- Beranda
- Stories from the Heart
Supernatural
...
TS
ny.sukrisna
Supernatural
Quote:
Mungkin agan di sini pernah baca cerita ane yang berjudul pancasona? Kali ini ane akan melanjutkan kisah itu di sini. Yang suka cerita genre fantasi, kasus pembunuhan berantai, gengster werewolf, vampire dan sejenisnya. Silakan mampir.


Quote:
INDEKS
Part 1 abimanyu maheswara
Part 2 abimanyu
Part 3 kalla
Part 4 siapa kalla
Part 5 seorang gadis
part 6 Ellea
part 7 taman
Part 8 kamar ellea
Part 9 pagi bersama ellea
Part 10 rencana
Part 11 tentang kalla
part 12 rumah elang
Part 13 kembali aktivitas
part 14 emosi elang
part 15 janin kalla
part 16 elang
Part 17 vin
Part 18 kantor
Part 19 kemunculan kalla
part 20 pulau titik nol kehidupan
part 21 desa terkutuk
Part 22 wira
Part 23 teman lama
Part 24 patung wira
part 25 teror di rumah John
part 26 tato
part 27 simbol aldebaro
part 28 buku
part 29 kantor kalla
part 30 batu saphire
part 31 Lian dan Ayu
part 32 kakak beradik yang kompak
part 33 penyusup
part 34 kalah jumlah
part 35 lorong rahasia
Part 36 masuk lorong
part 37 cairan aneh
part 38 rahasia kalandra
part 39 Nayaka adalah Kalandra
Part 40 kemampuan nayaka
Part 41 Arkie
Part 42 Arkie (2)
Part 43 peperangan
Part 44 berakhir
Part 45 desa abi
part 46 nabila
part 47 cafe abi
Part 48 Maya
part 49 riki kembali, risna terancam
part 50 iblis bertubuh manusia
part 51 bertemu eliza
part 52 Feliz
Part 53 Bisma
Part 54 ke mana bisma
part 55 rahasia mayat
part 56 bisma kabur
part 57 pertemuan tak terduga
part 58 penyelidikan
part 59 tabir rahasia
part 60 kebakaran
part 61 Bajra
part 62 pengorbanan Bajra
part 63 the best team
part 64 masa lalu
part 65 perang dimulai
part 66 kisah baru
part 67 bertemu vin
part 68 san paz
part 69 cafe KOV
part 70 demigod
part 71 california
part 72 Allea dan Ellea
part 73 rumah ellea
part 74 alan cha
part 75 latin kings
part 76 kediaman faizal
part 77 kematian faizal.
part 78 permainan
part 79 ellea cemburu
part 80 rumah
part 81 keributan
part 82 racun
part 83 mayat
part 84 rencana
part 85 kampung....
Part 86 kematian adi
part 87 tiga sekawan
part 88 zikal
part 89 duri dalam daging
part 90 kerja sama
part 91 Abraham alexi Bonar
part 92 terusir
part 93 penemuan mayat
part 94 dongeng manusia serigala
part 95 hewan atau manusia
part 96 Rendra adalah werewolf
part 97 Beta
part 98 melamar
part 99 pencarian lycanoid
part 100 siapa sebenarnya anda
part 101 terungkap kebenaran
part 102 kisah yang panjang
part 103 buku mantra
part 104 sebuah simbol
part 105 kaki tangan
part 106 pertikaian
part 107 bertemu elizabet
part 108 orang asing
part 109 mantra eksorsisme
part 110 Vin bersikap aneh
part 111 Samael
part 112 Linda sang paranormal
part 113 reinkarnasi
part 114 Nayla
part 115 Archangel
part 116 Flashback vin kesurupan
part 117 ritual
part 118 darah suci
part 119 Lasha
part 120 Amon
part 121 masa lalu arya
part 122 sekte sesat
part 123 sekte
part 124 bu rahayu
part 125 dhampire
part 126 penculikan
part 127 pengakuan rian.
part 128 azazil
part 129 ungkapan perasaan
part 130 perjalanan pertama
part 131 desa angukuni
part 132 Galiyan
part 133 hilang
part 134 Hans dan Jean
part 135 lintah Vlad
part 136 rahasia homestay
part 137 rumah kutukan
part 138 patung aneh
part 139 pulau insula mortem
part 140 mercusuar
part 141 kastil archanum
part 142 blue hole
part 143 jerogumo
part 144 timbuktu
part 145 gerbang gaib
part 146 hutan rougarau
part 147 bertemu azazil
part 148 SMU Mortus
part 149 Wendigo
part 150 danau misterius
part 151 jiwa yang hilang
part 152 serangan di rumah
part 153 misteri di sekolah
part 154 rumah rayi
part 155 makhluk lain di sekolah
part 156 Djin
part 157 menjemput jiwa
part 158 abitra
part 159 kepergian faza
part 160 Sabrina
part 161 puncak emosi
part 162 ilmu hitam
part 163 pertandingan basket
part 164 mariaban
part 165 Dagon
part 166 bantuan
INDEKS LANJUT DI SINI INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 16-05-2023 21:45
itkgid dan 12 lainnya memberi reputasi
13
13.5K
222
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#171
166 Bantuan
Sampai malam, Papa belum juga pulang atau bahkan ada kabar. Sampai akhirnya adik om Dewa datang dengan tergopoh-gopoh. Dia adalah orang yang ikut mengantar Papa, Opa, dan Om Gio ke tempat itu. Tapi kenapa dia pulang seorang diri?
"Loh, kenapa kamu, Opon?" tanya seorang pria dengan uban di seluruh rambutnya, dia kakek dari Om Dewa.
"Kek, mereka ... Mereka hilang di hutan!" katanya dengan menunjuk ke arah luar. Semua orang lantas terperanjat dan memberondonginya dengan pertanyaan beruntun. Aku dan tante Jean berusaha menerobos kerumunan di depan.
"Om, kenapa? Papa saya kenapa?!" tanyaku serius.
"Pa ... Papa kamu, sama semua orang hilang di hutan," jelasnya sambil tergagap, dan berusaha menetralkan nafasnya yang hampir habis.
"Kok bisa sih, Om! Kenapa bisa hilang?!" pekikku.
"Sa ... Saya juga nggak tau. Saat kami sedang menelusuri jalan ke tebing itu, tiba-tiba ada asap. Saya pikir, mereka masih diam di tempat sambil menunggu asap hilang, tapi setelah satu jam, asap hilang, mereka juga hilang!"
Aku menatap tante Jean. "Kalau gitu, biar saya cari Papa saya!" kataku lalu pergi dari kerumunan. Tante Jean berteriak memanggilku bahkan sampai mengikutiku ke kamar.
