- Beranda
- Stories from the Heart
Supernatural
...
TS
ny.sukrisna
Supernatural
Quote:
Mungkin agan di sini pernah baca cerita ane yang berjudul pancasona? Kali ini ane akan melanjutkan kisah itu di sini. Yang suka cerita genre fantasi, kasus pembunuhan berantai, gengster werewolf, vampire dan sejenisnya. Silakan mampir.


Quote:
INDEKS
Part 1 abimanyu maheswara
Part 2 abimanyu
Part 3 kalla
Part 4 siapa kalla
Part 5 seorang gadis
part 6 Ellea
part 7 taman
Part 8 kamar ellea
Part 9 pagi bersama ellea
Part 10 rencana
Part 11 tentang kalla
part 12 rumah elang
Part 13 kembali aktivitas
part 14 emosi elang
part 15 janin kalla
part 16 elang
Part 17 vin
Part 18 kantor
Part 19 kemunculan kalla
part 20 pulau titik nol kehidupan
part 21 desa terkutuk
Part 22 wira
Part 23 teman lama
Part 24 patung wira
part 25 teror di rumah John
part 26 tato
part 27 simbol aldebaro
part 28 buku
part 29 kantor kalla
part 30 batu saphire
part 31 Lian dan Ayu
part 32 kakak beradik yang kompak
part 33 penyusup
part 34 kalah jumlah
part 35 lorong rahasia
Part 36 masuk lorong
part 37 cairan aneh
part 38 rahasia kalandra
part 39 Nayaka adalah Kalandra
Part 40 kemampuan nayaka
Part 41 Arkie
Part 42 Arkie (2)
Part 43 peperangan
Part 44 berakhir
Part 45 desa abi
part 46 nabila
part 47 cafe abi
Part 48 Maya
part 49 riki kembali, risna terancam
part 50 iblis bertubuh manusia
part 51 bertemu eliza
part 52 Feliz
Part 53 Bisma
Part 54 ke mana bisma
part 55 rahasia mayat
part 56 bisma kabur
part 57 pertemuan tak terduga
part 58 penyelidikan
part 59 tabir rahasia
part 60 kebakaran
part 61 Bajra
part 62 pengorbanan Bajra
part 63 the best team
part 64 masa lalu
part 65 perang dimulai
part 66 kisah baru
part 67 bertemu vin
part 68 san paz
part 69 cafe KOV
part 70 demigod
part 71 california
part 72 Allea dan Ellea
part 73 rumah ellea
part 74 alan cha
part 75 latin kings
part 76 kediaman faizal
part 77 kematian faizal.
part 78 permainan
part 79 ellea cemburu
part 80 rumah
part 81 keributan
part 82 racun
part 83 mayat
part 84 rencana
part 85 kampung....
Part 86 kematian adi
part 87 tiga sekawan
part 88 zikal
part 89 duri dalam daging
part 90 kerja sama
part 91 Abraham alexi Bonar
part 92 terusir
part 93 penemuan mayat
part 94 dongeng manusia serigala
part 95 hewan atau manusia
part 96 Rendra adalah werewolf
part 97 Beta
part 98 melamar
part 99 pencarian lycanoid
part 100 siapa sebenarnya anda
part 101 terungkap kebenaran
part 102 kisah yang panjang
part 103 buku mantra
part 104 sebuah simbol
part 105 kaki tangan
part 106 pertikaian
part 107 bertemu elizabet
part 108 orang asing
part 109 mantra eksorsisme
part 110 Vin bersikap aneh
part 111 Samael
part 112 Linda sang paranormal
part 113 reinkarnasi
part 114 Nayla
part 115 Archangel
part 116 Flashback vin kesurupan
part 117 ritual
part 118 darah suci
part 119 Lasha
part 120 Amon
part 121 masa lalu arya
part 122 sekte sesat
part 123 sekte
part 124 bu rahayu
part 125 dhampire
part 126 penculikan
part 127 pengakuan rian.
part 128 azazil
part 129 ungkapan perasaan
part 130 perjalanan pertama
part 131 desa angukuni
part 132 Galiyan
part 133 hilang
part 134 Hans dan Jean
part 135 lintah Vlad
part 136 rahasia homestay
part 137 rumah kutukan
part 138 patung aneh
part 139 pulau insula mortem
part 140 mercusuar
part 141 kastil archanum
part 142 blue hole
part 143 jerogumo
part 144 timbuktu
part 145 gerbang gaib
part 146 hutan rougarau
part 147 bertemu azazil
part 148 SMU Mortus
part 149 Wendigo
part 150 danau misterius
part 151 jiwa yang hilang
part 152 serangan di rumah
part 153 misteri di sekolah
part 154 rumah rayi
part 155 makhluk lain di sekolah
part 156 Djin
part 157 menjemput jiwa
part 158 abitra
part 159 kepergian faza
part 160 Sabrina
part 161 puncak emosi
part 162 ilmu hitam
part 163 pertandingan basket
part 164 mariaban
part 165 Dagon
part 166 bantuan
INDEKS LANJUT DI SINI INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 16-05-2023 21:45
itkgid dan 12 lainnya memberi reputasi
13
13.5K
222
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#163
158 Abitra
"Astaga! Kak Rayi! Bangun! Kamu ngapain di sini?! Nanti kalau Papa tau, kita bisa digantung di depan!" aku berseru dengan nada suara yang pelan, takut jika suara ku ini di dengar orang lain. Aku membangunkan Kak Rayi namun dia hanya bergerak sebentar dan kembali terlelap. "Ih, Kak Rayi! Bangun!" Kembali kugoyangkan tubuhnya sambil melihat was-was ke pintu kamar. Rupanya sejak tadi dia tidur sambil memelukku.
"Hm? Kenapa? Eh, udah bangun?" tanyanya dengan mata sayu setengah tertutup.
"Kenapa kakak di sini? Ih, nanti papa marah!" rengekku.
"Justru Papa kamu yang suruh aku di sini, jagain kamu. Kalau kamu bangun dan butuh apa-apa," jelasnya. Dia kini mulai menguap dan merentangkan tangannya.
Aku yang sudah duduk di kasur, hanya menatapnya. Ekspresi bangun tidurnya sangat polos, dan Kak Rayi terlihat lucu. "Eh, bukannya kemarin kita di ...." Kembali teringat kejadian sebelumnya, saat tubuhku hampir tercabik, membuatku kebingungan. Jika kami sudah kembali dari dunia sebelah, seharusnya aku dan Kak Rayi berada di rumahnya, bersama semua orang. Tapi kenapa justru ada di kamarku. Apakah aku bermimpi?
"Iya. Jadi gini," katanya lalu duduk. Aku pun ikut bergeser, membetulkan posisi duduk agar lebih mudah menatapnya. Astaga, apa maksudnya tadi menatapnya? Ah, lupakan, lupakan.
