- Beranda
- Stories from the Heart
Supernatural
...
TS
ny.sukrisna
Supernatural
Quote:
Mungkin agan di sini pernah baca cerita ane yang berjudul pancasona? Kali ini ane akan melanjutkan kisah itu di sini. Yang suka cerita genre fantasi, kasus pembunuhan berantai, gengster werewolf, vampire dan sejenisnya. Silakan mampir.


Quote:
INDEKS
Part 1 abimanyu maheswara
Part 2 abimanyu
Part 3 kalla
Part 4 siapa kalla
Part 5 seorang gadis
part 6 Ellea
part 7 taman
Part 8 kamar ellea
Part 9 pagi bersama ellea
Part 10 rencana
Part 11 tentang kalla
part 12 rumah elang
Part 13 kembali aktivitas
part 14 emosi elang
part 15 janin kalla
part 16 elang
Part 17 vin
Part 18 kantor
Part 19 kemunculan kalla
part 20 pulau titik nol kehidupan
part 21 desa terkutuk
Part 22 wira
Part 23 teman lama
Part 24 patung wira
part 25 teror di rumah John
part 26 tato
part 27 simbol aldebaro
part 28 buku
part 29 kantor kalla
part 30 batu saphire
part 31 Lian dan Ayu
part 32 kakak beradik yang kompak
part 33 penyusup
part 34 kalah jumlah
part 35 lorong rahasia
Part 36 masuk lorong
part 37 cairan aneh
part 38 rahasia kalandra
part 39 Nayaka adalah Kalandra
Part 40 kemampuan nayaka
Part 41 Arkie
Part 42 Arkie (2)
Part 43 peperangan
Part 44 berakhir
Part 45 desa abi
part 46 nabila
part 47 cafe abi
Part 48 Maya
part 49 riki kembali, risna terancam
part 50 iblis bertubuh manusia
part 51 bertemu eliza
part 52 Feliz
Part 53 Bisma
Part 54 ke mana bisma
part 55 rahasia mayat
part 56 bisma kabur
part 57 pertemuan tak terduga
part 58 penyelidikan
part 59 tabir rahasia
part 60 kebakaran
part 61 Bajra
part 62 pengorbanan Bajra
part 63 the best team
part 64 masa lalu
part 65 perang dimulai
part 66 kisah baru
part 67 bertemu vin
part 68 san paz
part 69 cafe KOV
part 70 demigod
part 71 california
part 72 Allea dan Ellea
part 73 rumah ellea
part 74 alan cha
part 75 latin kings
part 76 kediaman faizal
part 77 kematian faizal.
part 78 permainan
part 79 ellea cemburu
part 80 rumah
part 81 keributan
part 82 racun
part 83 mayat
part 84 rencana
part 85 kampung....
Part 86 kematian adi
part 87 tiga sekawan
part 88 zikal
part 89 duri dalam daging
part 90 kerja sama
part 91 Abraham alexi Bonar
part 92 terusir
part 93 penemuan mayat
part 94 dongeng manusia serigala
part 95 hewan atau manusia
part 96 Rendra adalah werewolf
part 97 Beta
part 98 melamar
part 99 pencarian lycanoid
part 100 siapa sebenarnya anda
part 101 terungkap kebenaran
part 102 kisah yang panjang
part 103 buku mantra
part 104 sebuah simbol
part 105 kaki tangan
part 106 pertikaian
part 107 bertemu elizabet
part 108 orang asing
part 109 mantra eksorsisme
part 110 Vin bersikap aneh
part 111 Samael
part 112 Linda sang paranormal
part 113 reinkarnasi
part 114 Nayla
part 115 Archangel
part 116 Flashback vin kesurupan
part 117 ritual
part 118 darah suci
part 119 Lasha
part 120 Amon
part 121 masa lalu arya
part 122 sekte sesat
part 123 sekte
part 124 bu rahayu
part 125 dhampire
part 126 penculikan
part 127 pengakuan rian.
part 128 azazil
part 129 ungkapan perasaan
part 130 perjalanan pertama
part 131 desa angukuni
part 132 Galiyan
part 133 hilang
part 134 Hans dan Jean
part 135 lintah Vlad
part 136 rahasia homestay
part 137 rumah kutukan
part 138 patung aneh
part 139 pulau insula mortem
part 140 mercusuar
part 141 kastil archanum
part 142 blue hole
part 143 jerogumo
part 144 timbuktu
part 145 gerbang gaib
part 146 hutan rougarau
part 147 bertemu azazil
part 148 SMU Mortus
part 149 Wendigo
part 150 danau misterius
part 151 jiwa yang hilang
part 152 serangan di rumah
part 153 misteri di sekolah
part 154 rumah rayi
part 155 makhluk lain di sekolah
part 156 Djin
part 157 menjemput jiwa
part 158 abitra
part 159 kepergian faza
part 160 Sabrina
part 161 puncak emosi
part 162 ilmu hitam
part 163 pertandingan basket
part 164 mariaban
part 165 Dagon
part 166 bantuan
INDEKS LANJUT DI SINI INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 16-05-2023 21:45
itkgid dan 12 lainnya memberi reputasi
13
13.5K
222
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#169
164 Mariaban
"Eum, Om Dewa itu meninggal kenapa? Terakhir aku dengar, dia sering pergi keliling Indonesia. Kecelakaan?" tanyaku penasaran. Tante Jean diam, ia lantas menutup laptop di hadapannya dan kini membetulkan posisi duduknya sedikit miring ke arahku.
"Tante juga nggak tau harus menyebutnya apa, Bil," sahutnya tampak ragu membahasnya denganku.
"Jadi?"
"Dia jatuh dari tebing, dan baru diketemukan esok harinya, tapi anehnya tubuhnya biru. Seperti kehabisan darah." Aku mengernyitkan kening mendengar penjelasan Tante Jean. "Sebenarnya Tante nggak diperbolehkan membahasnya sama kamu, tapi tante yakin kamu tau kalau kehidupan kita nggak seperti orang normal pada umumnya. Hal aneh seperti ini bukan hal baru bagi kita, kan?" Tante Jean menatapku dalam, aku hanya mengangguk pelan sambil mencoba menelaah ke arah mana pembicaraan ini.
"Apa itu ulah vampire?" tanyaku, menunjuk satu jenis ras yang memang hobi menghisap darah manusia.
"Bukan, Bil. Karena menurut Rani, nggak ada bekas gigitan di leher atau bagian tubuh lainnya. Hanya ada satu titik lubang kecil, di belakang lehernya. Tante yakin itu bukan ulah vampire, dhampire atau makhluk yang selama ini pernah kita temui."
"Lantas apa tante? Apakah sudah ada kandidat makhluk apa itu?"
"Itulah. Kami semua belum tau, apa dan siapa yang mencelakakan Dewa. Kamu tau sendiri, kalau Dewa itu jago panjat tebing, dan jarang melakukan kesalahan, kecuali ada yang mengganggunya, kan?"
