- Beranda
- Stories from the Heart
Supernatural
...
TS
ny.sukrisna
Supernatural
Quote:
Mungkin agan di sini pernah baca cerita ane yang berjudul pancasona? Kali ini ane akan melanjutkan kisah itu di sini. Yang suka cerita genre fantasi, kasus pembunuhan berantai, gengster werewolf, vampire dan sejenisnya. Silakan mampir.


Quote:
INDEKS
Part 1 abimanyu maheswara
Part 2 abimanyu
Part 3 kalla
Part 4 siapa kalla
Part 5 seorang gadis
part 6 Ellea
part 7 taman
Part 8 kamar ellea
Part 9 pagi bersama ellea
Part 10 rencana
Part 11 tentang kalla
part 12 rumah elang
Part 13 kembali aktivitas
part 14 emosi elang
part 15 janin kalla
part 16 elang
Part 17 vin
Part 18 kantor
Part 19 kemunculan kalla
part 20 pulau titik nol kehidupan
part 21 desa terkutuk
Part 22 wira
Part 23 teman lama
Part 24 patung wira
part 25 teror di rumah John
part 26 tato
part 27 simbol aldebaro
part 28 buku
part 29 kantor kalla
part 30 batu saphire
part 31 Lian dan Ayu
part 32 kakak beradik yang kompak
part 33 penyusup
part 34 kalah jumlah
part 35 lorong rahasia
Part 36 masuk lorong
part 37 cairan aneh
part 38 rahasia kalandra
part 39 Nayaka adalah Kalandra
Part 40 kemampuan nayaka
Part 41 Arkie
Part 42 Arkie (2)
Part 43 peperangan
Part 44 berakhir
Part 45 desa abi
part 46 nabila
part 47 cafe abi
Part 48 Maya
part 49 riki kembali, risna terancam
part 50 iblis bertubuh manusia
part 51 bertemu eliza
part 52 Feliz
Part 53 Bisma
Part 54 ke mana bisma
part 55 rahasia mayat
part 56 bisma kabur
part 57 pertemuan tak terduga
part 58 penyelidikan
part 59 tabir rahasia
part 60 kebakaran
part 61 Bajra
part 62 pengorbanan Bajra
part 63 the best team
part 64 masa lalu
part 65 perang dimulai
part 66 kisah baru
part 67 bertemu vin
part 68 san paz
part 69 cafe KOV
part 70 demigod
part 71 california
part 72 Allea dan Ellea
part 73 rumah ellea
part 74 alan cha
part 75 latin kings
part 76 kediaman faizal
part 77 kematian faizal.
part 78 permainan
part 79 ellea cemburu
part 80 rumah
part 81 keributan
part 82 racun
part 83 mayat
part 84 rencana
part 85 kampung....
Part 86 kematian adi
part 87 tiga sekawan
part 88 zikal
part 89 duri dalam daging
part 90 kerja sama
part 91 Abraham alexi Bonar
part 92 terusir
part 93 penemuan mayat
part 94 dongeng manusia serigala
part 95 hewan atau manusia
part 96 Rendra adalah werewolf
part 97 Beta
part 98 melamar
part 99 pencarian lycanoid
part 100 siapa sebenarnya anda
part 101 terungkap kebenaran
part 102 kisah yang panjang
part 103 buku mantra
part 104 sebuah simbol
part 105 kaki tangan
part 106 pertikaian
part 107 bertemu elizabet
part 108 orang asing
part 109 mantra eksorsisme
part 110 Vin bersikap aneh
part 111 Samael
part 112 Linda sang paranormal
part 113 reinkarnasi
part 114 Nayla
part 115 Archangel
part 116 Flashback vin kesurupan
part 117 ritual
part 118 darah suci
part 119 Lasha
part 120 Amon
part 121 masa lalu arya
part 122 sekte sesat
part 123 sekte
part 124 bu rahayu
part 125 dhampire
part 126 penculikan
part 127 pengakuan rian.