"Bil, jangan nekat! Ini sudah malam. Lagian kamu mau cari ke mana?!" cegahnya.
"Aku nggak bisa diem aja, tante. Aku harus cari Papa. Perasaanku nggak enak. Aku takut terjadi sesuatu sama mereka."
"Iya tante mengerti. Tapi nggak bisa kita pergi malam-malam begini. Kita pergi besok pagi, tante ikut! Oke?" tanya tante Jean sambil menatap kedua mataku dalam. Aku pun berfikir sejenak dan mengangguk pasrah.
Matahari belum menampakkan sinarnya. Aku dan Tante Jean sudah berkemas walau sekedar membawa beberapa potong pakaian dan makanan. Beruntung aku membawa tas Carrier, sehingga memudahkan perjalanan kami nanti. Sejak tadi aku dan Tante Jean lebih banyak diam. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Jujur saja, baru kali ini sangat mencemaskan keadaan Papa. Aku belum pernah secemas ini. Walau berkali-kali Tante Jean dan Tante Rani selalu menenangkanku, tapi semua tidak cukup.
"Bagaimana? Sudah siap, Bil?" tanya Tante Jean. Aku mengangguk dan membawa tas keluar kamar. Keadaan di rumah besar ini masih sepi, hanya kegiatan yang berada di dapur terdengar sedikit riuh. Karena sebagian besar orang masih terlelap dalam mimpi mereka. Sampai di ruang tengah, Om Opon sudah bersiap dengan tas ranselnya. Sedikit lebih kecil, karena dia hanya akan memberikan petunjuk ke arah Papa dan yang lain pergi. Om Opon yang baru aku ketahui bernama Septian, itu masih berumur cukup muda. Setidaknya umur kami tidak terpaut jauh, dan aku baru tau kalau Opon adalah panggilan keluarga yang diberikan kakek. Karena Om Septian adalah cucunya.
Ada Kakek yang juga akan melepas kepergian kami. Wajahnya terlihat lesu, ada gurat kecemasan di sana. Dia memang orang tertua di tempat ini. Terlihat garang di awal, tapi sebenarnya dia baik.
"Kalian berhati-hatilah. Maaf tapi Opon tidak bisa mengantar sampai ke tempat itu. Di sana termasuk wilayah yang tidak boleh kami masuki," jelas Kakek.
"Baik, Kek. Kakek tidak usah khawatir. Kami akan meneruskan perjalanan sendiri. Kami bisa kok," sahut Tante Jean. Namun tiba-tiba Tante Rani muncul dari kamarnya dengan pakaian rapi bahkan membawa tas yang sama seperti kami. Tentu saja semua orang terkejut.
"Ran? Kamu?" tanya Tante Jean tidak melanjutkan pertanyaannya, walau semua orang juga ingin menanyakan hal yang sama, dan juga berpikiran sama. "Ikut?" sambung Tante Jean. Tante Rani mengangguk yakin, walau dia terlihat berat sambil sesekali menatap anggota keluarganya.
"Mereka juga teman-temanku, Jean. Jangan sampai mereka mengalami hal seperti Dewa. Jangan sampai!" cetus Tante Rani. Keadaan sedikit tegang, apalagi saat Tante Jean melirik ke kakek.
Kakek yang sepertinya sadar, lantas menarik nafas panjang sebelum mendekat ke tante Rani. "Kamu hati-hati, Nantun." Kakek memegang tangan Tante Rani lalu memberikan kalung yang ada di lehernya. "Semoga ini bisa menjaga kalian nanti." Tante Rani mengangguk ragu.
Alhasil kami akan pergi berempat sekarang. Om Opon, begitulah aku memanggilnya, walau konsepnya sangat salah. "Berapa jauhnya, Om?" tanyaku saat kami sudah mulai meninggalkan desa. Memasuki kawasan hutan yang masih cukup gelap. Sinar matahari yang belum muncul ditambah dengan kondisi pepohonan yang rimbun menambah kesan gelap di dalam hutan ini.
"Masih beberapa kilometer lagi, Bil. Pokoknya kalau sudah ketemu sungai, nanti kita seberangi dan di sana letaknya. Tapi maaf, saya hanya bisa antar sampai sungai. Suku kami dilarang masuk ke daerah itu," jelas Om Opon.
"Santai, Om. Kami bisa meneruskan sendiri, asal sudah tau arah yang harus dituju. Iya, kan, tante?" Aku menoleh dan meminta persetujuan pada dua wanita di belakang kami. Mereka yang sedang berdiskusi lantas mengangguk.
"Kalau kalian bingung, saya ada PETA nya." Dia langsung mengambil sebuah kertas dari balik tas ranselnya. "Nih, kamu bawa kompas, kan?" tanyanya dan berakhir dengan anggukan kepala.
Kami berhenti untuk memeriksa PETA tersebut. Tante Rani yang katanya pernah ke sana juga sedikit kebingungan, karena semua tempat adalah pohon. Jika orang yang baru beberapa kali ke sini, pasti akan tersesat. Apalagi aku dan Tante Jean yang baru pertama kali datang ke sini. Kami benar-benar buta medan yang akan dilalui nanti.
"Setelah melewati sungai, kalian berjalan terus ke utara. Nanti di sana kalian akan menemukan tebing. Tapi perhatikan sekeliling ini," tunjuknya ke bagian timur dan barat PETA. "Di sini akan ada banyak rintangan, beberapa suku pedalaman tinggal di sana. Tak hanya itu, ada beberapa hewan buas juga. Hm, jujur, saya berharap kalian mengurungkan niat untuk ke sana. Kalau kalian nekat, sama saja kalian menyetor nyawa." Kalimat itu terdengar mengerikan, dengan harapan yang dalam, agar kami kembali saja ke rumah. Kami bertiga diam.
"Nggak apa-apa, Om. Saya tidak akan kembali sebelum bertemu Papa," jelasku.
Om Opon menarik napas dalam, lalu mengangguk. "Ya sudah, kalau tekad kalian sudah bulat. Ayo kita lanjutkan perjalanan." Om Opon kembali memimpin barisan, aku terus berusaha menjajari langkahnya. Berbagai pertanyaan aku lontarkan untuk mengisi waktu dan agar perjalanan kami tidak terlalu membosankan. Lagi pula aku juga masih asing dengan tempat ini.
"Apa? Nenek Sanja?" tanya Om Opon langsung menghentikan langkah, dan menatapku dalam, seolah tidak percaya pada semua cerita yang keluar dari mulut ku.
"Kenapa memangnya? Om Opon kenal Nenek Sanja?" tanyaku menyelidik. Reaksinya sungguh mencurigakan, karena jika memang dia tidak mengenalnya, maka dia pasti tidak akan se-terkejut ini.