"Bener juga, tante."
Hening. Kami berdua mulai sibuk dengan pikiran masing-masing. "Eh, tante, aku nggak tau ini ada hubungannya atau tidak, tapi akhir-akhir ini aku merasa ada yang mengikutiku. Bahkan Papa juga merasakan, saat menjemput aku tadi."
"Mengikuti kamu? Seperti apa? Tante yakin kamu bisa merasakan makhluknya, kan?"
"Aku belum yakin, tante. Cuma dia terbang, dan berukuran besar."
Sebuah mobil Land Rover berhenti tak jauh dari kami. Seseorang keluar dari pintu kemudi, dan langsung menatap kami dalam. Opa Hans melambaikan tangan, pria tersebut mengangguk. Sepertinya dia orang yang akan mengantar kami ke rumah Om Dewa.
Bagi Papa, Om Gio, Opa, dan tante Jean posisi Om Dewa cukup penting dalam hidup mereka. Seperti halnya Bang Abi. Entah mengapa, aku belum bisa melupakan sepenuhnya semua kenangan itu. Walau saat itu aku masih kecil, tapi kematian Bang Abi secara tidak langsung penyebabnya adalah aku.
Kami sampai di sebuah perkampungan. Setelah mendengar penjelasan mereka, ini adalah rumah orang tua Om Dewa. Rumah Om Dewa dan tante Rani yang sebenarnya berada di kompleks perumahan yang agak jauh dari sini. Ibu Om Dewa menginginkan jenazah putranya dikebumikan di kompleks pemakaman keluarga, yang sudah ada sejak turun temurun kakek buyut mereka.
Tempat itu cukup jauh dari kota. Masih banyak pepohonan di sekitar. Walau dalam kaca mataku, Kalimantan memang identik dengan hutan. Tapi saat sampai Bandara tadi, aku melihat perkotaan yang sama seperti di kota besar pada umumnya. Tetapi tempat tinggal Om Dewa memang berada di pedalaman desa.
Berada di kawasan jantung pegunungan Meratus membuat hawa sekitar cukup dingin. Entahlah, apa karena aku terbiasa tinggal di Ibukota, yang terkenal panas, atau memang di sini memiliki hawa yang sejuk. Mungkin keduanya. Aku merapatkan sweeter saat turun dari mobil.
Di harapan kami ada sebuah rumah yang cukup besar dan luas, mereka menyebutnya Balai Adat. Di sini tinggal beberapa kepala keluarga dalam satu bangunan, yang tentu keseluruhan bangunannya terbuat dari kayu.
Beberapa orang keluar dari rumah itu. Opa Hans berjalan lebih dulu sebagai tetua dari kami semua. Saling sapa dan jabat tangan sebelum akhirnya kami dipersilakan masuk ke dalam. Suasana di dalam rumah cukup ramai. Di tengah ruangan besar setelah pintu masuk, ada seseorang yang sudah terbujur kaku, di kelilingi beberapa orang. Jenazah Om Dewa akan dimakamkan nanti malam. Menunggu kedatangan kami, begitu menurut Ayah Om Dewa sendiri.
Tante Rani diam, duduk di dekat jenazah suaminya. Menatap kosong ke tubuh tak bernyawa itu. Tante Jean mendekat sambil mengajakku.
"Ran ...," panggil tante Jean, dan terus mendekat ke Tante Rani. Wanita berpakaian serba hitam tersebut menoleh dan langsung berhamburan memeluk Tante Jean. "Yang sabar, ya. Kamu harus kuat," bisik Tante Jean berusaha menguatkan Tante Rani yang sedang sangat terpukul. Aku dapat melihat jelas, bagaimana kesedihan itu tergambar di wajah wanita itu. Tante Rani masih muda, dan harus menjadi janda karena kematian suaminya. Bahkan sampai sekarang mereka belum memiliki keturunan. Setiap tante Rani hamil, selalu saja ada musibah.
Aku hanya duduk di samping mereka, mendengarkan tiap detail penjelasan Tante Rani dari awal kejadian tersebut. Sambil memandang wajah Om Dewa yang tertutup kain putih transparan dengan kapas yang menyumpal hidung, dan telinga.
"Jadi, Om Dewa dimakamkan malam ini juga, tante?" tanyaku memotong pembicaraan mereka.
Keduanya lantas menoleh, dan akhirnya aku mendapat perhatian dari tante Rani. "Astaga, Nabila! Maaf, tante kira kamu siapa." Tante Rani lalu memelukku yang sebenarnya sudah cukup lama di sini. Aku mengerti kondisinya sedang tidak baik, jadi aku tidak sakit hati atau marah saat menjadi obat nyamuk di antara keduanya.
"Turut berduka cita, tante," sahutku membalas pelukannya.
"Iya, kamu yakin Dewa dimakamkan malam-malam begini? Nggak tunggu pagi aja, Ran?" tanya tante Jean.
"Harus malam ini, Jean. Udah adatnya begini. Aku kan cuma tamu, dan harus nurut semua peraturan keluarga besar Dewa."
"Hei, kamu istri Dewa! Kok tamu sih?" tanya Tante Jean sinis. Tante Rani hanya tersenyum nanar.
"Ya begitulah, aku nggak mungkin menentang mereka. Kata Bapak, malam ini juga harus dimakamkan. Karena berbahaya kalau sampai jenazah Dewa menginap di rumah, nggak baik, katanya."
Tante Jean menarik nafas panjang lalu menoleh padaku. Aku hanya mengangguk menanggapi. Mungkin ini memang sudah peraturan di desa ini. Jika masih berada di bawah jam 12 malam, maka jenazah orang yang meninggal di desa ini harus segera dimakamkan. Lain halnya jika meninggal di atas jam 12 malam. Bisa dimakamkan esok harinya.
Beberapa orang mulai beranjak dan terlibat diskusi dengan bahasa yang tidak ku mengerti. Papa lantas mendekat dan mengajakku ke ruangan lain bersama Tante Jean. "Taruh dulu barang kalian di kamar. Nanti kita datang ke pemakaman Dewa," jelas Papa.
"Sekarang, Pa?" tanyaku, Papa lantas mengangguk.
Tante Rani mengantar kami ke kamar yang memang disiapkan untuk tamu. Itu pun atas komando dari seorang wanita tua dengan bahasa Banjar yang khas.
"Tante sejak kapan bisa bahasa Banjar?" tanyaku saat kami bertiga berjalan di koridor rumah besar ini. Karena aku tau, kalau Tante Rani berasal dari Jawa, sama seperti kami.
"Setahun setelah menikah sama Om Dewa, Bil. Kenapa?"
"Wah, cepat juga bisa paham bahasa sini."
"Iya, karena sehari-hari dengar obrolan dan pengucapan bahasanya, jadi tante cepat bisa."
