- Beranda
- Stories from the Heart
Supernatural
...
TS
ny.sukrisna
Supernatural
Quote:
Mungkin agan di sini pernah baca cerita ane yang berjudul pancasona? Kali ini ane akan melanjutkan kisah itu di sini. Yang suka cerita genre fantasi, kasus pembunuhan berantai, gengster werewolf, vampire dan sejenisnya. Silakan mampir.


Quote:
INDEKS
Part 1 abimanyu maheswara
Part 2 abimanyu
Part 3 kalla
Part 4 siapa kalla
Part 5 seorang gadis
part 6 Ellea
part 7 taman
Part 8 kamar ellea
Part 9 pagi bersama ellea
Part 10 rencana
Part 11 tentang kalla
part 12 rumah elang
Part 13 kembali aktivitas
part 14 emosi elang
part 15 janin kalla
part 16 elang
Part 17 vin
Part 18 kantor
Part 19 kemunculan kalla
part 20 pulau titik nol kehidupan
part 21 desa terkutuk
Part 22 wira
Part 23 teman lama
Part 24 patung wira
part 25 teror di rumah John
part 26 tato
part 27 simbol aldebaro
part 28 buku
part 29 kantor kalla
part 30 batu saphire
part 31 Lian dan Ayu
part 32 kakak beradik yang kompak
part 33 penyusup
part 34 kalah jumlah
part 35 lorong rahasia
Part 36 masuk lorong
part 37 cairan aneh
part 38 rahasia kalandra
part 39 Nayaka adalah Kalandra
Part 40 kemampuan nayaka
Part 41 Arkie
Part 42 Arkie (2)
Part 43 peperangan
Part 44 berakhir
Part 45 desa abi
part 46 nabila
part 47 cafe abi
Part 48 Maya
part 49 riki kembali, risna terancam
part 50 iblis bertubuh manusia
part 51 bertemu eliza
part 52 Feliz
Part 53 Bisma
Part 54 ke mana bisma
part 55 rahasia mayat
part 56 bisma kabur
part 57 pertemuan tak terduga
part 58 penyelidikan
part 59 tabir rahasia
part 60 kebakaran
part 61 Bajra
part 62 pengorbanan Bajra
part 63 the best team
part 64 masa lalu
part 65 perang dimulai
part 66 kisah baru
part 67 bertemu vin
part 68 san paz
part 69 cafe KOV
part 70 demigod
part 71 california
part 72 Allea dan Ellea
part 73 rumah ellea
part 74 alan cha
part 75 latin kings
part 76 kediaman faizal
part 77 kematian faizal.
part 78 permainan
part 79 ellea cemburu
part 80 rumah
part 81 keributan
part 82 racun
part 83 mayat
part 84 rencana
part 85 kampung....
Part 86 kematian adi
part 87 tiga sekawan
part 88 zikal
part 89 duri dalam daging
part 90 kerja sama
part 91 Abraham alexi Bonar
part 92 terusir
part 93 penemuan mayat
part 94 dongeng manusia serigala
part 95 hewan atau manusia
part 96 Rendra adalah werewolf
part 97 Beta
part 98 melamar
part 99 pencarian lycanoid
part 100 siapa sebenarnya anda
part 101 terungkap kebenaran
part 102 kisah yang panjang
part 103 buku mantra
part 104 sebuah simbol
part 105 kaki tangan
part 106 pertikaian
part 107 bertemu elizabet
part 108 orang asing
part 109 mantra eksorsisme
part 110 Vin bersikap aneh
part 111 Samael
part 112 Linda sang paranormal
part 113 reinkarnasi
part 114 Nayla
part 115 Archangel
part 116 Flashback vin kesurupan
part 117 ritual
part 118 darah suci
part 119 Lasha
part 120 Amon
part 121 masa lalu arya
part 122 sekte sesat
part 123 sekte
part 124 bu rahayu
part 125 dhampire
part 126 penculikan
part 127 pengakuan rian.
part 128 azazil
part 129 ungkapan perasaan
part 130 perjalanan pertama
part 131 desa angukuni
part 132 Galiyan
part 133 hilang
part 134 Hans dan Jean
part 135 lintah Vlad
part 136 rahasia homestay
part 137 rumah kutukan
part 138 patung aneh
part 139 pulau insula mortem
part 140 mercusuar
part 141 kastil archanum
part 142 blue hole
part 143 jerogumo
part 144 timbuktu
part 145 gerbang gaib
part 146 hutan rougarau
part 147 bertemu azazil
part 148 SMU Mortus
part 149 Wendigo
part 150 danau misterius
part 151 jiwa yang hilang
part 152 serangan di rumah
part 153 misteri di sekolah
part 154 rumah rayi
part 155 makhluk lain di sekolah
part 156 Djin
part 157 menjemput jiwa
part 158 abitra
part 159 kepergian faza
part 160 Sabrina
part 161 puncak emosi
part 162 ilmu hitam
part 163 pertandingan basket
part 164 mariaban
part 165 Dagon
part 166 bantuan
INDEKS LANJUT DI SINI INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 16-05-2023 21:45
itkgid dan 12 lainnya memberi reputasi
13
13.5K
222
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#165
160 Sabrina
"Za, kenapa elu nggak bisa balik? Apa nggak ada cara lain lagi, Za?" tanya Kak Rayi dengan suara bergetar. Aku benar- benar melihat rasa sakit di mata nya. Rasa sakit kehilangan salah satu sahabatnya.
Kak Faza tersenyum, menunduk dan kembali menatap teman- teman nya bergantian. "Kalian harus mengikhlaskan aku. Aku baik -baik saja di sini. Mungkin memang waktuku sudah habis di dunia.Aku harap kalian bisa melanjutkan hidup kalian. Jadilah orang baik dan berguna. Karena di sana," tunjuk nya ke atas, "aku masih melihat kalian. Semua yang kalian lakukan. Jadi jangan kecewakan aku."
Kak Rayi berbalik badan, menutup mulut nya dan di saat itulah air matanya menetes deras.
"Lu tega, Za. Lu tinggalin kami begitu saja. Bener-bener keterlaluan!" tampik Kak Bintang dengan menahan emosi sama seperti Kak Rayi.
"Maaf. Aku nggak bermaksud. Sebenarnya aku seharusnya sudah mati sejak beberapa bulan lalu, tapi Nabila menolongku. Dan sekarang aku sudah tidak bisa mengelak lagi. Aku harap kalian mengerti. Aku yakin, kalian bisa melewati semua ini bersama -sama, karena kalian akan menghadapi banyak hal nanti. Saling berpegangan tangan, gaes. Jangan saling meninggalkan!" nasehatnya dengan tenang.
