- Beranda
- Stories from the Heart
Supernatural
...
TS
ny.sukrisna
Supernatural
Quote:
Mungkin agan di sini pernah baca cerita ane yang berjudul pancasona? Kali ini ane akan melanjutkan kisah itu di sini. Yang suka cerita genre fantasi, kasus pembunuhan berantai, gengster werewolf, vampire dan sejenisnya. Silakan mampir.


Quote:
INDEKS
Part 1 abimanyu maheswara
Part 2 abimanyu
Part 3 kalla
Part 4 siapa kalla
Part 5 seorang gadis
part 6 Ellea
part 7 taman
Part 8 kamar ellea
Part 9 pagi bersama ellea
Part 10 rencana
Part 11 tentang kalla
part 12 rumah elang
Part 13 kembali aktivitas
part 14 emosi elang
part 15 janin kalla
part 16 elang
Part 17 vin
Part 18 kantor
Part 19 kemunculan kalla
part 20 pulau titik nol kehidupan
part 21 desa terkutuk
Part 22 wira
Part 23 teman lama
Part 24 patung wira
part 25 teror di rumah John
part 26 tato
part 27 simbol aldebaro
part 28 buku
part 29 kantor kalla
part 30 batu saphire
part 31 Lian dan Ayu
part 32 kakak beradik yang kompak
part 33 penyusup
part 34 kalah jumlah
part 35 lorong rahasia
Part 36 masuk lorong
part 37 cairan aneh
part 38 rahasia kalandra
part 39 Nayaka adalah Kalandra
Part 40 kemampuan nayaka
Part 41 Arkie
Part 42 Arkie (2)
Part 43 peperangan
Part 44 berakhir
Part 45 desa abi
part 46 nabila
part 47 cafe abi
Part 48 Maya
part 49 riki kembali, risna terancam
part 50 iblis bertubuh manusia
part 51 bertemu eliza
part 52 Feliz
Part 53 Bisma
Part 54 ke mana bisma
part 55 rahasia mayat
part 56 bisma kabur
part 57 pertemuan tak terduga
part 58 penyelidikan
part 59 tabir rahasia
part 60 kebakaran
part 61 Bajra
part 62 pengorbanan Bajra
part 63 the best team
part 64 masa lalu
part 65 perang dimulai
part 66 kisah baru
part 67 bertemu vin
part 68 san paz
part 69 cafe KOV
part 70 demigod
part 71 california
part 72 Allea dan Ellea
part 73 rumah ellea
part 74 alan cha
part 75 latin kings
part 76 kediaman faizal
part 77 kematian faizal.
part 78 permainan
part 79 ellea cemburu
part 80 rumah
part 81 keributan
part 82 racun
part 83 mayat
part 84 rencana
part 85 kampung....
Part 86 kematian adi
part 87 tiga sekawan
part 88 zikal
part 89 duri dalam daging
part 90 kerja sama
part 91 Abraham alexi Bonar
part 92 terusir
part 93 penemuan mayat
part 94 dongeng manusia serigala
part 95 hewan atau manusia
part 96 Rendra adalah werewolf
part 97 Beta
part 98 melamar
part 99 pencarian lycanoid
part 100 siapa sebenarnya anda
part 101 terungkap kebenaran
part 102 kisah yang panjang
part 103 buku mantra
part 104 sebuah simbol
part 105 kaki tangan
part 106 pertikaian
part 107 bertemu elizabet
part 108 orang asing
part 109 mantra eksorsisme
part 110 Vin bersikap aneh
part 111 Samael
part 112 Linda sang paranormal
part 113 reinkarnasi
part 114 Nayla
part 115 Archangel
part 116 Flashback vin kesurupan
part 117 ritual
part 118 darah suci
part 119 Lasha
part 120 Amon
part 121 masa lalu arya
part 122 sekte sesat
part 123 sekte
part 124 bu rahayu
part 125 dhampire
part 126 penculikan
part 127 pengakuan rian.
part 128 azazil
part 129 ungkapan perasaan
part 130 perjalanan pertama
part 131 desa angukuni
part 132 Galiyan
part 133 hilang
part 134 Hans dan Jean
part 135 lintah Vlad
part 136 rahasia homestay
part 137 rumah kutukan
part 138 patung aneh
part 139 pulau insula mortem
part 140 mercusuar
part 141 kastil archanum
part 142 blue hole
part 143 jerogumo
part 144 timbuktu
part 145 gerbang gaib
part 146 hutan rougarau
part 147 bertemu azazil
part 148 SMU Mortus
part 149 Wendigo
part 150 danau misterius
part 151 jiwa yang hilang
part 152 serangan di rumah
part 153 misteri di sekolah
part 154 rumah rayi
part 155 makhluk lain di sekolah
part 156 Djin
part 157 menjemput jiwa
part 158 abitra
part 159 kepergian faza
part 160 Sabrina
part 161 puncak emosi
part 162 ilmu hitam
part 163 pertandingan basket
part 164 mariaban
part 165 Dagon
part 166 bantuan
INDEKS LANJUT DI SINI INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 16-05-2023 21:45
itkgid dan 12 lainnya memberi reputasi
13
13.5K
222
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#166
161 Puncak emosi
"Elu sudah pesen makan, Brin?" tanya Kak Rayi. Sabrina menatap ku sebal, aku merasakannya. Dia mengangguk dan kini Kak Rayi beralih menatapku yang duduk di samping nya. "Kamu mau makan apa, sayang?" tanyanya lembut.
"Yang biasa saja, Kak," sahutku dengan memaksakan senyum di bibir, melirik sekilas ke Sabrina dengan tatapan kemenangan. Yah, setidaknya satu sama. Pagi tadi dia sudah membuatku kesal, dan kini aku yang membuat nya sebal. Impas, kan?
"Oke, sayang. Tunggu bentar, ya." Ia beranjak tapi sebelumnya mengelus pucuk kepalaku dengan senyum semringah di sana, dan tentu tatapan teduhnya juga.
Kak Roger berdeham seolah tenggorokan nya tersangkut sesuatu. Aku meliriknya tajam setelah Kak Rayi pergi memesan makanan. "Apa sih!" gumamku sambil melebarkan mata. Dia malah diam dengan rahang yang terkatup. Tapi sorot matanya sungguh ingin membuatku melayangkan pukulan keras ke kepala nya.
Tiba- tiba gelas milik Kak Bintang tumpah karena tersenggol tangannya sendiri. Dia berusaha membersihkan nya dengan tissue sambil terus menerus meminta maaf. Hanya saja, tatapan mata nya terus menerobos di mana Sabrina berada. Ada apa ini?
"Biar aku ambilin lap, Kak. Pakai tissue malah banyak sampahnya. Kak Bintang diem saja sudah," suruhku dan segera beranjak mencair lap makan yang biasa ada di tiap meja. Tetapi saat ini di meja kami tidak ada. Mungkin ibu kantin lupa menaruh lap bersih tersebut seperti biasa nya.