Koridor rumah ini memiliki beberapa pintu yang kutebak adalah kamar dari penghuni rumah ini. Aku tidak bisa membayangkan mereka sanggup hidup rukun bersama-sama seperti ini. Karena aku tinggal berdua saja dengan Papa, masih kerap bertengkar.
Kamar ini cukup luas. Dengan jendela berukuran satu meter yang memperlihatkan suasana di belakang rumah ini. Dominan pepohonan yang tinggi-tinggi. Cukup rindang dan asri, jika siang hari, dan cukup menyeramkan di malam hari, seperti sekarang.
"Bil, kalau kamu capek, nggak usah ikut ke pemakaman. Di sini aja, istirahat," cetus tante Jean, sambil meletakkan tas bawaannya dan mengambil jaket tebal dari dalamnya.
"Iya, Bil. Mending kamu di rumah aja. Udah malam, kamu juga kelihatan capek tuh," sambung Tante Rani menunjuk wajahku yang memang kelelahan setelah perjalanan panjang tadi. Aku diam, sambil mempertimbangkan saran mereka.
"Ya udah deh. Aku di sini aja." Akhirnya aku menurut, karena benar apa kata mereka, aku lelah. Ingin istirahat, dan kamar ini cukup nyaman rasanya. Apalagi dengan suasana sekitar yang tenang.
_________
Kini hanya aku saja di ruangan besar ini, sendirian. Mereka semua sudah pergi sejak 15 menit lalu. Papa juga mengerti keinginanku untuk tinggal di kamar.
Aku berbaring sambil memegang benda persegi di tangan, menekan keyboard dan mengetik dengan gerakan cepat, bibir terus tersenyum karena berbalas pesan dengan Kak Rayi.
Hingga tiba-tiba layar ponsel berganti menjadi wajahku, dan ada tombol merah gang bergerak minta disentuh dengan dua pilihan menerima atau menolak. Yah, Kak Rayi melakukan video call tanpa memberitahu terlebih dahulu. Aku segera duduk, merapikan rambutku yang berantakan, bahkan aku berlari lebih dulu ke sebuah cermin besar di tengah kamar. Lalu kembali lagi ke ranjang besar tadi.
"Lama banget!" kata Kak Rayi sedikit melotot saat aku sudah menggeser layar ke bawah.
"Hehe. Habisnya kaget, tiba-tiba video call. Nggak bilang dulu ih!"
"Ya namanya juga kangen. Eh, sayang ni Bintang sama Roger mau ikutan, boleh?"
"Kak Rayi lagi chating sama mereka juga?"
"Iya tadi. Gimana? Roger penasaran sama Kalimantan katanya tuh!"
"Oke, undang aja."
Layar akhirnya terbagi menjadi empat, dan muncul wajah tiga pria tersebut.
"Wuih, Nabila! Asik nih yang lagi liburan ke Kalimantan," kata Kak Roger yang sedang ada di kamarnya.
"Enak aja liburan! Suasana duka ih! Sembarangan Kak Roger nih!" cetusku sebal.
"Iya emang, nggak ada akhlak ni bocah!" sambung Kak Bintang, dengan background taman.
"Kak Bintang lagi di mana? Syahdu banget kelihatannya."
"Oh ini? Lagi di cafe. Suntuk di rumah. " Dia lantas memperlihatkan keadaan sekitarnya dengan banyak lampu Tumbler warna warni. Cukup mengesankan.
"Besok kita dinner di sana, ya sayang," kata Kak Rayi. Kak Rayi sendiri sedang ada di ruang tengah rumahnya. Aku hapal sekali sofa nya.
"Kok Kak Bintang sendirian? Nggak ajak Kak Rayi sama Kak Roger?"
"Mereka nggak mau. Lagian aku lagi pengen sendiri."
"Cie pengen sendiri. Lu lagi galau kenapa lagi, bro?" tanya Kak Roger.
"Bacot!"
"Ye, udah gue perhatiin, malah kasar. Aku tu nggak bisa dikasarin," rengek Kak Roger dengan wajah memelas. Sontak kedua orang itu mampu membuat tawaku meledak.
Tapi itu tidak berlangsung lama, karena aku segera berhenti tertawa dan mempertajam pendengaran.
"Kenapa, Bil?" tanya Kak Rayi yang melihat suasana wajahku berubah.
"Kalian dengar nggak?" tanyaku pada mereka. Tiga pria itu diam, dengan ekspresi sama mendekatkan ponsel masing-masing.
"Denger apaan?" tanya Kak Bintang.
"Ada yang ketuk jendela kamarku," bisikku sambil menoleh ke tempat yang ku bicarakan itu.
"Yang bener lu, Bil. Jangan bercanda," ujar Kak Roger.
"Coba cek, Bil. Mungkin cuma orang iseng," suruh Kak Bintang.
"Eh, jangan sayang! Biarin aja. Cuekin!" larang Kak Rayi.
"Jadi gimana nih, aku cek atau nggak!"
"Cek!"
"Jangan!"
"Astaga, kalian berdua malah berantem. Bil, cek, sambil tunjukin layar ke sana. Kita lihat bareng!" tutur Kak Roger.
Akhirnya aku menurut kata Kak Roger. Aku lantas beranjak dengan perlahan. Berusaha tidak menimbulkan bunyi sekecil apa pun. Mendekat ke jendela yang memang sudah tertutup sejak aku masuk tadi.
Jendela kayu itu kubuka perlahan, kini hamparan pepohonan terlihat di depan mata. Walau ini sudah malam, tapi karena sinar bulan purnama maka keadaan di luar mampu kulihat dengan jelas. Namun ada sesuatu di sana. Di atas pohon yang tampak asing bagiku. Hanya saja aku anggap itu bayangan pohon lain yang berbentuk tubuh besar. Layar ponsel ku sorot ke depan. Mereka bertiga juga dapat melihat apa yang ada di depanku.
"Wuih, gelap dan sepi banget. Bener-bener mirip kalau kita lagi camping," kata Kak Roger takjub.
"Bil, itu apa?" tanya Kak Rayi menunjuk ke arah yang aku pun tidak paham.
"Mana?" tanyaku.
"Di atas pohon!"
Degh! Otomatis aku mulai tidak enak. Karena jika apa yang dimaksud Kak Rayi adalah tempat yang tadi aku lihat, maka itu hal aneh. Karena kini setelah aku perhatikan, bayangan gelap yang kupikir adalah kumpulan pohon, justru memiliki titik merah di tempat yang simetris. Seperti sepasang mata merah menyala.
"Bil, tutup jendelanya!" suruh Kak Bintang. Aku segera menutup kembali jendela tersebut, mengunci serta menjauh, dengan tetap menatap papan kayu di depan was-was.
"Bil, sayang? Kamu nggak apa-apa?" tanya Kak Rayi akhirnya mengembalikanku pada kesadaran. Ponsel kembali kuatur sehingga aku dan mereka dapat saling tatap. Berkali-kali aku menatap ke arah jendela dan ke layar ponselku.