Kak Roger berjalan mendekat ke Kak Faza, dia memeluknya dan mereka berhasil berpelukan. Kak Bintang menyusul nya. Kak Faza juga memeluk mereka berdua erat. "Yi? Nggak mau peluk aku untuk terakhir kalinya?" tanyanya. Dan kalimat itu berhasil meruntuhkan pertahanan air mataku. Padahal bukan aku yang dia tanya, tapi kenapa itu terasa begitu menyakitkan hatiku. Akhirnya Kak Rayi menyusul teman- teman nya. Mereka berpelukan saling mengucapkan perpisahan dengan cara mereka. Aku menutup mulut, dan Om Gio kini memelukku dari samping.
"Persahabatan yang indah, ya, Bil. Om jadi ingat sama sahabat - sahabat Om dulu. Sekarang cuma tinggal Papamu saja. Memang berat rasanya kehilangan sahabat yang selama ini selalu menemani dalam suka dan duka, bahkan saat berjuang bersama."
'Om juga kehilangan sahabat- sahabat Om, kan?"
"Yah, bahkan sampai sekarang rasa sakit itu belum hilang. Ini nggak mudah. Kalian harus terus berpegangan tangan. Bener kata dia, jangan sampai saling meninggalkan, apa pun masalahnya."
Aku menoleh, dan menatap pria tua di sampingku ini. Mata nya memancarkan kesedihan yang mendalam. Dan aku tau bagaimana sakit hatinya. Kehilangan sahabat- sahabatnya dulu. Bahkan aku masih mengingat semua memori itu. Saat sahabat Om Gio mengorbankan nyawa untuk kami semua. Sejak saat itu, Om Gio banyak diam. Bahkan aku sering melihatnya melamun dan menangis seorang diri sambil memeluk foto di pigura yang ada di kamarnya. Om Gio sudah mendedikasikan hidupnya untuk para sahabat nya. Bahkan dia tidak berniat untuk menikah.
Kak Faza mulai melambaikan tangan, pertanda dia sudah harus pergi. Mereka bertiga berusaha kuat dengan berkali-kali menghapus air mata yang terus turun dari mata. Kak Faza kembali berjalan ke tangga tadi. Dan Abitra mengikuti nya, dan akhirnya mereka menghilang.
Sosok yang ada di dalam tubuh Kak Faza sudah berhasil keluar, bahkan Om Gio sudah membakarnya hingga menjadi debu. Dalam sekejap tubuh Kak Faza mulai membusuk. Kami membawa nya ke rumah sakit dan tidak ada satu pun dokter yang bisa menjelaskan hal ini. Mereka bilang, tubuh Kak Faza sudah mati sejak beberapa bulan lalu.
_____________________
Aku masih melingkarkan tangan di pinggang Kak Rayi. Setelah kedua sahabatnya pulang, kini hanya tinggal Kak Rayi saja yang masih ada di teras rumahku. Sementara itu Om Gio sudah masuk ke dalam kamarnya. Malam ini Om Gio tidur di rumah ku. Papa akan kembali besok pagi katanya. Dan aku harus siap dengan omelan Papa tentang surat peringatan yang baru saja kudapat dari sekolah.
Kak Rayi mengecup berkali-kali pucuk kepalaku. Postur tubuhnya yang jauh lebih tinggi dari padaku membuat nya dengan leluasa menguasai kepalaku. Karena aku memang lebih pendek dari nya.
"Are you oke, Ay?" tanyaku sambil mendongak melihat wajah nya yang terlihat kusut.
"Yeah, Iam oke, sayang," katanya sambil memelukku lagi, seolah tidak ingin melepaskan nya.
"Kamu tidur sini saja bagaimana? Kok aku khawatir kalau kamu pulang, apalagi kan sendirian," kataku.
"Enggak ah. Nanti Om Gio ngomel. Aku pulang saja. Nggak apa- apa, kan? Atau jangan-jangan kamu yang kangen, ya?" tanyanya sambil memencet hidungku.
"Ih, nggak gitu, Ay. Tapi ... iya sih, aku kangen," kataku kembali memeluk nya.
"Is tumbenan sayangku manja gini. Hayo mau minta apa?"
"Minta apa? Enggak ih. Cuma ... kangen. Aku makin sayang sama kamu," kataku malu- malu.
"Asyik!" Kak Rayi mencubit pipiku. Wajah kami berdekatan, dia bahkan menatap bibirku lama. Perlahan mendekat dan kurasakan embusan nafasnya di wajahku. Kini bibir kami saling menempel. Entah mendapat inspirasi dari mana, aku membalas ciuman nya. Cukup lama kami berciuman, dan ini adalah ciuman pertamaku.
Nafas kami mulai tidak beraturan, dan akhirnya aku melepaskan bibirku darinya. "kelamaan, bahaya."
Kak Rayi tertawa. Dan akhirnya satu kecupan terakhir di kening mengakhiri malam ini. Dia lantas pulang menaiki mobil nya. Aku menatap kepergian nya dengan senyum yang tak kunjung habis.
__________________
"Jadi kalian udah pacaran?" tanya Papa sambil mengoles selai kacang di lembar roti tawar yang berada di piring. Aku hanya menanggapi dengan santai, sembari meneguk susu hangat yang baru kuseduh.
"Hu um," sahut ku. Sedikit malu, namun berusaha menutupinya.
"Yang penting bisa jaga diri. Pacaran nya yang bener. Fokus sekolah juga," nasehat Papa.
"Iya, Pa. Papa nih, memang nya aku sama Kak Rayi mau apa ih. Masih kecil juga. Nggak bakal macam-macam," tandasku dengan bibir mengerucut, pertanda sebal pada apa yang Papa maksud. Aku tau ke mana arah pembicaraan ini.
"Iya, iya. Papa percaya. Anak Papa nggak akan aneh-aneh. Lagian kalau Rayi sampai macam-macamin kamu, ya lihat saja nanti." Kopi di meja Papa sudah tandas. Papa juga mulai merapikan dasinya. "Berangkat sekarang aja, yuk. Nanti macet," ajak Papa sambil menatap jam tangan di pergelangan tangan nya. Aku pun mengangguk dan segera menghabiskan susu hangat milikku.
Selama perjalanan Papa banyak mengobrol dan membahas banyak hal. Karena beberapa waktu lalu Papa terlampau sibuk dengan segala urusan bisnisnya. Dan meninggalkan ku di rumah seorang diri. Aku juga menceritakan tentang Kak Faza kemarin. Dan Papa cukup maklum dengan tindakanku.
Sepanjang jalan aku dan Papa saling curhat, hingga akhirnya samar-samar aku melihat ada motor Kak Rayi yang melintas di depan mobil. Namun terhalang oleh mobil di depanku. Tapi suaranya dan warna motornya sekilas terdengar sama. Hanya saja saat aku melongok dan mencari keberadaan motor itu, yang kulihat adalah seorang wanita berada di boncengan nya. Jadi aku berpikiran kalau itu pasti bukan Kak Rayi. Dan, orang yang memiliki motor itu memang tidak hanya dia saja.