"Sebenarnya bukan kenal dalam artian mengenal dekat, tapi nama itu adalah seseorang yang kami keramatkan."
"Keramatkan itu maksudnya apa?" tanyaku yang memang tidak paham.
"Dia bukan orang sembarangan, Bil. Bisa dikatakan kalau Nenek Sanja itu orang yang melindungi suku kami."
"Wow. Iya, kah? Tapi kenapa dia muncul ke aku?"
"Hm, mungkin dia mau melindungi kamu. Jarang sekali ada orang yang bisa melihat Nenek Sanja. Bahkan selama ini hanya kakek saja, dan para sesepuh lain terdahulu."
Perjalanan kami mulai menemukan titik akhir. Suara riak air terdengar nyaring di telinga. Aku bersorak bahagia dan berjalan makin cepat ke sumber suara tersebut. Kini hamparan air jernih terlihat di depan kami.
"Ini sungainya, Tiam?" tanya Tante Rani memperjelas keadaan kami.
"Iya, ini sungainya." Om Opon menatap ke sekitar dengan tatapan yang tidak bisa kutebak.
"Terus gimana kami melewati sungai ini dan sampai ke sana?" tanya Tante Jean.
"Ya kalian harus berenang ke sana," jawab Om Opon enteng.
"Oh, yang benar saja!" pekikan Tante Jean membuat Om Opon sedikit menarik sudut bibirnya. Walau hanya sedikit. Aku merasa dia sedang mencemaskan sesuatu.
Hari sudah beranjak petang, bahkan perjalanan ini memakan waktu seharian, pasti karena kami banyak istirahat tadi. Maklum saja, kami jarang berjalan jauh selama ini. Sedangkan mobil tidak bisa memasuki kawasan hutan ini. Barisan pohon yang cukup dekat membuat kendaraan sulit lewat, dan juga tidak ada jalur khusus untuk kendaraan di sini. Tempat ini memang masih sangat jarang terjamah manusia.
"Sebaiknya kita berkemah di sini saja, dan kalian bisa meneruskan perjalanan besok pagi, saat terang."
"Kenapa nggak sekalian aja, Om? Sungai ini nggak terlalu lebar dan dalam juga rasanya," sahutku.
"Saya bilang besok, ya besok. Terlalu berbahaya. Kalian nggak tau siapa yang tinggal di wilayah itu!" sergah Om Opon dengan wajah serius. Tante Jean mendesis pelan, lalu menggeleng samar padaku.
"Oke, kita buat tenda di sini," sahut Tante Jean.
Akhirnya kami mulai mempersiapkan segalanya. Tenda-tenda kami dirikan di pinggir sungai. Sambil menunggu malam tiba, dan mempersiapkan segalanya untuk esok hari. Pasti akan sangat berat. Papa, tunggu Nabila.
Empat tenda sudah didirikan dengan sempurna. Api unggun menyala dengan kobaran yang pelan namun tetap membuat sekitar terang. Semua tenda menghadap ke sungai. Jarak antara sungai dan tenda kami tidak begitu jauh, hanya sekitar lima meter saja.
Om Opon sedang duduk di dekat perapian. Beberapa potong ikan dia masak. Hasil dari sungai di dekat kami. Dia cukup lihai mencari ikan walau dengan alat seadanya. Mungkin karena terbiasa tinggal di daerah ini, membuat dirinya ditempa oleh keadaan dan menjadikannya mandiri. Aku saja sampai berdecak kagum atas tangkapan ikannya, sejak ikan pertama yang menggelepar di rumput tadi. Dengan cekatan dia membersihkan sisik, sekaligus isi perut makhluk perairan tersebut. Aku terus menemaninya sambil melemparkan beberapa pertanyaan singkat tentang proses menangkap, memilih ikan yang bagus, hingga memasak ikan tersebut dengan bahan seadanya.
"Nih cobain," kata Om Opon lalu memberikan bambu yang sudah di isi satu ekor ikan. Aku yang duduk di sampingnya lantas menerima dengan riang. Mencium aroma ikan bakar tersebut yang terasa menggugah selera. Baunya harum, dan lezat. Tanpa disuruh, aku segera mencicipi ikan bakar tersebut. Sensasi panas yang ada diujung jariku tidak begitu ku hiraukan. Sedikit demi sedikit daging ikan berhasil ku cuil sambil meniupkan nya agar lekas dingin.
"Hm." Aku menggumam dengan mulut yang sibuk mengoyak ikan bakar di tangan.
"Gimana?" tanya Om Opon dengan tatapan serius. Tak langsung memberikan jawaban, aku justru kembali mengambil potongan daging dengan ukuran lebih besar.
"Ada nasi nggak?" tanyaku dan langsung gelak tawa tercipta dari pria di hadapanku ini. "Enak, Om, sumpah. Ini tadi pakai bumbu itu doang?" tanyaku seolah tidak percaya.
"Iyalah. Pakai itu doang. Enak, kan?" tanyanya dengan bersemangat.
"Enak banget, Om. Beneran. Ini Om Opon aku bawa ke Jawa aja, yuk. Kita buka restoran. Pasti laris."
"Kamu nih, ada ada saja. Saya nggak bisa meninggalkan tanah Borneo."
"Memangnya kenapa? Nanti kalau pergi dari tanah Borneo, ilmunya ilang, kah?" tanyaku serius. Alhasil aku justru mendapat jitakan di kepala. Tapi dia malah tertawa.
Tante Rani dan Tante Jean baru saja keluar dari tenda. Mereka berdua lantas bergabung dengan kami, dan menikmati makan malam sederhana tapi istimewa. Beruntung hujan tidak turun malam ini. Kami dapat menikmati malam dengan lebih tenang. Apalagi hidangan ikan bakar ini tentu akan gagal jika api unggun di guyur hujan.
Beberapa obrolan membuat suasana tidak terlalu sunyi. Kami bahkan mampu tertawa walau hanya dengan candaan ringan. Sedikit melupakan masalah yang akan kami hadapi. Aku tau, tidak akan mudah. Tapi aku yakin bisa. Menemukan Papa dan membawa mereka semua pulang.
"Eh, Om, tadi Om Opon bilang, kalau ada penghuni di seberang sana yang berbahaya? Memangnya siapa, Om?"
"Bil, Bisa nggak kamu manggil saya yang benar?"
"Hah? Salahnya di mana, Om?"
"Kalau mau panggil nama, Septian saja. Jangan Om sama Opon juga kamu bawa," tegas Om Opon. Tante Rani terkekeh sambil menatapku yang masih bengong. Setelah beberapa detik, aku lantas mengangguk setuju.
"Tapi bener juga pertanyaan Nabila, jadi apa sebenarnya yang ada di seberang sana, Sep?" Tante Jean menambahkan.