"Kemarin, kamu pingsan. Dan Rachel berhasil menarik kita keluar dari dunia itu. Abitra juga berhasil membawa Sandi san Aira. Kita berhasil, Bil. Tapi kondisi kamu sama seperti saat kita ada di dunia lain. Kamu terluka cukup parah. Awalnya teman-teman mau membawa kamu ke rumah sakit. Tapi aku langsung menolak, dan aku bawa kamu ke rumah. Kebetulan ada Om Gio, dan kita langsung bawa kamu ke kamar pasir. Untung kamu bisa kembali baik-baik saja. Aku benar-benar khawatir."
"Jadi kemarin benar-benar terjadi? Aku nggak mimpi?"
"Iya, kemarin benar-benar terjadi." Kak Rayi menggenggam tanganku, menatap mataku dalam. "Kamu udah nggak apa-apa, kan? Aku benar-benar khawatir tentang keadaan kamu, Bil. Aku nggak bisa kalau melihat kamu terluka seperti itu, maaf kalau aku nggak bisa menjaga kamu."
"Kenapa Kak Rayi bilang begitu? Ini bukan tanggung jawab Kak Rayi. Lagian hal seperti ini sudah terbiasa terjadi, kak. Mungkin Kakak harus mulai terbiasa."
"Hm, iya. Dan mulai sekarang aku bakal terus ikut ke mana kamu pergi."
"Maksudnya?"
"Kalau kamu ada masalah seperti kemarin, aku bakal ikut."
"Tapi, Kak, itu terlalu berbahaya. Jangan! Kalau aku terluka, aku bisa sembuh. Tapi kalau Kak Rayi yang luka, bagaimana?"
"Ada Abitra. Sekarang aku sudah bisa melihat dia, Bil."
"Di dunia gaib kemarin, kan?"
"Iya, itu awal mula. Dan di sini aku bisa melihat dia juga. Abitra juga sekarang akan terus ikut ke mana aku pergi. Selama ini dia hanya ada di rumah karena menunggu aku. Menunggu aku siap. Dan ternyata kejadian kemarin membuat kami berdua menjadi saling terhubung."
"Wow, keren," gumamku sedikit melongo tak percaya. Kak Rayi tersenyum, tipis dan manis. Netranya yang terus menatapku dalam, membuatku salah tingkah. "Kak, ngeliatinnya jangan begitu napa?" kataku sambil menunduk malu.
"Loh, memangnya kenapa?"
"Malu!" ucapku sambil menghempaskan tangannya lalu beranjak dari ranjang menuju pintu balkon kamarku yang masih tertutup. Korden kusingkap dan sinar matahari mulai masuk ke kamar. Ranjangku berderit, dan itu memang pertanda jika seseorang yang sedang di atasnya, turun. Dari ujung ekor mataku, aku melihat Kak Rayi turun dan mendekat padaku. Kami berdiri berdampingan, lalu aku mengajaknya keluar. Balkon kamar di pagi hari seperti ini terlihat sangat menggoda. Kak Rayi hanya menurut dan ikut berjalan keluar.
Kami berhadapan dengan sinar matahari. Menyilaukan, tapi cukup menghangatkan. Semilir angin membuat aku makin betah berlama-lama di sini. Rasanya pagiku benar-benar sempurna, hanya ditinggal menyeduh kopi dan menikmatinya perlahan bersama Kak Rayi.
"Bil ...."
Aku menoleh mendengar panggilannya. Kak Rayi menunduk sebelum akhirnya kembali menatapku. Tatapan mata itu sungguh meneduhkan. Entah lah, rasanya aku akan betah berlama-lama menatap sorot mata itu. Aku hanya menaikkan alis menanggapi panggilan itu.
"Aku sayang kamu."
Deg! Rasanya jantungku berhenti selama sedetik, dan kembali berdetak lebih cepat. Darahku seolah berdesir. Aku tau, kalau Kak Rayi memang menyimpan rasa padaku. Tapi aku tidak menyangka kalau dia mengutarakannya sekarang. Dan aku bingung harus menjawab apa.
"Hm, iya, aku tau." Kini rasanya wajahku panas, aku bahkan tidak berani menatap mata Kak Rayi lagi.
"Terus bagaimana?"
"Apanya yang bagaimana?"
"Jadi kita?"
"Kita apa?" tanyaku kembali membalik pertanyaannya.
"Nabila ... astaga!"
"Kita pacaran?"
"Hah? Emangnya Kak Rayi ada nanya begitu? Kirain tadi cuma ngungkapin perasaan saja?"
Kak Rayi menggaruk kepalanya, "hm, salah ngomong gue," gumamnya berbicara sendiri. Dia kembali menatapku, lalu melebarkan senyumnya lagi. "Oke, ulangi," katanya membetulkan posisi tubuhnya. Kini kedua tanganku di genggam olehnya. Aku sempat tertawa melihat tingkahnya yang absurd ini.
"Nabila ...."
"...."
"Jawab dong."
"Hahaha. Oke. Iya, Kak?"
"Aku sayang kamu, Nabila."
"Aku juga, Kak."
"Juga apa?"
"Sayang kakak."
"Serius?!"
Aku mengangguk dengan senyum tertahan.
"Kita pacaran yuk."
"Hayuk!"
"Yeeey. Kita jadian ini?" tanyanya menegaskan kembali. Aku mengangguk sambil menahan tawa. Kak Rayi bersorak senang. Dia lalu mengangkat tubuhku dan berputar-putar.
Sederhana namun membahagiakan. Aku juga tidak menyangka hari ini akan datang juga. Kak Rayi, seorang pria yang belum lama kukenal. Mampu meruntuhkan hatiku. Tidak dalam waktu singkat, tapi perlahan. Aku sudah lama memperhatikan Kak Rayi. Tapi kami baru dekat beberapa waktu lalu. Dan rasanya aku seperti telah mengenalnya lama. Dan, pagi ini kami berdua justru meresmikan hubungan, menjadi pacaran. Cukup mengagetkan. Aku bahkan masih tidak percaya.
_________________
Sampai di pelataran parkir sekolah, kami berjalan berdampingan. Ini pertama kalinya kami datang dengan status baru. Tentu ada perbedaan untuk pagi ini. Kini tangan ku dan tangan Kak Rayi bergandengan. Membuat beberapa pasang mata yang melihat makin geleng-geleng kepala. Aku tau, rasanya aneh jika gadis cupu sepertiku menjadi kekasih Kak Rayi yang termasuk orang berpengaruh di sekolah. Tapi beginilah adanya. Beginilah cinta. Dan aku suka terhadap sikapnya.
Sampai di gedung ruangan kelas 1, Kak Rayi berhenti. Aku juga tidak mau dia mengantarku sampai kelas, walau sebenarnya dia mau. Tapi aku bukan tipikal wanita manja seperti itu. Aku sengaja menyuruhnya mengantar sampai tangga.
