- Beranda
- Stories from the Heart
Supernatural
...
TS
ny.sukrisna
Supernatural
Quote:
Mungkin agan di sini pernah baca cerita ane yang berjudul pancasona? Kali ini ane akan melanjutkan kisah itu di sini. Yang suka cerita genre fantasi, kasus pembunuhan berantai, gengster werewolf, vampire dan sejenisnya. Silakan mampir.


Quote:
INDEKS
Part 1 abimanyu maheswara
Part 2 abimanyu
Part 3 kalla
Part 4 siapa kalla
Part 5 seorang gadis
part 6 Ellea
part 7 taman
Part 8 kamar ellea
Part 9 pagi bersama ellea
Part 10 rencana
Part 11 tentang kalla
part 12 rumah elang
Part 13 kembali aktivitas
part 14 emosi elang
part 15 janin kalla
part 16 elang
Part 17 vin
Part 18 kantor
Part 19 kemunculan kalla
part 20 pulau titik nol kehidupan
part 21 desa terkutuk
Part 22 wira
Part 23 teman lama
Part 24 patung wira
part 25 teror di rumah John
part 26 tato
part 27 simbol aldebaro
part 28 buku
part 29 kantor kalla
part 30 batu saphire
part 31 Lian dan Ayu
part 32 kakak beradik yang kompak
part 33 penyusup
part 34 kalah jumlah
part 35 lorong rahasia
Part 36 masuk lorong
part 37 cairan aneh
part 38 rahasia kalandra
part 39 Nayaka adalah Kalandra
Part 40 kemampuan nayaka
Part 41 Arkie
Part 42 Arkie (2)
Part 43 peperangan
Part 44 berakhir
Part 45 desa abi
part 46 nabila
part 47 cafe abi
Part 48 Maya
part 49 riki kembali, risna terancam
part 50 iblis bertubuh manusia
part 51 bertemu eliza
part 52 Feliz
Part 53 Bisma
Part 54 ke mana bisma
part 55 rahasia mayat
part 56 bisma kabur
part 57 pertemuan tak terduga
part 58 penyelidikan
part 59 tabir rahasia
part 60 kebakaran
part 61 Bajra
part 62 pengorbanan Bajra
part 63 the best team
part 64 masa lalu
part 65 perang dimulai
part 66 kisah baru
part 67 bertemu vin
part 68 san paz
part 69 cafe KOV
part 70 demigod
part 71 california
part 72 Allea dan Ellea
part 73 rumah ellea
part 74 alan cha
part 75 latin kings
part 76 kediaman faizal
part 77 kematian faizal.
part 78 permainan
part 79 ellea cemburu
part 80 rumah
part 81 keributan
part 82 racun
part 83 mayat
part 84 rencana
part 85 kampung....
Part 86 kematian adi
part 87 tiga sekawan
part 88 zikal
part 89 duri dalam daging
part 90 kerja sama
part 91 Abraham alexi Bonar
part 92 terusir
part 93 penemuan mayat
part 94 dongeng manusia serigala
part 95 hewan atau manusia
part 96 Rendra adalah werewolf
part 97 Beta
part 98 melamar
part 99 pencarian lycanoid
part 100 siapa sebenarnya anda
part 101 terungkap kebenaran
part 102 kisah yang panjang
part 103 buku mantra
part 104 sebuah simbol
part 105 kaki tangan
part 106 pertikaian
part 107 bertemu elizabet
part 108 orang asing
part 109 mantra eksorsisme
part 110 Vin bersikap aneh
part 111 Samael
part 112 Linda sang paranormal
part 113 reinkarnasi
part 114 Nayla
part 115 Archangel
part 116 Flashback vin kesurupan
part 117 ritual
part 118 darah suci
part 119 Lasha
part 120 Amon
part 121 masa lalu arya
part 122 sekte sesat
part 123 sekte
part 124 bu rahayu
part 125 dhampire
part 126 penculikan
part 127 pengakuan rian.
part 128 azazil
part 129 ungkapan perasaan
part 130 perjalanan pertama
part 131 desa angukuni
part 132 Galiyan
part 133 hilang
part 134 Hans dan Jean
part 135 lintah Vlad
part 136 rahasia homestay
part 137 rumah kutukan
part 138 patung aneh
part 139 pulau insula mortem
part 140 mercusuar
part 141 kastil archanum
part 142 blue hole
part 143 jerogumo
part 144 timbuktu
part 145 gerbang gaib
part 146 hutan rougarau
part 147 bertemu azazil
part 148 SMU Mortus
part 149 Wendigo
part 150 danau misterius
part 151 jiwa yang hilang
part 152 serangan di rumah
part 153 misteri di sekolah
part 154 rumah rayi
part 155 makhluk lain di sekolah
part 156 Djin
part 157 menjemput jiwa
part 158 abitra
part 159 kepergian faza
part 160 Sabrina
part 161 puncak emosi
part 162 ilmu hitam
part 163 pertandingan basket
part 164 mariaban
part 165 Dagon
part 166 bantuan
INDEKS LANJUT DI SINI INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 16-05-2023 21:45
itkgid dan 12 lainnya memberi reputasi
13
13.5K
222
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#162
157 Menjemput Jiwa
Kak Rayi perlahan membuka mata nya, dan terkejut saat mengetahui kalau kami berada di sekolah." Loh kok kita di sini?" tanya nya bingung, memperhatikan sekitar dengan tatapan cemas. Yah, reaksinya tentu wajar sebagai pemula. Aku pun juga akan bereaksi demikian.
"Iya, kita sudah berhasil masuk ke dunia lain. Dan Rachel langsung membawa kita ke sarang Djin itu, Kak. Ya di sini," jelasku.
"Terus gimana? Kita harus ngapain sekarang?"
"Eum, kita harus cari Kak Sandi dan Aira."
"Jadi maksud kamu kita harus keliling sekolah cari mereka?" tanya nya. "Oke, yuk." Tanpa berpikir panjang lagi, dia pun menyetujuinya.
Kami berdua berada di lantai tiga. Yang tepat berada di atas ruang kelasku. Dan kondisi ini adalah di masa sekarang, bukan seperti aku alami kemarin. Terlempar jauh ke masa lalu yang bahkan aku belum terlahir ke dunia ini. Semua ruangan di lantai tiga, sudah kami susuri, dan tidak menemukan apa pun di sini.
Kini kami berdua turun ke lantai di bawah, melewati ruang kelasku yang baru tadi siang kutinggalkan. Rupanya di sana ada Rio yang sedang duduk diam di meja paling belakang. Dia hanya diam, menunduk tanpa menoleh pada kami. "Itu siapa?" tanya Kak Rayi berbisik, saat kami mengintip dari depan pintu. Aku memang berhenti dan memutuskan mengintipnya dari luar. Bagaimana pun juga kami harus lebih hati-hati sekarang.
"Rio," kataku sambil berbisik.