Om Opon diam sejenak, menatap ke sudut gelap yang kami bicarakan itu. Dia lalu menarik nafas dalam-dalam, aku sudah bersiap mendengar cerita yang akan keluar dari mulut nya. Aku yakin dia memiliki alasan besar kenapa tidak akan mendatangi kawasan itu.
"Ada sebuah suku di sana. Mereka paling tidak suka ada orang asing masuk kawasan mereka. Mereka juga tidak segan-segan membunuh. Kalau menurut sesepuh desa kita, mereka salah satu kelompok penganut aliran satanic. Mereka menyembah setan, dan juga memberikan tumbal setiap beberapa waktu sekali. Kadang mereka menggunakan orang-orang yang masuk ke kawasan mereka, sebagai tumbal. Tapi jika memang mereka tidak menemukan manusia yang masuk ke wilayah mereka, maka mereka yang akan mencari keluar."
"Wow, mengerikan."
"Apa pernah ada warga desa yang menjadi korban?"
"Pernah. Kami bahkan mencari ke wilayah itu, tapi justru tidak ada yang kembali dalam serangan saat itu. Sejak saat itu, kami semua pantang masuk ke sana."
"Apakah kematian Om Dewa karena dia masuk ke sana, Om?" tanyaku penasaran.
Om Opon menarik nafas panjang, lalu mengangguk. "Bahkan salah satu warga desa menemukan mayat Dewa ada di hulu sungai sana," tunjuk Om Opon ke selatan.
"Tapi kenapa sejak awal kalian bilang ini hanya kecelakaan? Naik tebing?"
"Yah, karena kami tidak ingin membuat yang lain cemas, Bil. Agar tidak terjadi pertikaian nanti, atau balas dendam dari kelompok kita. Kakek takut kejadian dulu akan kembali terulang. Kami sudah tidak mungkin kehilangan anggota kelompok lagi."
Tante Rani terlihat sangat terpukul, dia menangis, dan aku ikut merasakan sakit yang dia rasakan.
"Jadi Papa ku ke sini mau balas dendam, begitu, kah?"
"Awalnya kami memang hanya ingin melihat sampai batas ini saja. Tapi mereka lantas nekat menyeberang saat kami melihat beberapa pasang mata berwarna merah yang bersembunyi di semak-semak sana. Kami mengintai dari kejauhan, hanya sebatas ingin mengetahui apakah memang benar mereka pelaku pembunuhan Dewa. Tapi salah satu dari mereka menyebutkan namamu, Bil. Itulah alasan Papamu nekat menyeberang ke sana. Dia cemas kalau kamu akan menjadi target selanjutnya."
"Apa? Menyebutkan namaku? Kok bisa?" aku terpekik dengan berjuta pertanyaan di kepala.
"Itu yang sedang Papamu cari tau."
Gemuruh guntur terdengar memecah kesunyian malam. Walau pada awalnya suara jangkrik mengalun merdu di sepanjang hutan sekitar. Semua menatap ke langit gelap di atas. Makanan sudah habis tak tersisa.
"Lebih baik kalian masuk tenda, seperti akan turun hujan," kata Om Opon.
Aku kembali menatap ke atas, saat sesuatu terdengar tidak asing. Suara yang sering aku dengar beberapa waktu terakhir. Walau tidak ada apa pun di atas sana, tapi entah mengapa aku yakin kalau ada yang sedang mengawasi kami sejak tadi.
Aku segera masuk ke dalam tenda. Begitu pun Dua tante dan Om Opon. Api unggun dibiarkan begitu saja sebagai penghangat kami, dan juga agar hewan buas tidak mendekat saat kami tertidur nanti. Sekalipun aku sudah masuk ke dalam tenda, tak berarti aku lantas akan langsung tidur. Justru aku ingin mengawasi keadaan di sekitar dari dalam tenda. Aku harus waspada terhadap segala kemungkinan yang akan terjadi nanti. Apalagi kami sudah sangat dekat dengan wilayah mereka. Wilayah yang disinyalir adalah tempat yang pantang untuk disinggahi. Tapi setidaknya aku tau di mana Papa, Om Gio dan Opa berada. Hanya saja aku berharap kalau mereka masih hidup di sana.
Suara jangkrik membuat malam ini tidak terlalu sunyi. Beberapa hewan malam juga mulai eksis bersuara. Dari burung hantu, atau suara melengking dari serangga lainnya. Hal ini bukan sesuatu yang baru bagiku. Karena pengalaman berkemah pernah aku alami saat bersama Kak Rayi, Kak Bintang dan Kak Roger dulu. Yah, walau pada akhirnya berakhir dengan kejadian horor yang tidak akan pernah aku lupakan sampai saat ini. Kehilangan Kak Faza membuatku tidak ingin merasakan kehilangan orang-orang terdekatku lagi sekarang. Jadi sekarang aku harus mencari Papa dan yang lainnya. Aku yakin mereka masih hidup.
Ponselku bergetar. Pesan Kak Rayi masuk beruntun, aku yang awalnya hendak tidur mendadak kembali membuka mata lebar. Aku tersenyum sambil membalas pesan darinya, sengaja menghemat baterai dengan mematikan daya. Karena aku tidak tau akan berapa lama berada di hutan untuk mencari Papa. Sementara aku tidak punya power bank yang dapat membantu mengisi daya ponselku.
Aku langsung membalikkan tubuh saat bayangan seseorang melintas di belakang tenda. Berusaha tidak menimbulkan suara apa pun, dan waspada akan sekitar. Beruntungnya, keadaan di dalam tendaku tidak akan terlihat dari luar. Apalagi dengan api unggun yang sudah tidak lagi menyala, hanya meninggalkan bara api bekas pembakaran tadi. Om Opon sengaja tidak banyak mencari kayu bakar, karena memang tidak banyak kayu bakar yang berada di sekitar kami.
Aku duduk dengan gerakan perlahan. Aku masih diam, sambil terus menajamkan pendengaran. Mencari tau siapa yang ada di luar. Mungkin Om Opon, atau Tante Jean dan Tante Rani. Walau rasanya aneh jika mereka berkeliaran di luar di jam ini. Aku yakin mereka akan lebih memilih tidur agar besok kondisi tubuh menjadi lebih segar. Perjalanan esok hari aku yakin tidak akan mudah.
Suara berisik terdengar lebih intens, karena sunyinya keadaan malam ini. Seperti ada keributan di luar, aku yang penasaran lantas berusaha mengintip dari celah jendela kecil yang ada di dekat pintu tenda. Beberapa bayangan orang terlihat di luar. Mereka sepertinya bukan bagian dari kelompok kami, karena memakai penutup kepala dan hanya menyisakan kedua bola mata yang terus liar memperhatikan sekitar.