"Ya sudah, aku ke kelas, ya," katanya sambil mengecup keningku cepat. Pipi ku hangat, kupegang kedua pipi tembamku dan melirik ke samping kanan dan kiri. Melotot ke arah Kak Rayi yang berdiri di depanku. "Kakak ih!" rengekku pelan.
"Nggak apa-apa. Biar mereka tau kalau kita pacaran," bisiknya, tertawa lalu mengacak-acak rambutku. Dia pun berjalan menjauh, menuju kelasnya.
______________
Hari ini suasana sekolah aman terkendali. Aku mulai kembali teringat Rio. Bahkan aku merindukannya. Biasanya dia akan muncul setiap beberapa jam sekali. Tapi sekarang dia benar-benar lenyap. Menatap ke luar jendela, berharap dia lewat, namun nihil.
"Nabila?!" teriak seseorang, dan sontak aku langsung menatap kembali ke depan. Bu Nawang sedang melotot padaku. Ah, mati aku. Aku ketahuan melamun lagi di kelas. "Keluar kamu! Daripada kamu nggak fokus di pelajaran saya! Pergi ke perpustakaan, dan kerjakan ini," katanya sambil menunjukkan sebuah kertas di tangan kanannya. Zidan melirik ke arahku sambil menutup wajahnya. Ia lalu menggeleng disertai garukan kepala. Sementara yang lain tidak peduli.
Aku segera berdiri dan berjalan ke meja guru untuk mengambil tugas tersebut. Sambil menundukkan kepala, tugas dari Bu Nawang sudah ada di tangan. Entah ini kebahagiaan atau bencana bagiku. Aku bisa terbebas dari pelajaran di kelas, tapi ada tugas yang menungguku di depan mata. Dan, aku tidak tau apakah bisa mengerjakannya atau tidak.
Keadaan di luar kelas sangat sepi. Hanya ada satu atau dua orang yang muncul, entah akan menuju ruang guru atau toilet, bahkan mungkin kantin. Aku melihat seseorang yang kukenal. "Kak Faza!" gumamku menatap sosok pria di ujung koridor yang sedang berjalan bersama seorang wanita. Dahiku mengerut, karena aku pikir Mira bukanlah selera Kak Faza. Bahkan setahuku Mira pernah ditolak mentah-mentah oleh Kak Faza. Setidaknya itu yang pernah dikatakan Kak Rayi padaku beberapa waktu lalu.
Mereka berjalan dengan mesra sekali, dan hal ini membuatku penasaran. Diam-diam aku mengikuti Kak Faza dan Kak Mira. Aku terus menjaga jarak, agar pengintaianku tidak ketahuan. Makin lama aku makin bingung, karena kami mulai ke arah gedung kosong yang berada di belakang sekolah. Gedung yang sedang dalam tahap renovasi. Mereka masuk ke sebuah ruang kelas.
"Waduh, mereka mau ngapain, ya?" gumamku berbicara sendiri.
Perlahan aku mulai mendekat dan sampai di depan pintu yang sudah ditutup oleh Kak Faza. Mencurigakan sekali. Aku mencari lubang untuk mengintip. Namun semua tertutup rapat. Dan jalan satu-satunya adalah mengintip dari jendela yang letaknya agak tinggi di atas. Aku mencari pijakan, dan akhirnya berhasil mendapatkan sebuah kursi. Aku naik perlahan, berpegangan pada jendela tersebut, berusaha agar tidak menimbulkan suara sekecil mungkin.
Aku terus mencari keberadaan dua orang tadi. Lalu kini mereka mulai terlihat di sudut ruangan. Dan aku melihat Kak Mira sedang membuka kancing bajunya. Aku melotot lalu segera menunduk. Rasanya tidak perlu kulihat lagi kelanjutannya. Hal ini membuatku bergidik ngeri. Astaga Kak Faza. Perlahan aku hendak turun dari kursi ini, tapi tiba-tiba kakiku tersangkut, dan membuat tubuhku terjatuh. Aku menutup mulut dan kini Kak Rayi menangkapku dan membuat aku tidak jadi jatuh di lantai. Kursi juga dia pegang, dan tentu tidak ada suara apa pun kini. Kak Rayi melotot padaku, gerak bibirnya mampu kubaca kalau dia sedang bertanya apa yang sedang kulakukan. Aku meletakkan jari telunjuk di depan bibir, menyuruhnya diam. Kutarik tangannya menjauh dari tempat itu.
Kini kami sudah berada di dekat perpustakaan. Aku terus melihat ke sudut di mana Kak Faza dan Kak Mira berada. Kak Rayi masih menunggu penjelasanku. Tangannya dilipat di depan dada, sambil terus menatapku. "Kak, itu tadi, Kak Faza!"
"Faza? Ngapain?" tanyanya setengah tidak percaya.
"Sama Kak Mira. Mereka ...." Aku menggaruk kepala, bingung bagaimana menceritakannya. Kak Rayi makin menatapku dalam, menunggu penjelasanku selanjutnya.
"Aku tadi lihat Kak Mira buka baju, terus aku nggak lihat lagi, Kak. Ngeri," rengekku sambil memegangi lengannya. Kak Rayi mengerutkan keningnya lagi, lalu tertawa melihatku. "Ih, malah ketawa!"
"Habisnya kamu lucu. Terus kamu sendiri ngapain di luar? Bukannya di kelas!" cetusnya dengan statment mengintimidasi. Aku lantas menunjukkan kertas yang ada di tangan kananku. "Ini, disuruh ngerjain ini. Tadi aku ngelamun di kelas, terus Bu Nawang marah," rengekku manja.
"Ya udah dikerjain, buruan."
"Aku nggak bisa, Kak." Wajahku kubuat sangat memelas, agar Kak Rayi iba.
"Oke, aku banuin. Tapi ada syaratnya," ucapnya serius.
"Apa?"
"Jangan panggil aku Kak lagi, tapi sayang!"
"Hah?! Ih, nggak mau!"
"Loh, kok nggak mau? Kan kita sudah pacaran ini?"
"Malu," bisikku sambil melirik ke samping kanan dan kiri.
"Oke, aku kasih keringanan. Panggilan sayangnya cukup kalau kita lagi berdua saja, bagaimana?"
Aku diam sambil berpikir tentang tawaran ini, dan pada akhirnya aku mengangguk pelan. Pertanda setuju. Kak Rayi tersenyum lebar lalu mendekatkan sebelah wajahnya padaku. Aku mundur sambil menutup mulut. "Ayo, bilang. Gimana sih?" pintanya setengah memaksa.
"Iya, sayang," gumamku lebih ke berbisik lirih.
"Apa? Aku nggak dengar?"
"Iya, sayang." Aku mengeraskan ucapanku.
"Kurang keras."
"Iya, Kak Rayi sayaaang!" ucapku setengah menjerit. Dan segera menutup mulut sambil tengak tengok ke sekitar. Kak Rayi tertawa sambil bersorak. "Yuk, kerjain!" katanya, menggandengku masuk ke perpustakaan.