"Elu sama siapa di kamar, Bil?" tanya Kak Roger.
"Sendirian, Kak. Yang lain lagi ke pemakaman Om Dewa."
"Wah, di rumah itu sama siapa lagi? Kalau bisa usahakan jangan sendirian, Bil. Setidaknya biar kamu ada teman," cetus Kak Bintang, meneguk minuman berwarna mocca di hadapannya. Dia pun sama cemasnya seperti Kak Rayi sekarang.
"Bener, sayang. Kamu coba keluar, cek ada siapa di rumah itu. Jangan sendirian kalau bisa," tambah Kak Rayi. "Perasaan aku nggak enak."
Aku mengangguk lantas keluar kamar dengan ponsel di genggaman. Diam sambil memperhatikan ke kanan dan kiri. Sunyi. Ada beberapa suara namun terdengar jauh. Sepertinya beberapa anggota keluarga Om Dewa berada di kamar masing-masing. Yah setidaknya sedikit melegakan karena masih ada manusia di rumah ini.
Aku terus berjalan ke ruang tengah tadi, berharap ada manusia lain yang dapat ku temui. Karena betul kata mereka, kalau aku harus bersama seseorang. Aku bahkan tidak tau siapa dan apa yang ada di luar jendela tadi.
"Kira-kira apa tadi, ya?" tanya Kak Roger membuka kembali diskusi, aku sesekali melirik ke layar ponsel namun tetap mencari tempat aman untuk diriku sendiri.
"Kalian lihat nggak tadi?" tanya Kak Rayi.
"Duh, kagak. Justru pas gue mau lihat, Nabila udah keburu nutup jendelanya," sahut Kak Roger.
"Gue sih sekilas lihat. Walau nggak begitu jelas, soalnya gelap, kan? " timpal Kak Bintang.
"Gelap atau makhluknya juga hitam? Jadi nggak begitu jelas?" tanya Kak Rayi.
"Eh, Bil, yang kamu lihat bagaimana bentuknya? Coba ceritain deh, biar aku coba googling ini. Siapa tau ketemu apa itu." Kak Bintang mulai membuka laptopnya dan mengetik sesuatu. Aku lantas sampai di ruang tengah tadi, rupanya ada seorang ibu yang sedang beres-beres ruangan ini. Dia menoleh padaku dan aku pun tersenyum. Aku duduk di sebuah kursi. "Bentar, Kak. Aku bantuin ibu itu beres-beres," kataku lalu meletakkan ponsel di lantai. Layar sengaja ku hadapkan ke tengah ruangan, agar mereka juga dapat melihatku di sana.
"Saya bantuin, Bu," sahutku ikut memungut beberapa sampah air mineral dan permen yang berserakan di lantai kayu. Dia hanya tersenyum, tetap membersihkan ruangan ini. Begitu ruangan ini sudah bersih, ibu tersebut mengucapkan terima kasih dan hendak pergi ke belakang. "Eum, maaf, Bu." Aku menahan tangannya yang hendak meninggalkanku. Jujur saja, aku mulai takut. Ibu itu menoleh dan mengerutkan dahinya. "Ibu mau temani saya di sini, sampai Papa saya pulang dari pemakaman?" tanyaku lebih ke memohon. Beliau menatapku agak lama, lalu tersenyum dan mengangguk.
"Ibu buatkan teh hangat dulu, ya. Dingin," ujarnya, mengelus pucuk kepalaku dan pergi ke belakang. Tentu aku tidak bisa melarangnya lagi, karena dari ucapannya tadi, ibu itu pasti akan kembali dan menemaniku sebentar.
Ponsel kembali kuambil, keempat pemuda itu masih setia di sana. Tetapi Kak Bintang sudah pindah tempat, dia berada di balik kemudi. Sementara itu Kak Rayi juga sudah pindah ke kamarnya.
"Hai semua, maaf lama," sapaku. Mereka kembali fokus padaku dan melanjutkan diskusi ini. "Tadi bagaimana Kak Bintang? Bentuk yang aku lihat?" tanyaku lagi. Kak Bintang mengangguk.
"Biar gue saja yang cari, itu Bintang udah naik mobil, mau balik ke rumah dia. Sudah malam," sahut Kak Roger. Kak Roger yang sudah berada di atas kasur, membuka ponsel keduanya. Sementara ponsel yang sedang dipakai untuk panggilan video, ia letakan bersandar pada bantal di sampingnya.
"Ketemu! Mariaban!" kata Kak Rayi dan membuat kami menatapnya, meminta penjelasan. "Jadi tadi gue browsing hantu di Kalimantan, dan ada satu sosok yang khas di sana, selain kuyang. Aku pikir makhluk ini yang kita lihat, eum, kalau apa yang aku lihat sama seperti kamu, Bil."
"Mariaban? Hantu apa, Kak?"
"Dia makhluk berbulu, suka sama darah dan suka membunuh manusia. Kalau bahasa nasionalnya, dia ini mirip gendruwo, Sayang. Bagaimana? Sama nggak sama Mariaban? makhluk tadi yang kamu lihat?"
Aku diam sambil mengingat lagi makhluk tersebut. Rasa-rasanya apa yang dijelaskan Kak Rayi memang sama seperti yang tadi kulihat, walau terlihat samar, tapi aku yakin itu memang Mariaban. "Eum, kak ... apa matanya merah?" tanyaku. Kak Rayi mengangguk mantap. Aku lantas menekan kepala menahan pusing yang tiba-tiba datang.
"Sayang ... kamu nggak apa-apa?"
"Aku ... nggak apa-apa kok. Cuma kaget saja, rasanya aku masih capek banget, dan males buat berurusan dulu sama hal-hal begitu, tapi kok susah banget, ya," gumamku, menjambak rambutku sendiri.
"Terus bagaimana? Gih, kamu cari orang di rumah itu. Masa nggak ada sih? Bukannya tadi kamu bilang di rumah itu yang menempati banyak kepala keluarga, nggak mungkin, kan, kalau mereka semua pergi ke pemakaman?" tanya Kak Bintang. Dia lantas keluar dari mobil, rupanya dia sudah sampai ke rumahnya.
"Ada, kak, itu tadi ibunya lagi bikinin aku teh. Tapi kok lama banget, ya? Apa pakai tungku, masak airnya?" tanyaku pada diri sendiri sambil menatap ke lorong gelap penghubung ruangan ini, kamar dan berakhir ke dapur.
"Ibu siapa?" tanya Kak Roger.
"Yang tadi itu loh, kak, yang beresin ruang tengah bareng aku."
Mereka bertiga diam dengan tatapan aneh. Sehingga memunculkan tanda tanya besar lain di pikiranku. "Kenapa kalian diam begitu?" tanyaku.
