Kaskus

Story

ny.sukrisnaAvatar border
TS
ny.sukrisna
Supernatural
Quote:


Mungkin agan di sini pernah baca cerita ane yang berjudul pancasona? Kali ini ane akan melanjutkan kisah itu di sini. Yang suka cerita genre fantasi, kasus pembunuhan berantai, gengster werewolf, vampire dan sejenisnya. Silakan mampir. emoticon-Betty

Supernatural

Quote:


INDEKS
Part 1 abimanyu maheswara
Part 2 abimanyu
Part 3 kalla
Part 4 siapa kalla
Part 5 seorang gadis
part 6 Ellea
part 7 taman
Part 8 kamar ellea
Part 9 pagi bersama ellea
Part 10 rencana
Part 11 tentang kalla
part 12 rumah elang
Part 13 kembali aktivitas
part 14 emosi elang
part 15 janin kalla
part 16 elang
Part 17 vin
Part 18 kantor
Part 19 kemunculan kalla
part 20 pulau titik nol kehidupan
part 21 desa terkutuk
Part 22 wira
Part 23 teman lama
Part 24 patung wira
part 25 teror di rumah John
part 26 tato
part 27 simbol aldebaro
part 28 buku
part 29 kantor kalla
part 30 batu saphire
part 31 Lian dan Ayu
part 32 kakak beradik yang kompak
part 33 penyusup
part 34 kalah jumlah
part 35 lorong rahasia
Part 36 masuk lorong
part 37 cairan aneh
part 38 rahasia kalandra
part 39 Nayaka adalah Kalandra
Part 40 kemampuan nayaka
Part 41 Arkie
Part 42 Arkie (2)
Part 43 peperangan
Part 44 berakhir
Part 45 desa abi
part 46 nabila
part 47 cafe abi
Part 48 Maya
part 49 riki kembali, risna terancam
part 50 iblis bertubuh manusia
part 51 bertemu eliza
part 52 Feliz
Part 53 Bisma
Part 54 ke mana bisma
part 55 rahasia mayat
part 56 bisma kabur
part 57 pertemuan tak terduga
part 58 penyelidikan
part 59 tabir rahasia
part 60 kebakaran
part 61 Bajra
part 62 pengorbanan Bajra
part 63 the best team
part 64 masa lalu
part 65 perang dimulai
part 66 kisah baru
part 67 bertemu vin
part 68 san paz
part 69 cafe KOV
part 70 demigod
part 71 california
part 72 Allea dan Ellea
part 73 rumah ellea
part 74 alan cha
part 75 latin kings
part 76 kediaman faizal
part 77 kematian faizal.
part 78 permainan
part 79 ellea cemburu
part 80 rumah
part 81 keributan
part 82 racun
part 83 mayat
part 84 rencana
part 85 kampung....
Part 86 kematian adi
part 87 tiga sekawan
part 88 zikal
part 89 duri dalam daging
part 90 kerja sama
part 91 Abraham alexi Bonar
part 92 terusir
part 93 penemuan mayat
part 94 dongeng manusia serigala
part 95 hewan atau manusia
part 96 Rendra adalah werewolf
part 97 Beta
part 98 melamar
part 99 pencarian lycanoid
part 100 siapa sebenarnya anda
part 101 terungkap kebenaran
part 102 kisah yang panjang
part 103 buku mantra
part 104 sebuah simbol
part 105 kaki tangan
part 106 pertikaian
part 107 bertemu elizabet
part 108 orang asing
part 109 mantra eksorsisme
part 110 Vin bersikap aneh
part 111 Samael
part 112 Linda sang paranormal
part 113 reinkarnasi
part 114 Nayla
part 115 Archangel
part 116 Flashback vin kesurupan
part 117 ritual
part 118 darah suci
part 119 Lasha
part 120 Amon
part 121 masa lalu arya
part 122 sekte sesat
part 123 sekte
part 124 bu rahayu
part 125 dhampire
part 126 penculikan
part 127 pengakuan rian.
part 128 azazil
part 129 ungkapan perasaan
part 130 perjalanan pertama
part 131 desa angukuni
part 132 Galiyan
part 133 hilang
part 134 Hans dan Jean
part 135 lintah Vlad
part 136 rahasia homestay
part 137 rumah kutukan
part 138 patung aneh
part 139 pulau insula mortem
part 140 mercusuar
part 141 kastil archanum
part 142 blue hole
part 143 jerogumo
part 144 timbuktu
part 145 gerbang gaib
part 146 hutan rougarau
part 147 bertemu azazil
part 148 SMU Mortus
part 149 Wendigo
part 150 danau misterius
part 151 jiwa yang hilang
part 152 serangan di rumah
part 153 misteri di sekolah
part 154 rumah rayi
part 155 makhluk lain di sekolah
part 156 Djin
part 157 menjemput jiwa
part 158 abitra
part 159 kepergian faza
part 160 Sabrina
part 161 puncak emosi
part 162 ilmu hitam
part 163 pertandingan basket
part 164 mariaban
part 165 Dagon
part 166 bantuan