Setelah mendapatkan lap dengan motif kotak-kotak perpaduan warna biru dan putih, aku segera membersihkan air tadi. Sambil sesekali melihat sorot mata Kak Bintang yang terasa kosong. Aku mendesis pelan ke Kak Roger, lalu melirik ke Kak Bintang sebagai bentuk usaha percakapan rahasia dengan bahasa isyarat ngawur yang semoga dia pahami. Kak Roger menaikkan kedua alisnya, ia melirik ke Kak Bintang dan kini bibirnya membentuk garis O. Kak Roger malah menggerakkan sudut bibir bagian kanan dan menunjuk ke tempat Sabrina duduk. Wanita itu tampak acuh, hanya memainkan sedotan yang ada di gelas minuman nya sambil menatap kosong ke sudut lain kantin.
Aku yang tidak paham, kembali mengangkat alis meminta penjelasan lebih lanjut. Kak Roger terus memberikan isyarat yang aku tidak paham sama sekali. Sampai akhirnya dia frustrasi dan meraih benda pipih dari saku kemeja nya. Ia mulai mengetik kalimat yang cukup panjang, dan kemudian ponselku bergetar, pertanda ada pesan masuk.
[Bintang sama Sabrina dulu pacaran. Tapi Sabrina malah naksir Rayi. Maka nya sekarang Bintang stres, kenapa ini perempuan muncul lagi sih. Heran gue!]
Dan pesan itu menjawab kebingungan ku sekarang. Rupanya ada cinta segi tiga di sini. Atau mungkin sekarang menjadi cinta belah ketupat? Karena ada aku di dalam nya. Huh, hal ini membuat kepalaku tiba-tiba berdenyut. Aku kini menekan kepalaku dan tak lama kemudian Kak Rayi muncul dengan makanan pesananku. "Selamat makan, sayang." Dua mangkuk bakso dengan ukuran jumbo sudah ada di hadapanku. Berikut dengan dua gelas lemon tea dingin.
"Kak Bintang udah makan?" tanyaku sambil mengelap sendok dan garpu dengan tissue.
"Sudah kok, Bil. Kamu makan aja yang banyak. Biar gendutan dikit," katanya dengan menarik kedua sudut bibirnya. Tangan kak Bintang dilipat di meja, depan dadanya. Dia terus menatapku yang sedang makan. Walau aku tidak melihatnya, tapi aku mampu merasakannya.
"Duh, perutku sakit!" erang Sabrina. Dan otomatis membuat kami semua beralih menatapnya.
"Kenapa, Brin?" tanya Kak Rayi. Cemas.
"Nggak tau, Yi. Sakit banget perut aku. Duh, Yi, gimana ini," rengeknya dengan terus menekan perutnya.
"Biar gue anter ke UKS, Brin," cetus Kak Roger menawarkan diri.
"Yi, anterin aku, Yi."
Kak Roger lantas menatap Kak Rayi yang kini juga sedang menatapnya. "Ayok, Yi! Buruan. Sakit banget!" erangnya makin menjadi.
"Hm, kagak laku lagi, gue," gerutu Kak Roger sambil menggumam.
"Ya sudah. Bentar, ya, Sayang," pamit Kak Rayi padaku. Lalu dia menuntun Sabrina meninggalkan kantin. Meninggalkan mangkuk baksonya yang masih belum habis, dan meninggalkanku yang kini hanya bisa menatapnya dari kejauhan.
Seketika nafsu makan ku hilang. Aku meletakkan sendok dan garpu dengan asal. Hingga menimbulkan suara riuh di meja kami. "Aku udah kenyang!" ujarku lalu beranjak dan pergi meninggalkan kantin diiringi jeritan Kak Roger yang tak patah arang memanggil namaku.
Saat hendak naik tangga, aku berhenti tiba-tiba. Entah kenapa, justru aku malah ingin melihat kondisi Sabrina dan Kak Rayi. Akhirnya aku memutuskan untuk datang ke UKS. Langkah kubuat cepat, karena aku sangat penasaran, apa yang sedang terjadi pada Sabrina. Apakah dia benar-benar sakit. Atau hanya pura-pura saja.
Sampai akhirnya aku sudah berada di pintu UKS. Pintu terbuka lebar. Netraku liar mencari keberadaan dua orang tadi. Dan aku menemukannya. Kak Rayi yang sedang berada di balik tirai pembatas antara ranjang di depannya dengan ranjang di sebelahnya. Dari tempatku berdiri, tidak terlihat dengan jelas apa yang sedang mereka lakukan.
Tapi tiba-tiba Kak Bintang muncul. Dia langsung menarik tanganku dan masuk ke dalam. Di sana, aku melihatnya. Sabrina sedang memeluk leher Kak Rayi. Dan Kak Rayi memegang pinggang wanita itu. Wajah mereka begitu dekat. Bibir mereka saling menempel. Dan itu membuat hatiku terasa amat sakit.
"Menjijikkan!" umpat Kak Bintang. Lalu menarik tanganku lagi pergi.
Tapi rupanya dua orang tadi menyadari kedatangan kami. Kak Rayi segera melepaskan tangannya dari pinggang Sabrina. Bahkan terkesan mendorong tubuhnya kasar.
"Bil! Nabila!" jeritnya. Aku hanya menatapnya nanar sambil menahan air mata yang sudah jatuh melewati pipi.
Kak Bintang terus membawaku pergi dan tidak memperdulikan jeritan Kak Rayi.
Sepanjang jalan, aku terus tergugu. Berkali-kali mengusap pipi agar air mataku tidak terlihat. Sampai akhirnya kami berada di sudut belakang sekolah, dan tiba-tiba Kak Bintang langsung memelukku erat. Dan otomatis aku makin mengeraskan jeritanku di balik pelukannya.
"Menangislah, Bil. Setidaknya kamu harus meluapkan nya. Jangan ditahan."
"...." masih berada di pelukan Kak Bintang aku memang tidak mampu menghentikan air mata yang jatuh.
"Aku pun merasakan sakit yang sama. Kamu tau? Kalau aku mencintai dia sejak dulu. Aku dan Sabrina adalah teman sejak kecil. Dan aku sudah menyukainya sejak saat itu. Tapi setelah dia ketemu Rayi, semua berubah. Aku sakit hati. Tapi aku coba buat bersikap biasa aja. Karena Rayi memang nggak tertarik sama Sabrina. Apalagi sekarang ada kamu. Cuma, Sabrina sangat agresif. Dia nggak akan melepaskan Rayi begitu saja."
"Terus aku harus gimana, Kak?! Apa aku harus mengalah begitu saja?!" tanyaku dengan penuh emosi.
"Aku juga nggak tau, Bil."