"Oh, jadi dia Rio?"
Aku mengangguk lalu hendak masuk ke kelas, tapi Kak Rayi malah menahan tanganku dan membuat aku menoleh kepadanya dengan sebuah pertanyaan lewat tatapan mata. "Biar aku aja. Soalnya kok aneh, ya? "
"Aneh gimana, Kak?"
"Kamu perhatiin deh, dia kok nggak mirip sama Rio yang selama ini kamu ceritakan, Bil? Dia terlihat aneh. Iya, nggak sih?" tanyanya balik. Aku pun berpikiran hal yang sama. Tapi tidak menjawab apa pun pertanyaan dari Kak Rayi. Dia lantas mengangguk dan mulai masuk ke dalam kelas.
Suara deham Kak Rayi menggema ke seluruh ruangan. Kami mulai masuk dengan dia yang berada di depan. "Eum, Rio?" panggil Kak Rayi ragu.
Sosok yang dipanggil tersebut hanya diam, tidak menanggapi. Melihat sikap Rio yang makin aneh, membuatku ragu kalau dia memang Rio yang asli. Atau terjadi sesuatu dengannya. Sehingga membuat sikapnya aneh seperti itu. Aku menahan tangan Kak Rio yang hendak masuk lebih dalam. Kami yang masih berdiri di dekat pintu, hanya terpaku melihat gelagat aneh sosok di tengah ruangan itu. Aku menggeleng ke Kak Rayi, rasanya kini aku makin ragu kalau itu adalah Rio yang asli.
"Kalian ngapain di sini?" tanya seseorang yang berdiri di belakangku. Saat kami menoleh, betapa terkejutnya kami, karena mendapati Rio sedang berdiri di sana. Wajahnya cerah dan sikapnya sama seperti Rio yang selama ini aku kenal.
"Loh, kok kamu di sini?" tanyaku menunjuknya.
"Kalau ini Rio, terus yang itu ... siapa?" tanya Kak Rayi menoleh ke sosok Rio yang sejak tadi diam.
Otomatis aku dan Rio ikut melihat ke sudut yang ditunjuk oleh Kak Rayi. Aku pun juga penasaran, siapa sosok itu. Karena aku yakin Rio yang asli adalah sosok yang baru saja datang dan kini berdiri di belakangku.
"Mending kita cabut sekarang," ajak Rio lalu menarik tanganku. Bagai saling terhubung, aku juga menarik tangan Kak Rayi dan meninggalkan ruang kelas kami.
Dengan langkah cepat kami turun ke lantai bawah, Rio terlihat panik sambil terus menoleh ke belakang. "Eh, tunggu! Mending elu jelasin dulu, siapa orang yang tadi di sana?" tanya Kak Rayi, berdiri di hadapan Rio.
Rio menatap ke lantai dua, di mana kelas kami berada. Menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya cepat. "Itu adalah salah satu ciptaan Djin. Beberapa jiwa yang ditahan akan dibuatkan kembarannya. Untuk mengecoh dan mengejar jiwa tersebut."
"Mengejar?"
"Yah, dia ditugaskan untuk mengejarku, dan membawaku ke Djin. Tapi aku berhasil lari."
"Tapi kenapa tadi dia cuma diam saja. Padahal kamu muncul, Ri?"
"Karena dia sedang tertidur. Tadi aku dan dia berkelahi. Aku punya cara untuk membuat mereka diam, seperti tertidur. "
"Serius?! Gimana caranya?"
"Serbuk sari bunga Baby breath! Itu ada di taman depan sekolah. Entahlah, mungkin mereka alergi serbuk sari atau semacamnya."
"Wow, manis sekali," gumam Kak Rayi dengan smirk di wajahnya.
"Tapi itu nggak bertahan lama. Jadi sebelum dia bangun kita harus segera pergi."
Suara gaduh terdengar dari lantai 2. Sontak kami menoleh ke atas, dan melihat kalau ternyata kembaran Rio sudah berdiri di sana, menatap kami tajam. "Nah, kan, bangun dia! Lari!" suruh Rio.
Kami berlari, menghindari sosok tersebut. Mencari jalan berliku yang sebisa mungkin Rio gadungan tadi tidak mudah untuk menemukan kami. Lingkungan sekolah kami memang cukup luas, juga banyak ruang lain selain kelas-kelas yang biasa menjadi tempat belajar siswa-siswi. Dan ini menguntungkan bagi kami sebagai tempat persembunyian sementara.
Kami bersembunyi di ruang laboratorium. Kebetulan ruangan ini tidak memiliki jendela yang jelas dan hanya dua buah pintu di bagian utara dan selatan saja. Jendela yang ada di sini tidak banyak, tetapi berbahan kaca tebal yang buram. Tidak bisa dipakai mengintip atau melihat ke dalam atau luar ruangan. Tapi jika ada yang lewat di dekat jendela, maka akan terlihat jelas, walau hanya warna pakaiannya saja.
Pintu kami kunci. Dan kini bersembunyi di bawah meja dekat jendela. Rasanya kami perlu istirahat, juga untuk menyusun rencana. Apa yang harus kami lakukan dan di mana kami bisa mencari jiwa Kak Sandi dan Aira.
Suara langkah kaki terdengar menggema di sepanjang koridor. Kami diam, berusaha untuk tidak membuat suara sekecil mungkin. Kak Rayi yang berada paling dekat dengan jendela, lantas berusaha mencari celah untuk mengintip. Dan sebuah lubang kecil yang ada di jendela menjadi sasaran empuk. Kak Rayi mengintip sambil berusaha agar tidak terlihat dari luar.
"Matanya menyipit, gerak wajahnya seperti melihat sesuatu yang aneh. Ia lantas menoleh ke arah kami. "Bukan Rio, tapi Sandi!" katanya tanpa mengeluarkan suara hanya gerak bibirnya saja yang dapat kubaca.
Otomatis aku dan Rio saling pandang. Rio segera mendekat ke Kak Rayi dan ikut mengintip dari sana. Tak lama dia mundur dan menatap kami takut. "Itu bukan Sandi!" Rio kembali menunduk dan bersembunyi. Suara langkah kaki tersebut mendadak berhenti. Kami yang mulai cemas, makin beringsut, mencari tempat lain yang lebih aman untuk bersembunyi. Aku merangkak dan bersembunyi di sebuah meja yang di atasnya terdapat banyak tabung-tabung kecil untuk percobaan. Di seberangku ada Kak Rayi, dan Rio berada di dalam sebuah lemari.
Pintu dibuka kasar. Langkah kaki berat itu mulai masuk ke dalam. Membuat nyali ku menciut. Entah nyali dua pria itu sama sepertiku atau tidak. Tapi aku melihat Kak Rayi hanya diam sambil memperhatikan arah suara tersebut. Tubuh kami tertutup meja yang cukup lebar.