Mobil berhenti di depan pintu gerbang sekolah yang masih terbuka lebar. Banyak siswa yang masuk ke dalam dengan langkah terburu-buru mau pun lamban. Setelah aku mencium punggung tangan Papa, aku mulai meninggalkan mobil dan segera masuk ke dalam.
Posisi gerbang sekolah yang berada di tengah, mampu membuatku melihat keberadaan parkiran motor yang ada di sisi kanan. Dan sisi tersebut memang parkiran khusus siswa, karena di sisi kiri adalah parkiran khusus guru dan staf.
Jarak yang cukup jauh membuatku harus menyipitkan mata untuk menyapu pandang ke sana. Mencari jejak keberadaan motor Kak Rayi yang ternyata sudah terparkir di tempatnya. Tempat biasa dia memarkirkan motor kesayangannya itu. Dengan riang aku mulai berjalan menuju ruang kelasku. Lorong ruang kelasku memang melewati kelas Kak Rayi terlebih dahulu. Sambil berjalan aku juga memeriksa keadaan sekitar, mencari keberadaan Kak Rayi yang belum kulihat sejak tadi. Biasanya dia ada di depan kelasnya, menungguku, dan biasanya juga dia akan mengejarku dengan ucapan selamat pagi hingga menemaniku berjalan sampai ke tangga ruang kelas 1.
Bahkan saat aku menoleh dan mencarinya, dia tak kunjung menampakkan diri. Sampai akhirnya aku menabrak seseorang di depan. Dan suara khasnya membuatku langsung mengenalinya walau aku belum melihat wajahnya.
"Ya ampun, Bil. Kalau jalan itu lihat ke depan, ini malah lihat ke belakang mulu! Nyariin siapa sih?" tanya Kak Roger dengan segelas minuman teh yang tampaknya dingin. Terlihat bulir air di gelas plastik tersebut.
"Ih, kakak yang salah. Ngapain di jalan," tukasku sambil mengerucut dan berjalan melewatinya begitu saja. Dan tampaknya Kak Roger tidak terima dengan sikapku ini. Dia terus mengejarku dengan berbagai pertanyaan menyelidik lainnya.
"Pasti nyariin Rayi, kan? Hayo ngaku," ejeknya sambil terus menjajari langkahku.
"Ye, ngarang."
"Kalau ngarang itu pelajaran bahasa Indonesia, Bil," elaknya sambil terus berjalan mengikutiku.
Dari lantai dua, Zidan memanggil, dan otomatis aku langsung mendongak ke atas, sehingga mendapatinya sedang melambaikan tangan dengan tumpukkan kertas yang digulung kecil di tangannya.
"Apa?!" jeritku agak kesal. Deretan teman-teman sekelas juga berada di sana. Dan ini adalah aktivitas pagi yang biasa dilakukan sebagian orang sambil menunggu bel masuk berbunyi. Bahkan deretan siswa kelas 1 yang ada di lantai dua dan tiga banyak yang berada di pinggir pagar pembatas yang tingginya hanya setengah badan orang dewasa.
"Tolong ke ruang guru dulu, Bil. Ambilin buku absensi. Gue lupa!" ujarnya sambil menunjukkan barisan gigi putihnya.
"Hwu!" umpatku kesal, namun aku tetap menurutinya berbalik menuju ruang guru. Dan Kak Roger justru makin menempel padaku. Aku makin sebal melihatnya.
"Gitu maksudnya, Bil. Lu tau, kan, kalau sekarang elu ini termasuk famous di sekolah. Apalagi elu sama Rayi sekarang pacaran. Yakin gue ini, banyak orang yang sirik, dan mencoba memisahkan kalian berdua," tukasnya, dia terlihat ngotot, bahkan sangat menggebu-gebu. Hingga membuat langkahku berhenti dan menatapnya sebal.
"Ini kak Roger mau ngapain sih?! Ngikutin aku terus. Udah sana balik kelas!" protesku dengan memasang wajah sebal.
"Lah kan tadi gue bilang, nanti takut terjadi sesuatu sama elu. Lu tau nggak sih kalau banyak fans Rayi selama ini. Nanti kalau tiba-tiba elu di bully massal bagaimana? Di seret ke kamar mandi, diiket terus dikunci di dalam. Hih, apa nggak bahaya?" tanyanya dengan berkelit terus menerus.
"Lebay ah!" sungutku, melanjutkan kembali perjalanan menuju ruang guru yang sebenarnya hanya tinggal beberapa langkah lagi. Bahkan di belokan depan sudah sampai di pintu ruang guru yang kucari. Tapi mengapa sikap Kak Roger seperti menahanku dan mencegahku untuk sampai ke sana dengan segera.
"Bil, Nabila!" jerit Kak Roger dan terus mengejarku.
Langkah kubuat cepat, sampai akhirnya aku berbelok ke ruang guru. Dan, rasanya jantungku serasa mau copot. Aku berhenti dengan tubuh lemas. Apa yang ada di hadapanku benar-benar nyata. Sepertinya apa yang kulihat tadi di jalan, memang Kak Rayi. Dan wanita yang ada di hadapanku sekarang adalah yang tadi kulihat. Yah, Kak Rayi berada di depan ruang guru bersama seorang wanita yang memakai pakaian seragam seperti kami. Tapi rasanya aku baru pernah melihatnya.
Seketika aku berbalik badan. Mengurungkan niatku untuk masuk ke ruang guru. Dan Kak Rayi memang tidak melihatku, karena dia terlalu sibuk merapikan rambut wanita tadi yang berantakan. Entah apa penyebabnya.
"Eh loh, ke mana, Bil?" jerit Kak Roger yang langsung menahan tanganku. Dan membuatku berhenti dan makin kesal dengan sikapnya pagi ini. Aku yakin Kak Rayi mendengarnya. "Eh, Yi, Sabrina, kalian di sini?" tanya Kak Roger sambil melirikku dengan sangat jelas. Aku balas meliriknya sinis.
"Bil? Mau ke mana?" tanya Kak Rayi yang terdengar santai. Aku langsung memejamkan mata dan mendengus sebal. Karena upaya pelarianku gagal. Tapi kenapa aku harus lari, seharusnya aku yang melabraknya karena merasa aku dan Kak Rayi sudah resmi berpacaran, dan dia tidak seharusnya menempel pada kekasihku seperti itu. Ah, aku tidak boleh posesif tentunya.
Kak Roger mendesis dan mengisyaratkan aku untuk menoleh pada orang yang mengajakku bicara tadi. Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu menoleh. "Mau ke kelas, Kak."