Dengan telaten dia terus mengajariku. Aku tau kalau Kak Rayi ini adalah salah satu murid yang pintar. Gosip tentang dirinya memang terus merebak, dan membuatku banyak tau tentang dirinya. Dan di saat seperti ini, aku sangat senang. Dan entah kenapa pelajaran Bu Nawang membuatku cepat mengerti. Sehingga soal terakhir membuatku langsung dapat mengerjakannya.
"Yey, selesai sudah," kataku riang. Menunjukkan hasil kerja kami berdua dengan bangga. Kak Rayi hanya tersenyum dan memegang kepalaku lalu mengecupnya cepat.
Kami berdua segera keluar dari perpustakaan begitu mendengar bel berdering. Pelajaran telah usai dan waktunya pulang. Di depan perpustakaan kami bertemu Kak Faza dan Kak Mira. Ini membuktikan kalau perkataanku tadi benar. Dan Kak Rayi pasti percaya sekarang.
"Heh! Dari mana lu?" tanya Kak Rayi. Menatap Kak Faza dan Kak Mira bergantian. Kak Mira terlihat salah tingkah sambil menutupi leher dengan kerah bajunya. Sepintas aku melihat kiss mark di lehernya. Aku yakin Kak Rayi juga melihat hal itu. "Aku duluan, ya," pamit Kak Mira sungkan. Dia lalu berlari kecil meninggalkan kami.
"Gila lu, Za," umpat Kak Rayi sambil geleng--geleng kepala.
"Berisik lu! Nggak usah ikut campur!" kata Kak Faza sinis, lalu pergi meninggalkan kami. Kak Rayi terlihat terkejut pada reaksi Kak Faza tersebut. Dia terlihat terguncang, dan itu sangat jelas sekali dari perubahan wajahnya.
"Ya sudah, kamu buruan balik kelas, nanti aku tunggu di parkiran ya, sayang," ucap Kak Rayi lalu mengecup keningku, lagi. Dia lantas berjalan lebih dulu meninggalkanku.
Pertama kalinya aku melihat Kak Rayi sedih. Dan aku tidak tega. Padahal sebelumnya belum pernah mereka bertengkar serius seperti itu. Dan memang aneh, Kak Faza yang bisa dikatakan orang paling alim seantero sekolah tiba-tiba kelakuannya memprihatinkan.
Aku menarik nafas panjang, lalu berjalan kembali ke kelas.
______________________
Kini Kak Rayi sudah duduk di atas kuda besinya. Diam sambil menatap dingin ke sudut lain parkiran. Di sana ada Kak Faza bersama Kak Mira. Mereka naik mobil Kak Faza. Rasanya persahabatan mereka benar-benar sedang kacau sekarang. Kak Roger dan Kak Bintang juga melihat ke arah Kak Faza sambil geleng-geleng kepala. Mereka berdua lantas mendekat ke Kak Rayi. Ketiganya terlibat pembicaraan serius, sepertinya.
Perlahan aku berjalan mendekat, mencoba mengulur waktu agar mereka memiliki waktu untuk mengobrol bersama. Aku yakin masalah ini memang harus dibahas secara intern. Dan aku bukan bagian dari itu.
"Bil? Ngapain di situ?" tanya Kak Rayi yang telah memergokiku berdiri mematung tak jauh dari mereka. "Sini, dong," katanya lalu melambaikan tangan padaku. Walau ragu, tapi aku tentu menurut dan mendekat ke mereka.
"Cie, yang sudah jadian, makan-makan ini," kata Kak Roger menyenggolku dengan tatapan genit.
"Apa sih, Kak Roger ini."
"Halah, pura-pura," sindirnya. Matanya menyipit dengan senyum lebar yang menyebalkan. Tatapan matanya benar-benar membuatku ingin memukulnya sambil tertawa.
"Hayuk, kita makan ini." Kalimat Kak Bintang membuat Kak Rayi memposisikan duduknya dengan benar.
"Yuk, mau di mana?" tanya Kak Rayi seolah menyetujui permintaan teman-temannya.
"Cafe biasa, Yi. Lama nggak ke sana kita," ujar Kak Bintang.
"Nah, setuju." Kak Roger lalu naik ke motor Kak Bintang.
Kak Rayi memberikan helm padaku dan menyuruhku segera naik. Tentu aku tidak pernah langsung pulang ke rumah. Karena selama ini aku cukup sering berada di luar rumah. Apalagi kalau Papa tidak ada di rumah. Dan sekarang Papa memang sedang ada perjalanan bisnis ke luar kota.
_______________
Kami sampai di cafe yang mereka maksud. Nuansa cafe yang modern tapi mewah membuatku terkagum-kagum. Selera mereka memang bagus dalam memilih tempat. Kami lantas mencari tempat duduk yang kosong. Kedua pria itu berjalan di depan, sementara aku dan Kak Rayi di belakang mereka, sambil bergandengan tangan. Sangat posesif, begitulah Kak Rayi. Tapi aku suka.
"Wait. Itu, kan, Faza!" tunjuk Kak Bintang ke sebuah meja dengan seorang pemuda dan seorang gadis di sana. Tapi anehnya gadis itu bukan Kak Mira. Tapi Kak Fitri.
"Ganti lagi dia?" tanya Kak Roger sinis.
"Gila si Faza. Banyak banget perubahannya, ya."
"Dan mendadak!" ucap Kak Rayi.
"Eum, hallo, bagaimana kalau kita cari tempat duduk? Aku lapar, By the way," pungkasku sambil mengelus perut. Kak Rayi tersenyum dan mengajakku ke sebuah meja yang memang agak jauh dari Kak Faza. Tapi keberadaan pemuda itu masih dapat jelas kami lihat.
Kami makan siang di sini. Dan katanya ini adalah peresmian hubunganku dan Kak Rayi. Meja sudah berisi banyak makanan. Mereka memilih makanan jepang. Dan aku juga suka. Mereka bertiga tertawa-tawa membahas banyak hal tentang sekolah. Apalagi sebentar lagi akan ada pemilihan ketua OSIS baru. Kak Rayi mendapat kehormatan sebagai salah satu kandidatnya.
"Iya, bingung juga, soalnya Andra ini rekapnya salah sih, jadi agak kacau memang. Cuma bisa lah kita handle nanti." Mereka mulai membahas hal organisasi di sini. Aku yang tidak paham pokok permasalahan, hanya diam dan menyimak. Sesekali aku melihat ke meja Kak Faza. Dia menyadari kalau kami juga ada di cafe ini, tapi entah kenapa dia terlihat tidak peduli. Malah makin asyik dengan wanita di sampingnya. Sikap Kak Faza sungguh aneh. Aku juga tidak mengerti kenapa Kak Faza berubah seperti itu. Seperti bukan dirinya.
"Ya ampun!" pekikku pelan. Aku menutup mulut sambil mengerutkan kening. Seolah tidak percaya pada apa yang kulihat barusan. "Ah, mungkin salah lihat," batinku pada diriku sendiri.