INDEKS LANJUT DI SINI INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 16-05-2023 21:45
indrag057Avatar border
bejo.gathelAvatar border
itkgidAvatar border
itkgid dan 12 lainnya memberi reputasi
13
13.5K
222
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52.1KAnggota
Tampilkan semua post
ny.sukrisnaAvatar border
TS
ny.sukrisna
#168
163 Pertandingan Basket
Pukul 23.00 Hujan benar-benar turun, aku bahkan tidak percaya kalau perkataan Om Gio benar-benar terjadi. Berdiri di dekat jendela sambil menatap hujan yang mengguyur deras halaman rumah kami. Om Gio langsung mengajak Kak Rayi keluar, mereka berdua ada di halaman, sementara aku dan Papa hanya memperhatikan dari teras, ditemani kopi dan teh hangat.

"Pah, sejak kapan sih, Om Gio ngerti hal ginian?" tanyaku sambil menyesap teh hangat milikku.

"Eum, Papa juga nggak tau persis kapan, yang jelas sejak dia tinggal sama Abimanyu dulu. Kamu tau sendiri, kan, kalau mereka sudah banyak mengalami hal aneh. Ya wajar saja, kalau Om Gio mu itu lebih banyak pengalamannya daripada Papa."

Jujur saja, aku cukup khawatir, kalau Kak Rayi dan Om Gio akan sakit setelahnya. Tengah malam, di bawah hujan lebat? Oh, itu hal yang sungguh nekat.

Om Gio memukul mukul punggung Kak Rayi, sambil menggumamkan kalimat yang tidak aku mengerti. Tiba-tiba Kak Rayi kembali muntah. Aku melotot, saat melihat sebuah bayangan hitam keluar dari tubuhnya, bayangan itu berbentuk lingkaran yang seolah menutupi tubuh Kak Rayi. Dalam sekali hentak, Om Gio membuat lingkaran hitam itu melebar dan hilang dengan cepat. Om Gio mendekati Kak Rayi dan membicarakan sesuatu, tak lama mereka beranjak kembali ke teras. Dengan cepat aku mengambilkan mereka handuk kering, dan mengantar Kak Rayi ke kamar untuk ganti pakaian.

"Jadi gimana, Om?" tanyaku saat menunggu Kak Rayi ganti pakaian di depan kamarnya.

"Aman. Pengaruh itu sudah hilang sepenuhnya. Air hujan adalah obat yang mujarab untuk sihir. Besok kalian lihat bagaimana keadaan perempuan itu setelah kita kembalikan sihirnya."

"Jadi Om kembalikan itu semua ke Sabrina?"

"Om nggak menyebutkan nama, Om kembalikan apa yang orang itu lakukan ke Rayi, jadi Om nggak tau siapa yang kirim, tapi kalau memang Sabrina yang melakukannya, dia pasti akan terlihat kacau besok."

_______________________

Malam ini selepas magrib, kami berkumpul di depan sebuah rumah sakit swasta, tempat Sabrina dirawat. Aku bahkan belum tau apa yang sebenarnya terjadi pada Sabrina, hingga dirinya harus dirawat.

"Roger mana?" tanya Kak Rayi pada Kak Bintang. Kami tengak-tengok mencari keberadaan pemuda itu. Karena saat datang tadi, aku hanya melihat Kak Bintang naik motor seorang diri.

"Tadi sih di belakang gue, tapi ... nggak tau deh, ke mana itu anak!"

"Eh, itu!" tunjukku ke pintu masuk. Seorang pria dengan motor warna hitam, suara knalpot yang khas mulai masuk ke halaman parkir rumah sakit. Dia baru saja mengambil karcis parkir dari mesin dekat palang pintu. Lalu melambaikan tangan pada kami.