"Bentar ... bentar. Ibu ibu yang bantuin beresin ruang tengah? Serius lu, Bil?"
Kali ini aku yang diam, sungguh aneh jika pertanyaan itu muncul dari Kak Roger. Padahal sebelum aku membantu tadi, ponsel sengaja kuletakan menghadap ruang tengah, agar mereka tau aku di mana dan sedang apa. Aku yakin ibu tadi juga terlihat di kamera, karena kami tidak begitu berjauhan saat beres-beres ruang tengah.
"Sayang ... kamu tenangin diri kamu dulu. Coba kamu cek di sekitar, apa ada orang lain selain kamu dan ... ibu tadi?"
"Kak, maksudnya apa? Kalian kenapa meragukan ibu itu? Kalian lihat, kan, tadi? Waktu aku beres-beres di sana?" tanyaku sambil menunjuk luasnya ruang tengah.
"Iya, kami lihat kamu, tapi nggak ada ibu yang kamu maksud itu, Bil." Kalimat Kak Bintang membuat jantungku berdesir dan lemas. Hawa sekitar mendadak makin tipis sehingga rasa dingin kian terasa pekat saja.
"Yang bener?" tanyaku mencoba memastikan sekali lagi. Mereka lantas mengangguk yakin, walau Kak Rayi justru menatapku nanar. "Jadi kalian nggak lihat ibu tadi?"
"Bil, mungkin dia bukan manusia ...," sambung Kak Bintang.
"Bil, mungkin dia bukan manusia ...," sambung Kak Bintang.
Aku diam, menatap lorong penghubung kamar-kamar dan berakhir ke dapur rumah ini. Rasa penasaran ini membuncah, antara penasaran akan sosok ibu tadi, dan juga takut jika memang dia adalah makhluk tak kasat mata lainnya. Apalagi dengan background yang sudah terkenal selama ini, kalau tanah Borneo memiliki rahasia dan kental akan hal mistis.
"Sayang, mending kamu balik ke kamar saja," ucap Kak Rayi. Aku menarik nafas panjang, lalu menggeleng. "Aku harus periksa ke dapur, Kak. Aku harus pastikan kalau ibu tadi beneran ada. Kalau pun dia bukan manusia, aku ingin memastikan saja."
"Sayang, jangan," bujuk Kak Rayi lagi.
"Kak, aku harus cek. Aku nggak bisa diem gini aja. Belum lagi soal hantu mariaban di luar. Mungkin yang di luar masih bisa aku hindari, tapi ini di rumah, di dalam rumah. Aku nggak bisa diem saja, Kak."
"Bener itu, Yi. Semoga saja ibu tadi hantu baik, " tegas Kak Roger.
"Oke, tapi video call nya jangan dimatikan, Bil," pinta Kak Rayi.
"Tante juga nggak tau harus menyebutnya apa, Bil," sahutnya tampak ragu membahasnya denganku.
"Jadi?"
"Dia jatuh dari tebing, dan baru diketemukan esok harinya, tapi anehnya tubuhnya biru. Seperti kehabisan darah." Aku mengernyitkan kening mendengar penjelasan Tante Jean. "Sebenarnya Tante nggak diperbolehkan membahasnya sama kamu, tapi tante yakin kamu tau kalau kehidupan kita nggak seperti orang normal pada umumnya. Hal aneh seperti ini bukan hal baru bagi kita, kan?" Tante Jean menatapku dalam, aku hanya mengangguk pelan sambil mencoba menelaah ke arah mana pembicaraan ini.
"Apa itu ulah vampire?" tanyaku, menunjuk satu jenis ras yang memang hobi menghisap darah manusia.
"Bukan, Bil. Karena menurut Rani, nggak ada bekas gigitan di leher atau bagian tubuh lainnya. Hanya ada satu titik lubang kecil, di belakang lehernya. Tante yakin itu bukan ulah vampire, dhampire atau makhluk yang selama ini pernah kita temui."
"Lantas apa tante? Apakah sudah ada kandidat makhluk apa itu?"
"Itulah. Kami semua belum tau, apa dan siapa yang mencelakakan Dewa. Kamu tau sendiri, kalau Dewa itu jago panjat tebing, dan jarang melakukan kesalahan, kecuali ada yang mengganggunya, kan?"
"Bener juga, tante."
Hening. Kami berdua mulai sibuk dengan pikiran masing-masing. "Eh, tante, aku nggak tau ini ada hubungannya atau tidak, tapi akhir-akhir ini aku merasa ada yang mengikutiku. Bahkan Papa juga merasakan, saat menjemput aku tadi."
"Mengikuti kamu? Seperti apa? Tante yakin kamu bisa merasakan makhluknya, kan?"
"Aku belum yakin, tante. Cuma dia terbang, dan berukuran besar."
Sebuah mobil Land Rover berhenti tak jauh dari kami. Seseorang keluar dari pintu kemudi, dan langsung menatap kami dalam. Opa Hans melambaikan tangan, pria tersebut mengangguk. Sepertinya dia orang yang akan mengantar kami ke rumah Om Dewa.
Bagi Papa, Om Gio, Opa, dan tante Jean posisi Om Dewa cukup penting dalam hidup mereka. Seperti halnya Bang Abi. Entah mengapa, aku belum bisa melupakan sepenuhnya semua kenangan itu. Walau saat itu aku masih kecil, tapi kematian Bang Abi secara tidak langsung penyebabnya adalah aku.
Kami sampai di sebuah perkampungan. Setelah mendengar penjelasan mereka, ini adalah rumah orang tua Om Dewa. Rumah Om Dewa dan tante Rani yang sebenarnya berada di kompleks perumahan yang agak jauh dari sini. Ibu Om Dewa menginginkan jenazah putranya dikebumikan di kompleks pemakaman keluarga, yang sudah ada sejak turun temurun kakek buyut mereka.
Tempat itu cukup jauh dari kota. Masih banyak pepohonan di sekitar. Walau dalam kaca mataku, Kalimantan memang identik dengan hutan. Tapi saat sampai Bandara tadi, aku melihat perkotaan yang sama seperti di kota besar pada umumnya. Tetapi tempat tinggal Om Dewa memang berada di pedalaman desa.
Berada di kawasan jantung pegunungan Meratus membuat hawa sekitar cukup dingin. Entahlah, apa karena aku terbiasa tinggal di Ibukota, yang terkenal panas, atau memang di sini memiliki hawa yang sejuk. Mungkin keduanya. Aku merapatkan sweeter saat turun dari mobil.
Di harapan kami ada sebuah rumah yang cukup besar dan luas, mereka menyebutnya Balai Adat. Di sini tinggal beberapa kepala keluarga dalam satu bangunan, yang tentu keseluruhan bangunannya terbuat dari kayu.