Tiba-tiba ekspresi Kak Rayi berubah. Ia terlihat serius sekali. Dan sebuah hantaman keras membuat meja di atasku terbelah dua. Sontak aku menjerit dan beringsut mundur menjauh. Sosok yang mirip Kak Sandi menyeringai, dengan gerakan pelan, mendekati ku. Aku terus mundur-mundur, hingga sudah terpojok di antara lemari-lemari kaca di sekitarku.
Kepala jelmaan Kak Sandi dipukul dengan sebuah tabung kaca. Pecah dan berhamburan ke tubuh itu. "Bil, lari!" jerit Kak Rayi. Aku segera berdiri dan menjauh. Rio juga keluar dari lemari tadi, kami berdua berdiri bersebelahan sambil memanggil nama Kak Rayi. "Ayok, kak! Kita pergi!"
"Kalian duluan! Biar aku tahan dia di sini!" katanya.
"Apa?! Enggak! Kita pergi bareng!" sahutku histeris.
"Bil! Pergi! Rio, bawa Nabila keluar!" jerit Kak Rayi.
Rio yang awalnya terlihat ragu-ragu, kini menarik tanganku hingga keluar dari ruangan laboratorium itu. Aku meronta, menolak ajakannya. Tapi Rio terus membawaku pergi.
"Bil, kita harus temukan Djin itu, dan bunuh! Kalau kamu mau Rayi selamat, juga yang lain!" kata Rio. Berkali-kali aku menoleh ke belakang, berharap Kak Rayi kini juga menyusulku. Tapi sampai kami sudah jauh dari ruangan itu, dia tak juga muncul.
"Bil, itu," tunjuk Rio, berbisik.
Kami berada di ruang olah raga. Di sana ada pemandangan aneh, dan membuat kami bersembunyi di balik pintu. Aira sedang diikat di sebuah kursi dalam keadaan tidak sadar. Di dekatnya ada Aira lain yang sepertinya sama seperti sosok Rio yang tadi aku lihat pertama kali.
"Gimana cara membunuh Djin itu, Ri?" tanyaku.
"Pisahkan kepala dari tubuhnya."
Terasa ada yang aneh dengan hawa sekitar kami. Anehnya, di genggaman tanganku terasa dingin, seperti ada sesuatu yang tiba-tiba ada di antara jemariku. Saat aku menoleh ke bawah, rupanya aku sedang menggenggam sebuah pedang. "Ri!" ucapku agar Rio melihat apa yang ada di tanganku sekarang.
"Wah, keren. Dari mana kamu dapat itu, Bil?"
"Aku juga nggak tau."
"Ugh!" Rio mengerang, dari perutnya ada sebuah benda tajam yang menembus dari punggungnya. Cairan merah merembes dari sana. Rupanya di belakang Rio ada sosok jelmaan dirinya. "Rio!" jeritku. Kulayangkan pedang di tanganku dan menyabetkan pada sosok itu. Dia menghindar dan mundur menjauh dari Rio. Pisau di punggung Rio masih tertancap di sana. Rupanya di dunia ini, jiwa pun memiliki nyawa. Mereka bahkan bisa berdarah dan merasakan sakit, begitulah yang ada yang di pikiranku.
Dia terlihat lebih kuat dari Rio asli. Baru beberapa menit aku sudah kewalahan dibuatnya. Perkelahian ini terlihat imbang, walau dia tidak memakai senjata, tapi dia jauh lebih kuat dariku. Bahkan berkali-kali kulukai tubuhnya, dia malah tidak merasakan sakit.
"Pisahkan kepala dari tubuhnya." Kalimat itu tiba-tiba terlintas di pikiranku. Saat dia lengah, aku menebas kepalanya hingga terlepas dari tubuhnya. Kepala itu menggelinding di lantai hingga menimbulkan genangan darah.
Nafasku terengah-engah, menunggu reaksi kembaran jahat dari Rio. Apakah dia akan bangun kembali atau tidak. Nyatanya dia benar-benar tewas sekarang. Yah, semua yang hidup pasti iakan mati. Walau berbeda caranya. Ciptaan Djin saja bisa mati, pasti yang menciptakan juga bisa mati.
Setelah memastikan Rio versi jahat tewas, aku segera menolong Rio asli. Dia sudah tergeletak di lantai sambil memegangi perutnya. "Astaga, Rio! Kamu bagaimana? Sakit? Duh, darahnya banyak banget!" Aku yang panik tidak tau harus berbuat apa.
"Bil, maaf, aku nggak bisa temani kamu lagi. Rasanya waktuku sudah habis sekarang," tuturnya dengan suara tertahan.
"Rio, Rio! Tahan dulu, ya. Kita cari pertolongan dulu. Kamu harus bertahan." Aku tengak tengok ke sekitar, mencari seseorang yang mungkin bisa menolong Rio sekarang. Walau dalam lubuk hati kecilku tau kalau kami di sini sendirian, dan mungkin Rio tidak akan selamat, mengingat lukanya cukup dalam. Wajahnya bahkan sudah pucat.
Kepala Rio sudah berada di pangkuanku, air mataku tidak bisa ku bendung lagi. Apalagi saat melihat luka di perutnya. "Bil ...," panggilnya lagi.
"Iya, kenapa? Kamu butuh apa?"
"Enggak. Aku cuma mau bilang, terima kasih untuk waktu kamu selama ini. Terima kasih sudah mau menerimaku menjadi salah satu temanmu."
"Rio, jangan bilang begitu. Kamu pasti bisa bertahan, kita tunggu Kak Rayi dulu, ya." Dengan cemas aku terus mencari Kak Rayi yang tak kunjung muncul.
Jeritan di dalam ruangan membuat perhatianku teralih. Kini pikiranku bercabang, tidak hanya memikirkan Rio saja, tetapi keselamatan Kak Rayi, dan juga jiwa Aira yang sedang diikat di dalam. Dan jiwa Kak Sandi yang entah di mana. Aku sungguh frustrasi sekarang.
"Papa ... aku harus bagaimana?" aku mulai terisak, menahan semua beban di pundak membuatku menjadi lemah.
"Bil, selamat tinggal," kata Rio.
Aku kembali menatap ke tubuh Rio yang masih ada di pangkuanku. Dia seolah mulai memudar, tubuhnya bagai bayangan yang akan segera hilang. "Ya ampun, Rio! Rio! Rio!" jeritku seiring dengan hilangnya tubuh itu dari hadapanku.
Aku menjerit, bahkan meraung. Memukul-mukul lantai di bawahku karena merasa gagal melindungi salah satu temanku. Namun, di ujung koridor aku mendengar suara langkah kaki pelan, mendekat. Aku mendongakkan kepala, di sana ada seseorang yang sangat ku kenal. Kak Rayi ... dan harimau penjaga rumahnya.