________
Bel pulang baru saja berdering nyaring. Sejak istirahat siang tadi hingga akhirnya pulang sekolah, pikiranku tidak berada di sini. Aku banyak melamun dengan mata bengkak. Zidan beberapa kali melirik padaku. Dia pasti sadar ada yang terjadi padaku. Tapi setiap Zidan bertanya, aku selalu mengelak dan mengatakan kalau aku baik-baik saja.
"Bil!" panggil Zidan saat kami keluar dari kelas. Aku berjalan santai tanpa menanggapinya serius. "Lu kenapa sih?" tanyanya lagi.
"Kan udah dibilang, nggak apa-apa," sahutku santai.
"Bohong! Cerita dong, Bil. Ada apa sih? Ada masalah sama siapa?"
Zidan terus saja mengejar ku hingga kami turun ke tangga. Dia juga terus menghujaniku dengan berbagai pertanyaan, sekaligus segala kemungkinan atas sikapku sekarang.
"Kak Rayi, ya? Iya? Hey, Bil!" Zidan bahkan sampai memegang tanganku, dan menahan langkahku untuk terus turun ke bawah melewati tangga ini. Padahal sudah setengah jalan, dan kini kami berdiri di tengah-tengah. Beberapa teman menerobos di antara kami, ada yang mengomel karena merasa langkah mereka terhalang oleh kami, ada yang hanya menatap sinis, dan masih banyak lagi reaksi mereka.
Aku makin mempercepat langkah, menghindari segala pertanyaan beruntun dari Zidan. Rasanya aku sedang malas berbincang atau bahkan membahas tentang perasaanku sekarang. Ingin segera pulang dan tidur di kasurku yang empuk. Aku melewati gedung ruang kelas 2. Melirik sekilas ke arah pintu kelas Kak Rayi. Beberapa siswa keluar dari ruang kelas itu, tapi sepertinya kelas kak Rayi sudah lebih dahulu pulang. Alhasil aku tidak melihat keberadaannya. Dalam hati kecilku, aku berpikir kalau dia masih di UKS bersama Sabrina. Huh, membuat hatiku kembali nyeri saja.
Beberapa kali teman sekelas menyapa saat menyalipku dengan kendaraan mereka. Aku hanya melambaikan tangan melepas kepergian mereka. Namun saat melihat ke arah pelataran parkir, Kak Rayi ternyata ada di sana, sedang mengeluarkan motornya. Namun di sana juga ada Sabrina yang sedang memegangi tas milik Kak Rayi di pelukannya. Pemandangan itu berakhir dengan Sabrina naik ke jok belakang motor Kak Rayi.
"Damn it!" umpatku, lalu berjalan pergi meninggalkan sekolah. Berusaha agar keberadaanku tidak terlihat oleh Kak Rayi. Hatiku sangat sakit melihat dia pergi tak menoleh padaku, bahkan dia seolah tidak mencariku setelah kejadian di UKS tadi. Ditambah dengan Sabrina yang kini tengah memeluknya erat. Seharusnya aku bisa menghadang mereka dan menarik Sabrina agar turun dari motor kekasihku, tetapi rasanya aku belum siap untuk melakukan hal itu.
Kak Rayi melajukan motornya meninggalkan sekolah dengan Sabrina di belakangnya. Mataku mulai basah, aku menarik nafas dalam-dalam dan berusaha melihat ke arah lain. Berharap air mata yang hendak tumpah bisa kembali masuk ke dalam rongga dalam mataku. Aku tidak boleh menangis. Tidak boleh.
"Bil?!" panggil seseorang yang tiba-tiba muncul dari arah belakang dan mensejajariku.
"Apa?" tanyaku dingin, tak mau menatapnya. Sementara dia menatap ke arah pintu gerbang sekolah, di mana suara motor Kak Rayi masih terdengar dari tempatku berdiri.
"Hm. Gue anter pulang yuk," ajak Zidan.
"Nggak usah. Bisa pulang sendiri kok. Lagian arah rumah kita beda, Dan!" Aku kembali berjalan, tak menghiraukan panggilan Zidan walau dia terus mengejarku.
Kini aku berjalan seorang diri melewati trotoar. Jalanan ini masih banyak pohon Tabebuya yang kini mekar dengan warna bunga kuning. Aku mendongak untuk menatap keindahan barisan pohon yang di tanam rapi di pinggir jalan ini. Aku bahkan tidak memperhatikan jalan, entah ke mana langkah kaki ini akan membawaku, aku terus saja melangkah mengikuti barisan pohon Tabebuya ini.
Sampai akhirnya aku mendengar langkah kaki beberapa orang yang ada di sekitarku. "Mau ke mana, Neng?" tanya salah satu dari mereka.
Aku lantas berhenti, menoleh ke sekitar dan rupanya ada beberapa pria yang mengelilingiku dengan penampilan yang berantakan. Mereka mirip sekali dengan berandalan di film-film. Aku terjebak, saat menyadari kalau sudah berada di lingkungan yang sepi. Hanya ada beberapa kendaraan yang lewat, itu pun juga sangat jarang.
"Maaf, jangan ganggu saya!" kataku tegas. Mencoba menerobos mereka yang makin memperkuat lingkaran di sekitarku.
"Mau ke mana sih? Buru-buru sekali?" tanya salah satu dari mereka dengan nada menggoda sambil mencoba meraih tanganku. Buru-buru aku menepisnya dan memberikan tatapan tajam padanya.
"Jangan sentuh saya!" bentakku dengan kedua bola mata yang melebar.
"Wow, garang sekali ya," ujar yang lain. Kini aku seolah menjadi bulan-bulanan mereka. Tetapi aku tidak takut, apalagi di saat suasana hatiku yang kacau seperti sekarang, aku membutuhkan pelampiasan atas amarahku.
Mereka mulai mendekat, aku langsung menginjak kaki salah satu dari mereka kuat-kuat. Dia mengerang kesakitan dan membuat teman-temannya yang lain melotot melihatku. "Kurang ajar!" umpat salah satu dari mereka.
Aku lantas mulai melakukan perlawanan terhadap lima orang ini. Walau ada beberapa tubuh mereka yang cukup tambun, aku merasa itu bukan hal sulit. Satu persatu dari mereka mulai aku lumpuhkan. Namun aku yang merasa di atas angin, lengah, sehingga ada seseorang yang memukulku dari belakang hingga aku jatuh ke jalan beraspal ini. Aku segera menoleh dan berusaha untuk bangkit, kini tanpa persiapan, aku kembali terkena pukulan di pipi dan perut.
Tiba-tiba datang sebuah mobil yang plat nomornya sangat kukenal. Keluarlah dua orang dari dalam sana, dan mulai menyerang orang-orang yang mengeroyokku. Aku hanya duduk di aspal begitu saja, aku lelah. Bahkan aku merebahkan tubuhku begitu saja di sana. "Bil, lu nggak apa-apa?" tanya Kak Roger panik. Aku hanya mengangguk pelan, dan Kak Roger membantu Kak Bintang melawan mereka semua.