part 128 azazil
part 129 ungkapan perasaan
part 130 perjalanan pertama
part 131 desa angukuni
part 132 Galiyan
part 133 hilang
part 134 Hans dan Jean
part 135 lintah Vlad
part 136 rahasia homestay
part 137 rumah kutukan
part 138 patung aneh
part 139 pulau insula mortem
part 140 mercusuar
part 141 kastil archanum
part 142 blue hole
part 143 jerogumo
part 144 timbuktu
part 145 gerbang gaib
part 146 hutan rougarau
part 147 bertemu azazil
part 148 SMU Mortus
part 149 Wendigo
part 150 danau misterius
part 151 jiwa yang hilang
part 152 serangan di rumah
part 153 misteri di sekolah
part 154 rumah rayi
part 155 makhluk lain di sekolah
part 156 Djin
part 157 menjemput jiwa
part 158 abitra
part 159 kepergian faza
part 160 Sabrina
part 161 puncak emosi
part 162 ilmu hitam
part 163 pertandingan basket
part 164 mariaban
part 165 Dagon
part 166 bantuan
INDEKS LANJUT DI SINI INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 16-05-2023 21:45
itkgid dan 12 lainnya memberi reputasi
13
13.5K
222
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#155
150 Danau Misterius
Tapi aku melihat sesuatu yang lain, mataku mulai membulat sempurna. Karena sebuah bayangan terlihat muncul di belakang Kak Rayi. Aku mulai mundur perlahan, tatapan mata tak lepas dari sesuatu di belakang Kak Rayi.
"Bil, kenapa?" tanyanya yang melihatku aneh.
"Kak ... awas!" kataku langsung menarik tangan Kak Rayi. Kami terjatuh ke lantai dengan posisi dia ada di atas tubuhku. Namun bayangan yang tadi ada di dalam lemari pakaian, kini mulai menampakkan wujudnya lebih jelas. Dia terlihat seperti manusia yang memakai penutup kepala. Semua yang berada di dalam kain besar itu menutupi semua tubuh di dalamnya. Kak Rayi memindahkan tubuhnya dan kini berada di sampingku dengan posisi sama. Kami terlentang dan terus menatap bayangan hitam itu.
Tiba-tiba dia mendekat dengan cepat ke arah kami, kami menjerit karena merasakan sesuatu menabrak tubuh kami. Dingin dan panas yang bercampur menjadi satu. Tapi tiba-tiba hilang begitu saja. Aku dan Kak Rayi saling tatap, dan mencari di mana sosok tadi. "itu tadi apa?" tanyanya padaku. Aku hanya menggeleng, karena memang benar-benar tidak tau.
"Za! Elu liat nggak tadi?" tanya Kak Rayi menoleh ke ranjang di belakang kami. "Za? Faza?!" panggilnya lagi. Aku menoleh dan ternyata Kak Faza tidak ada di ranjang. Dan anehnya posisi ranjang itu masih rapi. Padahal kami ingat betul kalau tadi Kak Faza ada di atas ranjang dengan menutup tubuhnya memakai selimut, dan seharusnya jika dia pergi keadaan ranjangnya akan berantakan. Tetapi anehnya semua terlihat rapi. Kak Rayi berdiri, ia terus menatap kebingungan ke arah tempat tidur itu. Tangannya kemudian menjulur padaku dan membantuku berdiri.
Kami menyapu pandang ke setiap sudut ruangan ini. Hening. Kak Rayi juga kebingungan melihat keadaan kamar ini. Satu pertanyaan dalam benak kami, dan aku yakin Kak Rayi juga bertanya-tanya di dalam hatinya sendiri. "Ke mana Kak Faza."
Dering telepon memecah kesunyian, Kak Rayi segera meraih benda pipih yang ia simpan di saku celananya. "Kenapa, Tang?"
"...."
"Gue lagi di rumah Faza."
"...."
"Dia tadi nggak masuk sekolah, makanya gue tengokin. Sikap dia aneh belakangan ini."
"...."
"Loh kalian jadi ke camping kemarin?"