____
"Kamu nggak apa-apa, Bil?" tanya Kak Rayi yang berlari mendekat padaku. Aku menatapnya bingung lalu ke harimau itu. "Kok dia bisa ke sini?" tanyaku menunjuk sosok di belakang Kak Rayi.
Pemuda di depanku ikut menoleh, "Iya, tadi dia yang tolongin aku di ruang laboratorium. Rio mana?" tanyanya sambil mengedarkan pandang ke sekitar. Aku kembali menunduk lesu. Melihatku sikapku aneh, Kak Rayi lantas menatap mataku dalam. "Kenapa?"
Aku menatapnya lalu memeluknya," Rio udah nggak ada, Kak. Dia ... Dia ...." Tak mampu lagi meneruskan kalimat, Kak Rayi hanya balas memelukku erat. Di usapnya punggungku lembut sambil mendesis. "Ssstt, sudah, sudah. Mungkin ini yang terbaik buat Rio, Bil. Kita berdoa aja semoga dia sudah berada di tempat yang lebih baik," saran Kak Rayi.
Harimau itu mendekat ke pintu, ekornya mengibas-ngibas dan aku sadar kalau perjuangan kami harus dilanjutkan, dan lagi kami tidak boleh berada di sini terlalu lama. Perbedaan waktu di sini dan di dunia kami itu sangat jauh berbeda. Dia menoleh pada kami. Matanya bagikan rumah tak berpenghuni. Dia tidak banyak berbicara, tapi sikapnya menunjukkan agar kami segera masuk ke dalam.
"Yuk," ajak Kak Rayi mengulurkan tangan padaku, kami akhirnya berdiri dan mendekat ke pintu itu. Tapi anehnya, sosok Djin tadi justru tidak ada di sana. Hanya tersisa Aira saja yang sudah tergolek tak sadarkan diri di lantai. Aku menatap Kak Rayi, dia mengangguk dan membuat kami segera masuk ke dalam. Sementara harimau tadi justru menunggu di luar.
"Abitra! Jaga-jaga, ya," kata Kak Rayi ke harimau itu.
"Namanya Abitra?" tanyaku. Kak Rayi mengangguk. "Jujur ini pertama kalinya aku melihat dan bertemu dia secara langsung. Kata Mama kamu udah pernah lihat Abitra sebelumnya, ya?"
"Eum, iya."
Kami terus masuk dengan mengendap-endap, sambil memeriksa sekitar. Takutnya Djinn atau orang-orang jahat itu muncul dan menyerang kami tiba-tiba. Aku segera berlari mendekat ke Aira, memeriksa kondisinya. Detak jantung, nadi dan nafasnya masih terasa, walau agak lemah. Setidaknya dia masih hidup sekarang. Kak Rayi berdiri di dekatku, netranya liar mencari sesuatu. Sementara aku berusaha membangunkan Aira.
Tiba-tiba pintu di luar terbuka kasar. Abitra tersungkur seolah dilempar kuat-kuat oleh sesuatu dari luar. Kak Rayi mendekat ke Abitra. "Kamu nggak apa-apa?!" jeritnya panik. Abitra lantas segera bangun, ia menggerakkan tubuhnya, lalu mulutnya terbuka. Giginya terlihat runcing dengan air liur di sana. Ia mengaum. Suaranya keras, dan membuat Kak Rayi mundur.
Djinn muncul dari pintu yang rusak di luar. Sosoknya terlihat garang dan kuat. Tubuhnya sama seperti manusia, memiliki tanduk kecil di kepalanya, kulitnya berwarna merah seperti memancarkan hawa panas yang pekat. Baru kali ini aku melihat wujudnya dengan jelas. Mengerikan.
Abitra berjalan mondar-mandir tak jauh dari Djinn berdiri. Di tangan kanan makhluk mengerikan itu ada sebuah rantai besi yang sedang terikat ke leher seseorang. Kak Sandi. Dan aku yakin itu adalah Kak Sandi yang asli. Tubuhnya luka-luka, mulutnya seperti habis mengeluarkan darah. Bajunya terlihat kumal dan compang-camping. Di belakangnya muncul sosok lain dari Kak Sandi dan Aira.
Kak Rayi mundur dan mendekat padaku. "Bil, kamu siap?" tanyanya berbisik. Matanya terus memandang ke sosok di belakang Djinn. Mereka berdua cukup kuat, auranya terpancar jelas. Sebenarnya aku takut dan ragu, tapi aku tidak boleh menyerah. Apalagi dengan adanya Kak Rayi akan sangat membantuku sekarang. Setidaknya aku tidak berjuang seorang diri, juga adanya Abitra. Aku yakin kami bisa melewati semua ini.
"Aku siap," sahutku sambil menunjukkan benda tajam yang masih kugenggam. Kak Rayi juga mengeluarkan sebuah samurai dari balik punggungnya. "Dapat dari mana, Kak?" tanyaku.
"Tiba-tiba saja udah ada, mungkin bantuan dari Rachel." Benar juga, mungkin saja kalau Rachel juga turut membantu kami. Apalagi kami sudah cukup lama di dunia ini.
Abitra kembali mengaum, seperti mengisyaratkan kalau peperangan ini dimulai. Dia berlari cepat ke arah Djinn. Sementara itu, dua sosok jelmaan tadi, menatap ke arah kami dengan tatapan mengerikan. Kak Rayi berjalan menjauh dari ku, memberikan ruang untuk masing-masing. sosok Aira menatapku penuh kebencian, sementara aku menoleh ke tubuh Aira yang asli, masih tergeletak di lantai dengan kondisi sangat lemah. Aku mengacungkan benda di tanganku dengan bermaksud menantangnya.
Di sisi lain, sosok dari Kak Sandi sudah bertarung dengan Kak Rayi. Aku tidak perlu mencemaskan Kak Rayi, karena dia jago bela diri. Bahkan kemampuannya berada di atasku. Justru aku harus mengkhawatirkan diri sendiri.
Aira palsu menyeringai, di tangannya ada sebuah pedang panjang. Yah, setidaknya kami imbang. Dia mulai menyerangku lebih dulu. Di awal aku hanya berusaha menghindar tanpa menyerang. Tapi begitu aku mendengar teriakkan Kak Rayi, fokusku terbagi. Kak Rayi terluka, punggungnya sobek dengan luka yang terlihat menganga.
Senjataku terlempar jauh, dan aku sadar, kalau kini aku pun diambang kematian. Aira maju pelan, sambil memiringkan kepala nya menatap ku. Aku berbalik badan, merangkak demi meraih pedang yang berada di atasku. Langkah kaki Aira terasa makin dekat, aku berusaha terus menyeret tubuhku. Kakiku tiba- tiba ditusuk ujung pedang. Hingga menjerit kesakitan. Pedang itu kembali ditarik oleh nya. Aku terus bergerak walau dengan menahan sakit di betis kanan ku. Kembali hujaman senjata tajam terasa menembus kaki kiriku. Aku kembali menjerit kesakitan. Kini aku juga tidak bisa lagi menahan tangis. Rasa sakit di kedua kakiku terasa tidak bisa lagi kutahan. Aku benar -benar menangis, merangkak, menyeret tubuh ku sendiri untuk menghindari dia.