Langit begitu indah dengan warna biru cerah, hamparan awan terlihat bagai seseorang yang kurindukan sekaligus orang yang kubenci sekarang. Kak Rayi. Sore ini aku menikmati suasana langit, dengan burung-burung yang lewat di atasku yang akan kembali ke peraduan, diiringi suara perkelahian mereka yang berada tak jauh dari tempatku. Aku menarik kedua sudut bibirku dengan derai air mata yang melewati pelipis mata. Bahkan aku kini tak malu dengan tangisan ini, yang sampai menimbulkan suara, tergugu dengan kencang. Begini, kah, rasanya patah hati?
Barisan pohon tabebuya menjadi pemandangan yang tidak bisa ku nikmati seperti biasanya. Kepala kusandarkan di kaca jendela samping. Netraku hanya terpaku pada barisan pohon dengan bunga berwana kuning cerah tersebut. Di beberapa ruas jalan kotaku memang banyak ditanam pohon ini. Selain untuk membuat jalanan menjadi rindang juga saat bunga tabebuya mekar, maka akan terasa seperti di Jepang. Jepang punya sakura, sementara Indonesia punya tabebuya.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kini aku bersama dua pria yang merupakan teman baik Kak Rayi sekaligus sudah akrab denganku. Mereka akan mengantarkan aku pulang. Walau awalnya aku menolak, tapi kemudian Kak Bintang menarik tanganku hingga masuk ke dalam mobil. Sikap Kak Bintang agak lain, dia sangat posesif dan dingin. Aku tau kalau dia juga merasakan sakit yang kurasakan sekarang. Bedanya dia terlihat lebih tenang, mungkin begitulah caranya untuk meluapkan emosinya. Berbeda denganku.
Mobil mulai memasuki halaman rumah. Di garasi tampak ada mobil Papa parkir di sana. Itu artinya Papa ada di rumah sekarang.
"Lu nggak apa-apa, kan, Bil? Atau kita temenin masuk? Mungkin butuh hiburan gratis? Gue siap jadi badut," kata Kak Roger dengan menoleh ke belakang. Aku hanya menarik satu sudut bibir dan menggeleng. "Aku baik-baik aja. Makasih, ya, kak."
Pintu mobil kubuka, dan aku pun turun. Mereka berdua lantas segera pergi dari halaman rumahku. Masih diam, terpaku di tempatku berdiri. Rasanya aku tidak bersemangat untuk melakukan apa pun. Bernafas saja rasanya sesak.
Pintu rumahku terbuka lebar. Aku masuk dengan santai, hingga sampai ke ruang makan, ada Papa sedang duduk sambil menikmati kopi dan kue. Koran di tangannya kemudian ditutup saat melihat kedatanganku.
"Sore banget, Bil? Ada kegiatan sekolah?" tanya Papa. Aku berjalan melewati Papa menuju lemari pendingin. Mengambil botol jus buah yang selalu dibuat oleh Bibi setiap pagi.
"Iya, Pa. Papa tumben di rumah," cetusku dengan nada lemas. Kemudian duduk di kursi dekat Papa. Tanpa menoleh atau balik menatap pria di dekatku ini, langsung aku meneguk jus tersebut dari botol nya.
"Nabila? Are you oke?" tanya Papa mendekatkan wajahnya padaku.
"Iam fine, Dad."
"Itu kenapa muka kamu?" tanya Papa sambil menunjuk wajahku. Aku meraba bagian yang Papa tunjuk dan baru menyadari kalau ternyata luka ini masih ada. Anehnya mengapa aku tidak merasakan sakitnya?
"Biasalah, Pa. Anakmu ini kan, jagoan," ujarku bangga. Papa tersenyum tipis. "Papa siap mendengarkan apa pun, kalau kamu butuh teman cerita."
Aku tersenyum mendengarnya. Rasanya apa yang Papa katakan barusan sangat tulus, dan jarang kudengar, bahkan pertama kalinya aku mendengar kalimat itu terlontar dari mulut Papa. Setidaknya aku bisa tersenyum dengan ikhlas sekarang.
"Aku ke kamar dulu ya, Pa. Capek."
"Oke. Istirahat, sayang."
__________
Guyuran air dari shower membuat tubuhku terasa lebih nyaman. Rasa lelahku terasa ikut mengalir bersama air hangat ini. Namun saat aku memejamkan mata, bayangan semua kejadian seolah kembali diputar otomatis oleh otak. Hal ini membuat hatiku kembali sakit, hingga aku tergugu, lagi.
Rambutku yang basah, masih kugelung dengan handuk. Aku sudah berganti mengenakan piyama tidur dengan gambar hello kitty. Duduk di balkon kamar ditemani secangkir cokelat hangat buatan ku sendiri. Telinga ku sumpal dengan headset, sampai-sampai tidak ada suara lain yang kudengar selain musik yang sedang ku putar sekarang.
Namun sinar lampu sebuah mobil yang baru saja masuk ke halaman rumah, cukup menarik perhatianku. Kak Rayi datang, dan disambut baik oleh Papa di bawah. Setelah bertegur sapa, mereka mendongak ke arah kamarku. Tentu saja keberadaan ku segera diketahui oleh mereka. Papa melambaikan tangan, menyuruhku untuk segera turun. Sementara Kak Rayi tersenyum di bawah sana dengan memegang sebuket bunga mawar hitam favorit ku.
Terpaksa aku harus turun ke bawah. Tidak mungkin mengelak lagi. Lagi pula, aku ingin bertemu Kak Rayi. Aku ingin mendengar penjelasannya tentang masalah tadi.
"Nah itu Nabila udah turun. Ya sudah, Om tinggal dulu, ya," kata Papa. Lalu pamit kembali masuk ke dalam. Kak Rayi yang awalnya duduk, lantas berdiri menyambut kedatanganku.
"Kamu belum tidur, kan? Eum, ini buat kamu," katanya sambil mengulurkan bunga tersebut.
Aku meraihnya dengan ekspresi dingin. "Mau apa?" tanyaku ketus. Melihat sikapku tersebut, senyum Kak Rayi memudar. Dia menunduk, sambil memainkan kakinya. Lalu menatapku lagi.
"Bil, aku ... Aku mau minta maaf."
"Maaf untuk?"
"Untuk semua. Aku minta maaf. Aku ke sini juga mau ... Mau ...."
"Mau apa?"
"Sebaiknya untuk sementara kita break dulu, Bil."
Deg! Jantung berdesir. Tidak percaya atas perkataan yang terucap dari mulut Kak Rayi.
"Maksud kamu? Putus?!"