"Loh tadi kata Zidan, elu disuruh ambil buku absen kelas, Bil? Kagak jadi?" tanya Kak Roger sambil menaikkan kedua alisnya seolah meledekku. Aku menyipitkan mata dan menatapnya penuh sinyal peperangan. "Awas aja nanti," batinku dengan tatapan tajam kepadanya. Dia justru tersenyum tertahan.
"Eh, elu belum kenalan sama Sabrina, kan, Bil?" tanya Kak Roger lalu menarik tanganku dan mendekat pada mereka berdua.
"Selamat pagi sayang, kamu tadi jadi berangkat sama Papa, kan?" tanya Kak Rayi seperti yang biasa dia lakukan padaku. Dan seharusnya dia melakukan itu 10 menit lalu. "Ih, itu kamu pakai lipgloss, ya? Agak pink-pink merona gitu. Tapi kok kelebihan sedikit, Yang," ujarnya mendekat dan membersihkan sudut bibirku dengan ibu jarinya. Netranya terus menatapku. Tersenyum dengan tatapan teduh, seperti biasanya.
"Iya, sama Papa tadi, Kak."
Kak Rayi mengerutkan kening mendengar jawabanku. "Kok, manggilnya gitu?"
"Nggak enak ah. Di sekolah ini loh," bisikku mendekat ke telinganya. Tapi aku yakin kalau dua orang yang berada di dekat kami juga mendengarnya. Kak Roger berdeham. "Eh, Brin, kebetulan nih, ini Nabila, pacarnya Rayi," tukas Kak Roger.
Kak Rayi menoleh ke dua orang itu, karena memang posisinya membelakangi mereka berdua. "Ah, iya, ini Nabila, Brin. Pacar gue," kata Kak Rayi memperkenalkan kami pada akhirnya. Sabrina terlihat dingin menatapku. Ada gurat ketidak sukaan dari nya melihatku di sini. "Bil, dia Sabrina, teman kami di SMP dulu. Dan sekarang dia mau sekolah di sini," tambah Kak Rayi dan berhasil menjawab semua pertanyaan mengganjal di hatiku sejak tadi.
Kupaksakan menarik kedua sudut bibirku dan mengulurkan tangan sebagai bentuk perkenalan. "Nabila." Tapi dia justru mengalihkan pandangan dan menarik tangan Kak Rayi dengan rengekan yang membuatku muak. Mencari kantin karena belum sarapan? Cih, kasihan sekali. Harusnya kubawakan sisa sarapanku tadi di rumah. Agar wanita di depanku ini berhenti merengek. Sungguh menyebalkan sekali melihat pemandangan di depanku ini.
"Aku balik kelas dulu," kataku lalu berjalan meninggalkan mereka begitu saja. Aku benar-benar sudah muak, dan tidak tahan melihatnya. Daripada aku marah dan bersikap arogan di sana, lebih baik aku menyingkir saja. Sementara itu panggilan dari Kak Rayi dan Kak Roger tidak kupedulikan lagi, dan segera mempercepat langkah bahkan terkesan berlari.
Tiba-tiba di depan toilet guru seseorang baru saja keluar dari sana dan langsung menahan tanganku. Sempat takut jika ada guru yang marah karena melihatku berlarian di sekolah, namun ternyata itu adalah Kak Bintang. Wajahnya terlihat basah, sepertinya dia habis cuci muka. Bola matanya juga mengkilap seperti basah. Dan bibirnya tidak menampilkan senyum seperti biasanya. Ada yang aneh dengan sikap Kak Bintang pagi ini.
"Kamu ngapain, Bil? Jangan lari-lari, nanti kalau jatuh bagaimana?!" cegahnya dengan suara pelan. Aku yakin ada yang tidak beres dengan dirinya pagi ini. Yah, sama seperti pagiku yang kini terasa hambar.
"Mau bel masuk, Kak, takut telat," elakku sambil memalsukan senyum. Kak Bintang meneliti kedua mataku. Dengan alis yang bertautan. Tetapi segera suara yang ku maksud tadi benar-benar berdering kencang. "Tuh, kan?" tukasku dan merasa menang atas perdebatan yang belum masuk ke titik panas seperti biasanya.
Kak Bintang melepaskan pegangan tangannya dan membuatku mendapat kesempatan untuk lari dari hadapannya. Jeritannya seolah bagai angin lalu. Yang penting aku harus segera pergi dari para seniorku sekarang.
________________
Jam pelajaran pagi ini kulalui dengan perasaan tidak karuan. Pikiranku masih stuck pada Sabrina dan Kak Rayi. Aku merasa kalau wanita itu akan menjadi duri dalam daging. Apakah hubunganku dan Kak Rayi tidak akan bertahan lama. Karena dari segi fisik saja, Sabrina lebih segalanya timbang aku. Dia cantik, penampilannya modis, aku yakin banyak laki-laki yang menyukainya.
Sungguh hatiku terasa tidak karuan. Ini lebih kacau ketimbang ketahuan Papa pergi keluar rumah pada tengah malam. Dan sungguh lebih parah daripada aku menghadapi segala makhluk mengerikan kemarin. Huh, aku sangat frustrasi sekarang.
Jam istirahat sudah dimulai. Beberapa teman sekelas, keluar dan pergi ke kantin seperti biasa. Tapi aku justru enggan untuk beranjak dari kursi ini. Aku merebahkan kepalaku di atas meja. Memandangi jendela yang ada di samping ku. Beberapa orang kulihat mulai mondar mandir di koridor lantai dua, depan kelasku. Biasanya mereka adalah siswa yang berada di lantai tiga.
Saat jam istirahat memang hampir semua orang memilih berada di luar ruangan. Penatnya pelajaran yang kami hadapi selama berjam-jam di dalam kelas, memang mengharuskan kami untuk merelaksasikan otak kami barang sebentar di luar ruangan. Dan biasanya aku memang akan pergi keluar kelas jika jam istirahat begini. Entah ke kantin atau hanya duduk-duduk saja di taman sekolah. Tapi kali ini aku merasa tidak berminat ke mana-mana.
"Heh! Kenapa lu, Bil? Sakit?" tanya Zidan saat hendak keluar kelas. Aku tidak mengubah posisi dan hanya memaksa untuk menggeleng, walau sebenarnya itu cukup sulit. "Terus kenapa? Nggak ingin makan apa begitu?" tanyanya lagi.
"Enggak. Udah sana kamu ke kantin saja," kilahku.
"Hm, ya sudah deh." Akhirnya Zidan berhasil kuusir dari kelas. Dan kini hanya ada aku saja di dalam kelas. Sendirian. Suara riuh teman-teman yang tertawa dan menjerit terkadang jelas terdengar sampai telingaku. Aku memejamkan mata, mencoba untuk tidak menghiraukan semua suara di sekitar. Tapi tiba-tiba bayangan seseorang berada tepat di depanku. Walau terhalang kaca jendela, tapi aku bisa merasakan kalau ada seseorang di luar sana.