Aku kembali menyantap kudapan yang sudah ku pesan tadi, sambil menyimak obrolan para senior tentang pemilihan ketua OSIS periode baru. Kak Faza juga menjadi kandidat yang akan melawan Kak Rayi. Ada 5 kandidat OSIS. Dan semua adalah laki-laki.
____________
Kak Rayi mengantarkan aku pulang. Dan ini sepertinya akan menjadi agenda rutin setiap hari. Hubungan yang sedang hangat-hangatnya pasti membuat kami ingin terus bersama. Aku turun di depan pintu gerbang, Kak Rayi tidak mampir, karena sore ini akan mengantar Mamanya ke suatu tempat. "Aku pulang, ya," katanya sambil mengelus pipiku. Aku mengangguk dan tersenyum.
"I love you, sayang."
"I love you too, Kak Rayi."
"Sayangnya mana?" protes pemuda itu dengan membuat ekspresi mengiba.
"I love you too, Kak Rayi sayang."
"Eh, Bil, mulai sekarang hilangkan saja panggilan Kakak itu, bisa? Kayaknya nggak enak di dengar deh." Dia kembali protes dan membuatku terkekeh.
"Terus aku panggil apa?"
"Kamu aku panggil Yang, dan kamu panggil aku Ay. Namaku ini masih ada unsur Ay nya loh."
"Hm, oke oke. Boleh juga, Kak."
"Eh, kak lagi!"
"Hahaha. Oke, Ay," kataku sedikit berbisik.
"Ih, malu-malu si sayangku." Kak Rayi mencubit kedua pipiku gemas. Dia lantas pamit pulang dan aku kini melepas kepergiannya dengan senyum bahagia.
Tapi tiba-tiba aku menjadi teringat Kak Faza saat di kantin tadi. Matanya aneh. Sekilas matanya berubah hitam. Dan itu berlangsung hanya sepersekian detik. Tapi aku benar-benar melihatnya. Dan hal ini membuat kecurigaanku seolah menemukan titik temu. Setidaknya aku yakin kalau dia bukan lagi Kak Faza yang selama ini kami kenal. Bahkan aku tidak yakin kalau Kak Faza masih ada di tubuhnya. Dan aku menjadi teringat perkataan Rachel tempo hari. Manusia yang pernah melintasi dunia lain atau jiwanya ditahan oleh makhluk gaib, harus mengalami serangkaian tes, untuk membuktikan dan meyakinkan kalau jiwa yang kembali ke tubuhnya memang jiwanya. Bukan jiwa makhluk jahat lain yang menginginkan kehidupan lain di bumi. Karena sering kali manusia yang jiwanya pernah hilang akan bersikap tidak wajar dan aneh. Dan kini aku melihatnya di dalam diri Kak Faza.
"Hm? Kenapa? Eh, udah bangun?" tanyanya dengan mata sayu setengah tertutup.
"Kenapa kakak di sini? Ih, nanti papa marah!" rengekku.
"Justru Papa kamu yang suruh aku di sini, jagain kamu. Kalau kamu bangun dan butuh apa-apa," jelasnya. Dia kini mulai menguap dan merentangkan tangannya.
Aku yang sudah duduk di kasur, hanya menatapnya. Ekspresi bangun tidurnya sangat polos, dan Kak Rayi terlihat lucu. "Eh, bukannya kemarin kita di ...." Kembali teringat kejadian sebelumnya, saat tubuhku hampir tercabik, membuatku kebingungan. Jika kami sudah kembali dari dunia sebelah, seharusnya aku dan Kak Rayi berada di rumahnya, bersama semua orang. Tapi kenapa justru ada di kamarku. Apakah aku bermimpi?
"Iya. Jadi gini," katanya lalu duduk. Aku pun ikut bergeser, membetulkan posisi duduk agar lebih mudah menatapnya. Astaga, apa maksudnya tadi menatapnya? Ah, lupakan, lupakan.
"Kemarin, kamu pingsan. Dan Rachel berhasil menarik kita keluar dari dunia itu. Abitra juga berhasil membawa Sandi san Aira. Kita berhasil, Bil. Tapi kondisi kamu sama seperti saat kita ada di dunia lain. Kamu terluka cukup parah. Awalnya teman-teman mau membawa kamu ke rumah sakit. Tapi aku langsung menolak, dan aku bawa kamu ke rumah. Kebetulan ada Om Gio, dan kita langsung bawa kamu ke kamar pasir. Untung kamu bisa kembali baik-baik saja. Aku benar-benar khawatir."
"Jadi kemarin benar-benar terjadi? Aku nggak mimpi?"
"Iya, kemarin benar-benar terjadi." Kak Rayi menggenggam tanganku, menatap mataku dalam. "Kamu udah nggak apa-apa, kan? Aku benar-benar khawatir tentang keadaan kamu, Bil. Aku nggak bisa kalau melihat kamu terluka seperti itu, maaf kalau aku nggak bisa menjaga kamu."
"Kenapa Kak Rayi bilang begitu? Ini bukan tanggung jawab Kak Rayi. Lagian hal seperti ini sudah terbiasa terjadi, kak. Mungkin Kakak harus mulai terbiasa."
"Hm, iya. Dan mulai sekarang aku bakal terus ikut ke mana kamu pergi."
"Maksudnya?"
"Kalau kamu ada masalah seperti kemarin, aku bakal ikut."
"Tapi, Kak, itu terlalu berbahaya. Jangan! Kalau aku terluka, aku bisa sembuh. Tapi kalau Kak Rayi yang luka, bagaimana?"
"Ada Abitra. Sekarang aku sudah bisa melihat dia, Bil."
"Di dunia gaib kemarin, kan?"
"Iya, itu awal mula. Dan di sini aku bisa melihat dia juga. Abitra juga sekarang akan terus ikut ke mana aku pergi. Selama ini dia hanya ada di rumah karena menunggu aku. Menunggu aku siap. Dan ternyata kejadian kemarin membuat kami berdua menjadi saling terhubung."
"Wow, keren," gumamku sedikit melongo tak percaya. Kak Rayi tersenyum, tipis dan manis. Netranya yang terus menatapku dalam, membuatku salah tingkah. "Kak, ngeliatinnya jangan begitu napa?" kataku sambil menunduk malu.
"Loh, memangnya kenapa?"
"Malu!" ucapku sambil menghempaskan tangannya lalu beranjak dari ranjang menuju pintu balkon kamarku yang masih tertutup. Korden kusingkap dan sinar matahari mulai masuk ke kamar. Ranjangku berderit, dan itu memang pertanda jika seseorang yang sedang di atasnya, turun. Dari ujung ekor mataku, aku melihat Kak Rayi turun dan mendekat padaku. Kami berdiri berdampingan, lalu aku mengajaknya keluar. Balkon kamar di pagi hari seperti ini terlihat sangat menggoda. Kak Rayi hanya menurut dan ikut berjalan keluar.