"Bukan, Bil. Bukan putus. Jadi gini, aku baru tau kalau Sabrina sakit. Dia kena kanker, dan butuh bantuanku. Aku cuma takut, ganggu waktu kita. Aku pengen fokus bantu Sabrina dulu, kasihan. Orang tuanya jauh. Dia mohon-mohon sama aku, dan aku nggak enak buat nolaknya. Please, ngertiin aku, ya, sayang." Kak Rayi mendekat dan berusaha meraih tanganku. Aku langsung menepisnya kasar.
"Nggak perlu minta maaf. Oke, kalau mau Kak Rayi begitu. Kita ... putus!" kataku datar.
"Loh, Bil. Enggak gitu. Please. Aku masih sayang kamu, Bil. Jangan gini dong, sayang." Dia menjambak rambutnya sendiri, dan terlihat sangat frustrasi.
"Aku ngerti kok. Dia jauh lebih penting. Kesembuhan Sabrina jauh lebih penting. Aku ... Aku baik-baik aja. Jadi kamu nggak usah khawatirin aku."
"Bukan gitu sayang." Berkali kali dia terus berusaha melakukan kontak fisik denganku, tapi aku selalu menghindar.
"Kenyataan seperti itu kok. Buktinya, Sabrina mengeluh sedikit aja, kamu langsung peduli sama dia. Kamu tinggalin aku gitu aja, tanpa tau gimana perasaanku saat itu. Kamu nggak tau gimana sakit hatiku saat melihat kalian berciuman. Kamu nggak tau kecewanya aku, saat dia duduk di jok motor kamu. Kamu nggak noleh sedikitpun ke aku saat ada wanita itu! Jadi semua udah jelas, dia ...," ungkapku sambil menunjuk arah lain, "jauh lebih penting dari aku! Pacar kamu sendiri. Jadi buat apa kita pacaran? Mendingan kita putus! Kamu bisa fokus sama dia, aku nggak perlu sakit hati lagi!" kataku tegas.
"Tapi, sayang ...."
"Stop! Jangan panggil aku sayang lagi! Aku udah muak!" Aku mendongak dan menatap wajah Kak Rayi dari jarak dekat. Aku sungguh kesal saat ini. Rasanya aku ingin memukul seseorang sekarang.
"Tunggu. Wajah kamu kenapa? Kok lebam gini? Kamu kenapa, Bil?" tanya nya sambil. Berusaha menyentuh pipiku. Lagi lagi aku kembali menepis tangan nya sebelum sampai ke wajahku.
"Itu nggak penting. Lebih penting Sabrinamu!" kataku lalu masuk ke dalam rumah. Panggilan Kak Rayi tidak kuhiraukan. Aku masih berdiri di belakang pintu sambil terisak. Sesak. Dadaku terasa sesak. Ini, kah, rasanya sakit hati? Astaga, cinta ternyata tidak selalu indah.
"Yang biasa saja, Kak," sahutku dengan memaksakan senyum di bibir, melirik sekilas ke Sabrina dengan tatapan kemenangan. Yah, setidaknya satu sama. Pagi tadi dia sudah membuatku kesal, dan kini aku yang membuat nya sebal. Impas, kan?
"Oke, sayang. Tunggu bentar, ya." Ia beranjak tapi sebelumnya mengelus pucuk kepalaku dengan senyum semringah di sana, dan tentu tatapan teduhnya juga.
Kak Roger berdeham seolah tenggorokan nya tersangkut sesuatu. Aku meliriknya tajam setelah Kak Rayi pergi memesan makanan. "Apa sih!" gumamku sambil melebarkan mata. Dia malah diam dengan rahang yang terkatup. Tapi sorot matanya sungguh ingin membuatku melayangkan pukulan keras ke kepala nya.
Tiba- tiba gelas milik Kak Bintang tumpah karena tersenggol tangannya sendiri. Dia berusaha membersihkan nya dengan tissue sambil terus menerus meminta maaf. Hanya saja, tatapan mata nya terus menerobos di mana Sabrina berada. Ada apa ini?
"Biar aku ambilin lap, Kak. Pakai tissue malah banyak sampahnya. Kak Bintang diem saja sudah," suruhku dan segera beranjak mencair lap makan yang biasa ada di tiap meja. Tetapi saat ini di meja kami tidak ada. Mungkin ibu kantin lupa menaruh lap bersih tersebut seperti biasa nya.
Setelah mendapatkan lap dengan motif kotak-kotak perpaduan warna biru dan putih, aku segera membersihkan air tadi. Sambil sesekali melihat sorot mata Kak Bintang yang terasa kosong. Aku mendesis pelan ke Kak Roger, lalu melirik ke Kak Bintang sebagai bentuk usaha percakapan rahasia dengan bahasa isyarat ngawur yang semoga dia pahami. Kak Roger menaikkan kedua alisnya, ia melirik ke Kak Bintang dan kini bibirnya membentuk garis O. Kak Roger malah menggerakkan sudut bibir bagian kanan dan menunjuk ke tempat Sabrina duduk. Wanita itu tampak acuh, hanya memainkan sedotan yang ada di gelas minuman nya sambil menatap kosong ke sudut lain kantin.
Aku yang tidak paham, kembali mengangkat alis meminta penjelasan lebih lanjut. Kak Roger terus memberikan isyarat yang aku tidak paham sama sekali. Sampai akhirnya dia frustrasi dan meraih benda pipih dari saku kemeja nya. Ia mulai mengetik kalimat yang cukup panjang, dan kemudian ponselku bergetar, pertanda ada pesan masuk.
[Bintang sama Sabrina dulu pacaran. Tapi Sabrina malah naksir Rayi. Maka nya sekarang Bintang stres, kenapa ini perempuan muncul lagi sih. Heran gue!]
Dan pesan itu menjawab kebingungan ku sekarang. Rupanya ada cinta segi tiga di sini. Atau mungkin sekarang menjadi cinta belah ketupat? Karena ada aku di dalam nya. Huh, hal ini membuat kepalaku tiba-tiba berdenyut. Aku kini menekan kepalaku dan tak lama kemudian Kak Rayi muncul dengan makanan pesananku. "Selamat makan, sayang." Dua mangkuk bakso dengan ukuran jumbo sudah ada di hadapanku. Berikut dengan dua gelas lemon tea dingin.
"Kak Bintang udah makan?" tanyaku sambil mengelap sendok dan garpu dengan tissue.
"Sudah kok, Bil. Kamu makan aja yang banyak. Biar gendutan dikit," katanya dengan menarik kedua sudut bibirnya. Tangan kak Bintang dilipat di meja, depan dadanya. Dia terus menatapku yang sedang makan. Walau aku tidak melihatnya, tapi aku mampu merasakannya.
"Duh, perutku sakit!" erang Sabrina. Dan otomatis membuat kami semua beralih menatapnya.
"Kenapa, Brin?" tanya Kak Rayi. Cemas.
"Nggak tau, Yi. Sakit banget perut aku. Duh, Yi, gimana ini," rengeknya dengan terus menekan perutnya.