Buru-buru aku membuka mata dan mendapati Kak Rayi di sana. Ia terlihat menarik nafas panjang lalu geleng-geleng kepala dengan berkacak pinggang. Aku bangkit, membetulkan posisi duduk dan merapikan rambutku yang pasti berantakan. Kak Rayi masuk ke dalam kelas. "Sayang ... kamu kenapa? Sakit? Kata Zidan kamu nggak enak badan, makanya aku langsung ke sini," cakapnya sambil meletakkan punggung tangan di dahiku. Sementara aku justru berusaha untuk menghindar. "Aku nggak apa-apa kok," sahutku berusaha terlihat baik-baik saja. Agar tidak banyak pertanyaan darinya.
"Yang bener? Terus kamu kenapa di sini? Biasanya ke kantin sama Zidan, dan kita ketemu di sana." Dia terus meneliti, dan rasanya terus berusaha menelanjangi kedua bola mataku agar dapat menemukan sesuatu yang tidak beres padaku. Aku sadar kalau sikapku memang lain, tidak seperti diriku yang biasanya. Dan, wajar kalau Kak Rayi merasakannya.
"Lagi males saja, Kak."
Dahinya berkerut. Matanya berkeliling. "Bil, are you oke?" tanyanya yang mulai membuatku bingung harus menjawab apa.
"Hm, not really good. Tapi aku nggak apa-apa, Kak. Cuma lagi males saja. Nggak laper juga," sahutku. Tapi rupanya perutku saat ini sedang berkhianat. Dia justru membunyikan genderang protes dan membuat sudut mulut Kak Rayi muncul.
"You lie. Ayok, kita makan," ajaknya dan menarik tanganku keluar kelas. Aku pun pasrah.
Kami sampai di kantin. Dari depan pintu, suasana di dalam sudah cukup ramai. Kak Rayi yang masih menggandeng tanganku lantas menyapu pandang ke sekitar. Hingga alisnya tersentak bersama-sama saat melihat kerumunan orang di sudut kantin, yang tidak lain adalah teman-temannya dan ... Sabrina.
Oh, sial! aku terus mengumpat dalam hati dan merasa keadaan kali ini akan makin tidak menyenangkan. Ini bukan refresing seperti biasanya, justru malah makin memperburuk mood ku sekarang.
Kami akhirnya sampai di meja mereka. Menyapa mereka sebelum akhirnya duduk di kursi yang masih kosong. Kak Roger bahkan rela menggeser duduknya demi kami berdua. Matanya berbinar, lain dengan Kak Bintang. Wajahnya terlihat masam sejak pagi, dan sampai saat ini aku belum mengetahui alasannya.
Kak Faza tersenyum, menunduk dan kembali menatap teman- teman nya bergantian. "Kalian harus mengikhlaskan aku. Aku baik -baik saja di sini. Mungkin memang waktuku sudah habis di dunia.Aku harap kalian bisa melanjutkan hidup kalian. Jadilah orang baik dan berguna. Karena di sana," tunjuk nya ke atas, "aku masih melihat kalian. Semua yang kalian lakukan. Jadi jangan kecewakan aku."
Kak Rayi berbalik badan, menutup mulut nya dan di saat itulah air matanya menetes deras.
"Lu tega, Za. Lu tinggalin kami begitu saja. Bener-bener keterlaluan!" tampik Kak Bintang dengan menahan emosi sama seperti Kak Rayi.
"Maaf. Aku nggak bermaksud. Sebenarnya aku seharusnya sudah mati sejak beberapa bulan lalu, tapi Nabila menolongku. Dan sekarang aku sudah tidak bisa mengelak lagi. Aku harap kalian mengerti. Aku yakin, kalian bisa melewati semua ini bersama -sama, karena kalian akan menghadapi banyak hal nanti. Saling berpegangan tangan, gaes. Jangan saling meninggalkan!" nasehatnya dengan tenang.
Kak Roger berjalan mendekat ke Kak Faza, dia memeluknya dan mereka berhasil berpelukan. Kak Bintang menyusul nya. Kak Faza juga memeluk mereka berdua erat. "Yi? Nggak mau peluk aku untuk terakhir kalinya?" tanyanya. Dan kalimat itu berhasil meruntuhkan pertahanan air mataku. Padahal bukan aku yang dia tanya, tapi kenapa itu terasa begitu menyakitkan hatiku. Akhirnya Kak Rayi menyusul teman- teman nya. Mereka berpelukan saling mengucapkan perpisahan dengan cara mereka. Aku menutup mulut, dan Om Gio kini memelukku dari samping.
"Persahabatan yang indah, ya, Bil. Om jadi ingat sama sahabat - sahabat Om dulu. Sekarang cuma tinggal Papamu saja. Memang berat rasanya kehilangan sahabat yang selama ini selalu menemani dalam suka dan duka, bahkan saat berjuang bersama."
'Om juga kehilangan sahabat- sahabat Om, kan?"
"Yah, bahkan sampai sekarang rasa sakit itu belum hilang. Ini nggak mudah. Kalian harus terus berpegangan tangan. Bener kata dia, jangan sampai saling meninggalkan, apa pun masalahnya."
Aku menoleh, dan menatap pria tua di sampingku ini. Mata nya memancarkan kesedihan yang mendalam. Dan aku tau bagaimana sakit hatinya. Kehilangan sahabat- sahabatnya dulu. Bahkan aku masih mengingat semua memori itu. Saat sahabat Om Gio mengorbankan nyawa untuk kami semua. Sejak saat itu, Om Gio banyak diam. Bahkan aku sering melihatnya melamun dan menangis seorang diri sambil memeluk foto di pigura yang ada di kamarnya. Om Gio sudah mendedikasikan hidupnya untuk para sahabat nya. Bahkan dia tidak berniat untuk menikah.
Kak Faza mulai melambaikan tangan, pertanda dia sudah harus pergi. Mereka bertiga berusaha kuat dengan berkali-kali menghapus air mata yang terus turun dari mata. Kak Faza kembali berjalan ke tangga tadi. Dan Abitra mengikuti nya, dan akhirnya mereka menghilang.
Sosok yang ada di dalam tubuh Kak Faza sudah berhasil keluar, bahkan Om Gio sudah membakarnya hingga menjadi debu. Dalam sekejap tubuh Kak Faza mulai membusuk. Kami membawa nya ke rumah sakit dan tidak ada satu pun dokter yang bisa menjelaskan hal ini. Mereka bilang, tubuh Kak Faza sudah mati sejak beberapa bulan lalu.