Sabrina dirawat di lantai tiga. Kak Bintang sejak Sabrina dirawat sudah bolak balik datang ke sini, jadi dia yang menjadi pemandu kami menuju ruangan Sabrina. Ditangannya sudah ada se-buket bunga mawar merah, dengan sebuah tulisan semoga cepat sembuh. Jujur, aku kagum terhadap sikap Kak Bintang. Dia orang yang baik, tulus, dan setia. Mungkin jika dulu aku lebih dulu bertemu dengan Kak Bintang aku bisa saja jatuh cinta padanya.

Kami sampai di lantai tiga, koridor tampak lenggang, namun tetap ada aktivitas dari perawat jaga yang membawa kantung infus atau menggandeng pasien kembali ke ruangannya. Aku dan Kak Rayi berjalan paling belakang, langkah kuperlambat, menoleh ke belakang karena merasa ada seseorang di belakang kami. Tapi di tangga yang tadi kami lewati, tidak ada satu orang pun di sana. Ah, mungkin hanya perasaanku saja.

Kak Bintang membuka pintu dengan sebuah tulisan Kenanga 5. Kami hanya menunggu dia masuk dan terus mengekor, tapi tetap menjaga jarak. Aku hanya belum terbiasa dekat dengan Sabrina. Aku juga takut kehadiran kami justru menambah rasa sakitnya, terutama kehadiranku. Karena dia tidak menyukaiku.

Namun yang ada di hadapan kami justru Sabrina yang tengah terbaring tak berada. Oksigen ada di bawah hidungnya, wajahnya dipenuhi beberapa perban, tentu ada infus yang menempel di pergelangan tangan kanannya. Dia masih tertidur, atau memang tidak sadar. Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan kami, memeluk Kak Rayi seketika dan mencurahkan perasaannya terhadap apa yang terjadi pada Sabrina. Aku hanya diam di ujung ranjang menatap Sabrina nanar.

Menurut apa yang aku dengar, wajah Sabrina berubah. Melepuh, dan mengelupas begitu saja. Sama seperti saat dia kecelakaan dulu. Sabrina histeris dan kemudian stres. Dia bahkan berusaha menyayat nadi di pergelangan tangan kirinya. Ternyata itu penyebab pergelangan kirinya juga diperban. Kak Rayi beberapa kali melirik padaku, karena kini tangannya terus dipeluk oleh ibunya Sabrina. Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Bahkan saat aku memperkenalkan diri, ibu Sabrina tampak tidak peduli. Yah, aku tidak apa-apa. Aku maklum. Karena keadaan mereka sedang tidak baik-baik saja, jadi biarlah Kak Rayi menghibur keluarga Sabrina. Kak Roger mendekat padaku dan mengajak duduk di sebuah sofa dekat jendela kamar Sabrina.

Di lantai tiga ini kami bisa melihat ke jendela dengan pemandangan kota. Gemerlap lampu bagai ratusan bintang yang tersebar di segala penjuru mata angin. Aku duduk di sofa bersebelahan dengan Kak Roger, sesekali aku menengok ke jendela, merasa bahwa di sana jauh lebih indah daripada pemandangan di hadapanku sekarang.

"Lu udah makan, Bil?" tanya Kak Roger sambil mengetik pesan pada seseorang. Teman sekelasnya, yang entah sedang membahas apa, karena aku hanya meliriknya sekilas.

"Belum, Kak. Nanti saja, belum lapar. Kenapa?" tanyaku balik, sambil memperhatikan jemarinya yang piawai di keyboard benda persegi tersebut.

"Nanti, habis dari sini kita makan dulu yuk. Nih si Rizal buka warung Lamongan begitu dekat GOR. Sekalian penglaris, biar dia makin semangat begitu."

"Oke. Nggak masalah," sahutku.

Aku menoleh ke jendela, langit yang gelap seolah baru saja menyembunyikan sebuah bayangan yang melintas di sana. Dahiku membentuk kerutan, merasa kalau di sana justru tidak ada apa pun dan siapa pun, tapi entah kenapa hati kecilku berkata lain. Aku beranjak mendekat ke dinding kaca tersebut. Mengamati dari atas, bawah, kanan dan kiri. Jika memang ada burung yang lewat, rasanya tidak mungkin karena yang aku rasakan bayangan tadi cukup besar, dan burung apa yang sebesar itu terbang malam-malam begini. Jika itu manusia, lebih tidak mungkin lagi, karena tidak ada pijakan di luar untuk melintas. Ruangan ini juga berada di lantai tiga. Atau hantu? Ah, aku makin berpikir yang tidak-tidak. Mungkin hanya perasaanku saja.