"...."
"Yang bener?!"
"...."
Wajah Kak Rayi pucat, dia mengakhiri panggilan telepon itu, sementara aku masih mendengar suara di balik telepon itu masih memanggil namanya. Kak Rayi justru menatapku nanar. "Bil ..."
"Kenapa, Kak?" tanyaku bingung.
Dia tidak menjawab, malah kembali menatap ranjang Kak Faza. Wajahnya pucat dengan sorot mata kosong. Aku mendekat dan menempatkan diriku berada di depannya. Menghalangi tatapan matanya yang terus menatap ke satu tempat tadi. "Kak, ada apa? Cerita sama aku."
"...."
"Siapa yang telepon tadi?"
"Bintang."
"Terus?"
"Seminggu lalu mereka berencana camping, tapi karena aku nggak bisa, aku minta sama mereka buat undur saja acara itu. Tapi ternyata mereka tetap camping ke hutan weekend kemarin." Kak Rayi menarik nafasnya berat.
"Oke, lalu?"
"Bintang bilang, kalau Faza hilang. Dia sama Roger baru sampai rumah tadi pagi. Jadi ... tadi siapa, Bil?" tanya Kak Rayi berbisik, ia terlihat ketakutan dan jujur, aku juga sedikit bergidik ngeri mendengarnya. Aku meraih tangan Kak Rayi, dan mengajaknya pergi dari rumah ini. "Kita ke rumah Kak Bintang saja, ya? Biar kita dengar cerita mereka langsung, dan kita pasti temukan Kak Faza."
Dia mengangguk lalu kugandeng dia keluar kamar ini. Aku masih merasakan ngeri di dalam rumah ini. Rasanya aku ingin menarik tangan Kak Rayi agar segera keluar dari rumah ini. Tapi aku tidak boleh panik, karena melihat kondisi Kak Rayi yang terguncang, itu akan berakibat buruk baginya.
Motor melesat cepat. Kami sudah memberi kabar pada Kak Bintang kalau sedang menuju ke rumahnya. Kak Rayi yang masih memakai seragam sekolah tidak begitu peduli dengan tatapan orang-orang yang menatap kami aneh. Ini masih jam sekolah, dan ada satu siswa yang berkeliaran dengan masih memakai seragam sekolah.
Rumah Kak Bintang ternyata tidak terlalu jauh dari rumah Kak Faza. Hanya dalam 15 menit kami sampai di sebuah rumah besar. Dan aku yakin ini adalah rumah Kak Bintang. Pintu gerbang segera terbuka otomatis begitu Kak Rayi mengabarkan kedatangan kami. Begitu masuk ke halaman rumah besar itu, Kak Bintang menyambut kedatangan kami. IA terlihat sedikit terkejut melihatku yang berada di belakang jok motor Kak Rayi. Kami turun dari motor, lalu dua sahabat itu saling berjabat tangan. Kak Bintang menarik tubuh Kak Rayi dan berbisik sambil menatapku. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, yang aku tau pasti ada hubungannya denganku. Tetapi aku tidak tau apa yang mereka bahas, karena aku tidak memiliki kemampuan membaca pikiran manusia.
"Yuk, Bil, " ajak Kak Rayi melambaikan tangannya padaku. Aku mendekat dengan sungkan, karena baru kali ini aku bertatap muka dengan Kak Bintang. Selama ini aku hanya bisa melihat sepak terjangnya sebagai salah satu atlet basket sekolah yang cukup aku idolakan. "Ini Bintang, aku yakin kamu udah tau dia, kan? Tang, ini Nabila, junior gue di taekwondo sekolah."
Aku mengangguk dan mengulurkan tangan kepadanya. "Hai, Nabila," katanya ramah. Rupanya apa yang selama ini aku pikirkan salah, Kak Bintang tidak sombong atau angkuh. Aku memang mengidolakannya sebagai salah satu pemain basket sekolah. Karena beberapa kali aku melihat permainannya setiap kali ada lomba basket di sekolah. Hanya menyukai kemampuannya, bukan orangnya. Karena anggapanku, dia adalah orang yang sombong.