"Biar gue anter ke UKS, Brin," cetus Kak Roger menawarkan diri.
"Yi, anterin aku, Yi."
Kak Roger lantas menatap Kak Rayi yang kini juga sedang menatapnya. "Ayok, Yi! Buruan. Sakit banget!" erangnya makin menjadi.
"Hm, kagak laku lagi, gue," gerutu Kak Roger sambil menggumam.
"Ya sudah. Bentar, ya, Sayang," pamit Kak Rayi padaku. Lalu dia menuntun Sabrina meninggalkan kantin. Meninggalkan mangkuk baksonya yang masih belum habis, dan meninggalkanku yang kini hanya bisa menatapnya dari kejauhan.
Seketika nafsu makan ku hilang. Aku meletakkan sendok dan garpu dengan asal. Hingga menimbulkan suara riuh di meja kami. "Aku udah kenyang!" ujarku lalu beranjak dan pergi meninggalkan kantin diiringi jeritan Kak Roger yang tak patah arang memanggil namaku.
Saat hendak naik tangga, aku berhenti tiba-tiba. Entah kenapa, justru aku malah ingin melihat kondisi Sabrina dan Kak Rayi. Akhirnya aku memutuskan untuk datang ke UKS. Langkah kubuat cepat, karena aku sangat penasaran, apa yang sedang terjadi pada Sabrina. Apakah dia benar-benar sakit. Atau hanya pura-pura saja.
Sampai akhirnya aku sudah berada di pintu UKS. Pintu terbuka lebar. Netraku liar mencari keberadaan dua orang tadi. Dan aku menemukannya. Kak Rayi yang sedang berada di balik tirai pembatas antara ranjang di depannya dengan ranjang di sebelahnya. Dari tempatku berdiri, tidak terlihat dengan jelas apa yang sedang mereka lakukan.
Tapi tiba-tiba Kak Bintang muncul. Dia langsung menarik tanganku dan masuk ke dalam. Di sana, aku melihatnya. Sabrina sedang memeluk leher Kak Rayi. Dan Kak Rayi memegang pinggang wanita itu. Wajah mereka begitu dekat. Bibir mereka saling menempel. Dan itu membuat hatiku terasa amat sakit.
"Menjijikkan!" umpat Kak Bintang. Lalu menarik tanganku lagi pergi.
Tapi rupanya dua orang tadi menyadari kedatangan kami. Kak Rayi segera melepaskan tangannya dari pinggang Sabrina. Bahkan terkesan mendorong tubuhnya kasar.
"Bil! Nabila!" jeritnya. Aku hanya menatapnya nanar sambil menahan air mata yang sudah jatuh melewati pipi.
Kak Bintang terus membawaku pergi dan tidak memperdulikan jeritan Kak Rayi.
Sepanjang jalan, aku terus tergugu. Berkali-kali mengusap pipi agar air mataku tidak terlihat. Sampai akhirnya kami berada di sudut belakang sekolah, dan tiba-tiba Kak Bintang langsung memelukku erat. Dan otomatis aku makin mengeraskan jeritanku di balik pelukannya.
"Menangislah, Bil. Setidaknya kamu harus meluapkan nya. Jangan ditahan."
"...." masih berada di pelukan Kak Bintang aku memang tidak mampu menghentikan air mata yang jatuh.
"Aku pun merasakan sakit yang sama. Kamu tau? Kalau aku mencintai dia sejak dulu. Aku dan Sabrina adalah teman sejak kecil. Dan aku sudah menyukainya sejak saat itu. Tapi setelah dia ketemu Rayi, semua berubah. Aku sakit hati. Tapi aku coba buat bersikap biasa aja. Karena Rayi memang nggak tertarik sama Sabrina. Apalagi sekarang ada kamu. Cuma, Sabrina sangat agresif. Dia nggak akan melepaskan Rayi begitu saja."
"Terus aku harus gimana, Kak?! Apa aku harus mengalah begitu saja?!" tanyaku dengan penuh emosi.
"Aku juga nggak tau, Bil."
________
Bel pulang baru saja berdering nyaring. Sejak istirahat siang tadi hingga akhirnya pulang sekolah, pikiranku tidak berada di sini. Aku banyak melamun dengan mata bengkak. Zidan beberapa kali melirik padaku. Dia pasti sadar ada yang terjadi padaku. Tapi setiap Zidan bertanya, aku selalu mengelak dan mengatakan kalau aku baik-baik saja.
"Bil!" panggil Zidan saat kami keluar dari kelas. Aku berjalan santai tanpa menanggapinya serius. "Lu kenapa sih?" tanyanya lagi.
"Kan udah dibilang, nggak apa-apa," sahutku santai.
"Bohong! Cerita dong, Bil. Ada apa sih? Ada masalah sama siapa?"
Zidan terus saja mengejar ku hingga kami turun ke tangga. Dia juga terus menghujaniku dengan berbagai pertanyaan, sekaligus segala kemungkinan atas sikapku sekarang.
"Kak Rayi, ya? Iya? Hey, Bil!" Zidan bahkan sampai memegang tanganku, dan menahan langkahku untuk terus turun ke bawah melewati tangga ini. Padahal sudah setengah jalan, dan kini kami berdiri di tengah-tengah. Beberapa teman menerobos di antara kami, ada yang mengomel karena merasa langkah mereka terhalang oleh kami, ada yang hanya menatap sinis, dan masih banyak lagi reaksi mereka.
Aku makin mempercepat langkah, menghindari segala pertanyaan beruntun dari Zidan. Rasanya aku sedang malas berbincang atau bahkan membahas tentang perasaanku sekarang. Ingin segera pulang dan tidur di kasurku yang empuk. Aku melewati gedung ruang kelas 2. Melirik sekilas ke arah pintu kelas Kak Rayi. Beberapa siswa keluar dari ruang kelas itu, tapi sepertinya kelas kak Rayi sudah lebih dahulu pulang. Alhasil aku tidak melihat keberadaannya. Dalam hati kecilku, aku berpikir kalau dia masih di UKS bersama Sabrina. Huh, membuat hatiku kembali nyeri saja.
Beberapa kali teman sekelas menyapa saat menyalipku dengan kendaraan mereka. Aku hanya melambaikan tangan melepas kepergian mereka. Namun saat melihat ke arah pelataran parkir, Kak Rayi ternyata ada di sana, sedang mengeluarkan motornya. Namun di sana juga ada Sabrina yang sedang memegangi tas milik Kak Rayi di pelukannya. Pemandangan itu berakhir dengan Sabrina naik ke jok belakang motor Kak Rayi.