Kami pamit pulang. Sekali lagi, Ibu Sabrina memeluk Kak Rayi erat bak sinetron di Tv yang penuh dengan drama. Kak Rayi juga berkali-kali menoleh padaku, dan aku hanya diam tak banyak berreaksi. Toh, setelah ini dia milikku lagi. Sabrina tidak akan bisa merebutnya.

Tanganku diraih oleh Kak Rayi, kami berjalan di sepanjang koridor dengan terus saling menggenggam erat. Kak Roger dan Kak Bintang kembali berjalan di depan kami. Sampai di ujung tangga, aku kembali berhenti berjalan, kami berada di persimpangan. Di sebelah kanan terdapat lorong lain yang menuju ruangan berbeda, sebelah kiri juga menuju ke tempat ruang inap Kenanga dengan nomor lebih besar. Lantai ini khusus ruang Kenanga saja, dan termasuk ruangan kelas satu. Kembali aku merasa ada bayangan yang melintas. Ada seseorang yang lewat di belakang tubuhku, hanya saja tidak terlihat. Entahlah, mungkin penghuni rumah sakit. Karena rumah sakit termasuk paling banyak penghuni tak kasat mata.

"Kenapa?" tanya Kak Rayi, mengikuti ke arah mataku menatap.

"Eum, nggak apa-apa, Kak. Yuk," ajakku kembali mengikuti dua pria di depan kami tadi. Mereka sudah berjalan agak jauh dari kami karena aku menghentikan langkahku tadi.

"Sayang, maaf ya, soal tadi," kata Kak Rayi saat kami menuruni anak tangga satu demi satu.

"Yang tadi?" tanyaku berlagak tidak paham.

"Iya, sikap Mama Sabrina."

"Astaga, nggak apa-apa kok, Kak. Aku paham. Aku juga nggak cemburu lagi. Yah, sedikit sih."

"I love you, Nabila," gumam Kak Rayi menatapku dalam.

"Yes, i know. Me too," sahutku.

Kami sampai di halaman parkir, berjalan menuju tempat motor masing-masing berada. Kepakan sayap burung kudengar samar, aku bahkan sampai menatap ke langit di atasku. Yakin tidak salah dengar, karena suara tadi terdengar sangat jelas sekali di tengah suasana hening di pelataran parkir rumah sakit.

"Yuk, sayang." Suara Kak Rayi membuyarkan lamunanku. Dia sudah naik di atas kuda besinya dan kini kami mulai berjalan meninggalkan rumah sakit ini. Rencana Kak Roger akan kami lakukan sekarang. Karena perutku juga sudah terasa lapar sekarang.

"Pagi, sayang," sapa Kak Rayi yang kini sudah tiba di depan pintu rumahku. Kebiasaan kami akan kembali berlanjut seperti dulu. Sebelum dia terkena sihir dari Sabrina kemarin.

"Pagi. Udah sarapan belum?" tanyaku sambil memeriksa isi tas. Semalam aku terlalu lelah untuk membereskan buku-buku yang harus dibawa hari ini, sehingga pagi ini aku cukup sibuk dari biasanya.

"Udah kok. Kamu udah sarapan belum?"

"Udah, kak. Yuk, berangkat." Aku menutup tas, setelah memastikan semua sudah berada di dalamnya. Lalu menggandeng Kak Rayi menuju tempat motor nya di parkir.

Pagi ini suasana hatiku sangat baik. Tentu karena hubunganku dengan Kak Rayi sudah kembali seperti semula. Aku lega, karena ternyata dibalik sikap labilnya kemarin, itu hanya lah pengaruh ilmu hitam saja. Perasaan Kak Rayi masih sama seperti dulu. Dia masih menyayangiku tanpa berkurang sedikit pun. Pelukanku makin erat, motor melaju cukup kencang menuju sekolah. Tidak banyak hal yang kami bahas di perjalanan ke sekolah kali ini, karena semua sudah cukup kami obrolkan semalam. Lagi pula kami sedang terburu-buru agar tidak terlambat.