"Yuk, masuk." Kami bertiga masuk ke dalam. Rupanya sudah ada Kak Roger juga di sana. Kondisi Kak Roger jauh lebih parah, ada beberapa perban di tangan dan kepalanya. Aku pun kembali melihat keadaan Kak Bintang, dan ternyata dia terlihat baik-baik saja.
"Lu kenapa, Bro?" tanya Kak Rayi langsung mendekat ke sahabatnya itu. Kak Roger memang terlihat kacau. Mereka yang sedang duduk di lantai yang beralaskan karpet bulu tebal segera larut dalam pembicaraan antar teman.
"Kamu mau minum apa, Bil?" tanya Kak Bintang.
"Eum, apa aja, Kak."
"Oke, aku ambilin dulu, ya," katanya lalu berjalan menuju dapur yang memang terlihat dari ruang tengah rumah ini. Karena sungkan, aku mengikuti Kak Bintang ke dapur. Mungkin aku bisa membantunya sedikit. Atau mungkin memperoleh informasi tentang Kak Faza.
"Kak, kenapa Kak Roger luka-luka seperti itu? Memangnya ada apa?" tanyaku sambil menunjuk Kak Roger yang sedang antusias mengobrol dengan Kak Rayi. Sepintas aku mendengarkan dan tau kalau mereka sedang membahas tentang kejadian yang mereka alami saat camping di hutan kemarin.
Kak Bintang yang sedang mengambil gelas, lantas tersenyum tipis. Namun raut wajahnya berubah menegang saat aku bertanya hal itu. "Eum, kamu pasti sudah dengar sedikit dari Rayi, kan?" tanyanya dan aku langsung mengangguk cepat. Sirup berwarna orang ia tuang ke dalam empat 3 gelas tinggi dan bening.
"Jadi weekend kemarin kami camping tanpa Rayi. Tempat itu memang sudah kami incar sejak lama, karena di sana tempatnya bagus dan jarang ada orang yang mau camping ke sana."
"Memangnya di mana, kak?"
"Bukit Periculo. Kamu tau?" tanyanya.
Aku mengerutkan dahi dan mencoba mengingat nama tersebut, tetapi aku memang merasa asing dengan nama tersebut. Dan akhirnya menggeleng.
"Itu tempat dulu punya banyak sejarah kelam. Banyak orang yang hilang jika camping di sana. Ada satu wilayah yang memang dilarang untuk camping, tapi, kami nggak pergi ke wilayah itu. Kami cuma bikin tenda di dekat danau aja."
"Terus?"
"Tenda memang sendiri-sendiri, Bil. Malam itu, setelah makan, kami mau tidur. Tendaku ada di tengah, di antara Roger sama Faza. Dan kami juga nggak buat api unggu atau semacamnya, karena kami bawa senter besar, sinarnya memang cukup terang. Dan kami taruh di tengah, saat itu tenda kami menghadap ke danau. Terus samar-samar aku dengar, ada suara aneh di tenda punya Faza."
"Suara seperti apa, Kak?"
"Eum, mirip nafas seseorang. Nafas yang dekat banget sama telinga. DAn nggak lama setelah itu, FAza menjerit. Otomatis aku sama Roger keluar tenda kami, kan? Di situ, kami melihat Faza di seret sesuatu yang nggak kelihatan, Bil."
"...."
"Aku sama Roger nyusulin Faza, kami cari dia malam itu juga. Muterin hutan dan semua tempat yang mungkin di datangi Faza. Nggak ketemu juga! Sampai akhirnya kami menyerah dan balik ke tenda, niatnya mau telpon polisi, tapi begitu kami balik ke tenda, Faza udah ada di sana. Dia lagi duduk di dalam tenda, posisinya kayak si Rayi itu," tunjuknya ke Kak Rayi yang sedang menyilangkan kaki ke depan. "Tapi Faza cuma diam, menunduk. Aku sama Roger agak takut dong, Bil. Karena jelas-jelas Faza tadi diseret jauh banget, kan aneh kalau tiba-tiba dia ada di tendanya."