_____________________
Aku masih melingkarkan tangan di pinggang Kak Rayi. Setelah kedua sahabatnya pulang, kini hanya tinggal Kak Rayi saja yang masih ada di teras rumahku. Sementara itu Om Gio sudah masuk ke dalam kamarnya. Malam ini Om Gio tidur di rumah ku. Papa akan kembali besok pagi katanya. Dan aku harus siap dengan omelan Papa tentang surat peringatan yang baru saja kudapat dari sekolah.
Kak Rayi mengecup berkali-kali pucuk kepalaku. Postur tubuhnya yang jauh lebih tinggi dari padaku membuat nya dengan leluasa menguasai kepalaku. Karena aku memang lebih pendek dari nya.
"Are you oke, Ay?" tanyaku sambil mendongak melihat wajah nya yang terlihat kusut.
"Yeah, Iam oke, sayang," katanya sambil memelukku lagi, seolah tidak ingin melepaskan nya.
"Kamu tidur sini saja bagaimana? Kok aku khawatir kalau kamu pulang, apalagi kan sendirian," kataku.
"Enggak ah. Nanti Om Gio ngomel. Aku pulang saja. Nggak apa- apa, kan? Atau jangan-jangan kamu yang kangen, ya?" tanyanya sambil memencet hidungku.
"Ih, nggak gitu, Ay. Tapi ... iya sih, aku kangen," kataku kembali memeluk nya.
"Is tumbenan sayangku manja gini. Hayo mau minta apa?"
"Minta apa? Enggak ih. Cuma ... kangen. Aku makin sayang sama kamu," kataku malu- malu.
"Asyik!" Kak Rayi mencubit pipiku. Wajah kami berdekatan, dia bahkan menatap bibirku lama. Perlahan mendekat dan kurasakan embusan nafasnya di wajahku. Kini bibir kami saling menempel. Entah mendapat inspirasi dari mana, aku membalas ciuman nya. Cukup lama kami berciuman, dan ini adalah ciuman pertamaku.
Nafas kami mulai tidak beraturan, dan akhirnya aku melepaskan bibirku darinya. "kelamaan, bahaya."
Kak Rayi tertawa. Dan akhirnya satu kecupan terakhir di kening mengakhiri malam ini. Dia lantas pulang menaiki mobil nya. Aku menatap kepergian nya dengan senyum yang tak kunjung habis.
__________________
"Jadi kalian udah pacaran?" tanya Papa sambil mengoles selai kacang di lembar roti tawar yang berada di piring. Aku hanya menanggapi dengan santai, sembari meneguk susu hangat yang baru kuseduh.
"Hu um," sahut ku. Sedikit malu, namun berusaha menutupinya.
"Yang penting bisa jaga diri. Pacaran nya yang bener. Fokus sekolah juga," nasehat Papa.
"Iya, Pa. Papa nih, memang nya aku sama Kak Rayi mau apa ih. Masih kecil juga. Nggak bakal macam-macam," tandasku dengan bibir mengerucut, pertanda sebal pada apa yang Papa maksud. Aku tau ke mana arah pembicaraan ini.
"Iya, iya. Papa percaya. Anak Papa nggak akan aneh-aneh. Lagian kalau Rayi sampai macam-macamin kamu, ya lihat saja nanti." Kopi di meja Papa sudah tandas. Papa juga mulai merapikan dasinya. "Berangkat sekarang aja, yuk. Nanti macet," ajak Papa sambil menatap jam tangan di pergelangan tangan nya. Aku pun mengangguk dan segera menghabiskan susu hangat milikku.
Selama perjalanan Papa banyak mengobrol dan membahas banyak hal. Karena beberapa waktu lalu Papa terlampau sibuk dengan segala urusan bisnisnya. Dan meninggalkan ku di rumah seorang diri. Aku juga menceritakan tentang Kak Faza kemarin. Dan Papa cukup maklum dengan tindakanku.
Sepanjang jalan aku dan Papa saling curhat, hingga akhirnya samar-samar aku melihat ada motor Kak Rayi yang melintas di depan mobil. Namun terhalang oleh mobil di depanku. Tapi suaranya dan warna motornya sekilas terdengar sama. Hanya saja saat aku melongok dan mencari keberadaan motor itu, yang kulihat adalah seorang wanita berada di boncengan nya. Jadi aku berpikiran kalau itu pasti bukan Kak Rayi. Dan, orang yang memiliki motor itu memang tidak hanya dia saja.
Mobil berhenti di depan pintu gerbang sekolah yang masih terbuka lebar. Banyak siswa yang masuk ke dalam dengan langkah terburu-buru mau pun lamban. Setelah aku mencium punggung tangan Papa, aku mulai meninggalkan mobil dan segera masuk ke dalam.
Posisi gerbang sekolah yang berada di tengah, mampu membuatku melihat keberadaan parkiran motor yang ada di sisi kanan. Dan sisi tersebut memang parkiran khusus siswa, karena di sisi kiri adalah parkiran khusus guru dan staf.
Jarak yang cukup jauh membuatku harus menyipitkan mata untuk menyapu pandang ke sana. Mencari jejak keberadaan motor Kak Rayi yang ternyata sudah terparkir di tempatnya. Tempat biasa dia memarkirkan motor kesayangannya itu. Dengan riang aku mulai berjalan menuju ruang kelasku. Lorong ruang kelasku memang melewati kelas Kak Rayi terlebih dahulu. Sambil berjalan aku juga memeriksa keadaan sekitar, mencari keberadaan Kak Rayi yang belum kulihat sejak tadi. Biasanya dia ada di depan kelasnya, menungguku, dan biasanya juga dia akan mengejarku dengan ucapan selamat pagi hingga menemaniku berjalan sampai ke tangga ruang kelas 1.
Bahkan saat aku menoleh dan mencarinya, dia tak kunjung menampakkan diri. Sampai akhirnya aku menabrak seseorang di depan. Dan suara khasnya membuatku langsung mengenalinya walau aku belum melihat wajahnya.
"Ya ampun, Bil. Kalau jalan itu lihat ke depan, ini malah lihat ke belakang mulu! Nyariin siapa sih?" tanya Kak Roger dengan segelas minuman teh yang tampaknya dingin. Terlihat bulir air di gelas plastik tersebut.
"Ih, kakak yang salah. Ngapain di jalan," tukasku sambil mengerucut dan berjalan melewatinya begitu saja. Dan tampaknya Kak Roger tidak terima dengan sikapku ini. Dia terus mengejarku dengan berbagai pertanyaan menyelidik lainnya.
"Pasti nyariin Rayi, kan? Hayo ngaku," ejeknya sambil terus menjajari langkahku.
"Ye, ngarang."
"Kalau ngarang itu pelajaran bahasa Indonesia, Bil," elaknya sambil terus berjalan mengikutiku.
Dari lantai dua, Zidan memanggil, dan otomatis aku langsung mendongak ke atas, sehingga mendapatinya sedang melambaikan tangan dengan tumpukkan kertas yang digulung kecil di tangannya.