Beberapa orang keluar dari rumah itu. Opa Hans berjalan lebih dulu sebagai tetua dari kami semua. Saling sapa dan jabat tangan sebelum akhirnya kami dipersilakan masuk ke dalam. Suasana di dalam rumah cukup ramai. Di tengah ruangan besar setelah pintu masuk, ada seseorang yang sudah terbujur kaku, di kelilingi beberapa orang. Jenazah Om Dewa akan dimakamkan nanti malam. Menunggu kedatangan kami, begitu menurut Ayah Om Dewa sendiri.
Tante Rani diam, duduk di dekat jenazah suaminya. Menatap kosong ke tubuh tak bernyawa itu. Tante Jean mendekat sambil mengajakku.
"Ran ...," panggil tante Jean, dan terus mendekat ke Tante Rani. Wanita berpakaian serba hitam tersebut menoleh dan langsung berhamburan memeluk Tante Jean. "Yang sabar, ya. Kamu harus kuat," bisik Tante Jean berusaha menguatkan Tante Rani yang sedang sangat terpukul. Aku dapat melihat jelas, bagaimana kesedihan itu tergambar di wajah wanita itu. Tante Rani masih muda, dan harus menjadi janda karena kematian suaminya. Bahkan sampai sekarang mereka belum memiliki keturunan. Setiap tante Rani hamil, selalu saja ada musibah.
Aku hanya duduk di samping mereka, mendengarkan tiap detail penjelasan Tante Rani dari awal kejadian tersebut. Sambil memandang wajah Om Dewa yang tertutup kain putih transparan dengan kapas yang menyumpal hidung, dan telinga.
"Jadi, Om Dewa dimakamkan malam ini juga, tante?" tanyaku memotong pembicaraan mereka.
Keduanya lantas menoleh, dan akhirnya aku mendapat perhatian dari tante Rani. "Astaga, Nabila! Maaf, tante kira kamu siapa." Tante Rani lalu memelukku yang sebenarnya sudah cukup lama di sini. Aku mengerti kondisinya sedang tidak baik, jadi aku tidak sakit hati atau marah saat menjadi obat nyamuk di antara keduanya.
"Turut berduka cita, tante," sahutku membalas pelukannya.
"Iya, kamu yakin Dewa dimakamkan malam-malam begini? Nggak tunggu pagi aja, Ran?" tanya tante Jean.
"Harus malam ini, Jean. Udah adatnya begini. Aku kan cuma tamu, dan harus nurut semua peraturan keluarga besar Dewa."
"Hei, kamu istri Dewa! Kok tamu sih?" tanya Tante Jean sinis. Tante Rani hanya tersenyum nanar.
"Ya begitulah, aku nggak mungkin menentang mereka. Kata Bapak, malam ini juga harus dimakamkan. Karena berbahaya kalau sampai jenazah Dewa menginap di rumah, nggak baik, katanya."
Tante Jean menarik nafas panjang lalu menoleh padaku. Aku hanya mengangguk menanggapi. Mungkin ini memang sudah peraturan di desa ini. Jika masih berada di bawah jam 12 malam, maka jenazah orang yang meninggal di desa ini harus segera dimakamkan. Lain halnya jika meninggal di atas jam 12 malam. Bisa dimakamkan esok harinya.
Beberapa orang mulai beranjak dan terlibat diskusi dengan bahasa yang tidak ku mengerti. Papa lantas mendekat dan mengajakku ke ruangan lain bersama Tante Jean. "Taruh dulu barang kalian di kamar. Nanti kita datang ke pemakaman Dewa," jelas Papa.
"Sekarang, Pa?" tanyaku, Papa lantas mengangguk.
Tante Rani mengantar kami ke kamar yang memang disiapkan untuk tamu. Itu pun atas komando dari seorang wanita tua dengan bahasa Banjar yang khas.
"Tante sejak kapan bisa bahasa Banjar?" tanyaku saat kami bertiga berjalan di koridor rumah besar ini. Karena aku tau, kalau Tante Rani berasal dari Jawa, sama seperti kami.
"Setahun setelah menikah sama Om Dewa, Bil. Kenapa?"
"Wah, cepat juga bisa paham bahasa sini."
"Iya, karena sehari-hari dengar obrolan dan pengucapan bahasanya, jadi tante cepat bisa."
Koridor rumah ini memiliki beberapa pintu yang kutebak adalah kamar dari penghuni rumah ini. Aku tidak bisa membayangkan mereka sanggup hidup rukun bersama-sama seperti ini. Karena aku tinggal berdua saja dengan Papa, masih kerap bertengkar.
Kamar ini cukup luas. Dengan jendela berukuran satu meter yang memperlihatkan suasana di belakang rumah ini. Dominan pepohonan yang tinggi-tinggi. Cukup rindang dan asri, jika siang hari, dan cukup menyeramkan di malam hari, seperti sekarang.
"Bil, kalau kamu capek, nggak usah ikut ke pemakaman. Di sini aja, istirahat," cetus tante Jean, sambil meletakkan tas bawaannya dan mengambil jaket tebal dari dalamnya.
"Iya, Bil. Mending kamu di rumah aja. Udah malam, kamu juga kelihatan capek tuh," sambung Tante Rani menunjuk wajahku yang memang kelelahan setelah perjalanan panjang tadi. Aku diam, sambil mempertimbangkan saran mereka.
"Ya udah deh. Aku di sini aja." Akhirnya aku menurut, karena benar apa kata mereka, aku lelah. Ingin istirahat, dan kamar ini cukup nyaman rasanya. Apalagi dengan suasana sekitar yang tenang.
_________
Kini hanya aku saja di ruangan besar ini, sendirian. Mereka semua sudah pergi sejak 15 menit lalu. Papa juga mengerti keinginanku untuk tinggal di kamar.
Aku berbaring sambil memegang benda persegi di tangan, menekan keyboard dan mengetik dengan gerakan cepat, bibir terus tersenyum karena berbalas pesan dengan Kak Rayi.
Hingga tiba-tiba layar ponsel berganti menjadi wajahku, dan ada tombol merah gang bergerak minta disentuh dengan dua pilihan menerima atau menolak. Yah, Kak Rayi melakukan video call tanpa memberitahu terlebih dahulu. Aku segera duduk, merapikan rambutku yang berantakan, bahkan aku berlari lebih dulu ke sebuah cermin besar di tengah kamar. Lalu kembali lagi ke ranjang besar tadi.
"Lama banget!" kata Kak Rayi sedikit melotot saat aku sudah menggeser layar ke bawah.
"Hehe. Habisnya kaget, tiba-tiba video call. Nggak bilang dulu ih!"
"Ya namanya juga kangen. Eh, sayang ni Bintang sama Roger mau ikutan, boleh?"
"Kak Rayi lagi chating sama mereka juga?"
"Iya tadi. Gimana? Roger penasaran sama Kalimantan katanya tuh!"
"Oke, undang aja."
Layar akhirnya terbagi menjadi empat, dan muncul wajah tiga pria tersebut.