"Damn it!" umpatku, lalu berjalan pergi meninggalkan sekolah. Berusaha agar keberadaanku tidak terlihat oleh Kak Rayi. Hatiku sangat sakit melihat dia pergi tak menoleh padaku, bahkan dia seolah tidak mencariku setelah kejadian di UKS tadi. Ditambah dengan Sabrina yang kini tengah memeluknya erat. Seharusnya aku bisa menghadang mereka dan menarik Sabrina agar turun dari motor kekasihku, tetapi rasanya aku belum siap untuk melakukan hal itu.
Kak Rayi melajukan motornya meninggalkan sekolah dengan Sabrina di belakangnya. Mataku mulai basah, aku menarik nafas dalam-dalam dan berusaha melihat ke arah lain. Berharap air mata yang hendak tumpah bisa kembali masuk ke dalam rongga dalam mataku. Aku tidak boleh menangis. Tidak boleh.
"Bil?!" panggil seseorang yang tiba-tiba muncul dari arah belakang dan mensejajariku.
"Apa?" tanyaku dingin, tak mau menatapnya. Sementara dia menatap ke arah pintu gerbang sekolah, di mana suara motor Kak Rayi masih terdengar dari tempatku berdiri.
"Hm. Gue anter pulang yuk," ajak Zidan.
"Nggak usah. Bisa pulang sendiri kok. Lagian arah rumah kita beda, Dan!" Aku kembali berjalan, tak menghiraukan panggilan Zidan walau dia terus mengejarku.
Kini aku berjalan seorang diri melewati trotoar. Jalanan ini masih banyak pohon Tabebuya yang kini mekar dengan warna bunga kuning. Aku mendongak untuk menatap keindahan barisan pohon yang di tanam rapi di pinggir jalan ini. Aku bahkan tidak memperhatikan jalan, entah ke mana langkah kaki ini akan membawaku, aku terus saja melangkah mengikuti barisan pohon Tabebuya ini.
Sampai akhirnya aku mendengar langkah kaki beberapa orang yang ada di sekitarku. "Mau ke mana, Neng?" tanya salah satu dari mereka.
Aku lantas berhenti, menoleh ke sekitar dan rupanya ada beberapa pria yang mengelilingiku dengan penampilan yang berantakan. Mereka mirip sekali dengan berandalan di film-film. Aku terjebak, saat menyadari kalau sudah berada di lingkungan yang sepi. Hanya ada beberapa kendaraan yang lewat, itu pun juga sangat jarang.
"Maaf, jangan ganggu saya!" kataku tegas. Mencoba menerobos mereka yang makin memperkuat lingkaran di sekitarku.
"Mau ke mana sih? Buru-buru sekali?" tanya salah satu dari mereka dengan nada menggoda sambil mencoba meraih tanganku. Buru-buru aku menepisnya dan memberikan tatapan tajam padanya.
"Jangan sentuh saya!" bentakku dengan kedua bola mata yang melebar.
"Wow, garang sekali ya," ujar yang lain. Kini aku seolah menjadi bulan-bulanan mereka. Tetapi aku tidak takut, apalagi di saat suasana hatiku yang kacau seperti sekarang, aku membutuhkan pelampiasan atas amarahku.
Mereka mulai mendekat, aku langsung menginjak kaki salah satu dari mereka kuat-kuat. Dia mengerang kesakitan dan membuat teman-temannya yang lain melotot melihatku. "Kurang ajar!" umpat salah satu dari mereka.
Aku lantas mulai melakukan perlawanan terhadap lima orang ini. Walau ada beberapa tubuh mereka yang cukup tambun, aku merasa itu bukan hal sulit. Satu persatu dari mereka mulai aku lumpuhkan. Namun aku yang merasa di atas angin, lengah, sehingga ada seseorang yang memukulku dari belakang hingga aku jatuh ke jalan beraspal ini. Aku segera menoleh dan berusaha untuk bangkit, kini tanpa persiapan, aku kembali terkena pukulan di pipi dan perut.
Tiba-tiba datang sebuah mobil yang plat nomornya sangat kukenal. Keluarlah dua orang dari dalam sana, dan mulai menyerang orang-orang yang mengeroyokku. Aku hanya duduk di aspal begitu saja, aku lelah. Bahkan aku merebahkan tubuhku begitu saja di sana. "Bil, lu nggak apa-apa?" tanya Kak Roger panik. Aku hanya mengangguk pelan, dan Kak Roger membantu Kak Bintang melawan mereka semua.
Langit begitu indah dengan warna biru cerah, hamparan awan terlihat bagai seseorang yang kurindukan sekaligus orang yang kubenci sekarang. Kak Rayi. Sore ini aku menikmati suasana langit, dengan burung-burung yang lewat di atasku yang akan kembali ke peraduan, diiringi suara perkelahian mereka yang berada tak jauh dari tempatku. Aku menarik kedua sudut bibirku dengan derai air mata yang melewati pelipis mata. Bahkan aku kini tak malu dengan tangisan ini, yang sampai menimbulkan suara, tergugu dengan kencang. Begini, kah, rasanya patah hati?
Barisan pohon tabebuya menjadi pemandangan yang tidak bisa ku nikmati seperti biasanya. Kepala kusandarkan di kaca jendela samping. Netraku hanya terpaku pada barisan pohon dengan bunga berwana kuning cerah tersebut. Di beberapa ruas jalan kotaku memang banyak ditanam pohon ini. Selain untuk membuat jalanan menjadi rindang juga saat bunga tabebuya mekar, maka akan terasa seperti di Jepang. Jepang punya sakura, sementara Indonesia punya tabebuya.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kini aku bersama dua pria yang merupakan teman baik Kak Rayi sekaligus sudah akrab denganku. Mereka akan mengantarkan aku pulang. Walau awalnya aku menolak, tapi kemudian Kak Bintang menarik tanganku hingga masuk ke dalam mobil. Sikap Kak Bintang agak lain, dia sangat posesif dan dingin. Aku tau kalau dia juga merasakan sakit yang kurasakan sekarang. Bedanya dia terlihat lebih tenang, mungkin begitulah caranya untuk meluapkan emosinya. Berbeda denganku.
Mobil mulai memasuki halaman rumah. Di garasi tampak ada mobil Papa parkir di sana. Itu artinya Papa ada di rumah sekarang.
"Lu nggak apa-apa, kan, Bil? Atau kita temenin masuk? Mungkin butuh hiburan gratis? Gue siap jadi badut," kata Kak Roger dengan menoleh ke belakang. Aku hanya menarik satu sudut bibir dan menggeleng. "Aku baik-baik aja. Makasih, ya, kak."
Pintu mobil kubuka, dan aku pun turun. Mereka berdua lantas segera pergi dari halaman rumahku. Masih diam, terpaku di tempatku berdiri. Rasanya aku tidak bersemangat untuk melakukan apa pun. Bernafas saja rasanya sesak.
Pintu rumahku terbuka lebar. Aku masuk dengan santai, hingga sampai ke ruang makan, ada Papa sedang duduk sambil menikmati kopi dan kue. Koran di tangannya kemudian ditutup saat melihat kedatanganku.