Kami berhadapan dengan sinar matahari. Menyilaukan, tapi cukup menghangatkan. Semilir angin membuat aku makin betah berlama-lama di sini. Rasanya pagiku benar-benar sempurna, hanya ditinggal menyeduh kopi dan menikmatinya perlahan bersama Kak Rayi.
"Bil ...."
Aku menoleh mendengar panggilannya. Kak Rayi menunduk sebelum akhirnya kembali menatapku. Tatapan mata itu sungguh meneduhkan. Entah lah, rasanya aku akan betah berlama-lama menatap sorot mata itu. Aku hanya menaikkan alis menanggapi panggilan itu.
"Aku sayang kamu."
Deg! Rasanya jantungku berhenti selama sedetik, dan kembali berdetak lebih cepat. Darahku seolah berdesir. Aku tau, kalau Kak Rayi memang menyimpan rasa padaku. Tapi aku tidak menyangka kalau dia mengutarakannya sekarang. Dan aku bingung harus menjawab apa.
"Hm, iya, aku tau." Kini rasanya wajahku panas, aku bahkan tidak berani menatap mata Kak Rayi lagi.
"Terus bagaimana?"
"Apanya yang bagaimana?"
"Jadi kita?"
"Kita apa?" tanyaku kembali membalik pertanyaannya.
"Nabila ... astaga!"
"Kita pacaran?"
"Hah? Emangnya Kak Rayi ada nanya begitu? Kirain tadi cuma ngungkapin perasaan saja?"
Kak Rayi menggaruk kepalanya, "hm, salah ngomong gue," gumamnya berbicara sendiri. Dia kembali menatapku, lalu melebarkan senyumnya lagi. "Oke, ulangi," katanya membetulkan posisi tubuhnya. Kini kedua tanganku di genggam olehnya. Aku sempat tertawa melihat tingkahnya yang absurd ini.
"Nabila ...."
"...."
"Jawab dong."
"Hahaha. Oke. Iya, Kak?"
"Aku sayang kamu, Nabila."
"Aku juga, Kak."
"Juga apa?"
"Sayang kakak."
"Serius?!"
Aku mengangguk dengan senyum tertahan.
"Kita pacaran yuk."
"Hayuk!"
"Yeeey. Kita jadian ini?" tanyanya menegaskan kembali. Aku mengangguk sambil menahan tawa. Kak Rayi bersorak senang. Dia lalu mengangkat tubuhku dan berputar-putar.
Sederhana namun membahagiakan. Aku juga tidak menyangka hari ini akan datang juga. Kak Rayi, seorang pria yang belum lama kukenal. Mampu meruntuhkan hatiku. Tidak dalam waktu singkat, tapi perlahan. Aku sudah lama memperhatikan Kak Rayi. Tapi kami baru dekat beberapa waktu lalu. Dan rasanya aku seperti telah mengenalnya lama. Dan, pagi ini kami berdua justru meresmikan hubungan, menjadi pacaran. Cukup mengagetkan. Aku bahkan masih tidak percaya.
_________________
Sampai di pelataran parkir sekolah, kami berjalan berdampingan. Ini pertama kalinya kami datang dengan status baru. Tentu ada perbedaan untuk pagi ini. Kini tangan ku dan tangan Kak Rayi bergandengan. Membuat beberapa pasang mata yang melihat makin geleng-geleng kepala. Aku tau, rasanya aneh jika gadis cupu sepertiku menjadi kekasih Kak Rayi yang termasuk orang berpengaruh di sekolah. Tapi beginilah adanya. Beginilah cinta. Dan aku suka terhadap sikapnya.
Sampai di gedung ruangan kelas 1, Kak Rayi berhenti. Aku juga tidak mau dia mengantarku sampai kelas, walau sebenarnya dia mau. Tapi aku bukan tipikal wanita manja seperti itu. Aku sengaja menyuruhnya mengantar sampai tangga.
"Ya sudah, aku ke kelas, ya," katanya sambil mengecup keningku cepat. Pipi ku hangat, kupegang kedua pipi tembamku dan melirik ke samping kanan dan kiri. Melotot ke arah Kak Rayi yang berdiri di depanku. "Kakak ih!" rengekku pelan.
"Nggak apa-apa. Biar mereka tau kalau kita pacaran," bisiknya, tertawa lalu mengacak-acak rambutku. Dia pun berjalan menjauh, menuju kelasnya.
______________
Hari ini suasana sekolah aman terkendali. Aku mulai kembali teringat Rio. Bahkan aku merindukannya. Biasanya dia akan muncul setiap beberapa jam sekali. Tapi sekarang dia benar-benar lenyap. Menatap ke luar jendela, berharap dia lewat, namun nihil.
"Nabila?!" teriak seseorang, dan sontak aku langsung menatap kembali ke depan. Bu Nawang sedang melotot padaku. Ah, mati aku. Aku ketahuan melamun lagi di kelas. "Keluar kamu! Daripada kamu nggak fokus di pelajaran saya! Pergi ke perpustakaan, dan kerjakan ini," katanya sambil menunjukkan sebuah kertas di tangan kanannya. Zidan melirik ke arahku sambil menutup wajahnya. Ia lalu menggeleng disertai garukan kepala. Sementara yang lain tidak peduli.
Aku segera berdiri dan berjalan ke meja guru untuk mengambil tugas tersebut. Sambil menundukkan kepala, tugas dari Bu Nawang sudah ada di tangan. Entah ini kebahagiaan atau bencana bagiku. Aku bisa terbebas dari pelajaran di kelas, tapi ada tugas yang menungguku di depan mata. Dan, aku tidak tau apakah bisa mengerjakannya atau tidak.
Keadaan di luar kelas sangat sepi. Hanya ada satu atau dua orang yang muncul, entah akan menuju ruang guru atau toilet, bahkan mungkin kantin. Aku melihat seseorang yang kukenal. "Kak Faza!" gumamku menatap sosok pria di ujung koridor yang sedang berjalan bersama seorang wanita. Dahiku mengerut, karena aku pikir Mira bukanlah selera Kak Faza. Bahkan setahuku Mira pernah ditolak mentah-mentah oleh Kak Faza. Setidaknya itu yang pernah dikatakan Kak Rayi padaku beberapa waktu lalu.
Mereka berjalan dengan mesra sekali, dan hal ini membuatku penasaran. Diam-diam aku mengikuti Kak Faza dan Kak Mira. Aku terus menjaga jarak, agar pengintaianku tidak ketahuan. Makin lama aku makin bingung, karena kami mulai ke arah gedung kosong yang berada di belakang sekolah. Gedung yang sedang dalam tahap renovasi. Mereka masuk ke sebuah ruang kelas.
"Waduh, mereka mau ngapain, ya?" gumamku berbicara sendiri.