"Wuih, Nabila! Asik nih yang lagi liburan ke Kalimantan," kata Kak Roger yang sedang ada di kamarnya.
"Enak aja liburan! Suasana duka ih! Sembarangan Kak Roger nih!" cetusku sebal.
"Iya emang, nggak ada akhlak ni bocah!" sambung Kak Bintang, dengan background taman.
"Kak Bintang lagi di mana? Syahdu banget kelihatannya."
"Oh ini? Lagi di cafe. Suntuk di rumah. " Dia lantas memperlihatkan keadaan sekitarnya dengan banyak lampu Tumbler warna warni. Cukup mengesankan.
"Besok kita dinner di sana, ya sayang," kata Kak Rayi. Kak Rayi sendiri sedang ada di ruang tengah rumahnya. Aku hapal sekali sofa nya.
"Kok Kak Bintang sendirian? Nggak ajak Kak Rayi sama Kak Roger?"
"Mereka nggak mau. Lagian aku lagi pengen sendiri."
"Cie pengen sendiri. Lu lagi galau kenapa lagi, bro?" tanya Kak Roger.
"Bacot!"
"Ye, udah gue perhatiin, malah kasar. Aku tu nggak bisa dikasarin," rengek Kak Roger dengan wajah memelas. Sontak kedua orang itu mampu membuat tawaku meledak.
Tapi itu tidak berlangsung lama, karena aku segera berhenti tertawa dan mempertajam pendengaran.
"Kenapa, Bil?" tanya Kak Rayi yang melihat suasana wajahku berubah.
"Kalian dengar nggak?" tanyaku pada mereka. Tiga pria itu diam, dengan ekspresi sama mendekatkan ponsel masing-masing.
"Denger apaan?" tanya Kak Bintang.
"Ada yang ketuk jendela kamarku," bisikku sambil menoleh ke tempat yang ku bicarakan itu.
"Yang bener lu, Bil. Jangan bercanda," ujar Kak Roger.
"Coba cek, Bil. Mungkin cuma orang iseng," suruh Kak Bintang.
"Eh, jangan sayang! Biarin aja. Cuekin!" larang Kak Rayi.
"Jadi gimana nih, aku cek atau nggak!"
"Cek!"
"Jangan!"
"Astaga, kalian berdua malah berantem. Bil, cek, sambil tunjukin layar ke sana. Kita lihat bareng!" tutur Kak Roger.
Akhirnya aku menurut kata Kak Roger. Aku lantas beranjak dengan perlahan. Berusaha tidak menimbulkan bunyi sekecil apa pun. Mendekat ke jendela yang memang sudah tertutup sejak aku masuk tadi.
Jendela kayu itu kubuka perlahan, kini hamparan pepohonan terlihat di depan mata. Walau ini sudah malam, tapi karena sinar bulan purnama maka keadaan di luar mampu kulihat dengan jelas. Namun ada sesuatu di sana. Di atas pohon yang tampak asing bagiku. Hanya saja aku anggap itu bayangan pohon lain yang berbentuk tubuh besar. Layar ponsel ku sorot ke depan. Mereka bertiga juga dapat melihat apa yang ada di depanku.
"Wuih, gelap dan sepi banget. Bener-bener mirip kalau kita lagi camping," kata Kak Roger takjub.
"Bil, itu apa?" tanya Kak Rayi menunjuk ke arah yang aku pun tidak paham.
"Mana?" tanyaku.
"Di atas pohon!"
Degh! Otomatis aku mulai tidak enak. Karena jika apa yang dimaksud Kak Rayi adalah tempat yang tadi aku lihat, maka itu hal aneh. Karena kini setelah aku perhatikan, bayangan gelap yang kupikir adalah kumpulan pohon, justru memiliki titik merah di tempat yang simetris. Seperti sepasang mata merah menyala.
"Bil, tutup jendelanya!" suruh Kak Bintang. Aku segera menutup kembali jendela tersebut, mengunci serta menjauh, dengan tetap menatap papan kayu di depan was-was.
"Bil, sayang? Kamu nggak apa-apa?" tanya Kak Rayi akhirnya mengembalikanku pada kesadaran. Ponsel kembali kuatur sehingga aku dan mereka dapat saling tatap. Berkali-kali aku menatap ke arah jendela dan ke layar ponselku.
"Elu sama siapa di kamar, Bil?" tanya Kak Roger.
"Sendirian, Kak. Yang lain lagi ke pemakaman Om Dewa."
"Wah, di rumah itu sama siapa lagi? Kalau bisa usahakan jangan sendirian, Bil. Setidaknya biar kamu ada teman," cetus Kak Bintang, meneguk minuman berwarna mocca di hadapannya. Dia pun sama cemasnya seperti Kak Rayi sekarang.
"Bener, sayang. Kamu coba keluar, cek ada siapa di rumah itu. Jangan sendirian kalau bisa," tambah Kak Rayi. "Perasaan aku nggak enak."
Aku mengangguk lantas keluar kamar dengan ponsel di genggaman. Diam sambil memperhatikan ke kanan dan kiri. Sunyi. Ada beberapa suara namun terdengar jauh. Sepertinya beberapa anggota keluarga Om Dewa berada di kamar masing-masing. Yah setidaknya sedikit melegakan karena masih ada manusia di rumah ini.
Aku terus berjalan ke ruang tengah tadi, berharap ada manusia lain yang dapat ku temui. Karena betul kata mereka, kalau aku harus bersama seseorang. Aku bahkan tidak tau siapa dan apa yang ada di luar jendela tadi.
"Kira-kira apa tadi, ya?" tanya Kak Roger membuka kembali diskusi, aku sesekali melirik ke layar ponsel namun tetap mencari tempat aman untuk diriku sendiri.
"Kalian lihat nggak tadi?" tanya Kak Rayi.
"Duh, kagak. Justru pas gue mau lihat, Nabila udah keburu nutup jendelanya," sahut Kak Roger.
"Gue sih sekilas lihat. Walau nggak begitu jelas, soalnya gelap, kan? " timpal Kak Bintang.
"Gelap atau makhluknya juga hitam? Jadi nggak begitu jelas?" tanya Kak Rayi.
"Eh, Bil, yang kamu lihat bagaimana bentuknya? Coba ceritain deh, biar aku coba googling ini. Siapa tau ketemu apa itu." Kak Bintang mulai membuka laptopnya dan mengetik sesuatu. Aku lantas sampai di ruang tengah tadi, rupanya ada seorang ibu yang sedang beres-beres ruangan ini. Dia menoleh padaku dan aku pun tersenyum. Aku duduk di sebuah kursi. "Bentar, Kak. Aku bantuin ibu itu beres-beres," kataku lalu meletakkan ponsel di lantai. Layar sengaja ku hadapkan ke tengah ruangan, agar mereka juga dapat melihatku di sana.