"Apa?!" jeritku agak kesal. Deretan teman-teman sekelas juga berada di sana. Dan ini adalah aktivitas pagi yang biasa dilakukan sebagian orang sambil menunggu bel masuk berbunyi. Bahkan deretan siswa kelas 1 yang ada di lantai dua dan tiga banyak yang berada di pinggir pagar pembatas yang tingginya hanya setengah badan orang dewasa.
"Tolong ke ruang guru dulu, Bil. Ambilin buku absensi. Gue lupa!" ujarnya sambil menunjukkan barisan gigi putihnya.
"Hwu!" umpatku kesal, namun aku tetap menurutinya berbalik menuju ruang guru. Dan Kak Roger justru makin menempel padaku. Aku makin sebal melihatnya.
"Gitu maksudnya, Bil. Lu tau, kan, kalau sekarang elu ini termasuk famous di sekolah. Apalagi elu sama Rayi sekarang pacaran. Yakin gue ini, banyak orang yang sirik, dan mencoba memisahkan kalian berdua," tukasnya, dia terlihat ngotot, bahkan sangat menggebu-gebu. Hingga membuat langkahku berhenti dan menatapnya sebal.
"Ini kak Roger mau ngapain sih?! Ngikutin aku terus. Udah sana balik kelas!" protesku dengan memasang wajah sebal.
"Lah kan tadi gue bilang, nanti takut terjadi sesuatu sama elu. Lu tau nggak sih kalau banyak fans Rayi selama ini. Nanti kalau tiba-tiba elu di bully massal bagaimana? Di seret ke kamar mandi, diiket terus dikunci di dalam. Hih, apa nggak bahaya?" tanyanya dengan berkelit terus menerus.
"Lebay ah!" sungutku, melanjutkan kembali perjalanan menuju ruang guru yang sebenarnya hanya tinggal beberapa langkah lagi. Bahkan di belokan depan sudah sampai di pintu ruang guru yang kucari. Tapi mengapa sikap Kak Roger seperti menahanku dan mencegahku untuk sampai ke sana dengan segera.
"Bil, Nabila!" jerit Kak Roger dan terus mengejarku.
Langkah kubuat cepat, sampai akhirnya aku berbelok ke ruang guru. Dan, rasanya jantungku serasa mau copot. Aku berhenti dengan tubuh lemas. Apa yang ada di hadapanku benar-benar nyata. Sepertinya apa yang kulihat tadi di jalan, memang Kak Rayi. Dan wanita yang ada di hadapanku sekarang adalah yang tadi kulihat. Yah, Kak Rayi berada di depan ruang guru bersama seorang wanita yang memakai pakaian seragam seperti kami. Tapi rasanya aku baru pernah melihatnya.
Seketika aku berbalik badan. Mengurungkan niatku untuk masuk ke ruang guru. Dan Kak Rayi memang tidak melihatku, karena dia terlalu sibuk merapikan rambut wanita tadi yang berantakan. Entah apa penyebabnya.
"Eh loh, ke mana, Bil?" jerit Kak Roger yang langsung menahan tanganku. Dan membuatku berhenti dan makin kesal dengan sikapnya pagi ini. Aku yakin Kak Rayi mendengarnya. "Eh, Yi, Sabrina, kalian di sini?" tanya Kak Roger sambil melirikku dengan sangat jelas. Aku balas meliriknya sinis.
"Bil? Mau ke mana?" tanya Kak Rayi yang terdengar santai. Aku langsung memejamkan mata dan mendengus sebal. Karena upaya pelarianku gagal. Tapi kenapa aku harus lari, seharusnya aku yang melabraknya karena merasa aku dan Kak Rayi sudah resmi berpacaran, dan dia tidak seharusnya menempel pada kekasihku seperti itu. Ah, aku tidak boleh posesif tentunya.
Kak Roger mendesis dan mengisyaratkan aku untuk menoleh pada orang yang mengajakku bicara tadi. Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu menoleh. "Mau ke kelas, Kak."
"Loh tadi kata Zidan, elu disuruh ambil buku absen kelas, Bil? Kagak jadi?" tanya Kak Roger sambil menaikkan kedua alisnya seolah meledekku. Aku menyipitkan mata dan menatapnya penuh sinyal peperangan. "Awas aja nanti," batinku dengan tatapan tajam kepadanya. Dia justru tersenyum tertahan.
"Eh, elu belum kenalan sama Sabrina, kan, Bil?" tanya Kak Roger lalu menarik tanganku dan mendekat pada mereka berdua.
"Selamat pagi sayang, kamu tadi jadi berangkat sama Papa, kan?" tanya Kak Rayi seperti yang biasa dia lakukan padaku. Dan seharusnya dia melakukan itu 10 menit lalu. "Ih, itu kamu pakai lipgloss, ya? Agak pink-pink merona gitu. Tapi kok kelebihan sedikit, Yang," ujarnya mendekat dan membersihkan sudut bibirku dengan ibu jarinya. Netranya terus menatapku. Tersenyum dengan tatapan teduh, seperti biasanya.
"Iya, sama Papa tadi, Kak."
Kak Rayi mengerutkan kening mendengar jawabanku. "Kok, manggilnya gitu?"
"Nggak enak ah. Di sekolah ini loh," bisikku mendekat ke telinganya. Tapi aku yakin kalau dua orang yang berada di dekat kami juga mendengarnya. Kak Roger berdeham. "Eh, Brin, kebetulan nih, ini Nabila, pacarnya Rayi," tukas Kak Roger.
Kak Rayi menoleh ke dua orang itu, karena memang posisinya membelakangi mereka berdua. "Ah, iya, ini Nabila, Brin. Pacar gue," kata Kak Rayi memperkenalkan kami pada akhirnya. Sabrina terlihat dingin menatapku. Ada gurat ketidak sukaan dari nya melihatku di sini. "Bil, dia Sabrina, teman kami di SMP dulu. Dan sekarang dia mau sekolah di sini," tambah Kak Rayi dan berhasil menjawab semua pertanyaan mengganjal di hatiku sejak tadi.
Kupaksakan menarik kedua sudut bibirku dan mengulurkan tangan sebagai bentuk perkenalan. "Nabila." Tapi dia justru mengalihkan pandangan dan menarik tangan Kak Rayi dengan rengekan yang membuatku muak. Mencari kantin karena belum sarapan? Cih, kasihan sekali. Harusnya kubawakan sisa sarapanku tadi di rumah. Agar wanita di depanku ini berhenti merengek. Sungguh menyebalkan sekali melihat pemandangan di depanku ini.
"Aku balik kelas dulu," kataku lalu berjalan meninggalkan mereka begitu saja. Aku benar-benar sudah muak, dan tidak tahan melihatnya. Daripada aku marah dan bersikap arogan di sana, lebih baik aku menyingkir saja. Sementara itu panggilan dari Kak Rayi dan Kak Roger tidak kupedulikan lagi, dan segera mempercepat langkah bahkan terkesan berlari.