Perlahan aku mulai mendekat dan sampai di depan pintu yang sudah ditutup oleh Kak Faza. Mencurigakan sekali. Aku mencari lubang untuk mengintip. Namun semua tertutup rapat. Dan jalan satu-satunya adalah mengintip dari jendela yang letaknya agak tinggi di atas. Aku mencari pijakan, dan akhirnya berhasil mendapatkan sebuah kursi. Aku naik perlahan, berpegangan pada jendela tersebut, berusaha agar tidak menimbulkan suara sekecil mungkin.
Aku terus mencari keberadaan dua orang tadi. Lalu kini mereka mulai terlihat di sudut ruangan. Dan aku melihat Kak Mira sedang membuka kancing bajunya. Aku melotot lalu segera menunduk. Rasanya tidak perlu kulihat lagi kelanjutannya. Hal ini membuatku bergidik ngeri. Astaga Kak Faza. Perlahan aku hendak turun dari kursi ini, tapi tiba-tiba kakiku tersangkut, dan membuat tubuhku terjatuh. Aku menutup mulut dan kini Kak Rayi menangkapku dan membuat aku tidak jadi jatuh di lantai. Kursi juga dia pegang, dan tentu tidak ada suara apa pun kini. Kak Rayi melotot padaku, gerak bibirnya mampu kubaca kalau dia sedang bertanya apa yang sedang kulakukan. Aku meletakkan jari telunjuk di depan bibir, menyuruhnya diam. Kutarik tangannya menjauh dari tempat itu.
Kini kami sudah berada di dekat perpustakaan. Aku terus melihat ke sudut di mana Kak Faza dan Kak Mira berada. Kak Rayi masih menunggu penjelasanku. Tangannya dilipat di depan dada, sambil terus menatapku. "Kak, itu tadi, Kak Faza!"
"Faza? Ngapain?" tanyanya setengah tidak percaya.
"Sama Kak Mira. Mereka ...." Aku menggaruk kepala, bingung bagaimana menceritakannya. Kak Rayi makin menatapku dalam, menunggu penjelasanku selanjutnya.
"Aku tadi lihat Kak Mira buka baju, terus aku nggak lihat lagi, Kak. Ngeri," rengekku sambil memegangi lengannya. Kak Rayi mengerutkan keningnya lagi, lalu tertawa melihatku. "Ih, malah ketawa!"
"Habisnya kamu lucu. Terus kamu sendiri ngapain di luar? Bukannya di kelas!" cetusnya dengan statment mengintimidasi. Aku lantas menunjukkan kertas yang ada di tangan kananku. "Ini, disuruh ngerjain ini. Tadi aku ngelamun di kelas, terus Bu Nawang marah," rengekku manja.
"Ya udah dikerjain, buruan."
"Aku nggak bisa, Kak." Wajahku kubuat sangat memelas, agar Kak Rayi iba.
"Oke, aku banuin. Tapi ada syaratnya," ucapnya serius.
"Apa?"
"Jangan panggil aku Kak lagi, tapi sayang!"
"Hah?! Ih, nggak mau!"
"Loh, kok nggak mau? Kan kita sudah pacaran ini?"
"Malu," bisikku sambil melirik ke samping kanan dan kiri.
"Oke, aku kasih keringanan. Panggilan sayangnya cukup kalau kita lagi berdua saja, bagaimana?"
Aku diam sambil berpikir tentang tawaran ini, dan pada akhirnya aku mengangguk pelan. Pertanda setuju. Kak Rayi tersenyum lebar lalu mendekatkan sebelah wajahnya padaku. Aku mundur sambil menutup mulut. "Ayo, bilang. Gimana sih?" pintanya setengah memaksa.
"Iya, sayang," gumamku lebih ke berbisik lirih.
"Apa? Aku nggak dengar?"
"Iya, sayang." Aku mengeraskan ucapanku.
"Kurang keras."
"Iya, Kak Rayi sayaaang!" ucapku setengah menjerit. Dan segera menutup mulut sambil tengak tengok ke sekitar. Kak Rayi tertawa sambil bersorak. "Yuk, kerjain!" katanya, menggandengku masuk ke perpustakaan.
Dengan telaten dia terus mengajariku. Aku tau kalau Kak Rayi ini adalah salah satu murid yang pintar. Gosip tentang dirinya memang terus merebak, dan membuatku banyak tau tentang dirinya. Dan di saat seperti ini, aku sangat senang. Dan entah kenapa pelajaran Bu Nawang membuatku cepat mengerti. Sehingga soal terakhir membuatku langsung dapat mengerjakannya.
"Yey, selesai sudah," kataku riang. Menunjukkan hasil kerja kami berdua dengan bangga. Kak Rayi hanya tersenyum dan memegang kepalaku lalu mengecupnya cepat.
Kami berdua segera keluar dari perpustakaan begitu mendengar bel berdering. Pelajaran telah usai dan waktunya pulang. Di depan perpustakaan kami bertemu Kak Faza dan Kak Mira. Ini membuktikan kalau perkataanku tadi benar. Dan Kak Rayi pasti percaya sekarang.
"Heh! Dari mana lu?" tanya Kak Rayi. Menatap Kak Faza dan Kak Mira bergantian. Kak Mira terlihat salah tingkah sambil menutupi leher dengan kerah bajunya. Sepintas aku melihat kiss mark di lehernya. Aku yakin Kak Rayi juga melihat hal itu. "Aku duluan, ya," pamit Kak Mira sungkan. Dia lalu berlari kecil meninggalkan kami.
"Gila lu, Za," umpat Kak Rayi sambil geleng--geleng kepala.
"Berisik lu! Nggak usah ikut campur!" kata Kak Faza sinis, lalu pergi meninggalkan kami. Kak Rayi terlihat terkejut pada reaksi Kak Faza tersebut. Dia terlihat terguncang, dan itu sangat jelas sekali dari perubahan wajahnya.
"Ya sudah, kamu buruan balik kelas, nanti aku tunggu di parkiran ya, sayang," ucap Kak Rayi lalu mengecup keningku, lagi. Dia lantas berjalan lebih dulu meninggalkanku.
Pertama kalinya aku melihat Kak Rayi sedih. Dan aku tidak tega. Padahal sebelumnya belum pernah mereka bertengkar serius seperti itu. Dan memang aneh, Kak Faza yang bisa dikatakan orang paling alim seantero sekolah tiba-tiba kelakuannya memprihatinkan.
Aku menarik nafas panjang, lalu berjalan kembali ke kelas.
______________________
Kini Kak Rayi sudah duduk di atas kuda besinya. Diam sambil menatap dingin ke sudut lain parkiran. Di sana ada Kak Faza bersama Kak Mira. Mereka naik mobil Kak Faza. Rasanya persahabatan mereka benar-benar sedang kacau sekarang. Kak Roger dan Kak Bintang juga melihat ke arah Kak Faza sambil geleng-geleng kepala. Mereka berdua lantas mendekat ke Kak Rayi. Ketiganya terlibat pembicaraan serius, sepertinya.