"Saya bantuin, Bu," sahutku ikut memungut beberapa sampah air mineral dan permen yang berserakan di lantai kayu. Dia hanya tersenyum, tetap membersihkan ruangan ini. Begitu ruangan ini sudah bersih, ibu tersebut mengucapkan terima kasih dan hendak pergi ke belakang. "Eum, maaf, Bu." Aku menahan tangannya yang hendak meninggalkanku. Jujur saja, aku mulai takut. Ibu itu menoleh dan mengerutkan dahinya. "Ibu mau temani saya di sini, sampai Papa saya pulang dari pemakaman?" tanyaku lebih ke memohon. Beliau menatapku agak lama, lalu tersenyum dan mengangguk.
"Ibu buatkan teh hangat dulu, ya. Dingin," ujarnya, mengelus pucuk kepalaku dan pergi ke belakang. Tentu aku tidak bisa melarangnya lagi, karena dari ucapannya tadi, ibu itu pasti akan kembali dan menemaniku sebentar.
Ponsel kembali kuambil, keempat pemuda itu masih setia di sana. Tetapi Kak Bintang sudah pindah tempat, dia berada di balik kemudi. Sementara itu Kak Rayi juga sudah pindah ke kamarnya.
"Hai semua, maaf lama," sapaku. Mereka kembali fokus padaku dan melanjutkan diskusi ini. "Tadi bagaimana Kak Bintang? Bentuk yang aku lihat?" tanyaku lagi. Kak Bintang mengangguk.
"Biar gue saja yang cari, itu Bintang udah naik mobil, mau balik ke rumah dia. Sudah malam," sahut Kak Roger. Kak Roger yang sudah berada di atas kasur, membuka ponsel keduanya. Sementara ponsel yang sedang dipakai untuk panggilan video, ia letakan bersandar pada bantal di sampingnya.
"Ketemu! Mariaban!" kata Kak Rayi dan membuat kami menatapnya, meminta penjelasan. "Jadi tadi gue browsing hantu di Kalimantan, dan ada satu sosok yang khas di sana, selain kuyang. Aku pikir makhluk ini yang kita lihat, eum, kalau apa yang aku lihat sama seperti kamu, Bil."
"Mariaban? Hantu apa, Kak?"
"Dia makhluk berbulu, suka sama darah dan suka membunuh manusia. Kalau bahasa nasionalnya, dia ini mirip gendruwo, Sayang. Bagaimana? Sama nggak sama Mariaban? makhluk tadi yang kamu lihat?"
Aku diam sambil mengingat lagi makhluk tersebut. Rasa-rasanya apa yang dijelaskan Kak Rayi memang sama seperti yang tadi kulihat, walau terlihat samar, tapi aku yakin itu memang Mariaban. "Eum, kak ... apa matanya merah?" tanyaku. Kak Rayi mengangguk mantap. Aku lantas menekan kepala menahan pusing yang tiba-tiba datang.
"Sayang ... kamu nggak apa-apa?"
"Aku ... nggak apa-apa kok. Cuma kaget saja, rasanya aku masih capek banget, dan males buat berurusan dulu sama hal-hal begitu, tapi kok susah banget, ya," gumamku, menjambak rambutku sendiri.
"Terus bagaimana? Gih, kamu cari orang di rumah itu. Masa nggak ada sih? Bukannya tadi kamu bilang di rumah itu yang menempati banyak kepala keluarga, nggak mungkin, kan, kalau mereka semua pergi ke pemakaman?" tanya Kak Bintang. Dia lantas keluar dari mobil, rupanya dia sudah sampai ke rumahnya.
"Ada, kak, itu tadi ibunya lagi bikinin aku teh. Tapi kok lama banget, ya? Apa pakai tungku, masak airnya?" tanyaku pada diri sendiri sambil menatap ke lorong gelap penghubung ruangan ini, kamar dan berakhir ke dapur.
"Ibu siapa?" tanya Kak Roger.
"Yang tadi itu loh, kak, yang beresin ruang tengah bareng aku."
Mereka bertiga diam dengan tatapan aneh. Sehingga memunculkan tanda tanya besar lain di pikiranku. "Kenapa kalian diam begitu?" tanyaku.
"Bentar ... bentar. Ibu ibu yang bantuin beresin ruang tengah? Serius lu, Bil?"
Kali ini aku yang diam, sungguh aneh jika pertanyaan itu muncul dari Kak Roger. Padahal sebelum aku membantu tadi, ponsel sengaja kuletakan menghadap ruang tengah, agar mereka tau aku di mana dan sedang apa. Aku yakin ibu tadi juga terlihat di kamera, karena kami tidak begitu berjauhan saat beres-beres ruang tengah.
"Sayang ... kamu tenangin diri kamu dulu. Coba kamu cek di sekitar, apa ada orang lain selain kamu dan ... ibu tadi?"
"Kak, maksudnya apa? Kalian kenapa meragukan ibu itu? Kalian lihat, kan, tadi? Waktu aku beres-beres di sana?" tanyaku sambil menunjuk luasnya ruang tengah.
"Iya, kami lihat kamu, tapi nggak ada ibu yang kamu maksud itu, Bil." Kalimat Kak Bintang membuat jantungku berdesir dan lemas. Hawa sekitar mendadak makin tipis sehingga rasa dingin kian terasa pekat saja.
"Yang bener?" tanyaku mencoba memastikan sekali lagi. Mereka lantas mengangguk yakin, walau Kak Rayi justru menatapku nanar. "Jadi kalian nggak lihat ibu tadi?"
"Bil, mungkin dia bukan manusia ...," sambung Kak Bintang.
"Bil, mungkin dia bukan manusia ...," sambung Kak Bintang.
Aku diam, menatap lorong penghubung kamar-kamar dan berakhir ke dapur rumah ini. Rasa penasaran ini membuncah, antara penasaran akan sosok ibu tadi, dan juga takut jika memang dia adalah makhluk tak kasat mata lainnya. Apalagi dengan background yang sudah terkenal selama ini, kalau tanah Borneo memiliki rahasia dan kental akan hal mistis.
"Sayang, mending kamu balik ke kamar saja," ucap Kak Rayi. Aku menarik nafas panjang, lalu menggeleng. "Aku harus periksa ke dapur, Kak. Aku harus pastikan kalau ibu tadi beneran ada. Kalau pun dia bukan manusia, aku ingin memastikan saja."
"Sayang, jangan," bujuk Kak Rayi lagi.
"Kak, aku harus cek. Aku nggak bisa diem gini aja. Belum lagi soal hantu mariaban di luar. Mungkin yang di luar masih bisa aku hindari, tapi ini di rumah, di dalam rumah. Aku nggak bisa diem saja, Kak."
"Bener itu, Yi. Semoga saja ibu tadi hantu baik, " tegas Kak Roger.
"Oke, tapi video call nya jangan dimatikan, Bil," pinta Kak Rayi.
regmekujo dan 4 lainnya memberi reputasi
5