Bayangan Aira terlihat di samping kanan ku. Dia sedang mengangkat pedang nya dan bersiap untuk menghujamkan nya lagi. Aku memejamkan mata dan bersiap, jika memang takdir ku akan berakhir di sini. Aku tidak tau apakah aku bisa hidup lagi seperti sebelum nya setelah terluka separah ini. Bahkan aku sedang tidak berada di rumahku sendiri. Papa, maafkan Nabila.
"Ugh!" Mulutku tertahan, seolah rasa sakit di punggung ku tidak mampu membuatku menjerit seperti sebelum nya. Rasa sakitnya luar biasa. Benda tajam itu tidak hanya menusuk punggung ku dalam, tapi Aira menarik nya hingga ke bawah pinggangku. Di situ aku baru menjerit dengan gumpalan cairan yang keluar dari mulut.
Tapi entah kenapa di ujung ekor mataku, Aira ikut menjerit. Ada cahaya terang dari belakangku. Membuat tubuh Aira palsu seolah terbakar dan menguar ke udara. Hening. Tapi ternyata pengaruh cahaya itu tidak hanya berimbas ke Aira tapi semua makhluk tersebut. Kak Sandi dan Djinn tadi. Mereka ikut terbakar dan lenyap seketika.
Nafasku pendek -pendek. Nyeri di punggung ku masih terasa panas. Kak Rayi berlari ke arah ku dan membalik tubuhku. Kini aku juga duduk sambil terus dipegangi oleh nya.
"Bil! Nabila!" jeritnya dengan sorot mata ketakutan. Pandangan mataku mulai memburam, aku sudah kehabisan energi sekarang. Dan perlahan semua nya gelap. Tapi aku seolah olah masih dapat mendengar suara nya. Meneriakkan nama ku dengan suara parau. Aku ingin membuka mata, tapi rasa nya sulit untuk kembali terjaga. Seakan tenaga ku sudah terkuras habis sekarang. Padahal ... Aku belum selesai. Aku tidak boleh seperti ini. Astaga, Papa, aku harus bagaimana sekarang. Papa, tolong aku. Aku mohon. Aku tetap harus terjaga, tapi aku tidak bisa menahan nya lagi. Suara Kak Rayi perlahan mulai memudar, hingga akhir nya tidak lagi terdengar di telinga ku. Sunyi. Yah, semua berubah sunyi.
Gelap, dan sunyi. Aku sangat benci keadaan ini. Aku ingin segera pergi. Aku harus ... Kembali.
"Iya, kita sudah berhasil masuk ke dunia lain. Dan Rachel langsung membawa kita ke sarang Djin itu, Kak. Ya di sini," jelasku.
"Terus gimana? Kita harus ngapain sekarang?"
"Eum, kita harus cari Kak Sandi dan Aira."
"Jadi maksud kamu kita harus keliling sekolah cari mereka?" tanya nya. "Oke, yuk." Tanpa berpikir panjang lagi, dia pun menyetujuinya.
Kami berdua berada di lantai tiga. Yang tepat berada di atas ruang kelasku. Dan kondisi ini adalah di masa sekarang, bukan seperti aku alami kemarin. Terlempar jauh ke masa lalu yang bahkan aku belum terlahir ke dunia ini. Semua ruangan di lantai tiga, sudah kami susuri, dan tidak menemukan apa pun di sini.
Kini kami berdua turun ke lantai di bawah, melewati ruang kelasku yang baru tadi siang kutinggalkan. Rupanya di sana ada Rio yang sedang duduk diam di meja paling belakang. Dia hanya diam, menunduk tanpa menoleh pada kami. "Itu siapa?" tanya Kak Rayi berbisik, saat kami mengintip dari depan pintu. Aku memang berhenti dan memutuskan mengintipnya dari luar. Bagaimana pun juga kami harus lebih hati-hati sekarang.
"Rio," kataku sambil berbisik.
"Oh, jadi dia Rio?"
Aku mengangguk lalu hendak masuk ke kelas, tapi Kak Rayi malah menahan tanganku dan membuat aku menoleh kepadanya dengan sebuah pertanyaan lewat tatapan mata. "Biar aku aja. Soalnya kok aneh, ya? "
"Aneh gimana, Kak?"
"Kamu perhatiin deh, dia kok nggak mirip sama Rio yang selama ini kamu ceritakan, Bil? Dia terlihat aneh. Iya, nggak sih?" tanyanya balik. Aku pun berpikiran hal yang sama. Tapi tidak menjawab apa pun pertanyaan dari Kak Rayi. Dia lantas mengangguk dan mulai masuk ke dalam kelas.
Suara deham Kak Rayi menggema ke seluruh ruangan. Kami mulai masuk dengan dia yang berada di depan. "Eum, Rio?" panggil Kak Rayi ragu.
Sosok yang dipanggil tersebut hanya diam, tidak menanggapi. Melihat sikap Rio yang makin aneh, membuatku ragu kalau dia memang Rio yang asli. Atau terjadi sesuatu dengannya. Sehingga membuat sikapnya aneh seperti itu. Aku menahan tangan Kak Rio yang hendak masuk lebih dalam. Kami yang masih berdiri di dekat pintu, hanya terpaku melihat gelagat aneh sosok di tengah ruangan itu. Aku menggeleng ke Kak Rayi, rasanya kini aku makin ragu kalau itu adalah Rio yang asli.
"Kalian ngapain di sini?" tanya seseorang yang berdiri di belakangku. Saat kami menoleh, betapa terkejutnya kami, karena mendapati Rio sedang berdiri di sana. Wajahnya cerah dan sikapnya sama seperti Rio yang selama ini aku kenal.
"Loh, kok kamu di sini?" tanyaku menunjuknya.
"Kalau ini Rio, terus yang itu ... siapa?" tanya Kak Rayi menoleh ke sosok Rio yang sejak tadi diam.
Otomatis aku dan Rio ikut melihat ke sudut yang ditunjuk oleh Kak Rayi. Aku pun juga penasaran, siapa sosok itu. Karena aku yakin Rio yang asli adalah sosok yang baru saja datang dan kini berdiri di belakangku.
"Mending kita cabut sekarang," ajak Rio lalu menarik tanganku. Bagai saling terhubung, aku juga menarik tangan Kak Rayi dan meninggalkan ruang kelas kami.
Dengan langkah cepat kami turun ke lantai bawah, Rio terlihat panik sambil terus menoleh ke belakang. "Eh, tunggu! Mending elu jelasin dulu, siapa orang yang tadi di sana?" tanya Kak Rayi, berdiri di hadapan Rio.