Kobaran api terlihat membesar berasal dari salah satu tenda. Aku menutup mulutku lalu mencari alat yang bisa kugunakan melawan mereka. Kami terkepung. Ada sekitar 10 orang di sekitar. Om Opon di tarik kasar keluar dari tendanya. Tante Jean juga bernasib sama, namun masih melakukan perlawanan saat tangannya di tarik keluar dengan paksa. Tante Jean tidak kenal ampun dalam memukul mundur lawan - lawannya. Tante Rani menangis histeris. Tubuhnya di angkat dan dibopong oleh salah satu orang - orang itu. Salah satu dari mereka menunjuk tendaku, aku mulai sadar kalau akan menjadi target selanjutnya. Aku mundur, bersiap untuk menyerang siapa pun yang akan masuk ke dalam tendaku.
Sebuah pedang panjang menghunus tendaku dan membuat bagian depan robek. Saat salah satu dari mereka hendak masuk, aku langsung menendangnya kuat - kuat. Hal itu memicu kemarahan teman - teman komplotannya. Mereka berbondong - bondong masuk ke dalam tendaku. Mereka hendak berbuat kasar seperti perlakuan mereka pada teman - teman ku. Aku terus memukul, dan menyerang mereka. Kondisi tempat yang sempit membuat pergerakan kami cukup sulit. Sampai akhirnya tenda ini roboh.
Rambutku ditarik kasar. Bahkan dijambak hingga ke tanah. Salah satu dari mereka berada di atasku. Dia mencekik karena aku telah berhasil melukai bahu kanannya hingga berdarah. Pisau lipat yang sengaja kubawa ternyata cukup berguna untuk melumpuhkan mereka. Aku terus berusaha melepaskan diri dari orang tersebut, cekikannya sungguh menyiksa dan membuat aku makin sulit bernafas.
Tiba - tiba seseorang memukul kepala orang itu hingga dia jatuh ke samping tubuhku. Aku yang sudah terbebas dari cekikan itu, batuk - batuk, menarik nafas dalam - dalam agar paru - paruku yang sempat kehabisan oksigen segera pulih.
"Bil, kamu nggak apa - apa?" tanya seseorang. Suaranya sangat kukenal, walau pandanganku belum sepenuhnya jelas karena mendadak buram saat perkelahian tadi. Kepalaku dipukul cukup keras bahkan menyebabkan dengung di telingaku. Dia jongkok di depanku, dan berusaha membantuku duduk.
"Kak Rayi!" jeritku dengan mata berbinar. Dia tersenyum lalu memelukku erat. "Kok Kakak bisa di sini?" tanyaku setelah melepaskan pelukan kami.
"Iya, aku cemas sama keadaan kamu."
"Loh, kenapa kamu, Opon?" tanya seorang pria dengan uban di seluruh rambutnya, dia kakek dari Om Dewa.
"Kek, mereka ... Mereka hilang di hutan!" katanya dengan menunjuk ke arah luar. Semua orang lantas terperanjat dan memberondonginya dengan pertanyaan beruntun. Aku dan tante Jean berusaha menerobos kerumunan di depan.
"Om, kenapa? Papa saya kenapa?!" tanyaku serius.
"Pa ... Papa kamu, sama semua orang hilang di hutan," jelasnya sambil tergagap, dan berusaha menetralkan nafasnya yang hampir habis.
"Kok bisa sih, Om! Kenapa bisa hilang?!" pekikku.
"Sa ... Saya juga nggak tau. Saat kami sedang menelusuri jalan ke tebing itu, tiba-tiba ada asap. Saya pikir, mereka masih diam di tempat sambil menunggu asap hilang, tapi setelah satu jam, asap hilang, mereka juga hilang!"
Aku menatap tante Jean. "Kalau gitu, biar saya cari Papa saya!" kataku lalu pergi dari kerumunan. Tante Jean berteriak memanggilku bahkan sampai mengikutiku ke kamar.
"Bil, jangan nekat! Ini sudah malam. Lagian kamu mau cari ke mana?!" cegahnya.
"Aku nggak bisa diem aja, tante. Aku harus cari Papa. Perasaanku nggak enak. Aku takut terjadi sesuatu sama mereka."
"Iya tante mengerti. Tapi nggak bisa kita pergi malam-malam begini. Kita pergi besok pagi, tante ikut! Oke?" tanya tante Jean sambil menatap kedua mataku dalam. Aku pun berfikir sejenak dan mengangguk pasrah.
Matahari belum menampakkan sinarnya. Aku dan Tante Jean sudah berkemas walau sekedar membawa beberapa potong pakaian dan makanan. Beruntung aku membawa tas Carrier, sehingga memudahkan perjalanan kami nanti. Sejak tadi aku dan Tante Jean lebih banyak diam. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Jujur saja, baru kali ini sangat mencemaskan keadaan Papa. Aku belum pernah secemas ini. Walau berkali-kali Tante Jean dan Tante Rani selalu menenangkanku, tapi semua tidak cukup.
"Bagaimana? Sudah siap, Bil?" tanya Tante Jean. Aku mengangguk dan membawa tas keluar kamar. Keadaan di rumah besar ini masih sepi, hanya kegiatan yang berada di dapur terdengar sedikit riuh. Karena sebagian besar orang masih terlelap dalam mimpi mereka. Sampai di ruang tengah, Om Opon sudah bersiap dengan tas ranselnya. Sedikit lebih kecil, karena dia hanya akan memberikan petunjuk ke arah Papa dan yang lain pergi. Om Opon yang baru aku ketahui bernama Septian, itu masih berumur cukup muda. Setidaknya umur kami tidak terpaut jauh, dan aku baru tau kalau Opon adalah panggilan keluarga yang diberikan kakek. Karena Om Septian adalah cucunya.
Ada Kakek yang juga akan melepas kepergian kami. Wajahnya terlihat lesu, ada gurat kecemasan di sana. Dia memang orang tertua di tempat ini. Terlihat garang di awal, tapi sebenarnya dia baik.
"Kalian berhati-hatilah. Maaf tapi Opon tidak bisa mengantar sampai ke tempat itu. Di sana termasuk wilayah yang tidak boleh kami masuki," jelas Kakek.
"Baik, Kek. Kakek tidak usah khawatir. Kami akan meneruskan perjalanan sendiri. Kami bisa kok," sahut Tante Jean. Namun tiba-tiba Tante Rani muncul dari kamarnya dengan pakaian rapi bahkan membawa tas yang sama seperti kami. Tentu saja semua orang terkejut.
"Ran? Kamu?" tanya Tante Jean tidak melanjutkan pertanyaannya, walau semua orang juga ingin menanyakan hal yang sama, dan juga berpikiran sama. "Ikut?" sambung Tante Jean. Tante Rani mengangguk yakin, walau dia terlihat berat sambil sesekali menatap anggota keluarganya.