Tiba-tiba di depan toilet guru seseorang baru saja keluar dari sana dan langsung menahan tanganku. Sempat takut jika ada guru yang marah karena melihatku berlarian di sekolah, namun ternyata itu adalah Kak Bintang. Wajahnya terlihat basah, sepertinya dia habis cuci muka. Bola matanya juga mengkilap seperti basah. Dan bibirnya tidak menampilkan senyum seperti biasanya. Ada yang aneh dengan sikap Kak Bintang pagi ini.
"Kamu ngapain, Bil? Jangan lari-lari, nanti kalau jatuh bagaimana?!" cegahnya dengan suara pelan. Aku yakin ada yang tidak beres dengan dirinya pagi ini. Yah, sama seperti pagiku yang kini terasa hambar.
"Mau bel masuk, Kak, takut telat," elakku sambil memalsukan senyum. Kak Bintang meneliti kedua mataku. Dengan alis yang bertautan. Tetapi segera suara yang ku maksud tadi benar-benar berdering kencang. "Tuh, kan?" tukasku dan merasa menang atas perdebatan yang belum masuk ke titik panas seperti biasanya.
Kak Bintang melepaskan pegangan tangannya dan membuatku mendapat kesempatan untuk lari dari hadapannya. Jeritannya seolah bagai angin lalu. Yang penting aku harus segera pergi dari para seniorku sekarang.
________________
Jam pelajaran pagi ini kulalui dengan perasaan tidak karuan. Pikiranku masih stuck pada Sabrina dan Kak Rayi. Aku merasa kalau wanita itu akan menjadi duri dalam daging. Apakah hubunganku dan Kak Rayi tidak akan bertahan lama. Karena dari segi fisik saja, Sabrina lebih segalanya timbang aku. Dia cantik, penampilannya modis, aku yakin banyak laki-laki yang menyukainya.
Sungguh hatiku terasa tidak karuan. Ini lebih kacau ketimbang ketahuan Papa pergi keluar rumah pada tengah malam. Dan sungguh lebih parah daripada aku menghadapi segala makhluk mengerikan kemarin. Huh, aku sangat frustrasi sekarang.
Jam istirahat sudah dimulai. Beberapa teman sekelas, keluar dan pergi ke kantin seperti biasa. Tapi aku justru enggan untuk beranjak dari kursi ini. Aku merebahkan kepalaku di atas meja. Memandangi jendela yang ada di samping ku. Beberapa orang kulihat mulai mondar mandir di koridor lantai dua, depan kelasku. Biasanya mereka adalah siswa yang berada di lantai tiga.
Saat jam istirahat memang hampir semua orang memilih berada di luar ruangan. Penatnya pelajaran yang kami hadapi selama berjam-jam di dalam kelas, memang mengharuskan kami untuk merelaksasikan otak kami barang sebentar di luar ruangan. Dan biasanya aku memang akan pergi keluar kelas jika jam istirahat begini. Entah ke kantin atau hanya duduk-duduk saja di taman sekolah. Tapi kali ini aku merasa tidak berminat ke mana-mana.
"Heh! Kenapa lu, Bil? Sakit?" tanya Zidan saat hendak keluar kelas. Aku tidak mengubah posisi dan hanya memaksa untuk menggeleng, walau sebenarnya itu cukup sulit. "Terus kenapa? Nggak ingin makan apa begitu?" tanyanya lagi.
"Enggak. Udah sana kamu ke kantin saja," kilahku.
"Hm, ya sudah deh." Akhirnya Zidan berhasil kuusir dari kelas. Dan kini hanya ada aku saja di dalam kelas. Sendirian. Suara riuh teman-teman yang tertawa dan menjerit terkadang jelas terdengar sampai telingaku. Aku memejamkan mata, mencoba untuk tidak menghiraukan semua suara di sekitar. Tapi tiba-tiba bayangan seseorang berada tepat di depanku. Walau terhalang kaca jendela, tapi aku bisa merasakan kalau ada seseorang di luar sana.
Buru-buru aku membuka mata dan mendapati Kak Rayi di sana. Ia terlihat menarik nafas panjang lalu geleng-geleng kepala dengan berkacak pinggang. Aku bangkit, membetulkan posisi duduk dan merapikan rambutku yang pasti berantakan. Kak Rayi masuk ke dalam kelas. "Sayang ... kamu kenapa? Sakit? Kata Zidan kamu nggak enak badan, makanya aku langsung ke sini," cakapnya sambil meletakkan punggung tangan di dahiku. Sementara aku justru berusaha untuk menghindar. "Aku nggak apa-apa kok," sahutku berusaha terlihat baik-baik saja. Agar tidak banyak pertanyaan darinya.
"Yang bener? Terus kamu kenapa di sini? Biasanya ke kantin sama Zidan, dan kita ketemu di sana." Dia terus meneliti, dan rasanya terus berusaha menelanjangi kedua bola mataku agar dapat menemukan sesuatu yang tidak beres padaku. Aku sadar kalau sikapku memang lain, tidak seperti diriku yang biasanya. Dan, wajar kalau Kak Rayi merasakannya.
"Lagi males saja, Kak."
Dahinya berkerut. Matanya berkeliling. "Bil, are you oke?" tanyanya yang mulai membuatku bingung harus menjawab apa.
"Hm, not really good. Tapi aku nggak apa-apa, Kak. Cuma lagi males saja. Nggak laper juga," sahutku. Tapi rupanya perutku saat ini sedang berkhianat. Dia justru membunyikan genderang protes dan membuat sudut mulut Kak Rayi muncul.
"You lie. Ayok, kita makan," ajaknya dan menarik tanganku keluar kelas. Aku pun pasrah.
Kami sampai di kantin. Dari depan pintu, suasana di dalam sudah cukup ramai. Kak Rayi yang masih menggandeng tanganku lantas menyapu pandang ke sekitar. Hingga alisnya tersentak bersama-sama saat melihat kerumunan orang di sudut kantin, yang tidak lain adalah teman-temannya dan ... Sabrina.
Oh, sial! aku terus mengumpat dalam hati dan merasa keadaan kali ini akan makin tidak menyenangkan. Ini bukan refresing seperti biasanya, justru malah makin memperburuk mood ku sekarang.
Kami akhirnya sampai di meja mereka. Menyapa mereka sebelum akhirnya duduk di kursi yang masih kosong. Kak Roger bahkan rela menggeser duduknya demi kami berdua. Matanya berbinar, lain dengan Kak Bintang. Wajahnya terlihat masam sejak pagi, dan sampai saat ini aku belum mengetahui alasannya.
regmekujo dan 4 lainnya memberi reputasi
5