Rio menatap ke lantai dua, di mana kelas kami berada. Menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya cepat. "Itu adalah salah satu ciptaan Djin. Beberapa jiwa yang ditahan akan dibuatkan kembarannya. Untuk mengecoh dan mengejar jiwa tersebut."
"Mengejar?"
"Yah, dia ditugaskan untuk mengejarku, dan membawaku ke Djin. Tapi aku berhasil lari."
"Tapi kenapa tadi dia cuma diam saja. Padahal kamu muncul, Ri?"
"Karena dia sedang tertidur. Tadi aku dan dia berkelahi. Aku punya cara untuk membuat mereka diam, seperti tertidur. "
"Serius?! Gimana caranya?"
"Serbuk sari bunga Baby breath! Itu ada di taman depan sekolah. Entahlah, mungkin mereka alergi serbuk sari atau semacamnya."
"Wow, manis sekali," gumam Kak Rayi dengan smirk di wajahnya.
"Tapi itu nggak bertahan lama. Jadi sebelum dia bangun kita harus segera pergi."
Suara gaduh terdengar dari lantai 2. Sontak kami menoleh ke atas, dan melihat kalau ternyata kembaran Rio sudah berdiri di sana, menatap kami tajam. "Nah, kan, bangun dia! Lari!" suruh Rio.
Kami berlari, menghindari sosok tersebut. Mencari jalan berliku yang sebisa mungkin Rio gadungan tadi tidak mudah untuk menemukan kami. Lingkungan sekolah kami memang cukup luas, juga banyak ruang lain selain kelas-kelas yang biasa menjadi tempat belajar siswa-siswi. Dan ini menguntungkan bagi kami sebagai tempat persembunyian sementara.
Kami bersembunyi di ruang laboratorium. Kebetulan ruangan ini tidak memiliki jendela yang jelas dan hanya dua buah pintu di bagian utara dan selatan saja. Jendela yang ada di sini tidak banyak, tetapi berbahan kaca tebal yang buram. Tidak bisa dipakai mengintip atau melihat ke dalam atau luar ruangan. Tapi jika ada yang lewat di dekat jendela, maka akan terlihat jelas, walau hanya warna pakaiannya saja.
Pintu kami kunci. Dan kini bersembunyi di bawah meja dekat jendela. Rasanya kami perlu istirahat, juga untuk menyusun rencana. Apa yang harus kami lakukan dan di mana kami bisa mencari jiwa Kak Sandi dan Aira.
Suara langkah kaki terdengar menggema di sepanjang koridor. Kami diam, berusaha untuk tidak membuat suara sekecil mungkin. Kak Rayi yang berada paling dekat dengan jendela, lantas berusaha mencari celah untuk mengintip. Dan sebuah lubang kecil yang ada di jendela menjadi sasaran empuk. Kak Rayi mengintip sambil berusaha agar tidak terlihat dari luar.
"Matanya menyipit, gerak wajahnya seperti melihat sesuatu yang aneh. Ia lantas menoleh ke arah kami. "Bukan Rio, tapi Sandi!" katanya tanpa mengeluarkan suara hanya gerak bibirnya saja yang dapat kubaca.
Otomatis aku dan Rio saling pandang. Rio segera mendekat ke Kak Rayi dan ikut mengintip dari sana. Tak lama dia mundur dan menatap kami takut. "Itu bukan Sandi!" Rio kembali menunduk dan bersembunyi. Suara langkah kaki tersebut mendadak berhenti. Kami yang mulai cemas, makin beringsut, mencari tempat lain yang lebih aman untuk bersembunyi. Aku merangkak dan bersembunyi di sebuah meja yang di atasnya terdapat banyak tabung-tabung kecil untuk percobaan. Di seberangku ada Kak Rayi, dan Rio berada di dalam sebuah lemari.
Pintu dibuka kasar. Langkah kaki berat itu mulai masuk ke dalam. Membuat nyali ku menciut. Entah nyali dua pria itu sama sepertiku atau tidak. Tapi aku melihat Kak Rayi hanya diam sambil memperhatikan arah suara tersebut. Tubuh kami tertutup meja yang cukup lebar.
Tiba-tiba ekspresi Kak Rayi berubah. Ia terlihat serius sekali. Dan sebuah hantaman keras membuat meja di atasku terbelah dua. Sontak aku menjerit dan beringsut mundur menjauh. Sosok yang mirip Kak Sandi menyeringai, dengan gerakan pelan, mendekati ku. Aku terus mundur-mundur, hingga sudah terpojok di antara lemari-lemari kaca di sekitarku.
Kepala jelmaan Kak Sandi dipukul dengan sebuah tabung kaca. Pecah dan berhamburan ke tubuh itu. "Bil, lari!" jerit Kak Rayi. Aku segera berdiri dan menjauh. Rio juga keluar dari lemari tadi, kami berdua berdiri bersebelahan sambil memanggil nama Kak Rayi. "Ayok, kak! Kita pergi!"
"Kalian duluan! Biar aku tahan dia di sini!" katanya.
"Apa?! Enggak! Kita pergi bareng!" sahutku histeris.
"Bil! Pergi! Rio, bawa Nabila keluar!" jerit Kak Rayi.
Rio yang awalnya terlihat ragu-ragu, kini menarik tanganku hingga keluar dari ruangan laboratorium itu. Aku meronta, menolak ajakannya. Tapi Rio terus membawaku pergi.
"Bil, kita harus temukan Djin itu, dan bunuh! Kalau kamu mau Rayi selamat, juga yang lain!" kata Rio. Berkali-kali aku menoleh ke belakang, berharap Kak Rayi kini juga menyusulku. Tapi sampai kami sudah jauh dari ruangan itu, dia tak juga muncul.
"Bil, itu," tunjuk Rio, berbisik.
Kami berada di ruang olah raga. Di sana ada pemandangan aneh, dan membuat kami bersembunyi di balik pintu. Aira sedang diikat di sebuah kursi dalam keadaan tidak sadar. Di dekatnya ada Aira lain yang sepertinya sama seperti sosok Rio yang tadi aku lihat pertama kali.
"Gimana cara membunuh Djin itu, Ri?" tanyaku.
"Pisahkan kepala dari tubuhnya."
Terasa ada yang aneh dengan hawa sekitar kami. Anehnya, di genggaman tanganku terasa dingin, seperti ada sesuatu yang tiba-tiba ada di antara jemariku. Saat aku menoleh ke bawah, rupanya aku sedang menggenggam sebuah pedang. "Ri!" ucapku agar Rio melihat apa yang ada di tanganku sekarang.
"Wah, keren. Dari mana kamu dapat itu, Bil?"
"Aku juga nggak tau."