"Sore banget, Bil? Ada kegiatan sekolah?" tanya Papa. Aku berjalan melewati Papa menuju lemari pendingin. Mengambil botol jus buah yang selalu dibuat oleh Bibi setiap pagi.
"Iya, Pa. Papa tumben di rumah," cetusku dengan nada lemas. Kemudian duduk di kursi dekat Papa. Tanpa menoleh atau balik menatap pria di dekatku ini, langsung aku meneguk jus tersebut dari botol nya.
"Nabila? Are you oke?" tanya Papa mendekatkan wajahnya padaku.
"Iam fine, Dad."
"Itu kenapa muka kamu?" tanya Papa sambil menunjuk wajahku. Aku meraba bagian yang Papa tunjuk dan baru menyadari kalau ternyata luka ini masih ada. Anehnya mengapa aku tidak merasakan sakitnya?
"Biasalah, Pa. Anakmu ini kan, jagoan," ujarku bangga. Papa tersenyum tipis. "Papa siap mendengarkan apa pun, kalau kamu butuh teman cerita."
Aku tersenyum mendengarnya. Rasanya apa yang Papa katakan barusan sangat tulus, dan jarang kudengar, bahkan pertama kalinya aku mendengar kalimat itu terlontar dari mulut Papa. Setidaknya aku bisa tersenyum dengan ikhlas sekarang.
"Aku ke kamar dulu ya, Pa. Capek."
"Oke. Istirahat, sayang."
__________
Guyuran air dari shower membuat tubuhku terasa lebih nyaman. Rasa lelahku terasa ikut mengalir bersama air hangat ini. Namun saat aku memejamkan mata, bayangan semua kejadian seolah kembali diputar otomatis oleh otak. Hal ini membuat hatiku kembali sakit, hingga aku tergugu, lagi.
Rambutku yang basah, masih kugelung dengan handuk. Aku sudah berganti mengenakan piyama tidur dengan gambar hello kitty. Duduk di balkon kamar ditemani secangkir cokelat hangat buatan ku sendiri. Telinga ku sumpal dengan headset, sampai-sampai tidak ada suara lain yang kudengar selain musik yang sedang ku putar sekarang.
Namun sinar lampu sebuah mobil yang baru saja masuk ke halaman rumah, cukup menarik perhatianku. Kak Rayi datang, dan disambut baik oleh Papa di bawah. Setelah bertegur sapa, mereka mendongak ke arah kamarku. Tentu saja keberadaan ku segera diketahui oleh mereka. Papa melambaikan tangan, menyuruhku untuk segera turun. Sementara Kak Rayi tersenyum di bawah sana dengan memegang sebuket bunga mawar hitam favorit ku.
Terpaksa aku harus turun ke bawah. Tidak mungkin mengelak lagi. Lagi pula, aku ingin bertemu Kak Rayi. Aku ingin mendengar penjelasannya tentang masalah tadi.
"Nah itu Nabila udah turun. Ya sudah, Om tinggal dulu, ya," kata Papa. Lalu pamit kembali masuk ke dalam. Kak Rayi yang awalnya duduk, lantas berdiri menyambut kedatanganku.
"Kamu belum tidur, kan? Eum, ini buat kamu," katanya sambil mengulurkan bunga tersebut.
Aku meraihnya dengan ekspresi dingin. "Mau apa?" tanyaku ketus. Melihat sikapku tersebut, senyum Kak Rayi memudar. Dia menunduk, sambil memainkan kakinya. Lalu menatapku lagi.
"Bil, aku ... Aku mau minta maaf."
"Maaf untuk?"
"Untuk semua. Aku minta maaf. Aku ke sini juga mau ... Mau ...."
"Mau apa?"
"Sebaiknya untuk sementara kita break dulu, Bil."
Deg! Jantung berdesir. Tidak percaya atas perkataan yang terucap dari mulut Kak Rayi.
"Maksud kamu? Putus?!"
"Bukan, Bil. Bukan putus. Jadi gini, aku baru tau kalau Sabrina sakit. Dia kena kanker, dan butuh bantuanku. Aku cuma takut, ganggu waktu kita. Aku pengen fokus bantu Sabrina dulu, kasihan. Orang tuanya jauh. Dia mohon-mohon sama aku, dan aku nggak enak buat nolaknya. Please, ngertiin aku, ya, sayang." Kak Rayi mendekat dan berusaha meraih tanganku. Aku langsung menepisnya kasar.
"Nggak perlu minta maaf. Oke, kalau mau Kak Rayi begitu. Kita ... putus!" kataku datar.
"Loh, Bil. Enggak gitu. Please. Aku masih sayang kamu, Bil. Jangan gini dong, sayang." Dia menjambak rambutnya sendiri, dan terlihat sangat frustrasi.
"Aku ngerti kok. Dia jauh lebih penting. Kesembuhan Sabrina jauh lebih penting. Aku ... Aku baik-baik aja. Jadi kamu nggak usah khawatirin aku."
"Bukan gitu sayang." Berkali kali dia terus berusaha melakukan kontak fisik denganku, tapi aku selalu menghindar.
"Kenyataan seperti itu kok. Buktinya, Sabrina mengeluh sedikit aja, kamu langsung peduli sama dia. Kamu tinggalin aku gitu aja, tanpa tau gimana perasaanku saat itu. Kamu nggak tau gimana sakit hatiku saat melihat kalian berciuman. Kamu nggak tau kecewanya aku, saat dia duduk di jok motor kamu. Kamu nggak noleh sedikitpun ke aku saat ada wanita itu! Jadi semua udah jelas, dia ...," ungkapku sambil menunjuk arah lain, "jauh lebih penting dari aku! Pacar kamu sendiri. Jadi buat apa kita pacaran? Mendingan kita putus! Kamu bisa fokus sama dia, aku nggak perlu sakit hati lagi!" kataku tegas.
"Tapi, sayang ...."
"Stop! Jangan panggil aku sayang lagi! Aku udah muak!" Aku mendongak dan menatap wajah Kak Rayi dari jarak dekat. Aku sungguh kesal saat ini. Rasanya aku ingin memukul seseorang sekarang.
"Tunggu. Wajah kamu kenapa? Kok lebam gini? Kamu kenapa, Bil?" tanya nya sambil. Berusaha menyentuh pipiku. Lagi lagi aku kembali menepis tangan nya sebelum sampai ke wajahku.
"Itu nggak penting. Lebih penting Sabrinamu!" kataku lalu masuk ke dalam rumah. Panggilan Kak Rayi tidak kuhiraukan. Aku masih berdiri di belakang pintu sambil terisak. Sesak. Dadaku terasa sesak. Ini, kah, rasanya sakit hati? Astaga, cinta ternyata tidak selalu indah.
regmekujo dan 4 lainnya memberi reputasi
5