Motor masuk ke gerbang sekolah tepat saat bel masuk berdering. Beberapa pasang mata menatap kami diikuti bisik-bisik yang membuat aku sedikit tidak nyaman. Setelah memarkirkan motornya, Kak Rayi menggandeng tanganku berjalan ke arah kelas.

"Wah, Yi, balikan?" tanya salah seorang teman sekelas Kak Rayi.

"Bawel!" sahut Kak Rayi enteng. Tetap menggandengku terus berjalan. Tiba-tiba Sabrina berteriak memanggil Kak Rayi, otomatis kami berdua berhenti dan menoleh ke arah wanita itu yang kini sedang berlari mendekat. Dia berdiri di depan kami, menatapku penuh benci seolah ini menerkam ku saja.

"Apa?!" tanya Kak Rayi, dingin.

"Yi, kok kamu gitu jawabnya ... Aku tunggu kamu jemput tadi, aku telepon hand phone kamu, nggak aktif," rengeknya manja. Tangannya berusaha meraih tangan Kak Rayi, namun selalu ditepis bahkan terlihat sangat kasar. Sementara genggaman tangan Kak Rayi padaku justru makin erat. "Rayi ...."

"Brin, muka lu kenapa? Kok aneh begitu? Belum mandi?" tanya Kak Rayi sambil memperhatikan wajah Sabrina lekat-lekat. Sabrina lantas memegangi wajahnya dan sedikit menunduk.

"Kenapa? Mau ngaca? Ini," kataku sambil mengambil sebuah cermin dari dalam tas. Sabrina merebut cermin milikku dengan cepat, dia lantas memandangi wajahnya sendiri lekat-lekat. Ekspresinya sama seperti saat Kak Rayi melihatnya. Dia juga sama terkejutnya.

"Mukaku kenapa sih? Perasaan tadi baik-baik saja," rengeknya.

Wajah Sabrina tampak pucat, kusam, bahkan di pipi sebelah kanan terdapat kulit bekas terbakar.

"Kamu pernah kecelakaan?" tanyaku. Dia menoleh padaku cepat, "Dari mana kamu tau?"

"Tuh, luka kamu masih kelihatan."

Sabrina terus menutupi kedua pipinya, lalu segera pergi dari hadapan kami. Kata Om Gio, pelaku yang melakukan sihir pada Kak Rayi, akan menunjukkan wujud aslinya saat bertemu dengan korbannya, yaitu Kak Rayi. Semua akhirnya terjawab sudah, dan terbukti, kalau ternyata memang Sabrina melakukan sihir pada Kak Rayi selama ini. Wajahnya buruk, aku tidak tau apa yang sebenarnya sudah terjadi padanya. Kenapa wajah cantiknya justru berubah sedemikian rupa, sehingga tidak tampak menarik lagi.

_____________

Sepulang sekolah aku dan Kak Rayi berniat menonton lomba basket antar sekolah di GOR yang berada tak jauh dari sekolah kami. Di sana ada Kak Roger yang menjadi salah satu pemain terbaik sekolah. Dia telah melewati berbagai ujian dan berakhir menjadi 6 besar pemain terbaik basket sekolah. Sementara Kak Bintang justru tidak terlihat sejak pulang sekolah tadi. Bahkan Kak Roger juga tidak tau dia ke mana.

Stadion terlihat ramai. Kursi terlihat penuh namun dibagi menjadi dua kubu. Kubu sekolah kami dan kubu sekolah sebelah. Beberapa atribut supporter sudah disiapkan, dari balon yang berbentuk huruf yang disatukan menjadi nama sekolah kami, terompet, bahkan terompet lidah yang akan menjulur saat ditiup tanpa menimbulkan bunyi yang kencang.

Pertandingan dimulai. Semua orang terus mendukung kubu masing-masing. Aku tak henti-hentinya meneriakkan nama Kak Roger dengan lantang jika bola basket berada di tangannya, dan bersorak sambil melompat-lompat di tempatku duduk. Kak Rayi ikut memberi semangat, namun tidak se-heboh diriku.

Pada menit terakhir, Kak Roger berhasil mencetak angka kemenangan bagi sekolah kami. Akhirnya, sekolah kami akan melanjutkan ke babak selanjutnya, yang akan diadakan satu minggu lagi.

Kak Roger dan team masih dalam suasana euforia di pinggir lapangan basket. Aku dan Kak Rayi hanya menatapnya bangga dari tempat kami duduk. Hingga setelah keadaan mulai sepi, Kak Roger bergabung bersama kami, dan akan pulang bersama-sama.