Perlahan aku berjalan mendekat, mencoba mengulur waktu agar mereka memiliki waktu untuk mengobrol bersama. Aku yakin masalah ini memang harus dibahas secara intern. Dan aku bukan bagian dari itu.
"Bil? Ngapain di situ?" tanya Kak Rayi yang telah memergokiku berdiri mematung tak jauh dari mereka. "Sini, dong," katanya lalu melambaikan tangan padaku. Walau ragu, tapi aku tentu menurut dan mendekat ke mereka.
"Cie, yang sudah jadian, makan-makan ini," kata Kak Roger menyenggolku dengan tatapan genit.
"Apa sih, Kak Roger ini."
"Halah, pura-pura," sindirnya. Matanya menyipit dengan senyum lebar yang menyebalkan. Tatapan matanya benar-benar membuatku ingin memukulnya sambil tertawa.
"Hayuk, kita makan ini." Kalimat Kak Bintang membuat Kak Rayi memposisikan duduknya dengan benar.
"Yuk, mau di mana?" tanya Kak Rayi seolah menyetujui permintaan teman-temannya.
"Cafe biasa, Yi. Lama nggak ke sana kita," ujar Kak Bintang.
"Nah, setuju." Kak Roger lalu naik ke motor Kak Bintang.
Kak Rayi memberikan helm padaku dan menyuruhku segera naik. Tentu aku tidak pernah langsung pulang ke rumah. Karena selama ini aku cukup sering berada di luar rumah. Apalagi kalau Papa tidak ada di rumah. Dan sekarang Papa memang sedang ada perjalanan bisnis ke luar kota.
_______________
Kami sampai di cafe yang mereka maksud. Nuansa cafe yang modern tapi mewah membuatku terkagum-kagum. Selera mereka memang bagus dalam memilih tempat. Kami lantas mencari tempat duduk yang kosong. Kedua pria itu berjalan di depan, sementara aku dan Kak Rayi di belakang mereka, sambil bergandengan tangan. Sangat posesif, begitulah Kak Rayi. Tapi aku suka.
"Wait. Itu, kan, Faza!" tunjuk Kak Bintang ke sebuah meja dengan seorang pemuda dan seorang gadis di sana. Tapi anehnya gadis itu bukan Kak Mira. Tapi Kak Fitri.
"Ganti lagi dia?" tanya Kak Roger sinis.
"Gila si Faza. Banyak banget perubahannya, ya."
"Dan mendadak!" ucap Kak Rayi.
"Eum, hallo, bagaimana kalau kita cari tempat duduk? Aku lapar, By the way," pungkasku sambil mengelus perut. Kak Rayi tersenyum dan mengajakku ke sebuah meja yang memang agak jauh dari Kak Faza. Tapi keberadaan pemuda itu masih dapat jelas kami lihat.
Kami makan siang di sini. Dan katanya ini adalah peresmian hubunganku dan Kak Rayi. Meja sudah berisi banyak makanan. Mereka memilih makanan jepang. Dan aku juga suka. Mereka bertiga tertawa-tawa membahas banyak hal tentang sekolah. Apalagi sebentar lagi akan ada pemilihan ketua OSIS baru. Kak Rayi mendapat kehormatan sebagai salah satu kandidatnya.
"Iya, bingung juga, soalnya Andra ini rekapnya salah sih, jadi agak kacau memang. Cuma bisa lah kita handle nanti." Mereka mulai membahas hal organisasi di sini. Aku yang tidak paham pokok permasalahan, hanya diam dan menyimak. Sesekali aku melihat ke meja Kak Faza. Dia menyadari kalau kami juga ada di cafe ini, tapi entah kenapa dia terlihat tidak peduli. Malah makin asyik dengan wanita di sampingnya. Sikap Kak Faza sungguh aneh. Aku juga tidak mengerti kenapa Kak Faza berubah seperti itu. Seperti bukan dirinya.
"Ya ampun!" pekikku pelan. Aku menutup mulut sambil mengerutkan kening. Seolah tidak percaya pada apa yang kulihat barusan. "Ah, mungkin salah lihat," batinku pada diriku sendiri.
Aku kembali menyantap kudapan yang sudah ku pesan tadi, sambil menyimak obrolan para senior tentang pemilihan ketua OSIS periode baru. Kak Faza juga menjadi kandidat yang akan melawan Kak Rayi. Ada 5 kandidat OSIS. Dan semua adalah laki-laki.
____________
Kak Rayi mengantarkan aku pulang. Dan ini sepertinya akan menjadi agenda rutin setiap hari. Hubungan yang sedang hangat-hangatnya pasti membuat kami ingin terus bersama. Aku turun di depan pintu gerbang, Kak Rayi tidak mampir, karena sore ini akan mengantar Mamanya ke suatu tempat. "Aku pulang, ya," katanya sambil mengelus pipiku. Aku mengangguk dan tersenyum.
"I love you, sayang."
"I love you too, Kak Rayi."
"Sayangnya mana?" protes pemuda itu dengan membuat ekspresi mengiba.
"I love you too, Kak Rayi sayang."
"Eh, Bil, mulai sekarang hilangkan saja panggilan Kakak itu, bisa? Kayaknya nggak enak di dengar deh." Dia kembali protes dan membuatku terkekeh.
"Terus aku panggil apa?"
"Kamu aku panggil Yang, dan kamu panggil aku Ay. Namaku ini masih ada unsur Ay nya loh."
"Hm, oke oke. Boleh juga, Kak."
"Eh, kak lagi!"
"Hahaha. Oke, Ay," kataku sedikit berbisik.
"Ih, malu-malu si sayangku." Kak Rayi mencubit kedua pipiku gemas. Dia lantas pamit pulang dan aku kini melepas kepergiannya dengan senyum bahagia.
Tapi tiba-tiba aku menjadi teringat Kak Faza saat di kantin tadi. Matanya aneh. Sekilas matanya berubah hitam. Dan itu berlangsung hanya sepersekian detik. Tapi aku benar-benar melihatnya. Dan hal ini membuat kecurigaanku seolah menemukan titik temu. Setidaknya aku yakin kalau dia bukan lagi Kak Faza yang selama ini kami kenal. Bahkan aku tidak yakin kalau Kak Faza masih ada di tubuhnya. Dan aku menjadi teringat perkataan Rachel tempo hari. Manusia yang pernah melintasi dunia lain atau jiwanya ditahan oleh makhluk gaib, harus mengalami serangkaian tes, untuk membuktikan dan meyakinkan kalau jiwa yang kembali ke tubuhnya memang jiwanya. Bukan jiwa makhluk jahat lain yang menginginkan kehidupan lain di bumi. Karena sering kali manusia yang jiwanya pernah hilang akan bersikap tidak wajar dan aneh. Dan kini aku melihatnya di dalam diri Kak Faza.
regmekujo dan 3 lainnya memberi reputasi
4