"Ugh!" Rio mengerang, dari perutnya ada sebuah benda tajam yang menembus dari punggungnya. Cairan merah merembes dari sana. Rupanya di belakang Rio ada sosok jelmaan dirinya. "Rio!" jeritku. Kulayangkan pedang di tanganku dan menyabetkan pada sosok itu. Dia menghindar dan mundur menjauh dari Rio. Pisau di punggung Rio masih tertancap di sana. Rupanya di dunia ini, jiwa pun memiliki nyawa. Mereka bahkan bisa berdarah dan merasakan sakit, begitulah yang ada yang di pikiranku.
Dia terlihat lebih kuat dari Rio asli. Baru beberapa menit aku sudah kewalahan dibuatnya. Perkelahian ini terlihat imbang, walau dia tidak memakai senjata, tapi dia jauh lebih kuat dariku. Bahkan berkali-kali kulukai tubuhnya, dia malah tidak merasakan sakit.
"Pisahkan kepala dari tubuhnya." Kalimat itu tiba-tiba terlintas di pikiranku. Saat dia lengah, aku menebas kepalanya hingga terlepas dari tubuhnya. Kepala itu menggelinding di lantai hingga menimbulkan genangan darah.
Nafasku terengah-engah, menunggu reaksi kembaran jahat dari Rio. Apakah dia akan bangun kembali atau tidak. Nyatanya dia benar-benar tewas sekarang. Yah, semua yang hidup pasti iakan mati. Walau berbeda caranya. Ciptaan Djin saja bisa mati, pasti yang menciptakan juga bisa mati.
Setelah memastikan Rio versi jahat tewas, aku segera menolong Rio asli. Dia sudah tergeletak di lantai sambil memegangi perutnya. "Astaga, Rio! Kamu bagaimana? Sakit? Duh, darahnya banyak banget!" Aku yang panik tidak tau harus berbuat apa.
"Bil, maaf, aku nggak bisa temani kamu lagi. Rasanya waktuku sudah habis sekarang," tuturnya dengan suara tertahan.
"Rio, Rio! Tahan dulu, ya. Kita cari pertolongan dulu. Kamu harus bertahan." Aku tengak tengok ke sekitar, mencari seseorang yang mungkin bisa menolong Rio sekarang. Walau dalam lubuk hati kecilku tau kalau kami di sini sendirian, dan mungkin Rio tidak akan selamat, mengingat lukanya cukup dalam. Wajahnya bahkan sudah pucat.
Kepala Rio sudah berada di pangkuanku, air mataku tidak bisa ku bendung lagi. Apalagi saat melihat luka di perutnya. "Bil ...," panggilnya lagi.
"Iya, kenapa? Kamu butuh apa?"
"Enggak. Aku cuma mau bilang, terima kasih untuk waktu kamu selama ini. Terima kasih sudah mau menerimaku menjadi salah satu temanmu."
"Rio, jangan bilang begitu. Kamu pasti bisa bertahan, kita tunggu Kak Rayi dulu, ya." Dengan cemas aku terus mencari Kak Rayi yang tak kunjung muncul.
Jeritan di dalam ruangan membuat perhatianku teralih. Kini pikiranku bercabang, tidak hanya memikirkan Rio saja, tetapi keselamatan Kak Rayi, dan juga jiwa Aira yang sedang diikat di dalam. Dan jiwa Kak Sandi yang entah di mana. Aku sungguh frustrasi sekarang.
"Papa ... aku harus bagaimana?" aku mulai terisak, menahan semua beban di pundak membuatku menjadi lemah.
"Bil, selamat tinggal," kata Rio.
Aku kembali menatap ke tubuh Rio yang masih ada di pangkuanku. Dia seolah mulai memudar, tubuhnya bagai bayangan yang akan segera hilang. "Ya ampun, Rio! Rio! Rio!" jeritku seiring dengan hilangnya tubuh itu dari hadapanku.
Aku menjerit, bahkan meraung. Memukul-mukul lantai di bawahku karena merasa gagal melindungi salah satu temanku. Namun, di ujung koridor aku mendengar suara langkah kaki pelan, mendekat. Aku mendongakkan kepala, di sana ada seseorang yang sangat ku kenal. Kak Rayi ... dan harimau penjaga rumahnya.
____
"Kamu nggak apa-apa, Bil?" tanya Kak Rayi yang berlari mendekat padaku. Aku menatapnya bingung lalu ke harimau itu. "Kok dia bisa ke sini?" tanyaku menunjuk sosok di belakang Kak Rayi.
Pemuda di depanku ikut menoleh, "Iya, tadi dia yang tolongin aku di ruang laboratorium. Rio mana?" tanyanya sambil mengedarkan pandang ke sekitar. Aku kembali menunduk lesu. Melihatku sikapku aneh, Kak Rayi lantas menatap mataku dalam. "Kenapa?"
Aku menatapnya lalu memeluknya," Rio udah nggak ada, Kak. Dia ... Dia ...." Tak mampu lagi meneruskan kalimat, Kak Rayi hanya balas memelukku erat. Di usapnya punggungku lembut sambil mendesis. "Ssstt, sudah, sudah. Mungkin ini yang terbaik buat Rio, Bil. Kita berdoa aja semoga dia sudah berada di tempat yang lebih baik," saran Kak Rayi.
Harimau itu mendekat ke pintu, ekornya mengibas-ngibas dan aku sadar kalau perjuangan kami harus dilanjutkan, dan lagi kami tidak boleh berada di sini terlalu lama. Perbedaan waktu di sini dan di dunia kami itu sangat jauh berbeda. Dia menoleh pada kami. Matanya bagikan rumah tak berpenghuni. Dia tidak banyak berbicara, tapi sikapnya menunjukkan agar kami segera masuk ke dalam.
"Yuk," ajak Kak Rayi mengulurkan tangan padaku, kami akhirnya berdiri dan mendekat ke pintu itu. Tapi anehnya, sosok Djin tadi justru tidak ada di sana. Hanya tersisa Aira saja yang sudah tergolek tak sadarkan diri di lantai. Aku menatap Kak Rayi, dia mengangguk dan membuat kami segera masuk ke dalam. Sementara harimau tadi justru menunggu di luar.
"Abitra! Jaga-jaga, ya," kata Kak Rayi ke harimau itu.
"Namanya Abitra?" tanyaku. Kak Rayi mengangguk. "Jujur ini pertama kalinya aku melihat dan bertemu dia secara langsung. Kata Mama kamu udah pernah lihat Abitra sebelumnya, ya?"
"Eum, iya."
Kami terus masuk dengan mengendap-endap, sambil memeriksa sekitar. Takutnya Djinn atau orang-orang jahat itu muncul dan menyerang kami tiba-tiba. Aku segera berlari mendekat ke Aira, memeriksa kondisinya. Detak jantung, nadi dan nafasnya masih terasa, walau agak lemah. Setidaknya dia masih hidup sekarang. Kak Rayi berdiri di dekatku, netranya liar mencari sesuatu. Sementara aku berusaha membangunkan Aira.