[Kalian di mana?] Sebuah pesan masuk ke ponselku, dan itu berasal dari nomor Kak Bintang.

Aku lantas menunjukkan pesan tersebut ke mereka berdua. "Balas aja," perintah Kak Rayi sambil meneguk air mineral yang sebelumnya kami beli di toko kelontong tak jauh dari stadion ini.

"Kak, kata Kak Bintang, dia mau nyusulin ke sini."

"Oh ya udah, kita tungguin. Elu ganti baju gih!" cetus Kak Rayi menunjuk Kak Roger.

"Gini aja, ah, Yi. Males gue ganti bajunya lagi. Lagi pula cuma ada baju seragam, besok dipakai lagi, sayang kalau kotor."

"Dih, jorok!"

Aku paham kenapa Kak Rayi menyuruh Kak Roger ganti pakaian, karena keringatnya sangat banyak, dan baju basketnya hampir basah semuanya.

Kami duduk di taman yang masih berada di lingkungan GOR. Menunggu Kak Bintang. Akhirnya dia muncul juga. Kak Roger melambaikan tangannya, mengisyaratkan keberadaan kami.

"Yah, udah kelar, elu malah baru dateng!" sindir Kak Roger.

"Sorry ... Gue ada urusan." Kak Bintang lantas duduk di antara aku dan Kak Rayi.

"Ini apa sih!" omel Kak Rayi.

"Gaes, tau nggak gue habis dari mana?" tanya Kak Bintang memberikan teka teki.

"Mana gue tau!"

"Gini, Sabrina! Tadi dia telepon gue pas pulang sekolah, kan. Akhirnya buru-buru gue ke rumahnya. Gila, bener apa yang kalian bilang tentang dia."

"Maksudnya?"

"Muka Sabrina berubah drastis! Nggak sangka gue. Kalian udah lihat, kan?" tanya Kak Bintang padaku dan Kak Rayi. Kami berdua tentu mengangguk. Sementara Kak Roger makin penasaran, karena belum tau masalah apa yang sedang terjadi.

Akhirnya kami menjelaskan padanya, tentang apa yang terjadi pada Kak Rayi semalam. Sementara Kak Bintang, memang sudah tau, karena semalam dia menelpon ponsel Kak Rayi, terpaksa aku mengangkatnya, dan dia tau semuanya.

"Jadi, kata Mama nya Sabrina, dia pernah kecelakaan beberapa tahun lalu, wajahnya rusak parah. Akhirnya dia operasi plastik, tapi, sialnya, dia kena malpraktek. Wajahnya nggak bisa balik semula."

"Loh, nggak bisa ganti dokter?"

"Bisa. Tapi orang tua Sabrina nggak punya uang lagi."

"Jadi karena itu, dia main dukun?" tukas Kak Roger blak-blakan.

"Terus keadaan dia gimana, Kak?"

"Hm, dia di rumah sakit sekarang, Bil. Dia stres. Kasihan."

"Besok kita jenguk dia, ya," pintaku menatap mereka bertiga bergantian.

"Nggak salah lu?"

"Yuk, Bil, duluan." Kak Fajar baru saja pergi dari ruang latihan Taekwondo. Kali ini Kak Rayi dan Kak Bintang bolos latihan, karena mendapat tugas untuk mengisi salah satu acara di sekolah lain, mengenai kegiatan ekstrakulikuler taekwondo di sekolah kami. Alhasil aku harus pulang sendiri hari ini. Ruang latihan belum sepenuhnya sepi, masih ada beberapa orang yang mengobrol di ruang ganti ataupun di lantai ruang latihan kami.

Setelah mengambil tas yang disimpan di loker, aku segera berpamitan pada mereka semua. Dering pesan dari benda pipih di tanganku membuat langkahku terhenti. Beberapa pesan mulai masuk saat aku menyalakan ponselku ini.

[Sayang, maaf ya, aku nggak bisa antar pulang. Kamu nggak apa-apa, kan?]

[Sudah pulang, ya? Take care, ya. Kabarin aku kalau udah sampai rumah]

Kedua pesan itu membuat senyum ku terbit, tentu saja itu berasal dari Kak Rayi. Sesibuk apa pun dia sekarang, selalu menyempatkan memberi kabar atau menanyakan kabar. Lalu aku kembali menggulir layar hingga ke bawah, dan ada pesan lain di sana. Setelah membaca pesan itu, aku justru tidak membalas malah berlari kecil menuju halaman sekolah.