"Mereka juga teman-temanku, Jean. Jangan sampai mereka mengalami hal seperti Dewa. Jangan sampai!" cetus Tante Rani. Keadaan sedikit tegang, apalagi saat Tante Jean melirik ke kakek.
Kakek yang sepertinya sadar, lantas menarik nafas panjang sebelum mendekat ke tante Rani. "Kamu hati-hati, Nantun." Kakek memegang tangan Tante Rani lalu memberikan kalung yang ada di lehernya. "Semoga ini bisa menjaga kalian nanti." Tante Rani mengangguk ragu.
Alhasil kami akan pergi berempat sekarang. Om Opon, begitulah aku memanggilnya, walau konsepnya sangat salah. "Berapa jauhnya, Om?" tanyaku saat kami sudah mulai meninggalkan desa. Memasuki kawasan hutan yang masih cukup gelap. Sinar matahari yang belum muncul ditambah dengan kondisi pepohonan yang rimbun menambah kesan gelap di dalam hutan ini.
"Masih beberapa kilometer lagi, Bil. Pokoknya kalau sudah ketemu sungai, nanti kita seberangi dan di sana letaknya. Tapi maaf, saya hanya bisa antar sampai sungai. Suku kami dilarang masuk ke daerah itu," jelas Om Opon.
"Santai, Om. Kami bisa meneruskan sendiri, asal sudah tau arah yang harus dituju. Iya, kan, tante?" Aku menoleh dan meminta persetujuan pada dua wanita di belakang kami. Mereka yang sedang berdiskusi lantas mengangguk.
"Kalau kalian bingung, saya ada PETA nya." Dia langsung mengambil sebuah kertas dari balik tas ranselnya. "Nih, kamu bawa kompas, kan?" tanyanya dan berakhir dengan anggukan kepala.
Kami berhenti untuk memeriksa PETA tersebut. Tante Rani yang katanya pernah ke sana juga sedikit kebingungan, karena semua tempat adalah pohon. Jika orang yang baru beberapa kali ke sini, pasti akan tersesat. Apalagi aku dan Tante Jean yang baru pertama kali datang ke sini. Kami benar-benar buta medan yang akan dilalui nanti.
"Setelah melewati sungai, kalian berjalan terus ke utara. Nanti di sana kalian akan menemukan tebing. Tapi perhatikan sekeliling ini," tunjuknya ke bagian timur dan barat PETA. "Di sini akan ada banyak rintangan, beberapa suku pedalaman tinggal di sana. Tak hanya itu, ada beberapa hewan buas juga. Hm, jujur, saya berharap kalian mengurungkan niat untuk ke sana. Kalau kalian nekat, sama saja kalian menyetor nyawa." Kalimat itu terdengar mengerikan, dengan harapan yang dalam, agar kami kembali saja ke rumah. Kami bertiga diam.
"Nggak apa-apa, Om. Saya tidak akan kembali sebelum bertemu Papa," jelasku.
Om Opon menarik napas dalam, lalu mengangguk. "Ya sudah, kalau tekad kalian sudah bulat. Ayo kita lanjutkan perjalanan." Om Opon kembali memimpin barisan, aku terus berusaha menjajari langkahnya. Berbagai pertanyaan aku lontarkan untuk mengisi waktu dan agar perjalanan kami tidak terlalu membosankan. Lagi pula aku juga masih asing dengan tempat ini.
"Apa? Nenek Sanja?" tanya Om Opon langsung menghentikan langkah, dan menatapku dalam, seolah tidak percaya pada semua cerita yang keluar dari mulut ku.
"Kenapa memangnya? Om Opon kenal Nenek Sanja?" tanyaku menyelidik. Reaksinya sungguh mencurigakan, karena jika memang dia tidak mengenalnya, maka dia pasti tidak akan se-terkejut ini.
"Sebenarnya bukan kenal dalam artian mengenal dekat, tapi nama itu adalah seseorang yang kami keramatkan."
"Keramatkan itu maksudnya apa?" tanyaku yang memang tidak paham.
"Dia bukan orang sembarangan, Bil. Bisa dikatakan kalau Nenek Sanja itu orang yang melindungi suku kami."
"Wow. Iya, kah? Tapi kenapa dia muncul ke aku?"
"Hm, mungkin dia mau melindungi kamu. Jarang sekali ada orang yang bisa melihat Nenek Sanja. Bahkan selama ini hanya kakek saja, dan para sesepuh lain terdahulu."
Perjalanan kami mulai menemukan titik akhir. Suara riak air terdengar nyaring di telinga. Aku bersorak bahagia dan berjalan makin cepat ke sumber suara tersebut. Kini hamparan air jernih terlihat di depan kami.
"Ini sungainya, Tiam?" tanya Tante Rani memperjelas keadaan kami.
"Iya, ini sungainya." Om Opon menatap ke sekitar dengan tatapan yang tidak bisa kutebak.
"Terus gimana kami melewati sungai ini dan sampai ke sana?" tanya Tante Jean.
"Ya kalian harus berenang ke sana," jawab Om Opon enteng.
"Oh, yang benar saja!" pekikan Tante Jean membuat Om Opon sedikit menarik sudut bibirnya. Walau hanya sedikit. Aku merasa dia sedang mencemaskan sesuatu.
Hari sudah beranjak petang, bahkan perjalanan ini memakan waktu seharian, pasti karena kami banyak istirahat tadi. Maklum saja, kami jarang berjalan jauh selama ini. Sedangkan mobil tidak bisa memasuki kawasan hutan ini. Barisan pohon yang cukup dekat membuat kendaraan sulit lewat, dan juga tidak ada jalur khusus untuk kendaraan di sini. Tempat ini memang masih sangat jarang terjamah manusia.
"Sebaiknya kita berkemah di sini saja, dan kalian bisa meneruskan perjalanan besok pagi, saat terang."
"Kenapa nggak sekalian aja, Om? Sungai ini nggak terlalu lebar dan dalam juga rasanya," sahutku.
"Saya bilang besok, ya besok. Terlalu berbahaya. Kalian nggak tau siapa yang tinggal di wilayah itu!" sergah Om Opon dengan wajah serius. Tante Jean mendesis pelan, lalu menggeleng samar padaku.
"Oke, kita buat tenda di sini," sahut Tante Jean.
Akhirnya kami mulai mempersiapkan segalanya. Tenda-tenda kami dirikan di pinggir sungai. Sambil menunggu malam tiba, dan mempersiapkan segalanya untuk esok hari. Pasti akan sangat berat. Papa, tunggu Nabila.
