menyelidiki Fredi, Danu dan Dion menyelidiki Roni, Radit dan Doni menyelidiki Pandu. Sementara Putra adalah bagian Kak Arden seorang diri. Karena Putra aktif di kegiatan Rohis, jadi mudah untuk Kak Arden mencari tahu jati dirinya. Sekalipun anak Rohis, Putra tidak bisa dianggap bersih dari semua tuduhan.
"Oke, nanti pulang sekolah, kita kumpul lagi di sini," kata Kak Arden semangat.
Kebetulan hari ini, kegiatan belajar mengajar diliburkan, karena ada perayaan ulang tahun sekolah. Kesempatan ini sangat mudah bagi kami untuk mencari tahu, siapa peneror rumah Kiki. Hari sudah beranjak siang, rasa panas tidak lagi terelakkan. Semua berkumpul di halaman parkir sesuai kesepakatan tadi. Hanya saja, Danu dan Dion tidak juga tampak. Bahkan saat ponsel mereka dihubungi, selalu saja tidak aktif. Hal ini membuat kami sedikit gusar.
"Ke kantin dulu yuk, haus," pinta Kiki. Akhirnya kami setuju kembali ke kantin, hanya Dedi dan Ari saja yang tinggal di dalam mobil Radit. Mereka menunggu Danu dan Dion, siapa tahu mereka berdua muncul.
"Mau pesen apa, Tha?" tanya Radit ramah, kami duduk berdekatan hingga sebuah tempat tisu melayang mengenai kepala Radit.
"Ya ampun, Den! Kejam bener, lu!" timpal Radit sambil mengelus kepalanya yang sedikit nyeri.
"Jaga jarak aman, satu meter! Minggir-minggir!" sindir Kak Arden lalu duduk di antara Radit dan aku.
"Den, ya ampun! Nggak gue apa-apain adik lu!" kata Radit sedikit jengah.
"Ssttt!" Kak Arden hanya meletakkan jari telunjuknya di depan mulut, menyuruh Radit berhenti bicara.
Tiba-tiba ponsel ku berdering. Ada sebuah pesan masuk dari Danu.
[Tha, kami ketahuan, tolong!]
Aku menatap semua teman-teman dengan wajah panik lalu menunjukkan pesan yang Danu kirim. "Cari mereka berdua! Hubungin Dedi sama Ari, cari di tiap sudut sekolah," suruh Radit bergegas.
Semua bergerak mencari keberadaan Danu dan Dion. Yang kami tahu, kedua orang itu dalam bahaya. Sudah beberapa menit kami mencari, tetapi hasilnya nihil. Di semua ruang kelas, perpustakaan, bahkan sampai aula, tidak juga kami temui keberadaan Danu dan Dion. Kini, kami ada di taman dekat kantin. Semua diam dengan pikiran masing-masing. Aku terlihat paling gelisah di antara yang lain. Mondar-mandir ke sana kemari. Aku memang tipe orang yang mudah cemas dan khawatir. Radit mendekati lalu menarik tanganku agar duduk di bangku bawah pohon.
Radit jongkok di depanku sambil menatap dalam kedua bola mataku dalam.
"Kamu jangan khawatir, ya. Kita pasti bakal nemuin Danu sama Dion," katanya berusaha menenangkan. Radit menggenggam tanganku, hingga membuat jantungku makin berdetak cepat.
"Kita berpencar lagi. Nggak bisa diam aja di sini!" kata Kak Arden makin cemas walau terkadang sikapnya cuek, tetapi dia sangat peduli terhadap kawan-kawannya.
"Astaga! Kenapa nggak kepikiran sih!" pekik Radit tiba-tiba, membuat semua kaget dan menatapnya heran.
"Apaan sih, Dit?"
"CCTV, Bro! "
"Cakep! Yuk ke ruang guru!"
Kami benar-benar lupa, kalau ada CCTV di sekolah. Kami lantas beramai-ramai ke ruang guru. Beruntung di sana kami bertemu Om Feri yang memang akan bersiap mengajar. Om Feri menyipitkan mata melihat kelompok kami mendekat.