Seorang pria sudah berdiri di samping pintu mobil sambil memandang sekitar, kepulan asap rokok tampak jelas keluar dari hidung dan bibirnya. "Hm, mulai nge-rokok lagi si Papa," gumamku lalu berlari kecil menuju arahnya.

"Lama banget?" Pertanyaan itu mampu membuat senyum yang awalnya muncul, berubah menjadi bibir yang mengerucut.

"Ih, Papah kan udah bilang kalau hari ini latihan." Aku mulai merajuk manja, Papa lantas tertawa dan memelukku. "Begitu saja ngambek. Iya tau." Ini pertama kalinya setelah sekian lama Papa tidak menjemputku lagi. Karena biasanya aku pulang dengan Kak Rayi atau bersama tiga pria itu, Kak Bintang, Kak Rayi, dan Kak Roger. Papa terlihat senang saat aku mulai memiliki banyak teman. Apalagi beberapa waktu lalu aku mengundang teman sekelas untuk belajar kelompok di rumah.

Kami mulai memasuki mobil bersamaan, tapi tiba-tiba sekelebat bayangan lewat di atas kami. Kali ini aku tidak merasakannya seorang diri, karena justru Papa yang lebih dulu menatap ke atas langit. "Apa itu tadi, ya?" tanya Papa, entah ditujukan padaku atau dirinya sendiri.

Tentu hal ini makin menyimpan sejuta pertanyaan dalam benakku. Ini bukan pertama kalinya aku merasakan ada sesuatu di sekitarku, atau sesuatu yang sedang terbang dengan ukuran besar. Bukan burung atau sesuatu yang wajar. Karena bayangan yang baru saja lewat dan tercetak jelas di atas mobil adalah sesuatu yang cukup besar. Kami berdua melihatnya bersama-sama, jadi ini bukan hanya halusinasi salah satu di antara kami. Papa menyapu pandang ke atas dan kemudian ke sekitar sekolahku. "Bil, masuk mobil!" Kami berdua lantas segera meninggalkan halaman sekolah, pulang ke rumah.

___________________

"Bil, kamu siap-siap, ikut Papa sama Om Gio, kami mau ke rumah Om Dewa," jelas Papa yang hanya berdiri di balik pintu kamarku.

"Mau apa, Pah?"

"Om Dewa meninggal."

Aku terperangah atas berita barusan. Om Dewa meninggal? Bahkan aku sudah cukup lama tidak melihat dan bertemu Om Dewa, dan berita barusan cukup mengejutkan bagi ku. Papa juga terlihat sangat panik dan cepat cepat aku segera berkemas.

Om Dewa tinggal cukup jauh dari Ibukota. Dia tinggal di pulau Kalimantan bersama istrinya. Hanya saja memang dari cerita Papa, Om Dewa lebih sering bepergian menjelajah alam.

Kami sudah berada di Bandara. Menunggu beberapa teman dekat Papa yang juga akan bertolak ke Kalimantan, tempat tinggal Om Dewa. Itu artinya aku harus bolos sekolah selama beberapa hari. 

Di kejauhan terlihat Opa Hans dan Tante Jean dengan membawa koper di tangan mereka. Papa dan Om Gio saling berjabat tangan, dengan ekspresi serius di antara keempatnya. Aku paham situasinya, dan tidak banyak berkomentar atau bertanya.

"Wah, kamu sudah besar rupanya, Nabila?" tanya Tante Jean padaku. Dia kemudian memelukku erat dan tak henti-hentinya menatapku takjub.

Pesawat membawa kami terbang ke Tanah Borneo, bukan sebagai ajang liburan namun sebaliknya. Bahkan sejak tadi tidak ada tampak senyum di wajah para pria itu. Semua seolah masih dalam suasana duka, dengan diskusi yang tak berkesudahan. Bahkan aku tidak tau, apa yang membuat Om Dewa meninggal. Tante Jean duduk di sampingku, sibuk dengan laptop di pangkuannya. Dia tampak cantik walau di usia yang terbilang tak lagi muda.

"Tante ...."

"Hm? Kenapa, sayang?"
unclevello
tariganna
regmekujo
regmekujo dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.