Empat tenda sudah didirikan dengan sempurna. Api unggun menyala dengan kobaran yang pelan namun tetap membuat sekitar terang. Semua tenda menghadap ke sungai. Jarak antara sungai dan tenda kami tidak begitu jauh, hanya sekitar lima meter saja.
Om Opon sedang duduk di dekat perapian. Beberapa potong ikan dia masak. Hasil dari sungai di dekat kami. Dia cukup lihai mencari ikan walau dengan alat seadanya. Mungkin karena terbiasa tinggal di daerah ini, membuat dirinya ditempa oleh keadaan dan menjadikannya mandiri. Aku saja sampai berdecak kagum atas tangkapan ikannya, sejak ikan pertama yang menggelepar di rumput tadi. Dengan cekatan dia membersihkan sisik, sekaligus isi perut makhluk perairan tersebut. Aku terus menemaninya sambil melemparkan beberapa pertanyaan singkat tentang proses menangkap, memilih ikan yang bagus, hingga memasak ikan tersebut dengan bahan seadanya.
"Nih cobain," kata Om Opon lalu memberikan bambu yang sudah di isi satu ekor ikan. Aku yang duduk di sampingnya lantas menerima dengan riang. Mencium aroma ikan bakar tersebut yang terasa menggugah selera. Baunya harum, dan lezat. Tanpa disuruh, aku segera mencicipi ikan bakar tersebut. Sensasi panas yang ada diujung jariku tidak begitu ku hiraukan. Sedikit demi sedikit daging ikan berhasil ku cuil sambil meniupkan nya agar lekas dingin.
"Hm." Aku menggumam dengan mulut yang sibuk mengoyak ikan bakar di tangan.
"Gimana?" tanya Om Opon dengan tatapan serius. Tak langsung memberikan jawaban, aku justru kembali mengambil potongan daging dengan ukuran lebih besar.
"Ada nasi nggak?" tanyaku dan langsung gelak tawa tercipta dari pria di hadapanku ini. "Enak, Om, sumpah. Ini tadi pakai bumbu itu doang?" tanyaku seolah tidak percaya.
"Iyalah. Pakai itu doang. Enak, kan?" tanyanya dengan bersemangat.
"Enak banget, Om. Beneran. Ini Om Opon aku bawa ke Jawa aja, yuk. Kita buka restoran. Pasti laris."
"Kamu nih, ada ada saja. Saya nggak bisa meninggalkan tanah Borneo."
"Memangnya kenapa? Nanti kalau pergi dari tanah Borneo, ilmunya ilang, kah?" tanyaku serius. Alhasil aku justru mendapat jitakan di kepala. Tapi dia malah tertawa.
Tante Rani dan Tante Jean baru saja keluar dari tenda. Mereka berdua lantas bergabung dengan kami, dan menikmati makan malam sederhana tapi istimewa. Beruntung hujan tidak turun malam ini. Kami dapat menikmati malam dengan lebih tenang. Apalagi hidangan ikan bakar ini tentu akan gagal jika api unggun di guyur hujan.
Beberapa obrolan membuat suasana tidak terlalu sunyi. Kami bahkan mampu tertawa walau hanya dengan candaan ringan. Sedikit melupakan masalah yang akan kami hadapi. Aku tau, tidak akan mudah. Tapi aku yakin bisa. Menemukan Papa dan membawa mereka semua pulang.
"Eh, Om, tadi Om Opon bilang, kalau ada penghuni di seberang sana yang berbahaya? Memangnya siapa, Om?"
"Bil, Bisa nggak kamu manggil saya yang benar?"
"Hah? Salahnya di mana, Om?"
"Kalau mau panggil nama, Septian saja. Jangan Om sama Opon juga kamu bawa," tegas Om Opon. Tante Rani terkekeh sambil menatapku yang masih bengong. Setelah beberapa detik, aku lantas mengangguk setuju.
"Tapi bener juga pertanyaan Nabila, jadi apa sebenarnya yang ada di seberang sana, Sep?" Tante Jean menambahkan.
Om Opon diam sejenak, menatap ke sudut gelap yang kami bicarakan itu. Dia lalu menarik nafas dalam-dalam, aku sudah bersiap mendengar cerita yang akan keluar dari mulut nya. Aku yakin dia memiliki alasan besar kenapa tidak akan mendatangi kawasan itu.
"Ada sebuah suku di sana. Mereka paling tidak suka ada orang asing masuk kawasan mereka. Mereka juga tidak segan-segan membunuh. Kalau menurut sesepuh desa kita, mereka salah satu kelompok penganut aliran satanic. Mereka menyembah setan, dan juga memberikan tumbal setiap beberapa waktu sekali. Kadang mereka menggunakan orang-orang yang masuk ke kawasan mereka, sebagai tumbal. Tapi jika memang mereka tidak menemukan manusia yang masuk ke wilayah mereka, maka mereka yang akan mencari keluar."
"Wow, mengerikan."
"Apa pernah ada warga desa yang menjadi korban?"
"Pernah. Kami bahkan mencari ke wilayah itu, tapi justru tidak ada yang kembali dalam serangan saat itu. Sejak saat itu, kami semua pantang masuk ke sana."
"Apakah kematian Om Dewa karena dia masuk ke sana, Om?" tanyaku penasaran.
Om Opon menarik nafas panjang, lalu mengangguk. "Bahkan salah satu warga desa menemukan mayat Dewa ada di hulu sungai sana," tunjuk Om Opon ke selatan.
"Tapi kenapa sejak awal kalian bilang ini hanya kecelakaan? Naik tebing?"
"Yah, karena kami tidak ingin membuat yang lain cemas, Bil. Agar tidak terjadi pertikaian nanti, atau balas dendam dari kelompok kita. Kakek takut kejadian dulu akan kembali terulang. Kami sudah tidak mungkin kehilangan anggota kelompok lagi."
Tante Rani terlihat sangat terpukul, dia menangis, dan aku ikut merasakan sakit yang dia rasakan.
"Jadi Papa ku ke sini mau balas dendam, begitu, kah?"
"Awalnya kami memang hanya ingin melihat sampai batas ini saja. Tapi mereka lantas nekat menyeberang saat kami melihat beberapa pasang mata berwarna merah yang bersembunyi di semak-semak sana. Kami mengintai dari kejauhan, hanya sebatas ingin mengetahui apakah memang benar mereka pelaku pembunuhan Dewa. Tapi salah satu dari mereka menyebutkan namamu, Bil. Itulah alasan Papamu nekat menyeberang ke sana. Dia cemas kalau kamu akan menjadi target selanjutnya."
"Apa? Menyebutkan namaku? Kok bisa?" aku terpekik dengan berjuta pertanyaan di kepala.
"Itu yang sedang Papamu cari tau."