"Om ... Eh, Pak ... Kita mau minta tolong, bisa?" tanyaku sambil menahan On Feri yang hendak pergi.
"Mau ngapain coba kalian? Dari mukanya udah kelihatan mau aneh-aneh nih," tuduh Om Feri yang memang hafal tingkah aku dan Kak Arden beserta antek-antek di hadapannya ini.
Kak Arden lalu menceritakan masalah kami ke Om Feri, ia terdiam beberapa saat, "Ya sudah, ayo masuk."
Kami mengekor hingga sampai ruangan CCTV yang tidak dijaga. Om Feri lalu duduk di kursi itu dan memainkan mouse komputer dan mulai melihat rekaman CCTV hari ini. Semua mata terus memperhatikan setiap detail ruang demi ruangan yang terpantau CCTV, tidak ada yang terlewat dari pengawasan mata kami.
"Nah! Itu mereka!" pekik Doni.
"Eh iya bener, si Danu tuh lagi ditarik gitu sama Roni. Dion ya ampun! Mukanya berdarah," ucap kiki sedikit heboh melihat teman masa kecilnya babak belur. Gambar di CCTV memang tidak begitu jelas. Hanya saja, warna merah di wajah dua teman mereka, terlihat jelas. Mereka berdua diseret menuju gudang belakang sekolah.
"Langsung kita grebek aja!"ajak Radit semangat.
"Eh ... Jangan pada main hakim sendiri. Biar Bapak yang urus." Emosi terkadang membuat kami lupa sekitar. Kami lupa, bahwa Om Feri, wali kelasku sekaligus guru fisika kami, masih ada di sini.
"Tapi Pak, kelamaan. Keburu Danu sama Dion disate nanti," tegasku tidak sabaran.
"Kamu ini, sama aja kaya bundamu!"gerutu Feri sinis. Aku malah mengerutkan kening, tak paham maksud pria di depanku ini.
"Terus kita harus gimana dong, Pak?" tanya Kak Arden mencoba sabar.
"Ya sudah, kalian tunggu sini, biar Bapak ke ruang kepala sekolah. Coba sharing dulu ya, sama Pak Kepsek," kata Om Feri menenangkan kami. Kami, para muridnya hanya menganggukkan kepala. Setelah Om Feri pergi ke ruang kepala sekolah, kami semua mengambil langkah seribu berlari ke gudang sekolah. Gudang sekolah ada dua. Yang satu di belakang, dan yang satu lagi di dekat aula. Kami pergi ke gudang dekat aula.
Sampai di gudang, kami masuk pelan-pelan agar tidak diketahui oleh musuh di dalam. Keadaan cukup sunyi di luar, tetapi tidak dengan bagian dalam gudang ini. Beberapa kali terdengar suara perkelahian yang cukup ramai. Saat mengintip melalui jendela, kami melihat Danu dan Dion dengan keadaan tangan terikat. Wajah mereka sudah lebam dan penuh luka. Karena tidak tahan, Radit merangsek masuk ke dalam.
"Lepaskan mereka!" suruh Radit dengan nada tinggi. Kemunculannya mengagetkan semua orang di dalam. Tentu saja kelegaan dirasakan dua orang yang sedang dikeroyok hampir sepuluh orang. Wajah Radit benar-benar tampak emosi.
Roni yang awalnya kaget lalu tertawa lepas."Enak aja! Nangkapnya aja susah kok, masa gampang banget gue lepasin!"
"Lepasin mereka!" Radit yang makin kalap perlahan mendekati mereka. Ia benar-benar tidak punya rasa takut.
"Berisik banget! Hajar!"perintah Roni ke teman-temannya.
Melihat Radit akan dikeroyok, Kak Arden, Doni, Dedi dan Ari ikut masuk dan melawan mereka. Terjadilah baku hantam di dalam. Pukulan demi pukulan mereka layangkan ke musuh masing-masing. Aku dan Kiki mendekati Danu dan Dion. Melihat kedua pria di depan mereka tak berdaya, Kiki dan aku merasa iba. Dilepaskannya ikatan di kedua tangan itu lalu membantu mereka berdiri, segera keluar dari gudang ini.