Tiba-tiba pintu di luar terbuka kasar. Abitra tersungkur seolah dilempar kuat-kuat oleh sesuatu dari luar. Kak Rayi mendekat ke Abitra. "Kamu nggak apa-apa?!" jeritnya panik. Abitra lantas segera bangun, ia menggerakkan tubuhnya, lalu mulutnya terbuka. Giginya terlihat runcing dengan air liur di sana. Ia mengaum. Suaranya keras, dan membuat Kak Rayi mundur.
Djinn muncul dari pintu yang rusak di luar. Sosoknya terlihat garang dan kuat. Tubuhnya sama seperti manusia, memiliki tanduk kecil di kepalanya, kulitnya berwarna merah seperti memancarkan hawa panas yang pekat. Baru kali ini aku melihat wujudnya dengan jelas. Mengerikan.
Abitra berjalan mondar-mandir tak jauh dari Djinn berdiri. Di tangan kanan makhluk mengerikan itu ada sebuah rantai besi yang sedang terikat ke leher seseorang. Kak Sandi. Dan aku yakin itu adalah Kak Sandi yang asli. Tubuhnya luka-luka, mulutnya seperti habis mengeluarkan darah. Bajunya terlihat kumal dan compang-camping. Di belakangnya muncul sosok lain dari Kak Sandi dan Aira.
Kak Rayi mundur dan mendekat padaku. "Bil, kamu siap?" tanyanya berbisik. Matanya terus memandang ke sosok di belakang Djinn. Mereka berdua cukup kuat, auranya terpancar jelas. Sebenarnya aku takut dan ragu, tapi aku tidak boleh menyerah. Apalagi dengan adanya Kak Rayi akan sangat membantuku sekarang. Setidaknya aku tidak berjuang seorang diri, juga adanya Abitra. Aku yakin kami bisa melewati semua ini.
"Aku siap," sahutku sambil menunjukkan benda tajam yang masih kugenggam. Kak Rayi juga mengeluarkan sebuah samurai dari balik punggungnya. "Dapat dari mana, Kak?" tanyaku.
"Tiba-tiba saja udah ada, mungkin bantuan dari Rachel." Benar juga, mungkin saja kalau Rachel juga turut membantu kami. Apalagi kami sudah cukup lama di dunia ini.
Abitra kembali mengaum, seperti mengisyaratkan kalau peperangan ini dimulai. Dia berlari cepat ke arah Djinn. Sementara itu, dua sosok jelmaan tadi, menatap ke arah kami dengan tatapan mengerikan. Kak Rayi berjalan menjauh dari ku, memberikan ruang untuk masing-masing. sosok Aira menatapku penuh kebencian, sementara aku menoleh ke tubuh Aira yang asli, masih tergeletak di lantai dengan kondisi sangat lemah. Aku mengacungkan benda di tanganku dengan bermaksud menantangnya.
Di sisi lain, sosok dari Kak Sandi sudah bertarung dengan Kak Rayi. Aku tidak perlu mencemaskan Kak Rayi, karena dia jago bela diri. Bahkan kemampuannya berada di atasku. Justru aku harus mengkhawatirkan diri sendiri.
Aira palsu menyeringai, di tangannya ada sebuah pedang panjang. Yah, setidaknya kami imbang. Dia mulai menyerangku lebih dulu. Di awal aku hanya berusaha menghindar tanpa menyerang. Tapi begitu aku mendengar teriakkan Kak Rayi, fokusku terbagi. Kak Rayi terluka, punggungnya sobek dengan luka yang terlihat menganga.
Senjataku terlempar jauh, dan aku sadar, kalau kini aku pun diambang kematian. Aira maju pelan, sambil memiringkan kepala nya menatap ku. Aku berbalik badan, merangkak demi meraih pedang yang berada di atasku. Langkah kaki Aira terasa makin dekat, aku berusaha terus menyeret tubuhku. Kakiku tiba- tiba ditusuk ujung pedang. Hingga menjerit kesakitan. Pedang itu kembali ditarik oleh nya. Aku terus bergerak walau dengan menahan sakit di betis kanan ku. Kembali hujaman senjata tajam terasa menembus kaki kiriku. Aku kembali menjerit kesakitan. Kini aku juga tidak bisa lagi menahan tangis. Rasa sakit di kedua kakiku terasa tidak bisa lagi kutahan. Aku benar -benar menangis, merangkak, menyeret tubuh ku sendiri untuk menghindari dia.
Bayangan Aira terlihat di samping kanan ku. Dia sedang mengangkat pedang nya dan bersiap untuk menghujamkan nya lagi. Aku memejamkan mata dan bersiap, jika memang takdir ku akan berakhir di sini. Aku tidak tau apakah aku bisa hidup lagi seperti sebelum nya setelah terluka separah ini. Bahkan aku sedang tidak berada di rumahku sendiri. Papa, maafkan Nabila.
"Ugh!" Mulutku tertahan, seolah rasa sakit di punggung ku tidak mampu membuatku menjerit seperti sebelum nya. Rasa sakitnya luar biasa. Benda tajam itu tidak hanya menusuk punggung ku dalam, tapi Aira menarik nya hingga ke bawah pinggangku. Di situ aku baru menjerit dengan gumpalan cairan yang keluar dari mulut.
Tapi entah kenapa di ujung ekor mataku, Aira ikut menjerit. Ada cahaya terang dari belakangku. Membuat tubuh Aira palsu seolah terbakar dan menguar ke udara. Hening. Tapi ternyata pengaruh cahaya itu tidak hanya berimbas ke Aira tapi semua makhluk tersebut. Kak Sandi dan Djinn tadi. Mereka ikut terbakar dan lenyap seketika.
Nafasku pendek -pendek. Nyeri di punggung ku masih terasa panas. Kak Rayi berlari ke arah ku dan membalik tubuhku. Kini aku juga duduk sambil terus dipegangi oleh nya.
"Bil! Nabila!" jeritnya dengan sorot mata ketakutan. Pandangan mataku mulai memburam, aku sudah kehabisan energi sekarang. Dan perlahan semua nya gelap. Tapi aku seolah olah masih dapat mendengar suara nya. Meneriakkan nama ku dengan suara parau. Aku ingin membuka mata, tapi rasa nya sulit untuk kembali terjaga. Seakan tenaga ku sudah terkuras habis sekarang. Padahal ... Aku belum selesai. Aku tidak boleh seperti ini. Astaga, Papa, aku harus bagaimana sekarang. Papa, tolong aku. Aku mohon. Aku tetap harus terjaga, tapi aku tidak bisa menahan nya lagi. Suara Kak Rayi perlahan mulai memudar, hingga akhir nya tidak lagi terdengar di telinga ku. Sunyi. Yah, semua berubah sunyi.
Gelap, dan sunyi. Aku sangat benci keadaan ini. Aku ingin segera pergi. Aku harus ... Kembali.
regmekujo dan 4 lainnya memberi reputasi
5