Gemuruh guntur terdengar memecah kesunyian malam. Walau pada awalnya suara jangkrik mengalun merdu di sepanjang hutan sekitar. Semua menatap ke langit gelap di atas. Makanan sudah habis tak tersisa.
"Lebih baik kalian masuk tenda, seperti akan turun hujan," kata Om Opon.
Aku kembali menatap ke atas, saat sesuatu terdengar tidak asing. Suara yang sering aku dengar beberapa waktu terakhir. Walau tidak ada apa pun di atas sana, tapi entah mengapa aku yakin kalau ada yang sedang mengawasi kami sejak tadi.
Aku segera masuk ke dalam tenda. Begitu pun Dua tante dan Om Opon. Api unggun dibiarkan begitu saja sebagai penghangat kami, dan juga agar hewan buas tidak mendekat saat kami tertidur nanti. Sekalipun aku sudah masuk ke dalam tenda, tak berarti aku lantas akan langsung tidur. Justru aku ingin mengawasi keadaan di sekitar dari dalam tenda. Aku harus waspada terhadap segala kemungkinan yang akan terjadi nanti. Apalagi kami sudah sangat dekat dengan wilayah mereka. Wilayah yang disinyalir adalah tempat yang pantang untuk disinggahi. Tapi setidaknya aku tau di mana Papa, Om Gio dan Opa berada. Hanya saja aku berharap kalau mereka masih hidup di sana.
Suara jangkrik membuat malam ini tidak terlalu sunyi. Beberapa hewan malam juga mulai eksis bersuara. Dari burung hantu, atau suara melengking dari serangga lainnya. Hal ini bukan sesuatu yang baru bagiku. Karena pengalaman berkemah pernah aku alami saat bersama Kak Rayi, Kak Bintang dan Kak Roger dulu. Yah, walau pada akhirnya berakhir dengan kejadian horor yang tidak akan pernah aku lupakan sampai saat ini. Kehilangan Kak Faza membuatku tidak ingin merasakan kehilangan orang-orang terdekatku lagi sekarang. Jadi sekarang aku harus mencari Papa dan yang lainnya. Aku yakin mereka masih hidup.
Ponselku bergetar. Pesan Kak Rayi masuk beruntun, aku yang awalnya hendak tidur mendadak kembali membuka mata lebar. Aku tersenyum sambil membalas pesan darinya, sengaja menghemat baterai dengan mematikan daya. Karena aku tidak tau akan berapa lama berada di hutan untuk mencari Papa. Sementara aku tidak punya power bank yang dapat membantu mengisi daya ponselku.
Aku langsung membalikkan tubuh saat bayangan seseorang melintas di belakang tenda. Berusaha tidak menimbulkan suara apa pun, dan waspada akan sekitar. Beruntungnya, keadaan di dalam tendaku tidak akan terlihat dari luar. Apalagi dengan api unggun yang sudah tidak lagi menyala, hanya meninggalkan bara api bekas pembakaran tadi. Om Opon sengaja tidak banyak mencari kayu bakar, karena memang tidak banyak kayu bakar yang berada di sekitar kami.
Aku duduk dengan gerakan perlahan. Aku masih diam, sambil terus menajamkan pendengaran. Mencari tau siapa yang ada di luar. Mungkin Om Opon, atau Tante Jean dan Tante Rani. Walau rasanya aneh jika mereka berkeliaran di luar di jam ini. Aku yakin mereka akan lebih memilih tidur agar besok kondisi tubuh menjadi lebih segar. Perjalanan esok hari aku yakin tidak akan mudah.
Suara berisik terdengar lebih intens, karena sunyinya keadaan malam ini. Seperti ada keributan di luar, aku yang penasaran lantas berusaha mengintip dari celah jendela kecil yang ada di dekat pintu tenda. Beberapa bayangan orang terlihat di luar. Mereka sepertinya bukan bagian dari kelompok kami, karena memakai penutup kepala dan hanya menyisakan kedua bola mata yang terus liar memperhatikan sekitar.
Kobaran api terlihat membesar berasal dari salah satu tenda. Aku menutup mulutku lalu mencari alat yang bisa kugunakan melawan mereka. Kami terkepung. Ada sekitar 10 orang di sekitar. Om Opon di tarik kasar keluar dari tendanya. Tante Jean juga bernasib sama, namun masih melakukan perlawanan saat tangannya di tarik keluar dengan paksa. Tante Jean tidak kenal ampun dalam memukul mundur lawan - lawannya. Tante Rani menangis histeris. Tubuhnya di angkat dan dibopong oleh salah satu orang - orang itu. Salah satu dari mereka menunjuk tendaku, aku mulai sadar kalau akan menjadi target selanjutnya. Aku mundur, bersiap untuk menyerang siapa pun yang akan masuk ke dalam tendaku.
Sebuah pedang panjang menghunus tendaku dan membuat bagian depan robek. Saat salah satu dari mereka hendak masuk, aku langsung menendangnya kuat - kuat. Hal itu memicu kemarahan teman - teman komplotannya. Mereka berbondong - bondong masuk ke dalam tendaku. Mereka hendak berbuat kasar seperti perlakuan mereka pada teman - teman ku. Aku terus memukul, dan menyerang mereka. Kondisi tempat yang sempit membuat pergerakan kami cukup sulit. Sampai akhirnya tenda ini roboh.
Rambutku ditarik kasar. Bahkan dijambak hingga ke tanah. Salah satu dari mereka berada di atasku. Dia mencekik karena aku telah berhasil melukai bahu kanannya hingga berdarah. Pisau lipat yang sengaja kubawa ternyata cukup berguna untuk melumpuhkan mereka. Aku terus berusaha melepaskan diri dari orang tersebut, cekikannya sungguh menyiksa dan membuat aku makin sulit bernafas.
Tiba - tiba seseorang memukul kepala orang itu hingga dia jatuh ke samping tubuhku. Aku yang sudah terbebas dari cekikan itu, batuk - batuk, menarik nafas dalam - dalam agar paru - paruku yang sempat kehabisan oksigen segera pulih.
"Bil, kamu nggak apa - apa?" tanya seseorang. Suaranya sangat kukenal, walau pandanganku belum sepenuhnya jelas karena mendadak buram saat perkelahian tadi. Kepalaku dipukul cukup keras bahkan menyebabkan dengung di telingaku. Dia jongkok di depanku, dan berusaha membantuku duduk.
"Kak Rayi!" jeritku dengan mata berbinar. Dia tersenyum lalu memelukku erat. "Kok Kakak bisa di sini?" tanyaku setelah melepaskan pelukan kami.
"Iya, aku cemas sama keadaan kamu."
regmekujo dan 4 lainnya memberi reputasi
5