Namun, belum sampai mereka keluar, teman-teman Roni menghadang kami.
"Tha, gimana dong," rengek Kiki sedikit ketakutan. Aku tmm berpikir keras, akan mengalah atau melawan. Aku memang sudah berjanji pada ayah tidak berkelahi lagi di sekolah.
"Maafin Aretha, Ayah," gumamku pelan.
Aku mendudukkan Danu yang meringis kesakitan memegang wajah dan perutnya.
"Tha! Jangan, Tha," larang Danu yang paham dengan apa yang dipikirkan olehku. Hanya saja tenaganya sudah habis untuk bisa mencegahku. Jangankan mencegah, untuk bernapas saja, ia masih kesulitan.
Tak menghiraukan larangan Danu, Aku berdiri di tengah-tengah mereka. Tanpa basa-basi lagi, aku mengambil balok kayu yang ada di dekat kaki. Lalu dihantamkan pada mereka yang ada di depan. Ditambah dengan pukulan serta tendangan bertubi-tubi. Sejak kecil kami sudah mendapat latihan bela diri yang kuat serta ilmu agama yang cukup, karena keistimewaan kami berdua, maka Pakde Yusuf sebagai yang satu-satunya paling paham masalah supranatural, terus membimbing kami. Sementara ilmu bela diri, diajarkan oleh ayah kami. Beruntung lawanku kali ini hanya berjumlah tiga orang saja.
Aku membuat mereka terkapar tak berdaya, hanya dalam beberapa kali pukulan. Melihat mereka sudah tidak bisa bangun lagi, Aku kembali memapah Danu. Lalu menyuruh Kiki segera pergi membawa Dion juga.
"Haagh!" rintih Danu tertahan, hampir terjatuh saat aku memapahnya.
"Kenapa, Dan?" tanyaku panik melihat ekspresi Danu yang menahan sakit.
"Punggungku ...."
"Astaga! Tha! Berdarah!" pekik Kiki heboh dengan menatap ke tubuh belakang Danu.
"Danu ketusuk tadi," terang Dion sambil menekan dadanya yang nyeri.
Aku segera memapah Danu agar cepat dibawa ke rumah sakit. Lukanya cukup parah. Jangan sampai Danu kehilangan banyak darah. Itu bisa fatal.
Tiba-tiba ...
Aku dipukul dengan papan tulis bekas yang tergeletak di bawah oleh salah satu teman Roni. Tubuhku lemas, pandangan mataku memburam, lalu jatuh menimpa Danu. Danu yang juga terluka berusaha menahan tubuhku.
"Tha!" teriak Radit yang melihat aku roboh. Ia segera menghampiri orang yang memukulku tadi. Dipukulnya orang itu hingga babak belur. Ia segera meraihku lalu berteriak memanggil Doni agar ikut memapah Danu. Doni mendekat membantu Danu. Kiki memapah Dion yang lukanya tidak separah Danu, hanya saja kakinya pincang karena diinjak oleh Roni tadi.
Sampai di mobil, aku duduk di samping kemudi, di belakang ada Danu, Dion, dan Kiki. Melihat darah terus mengalir, aku melepas sweter yang kupakai lalu memberikannya ke Danu. "Tutupin lukamu, biar darahnya nggak terlalu banyak yang keluar."
Sampai rumah sakit, kami segera dilarikan ke IGD. Sedangkan masalah di sekolah sudah di tangani pihak sekolah dan polisi tentunya. Kiki telah menelepon kantor polisi terdekat agar Roni dan teman-temannya segera diringkus karena tindakan kriminal mereka. Yang pasti, Roni akan dikeluarkan dari sekolah dan akan mendekam di balik jeruji besi karena perbuatannya.
theorganic.f702 dan 3 lainnya memberi reputasi
4