"Kalian nanya, nggak? Kalau Kak Faza tadi ke mana?"
"Tanya. Dia bilang dia nggak ke mana-mana. Dari tadi cuma diam di tenda. Akhirnya Roger narik aku buat balik ke tenda kami. Kami coba lupain kejadian itu. HAbis itu kami coba tidur, kan? Baru saja aku tidur, aku terbangun lagi. Sekarang suara Roger nyaring banget. Dia menjerit minta tolong, aku keluar tenda dan nyari dia di tendanya, nggak ada. Akhirnya aku nemuin dia di mana coba, Bil?" tanyanya padaku seolah membuat kuis saja. Aku kembali menggeleng dengan tampang bingung. "Dia terikat di atas pohon, dengan posisi kakinya di atas. Tubuhnya kacau, berdarah di mana-mana. Aku turunin Roger, dan akhirnya aku bawa balik ke tenda. Dan, saat aku mau nyari perban dan obat-obatan di tenda Faza, dia udah nggak ada lagi di sana. Hilang," jelas Kak Bintang dengan sorot mata penuh keyakinan. Dan ini adalah cerita horor pertama yang aku dengar dari seseorang. Cerita horor mengerikan yang benar-benar mengancam nyawa mereka.
Minuman dingin sudah siap dibuat oleh Kak Bintang, kami berdua berkumpul bersama Kak Rayi dan Kak Roger.
"Sumpah gue yakin banget, ada sesuatu yang mengikat kaki kanan gue dan menyeret gue sampai ke atas pohon. Cuma nggak kelihatan, Yi!" Sepertinya kelanjutan cerita versi Kak Roger belum kulewatkan banyak.
"Kalian mencium bau aneh nggak?" tanyaku memotong pembicaraan ini.
"Bau aneh? Oh iya, pas sebelum Faza hilang, yang aku bilang ada suara nafas orang, itu ada bau busuk di sekitarku. Semacam bau lumpur gitu deh," jelas Kak Bintang.
"Lumpur?"
"Menurut kamu apa, Bil?" tanya Kak Rayi.
"Tunggu, dia siapa sih? Gebetan baru lo, Yi?" tanya Kak Roger menunjukku.
"Heh! Kalau ngomong yang bener! Dia Nabila, adek kelas kita."
"Ah, yang bener? Kok gue nggak pernah lihat?"
"Mana pernah lu lihat, yang lu lihat kan yang seksi-seksi!" sindir Kak Bintang.
"Oh iya, bener juga, ya? Dia mah seleranya si Rayi," gumamnya namun masih dapat kudengar jelas. Kak Rayi melirikku dan terlihat salah tingkah, lalu memukul kepala Kak Roger kesal. "Diem lu! Sembarangan saja kalau ngomong!"
"Heh, sudah! Malah berantem! Jadi bagaimana, Bil? Aku yakin kamu bisa bantu kami, kata Rayi kamu ini yang bantu Faza kemarin, kan? Semua orang cuma tau kalau Faza hampir dilukai sama orang sakit jiwa, padahal kami yakin dia bukan orang sakit jiwa seperti yang guru-guru bilang. Iya, kan?" tanya Kak Bintang terlihat antusias.
Aku menatap mereka bertiga bergantian. Lalu menarik nafas dalam-dalam. "Oke, menurut cerita kalian, ada kemungkinan kalau Kak Faza masih ada di hutan itu. Mungkin danau itu sumber masalah ini. Karena kata Kak Bintang, kakak mencium bau lumpur, kan? Mungkin makhluk itu berasal dari danau itu."
"Makhluk? Makhluk apa?" tanya Kak Roger.
"Aku belum tau."
"Jadi kita balik lagi ke sana dong?"
"Iya, kita harus balik ke sana dan jemput Kak Faza sebelum terlambat."
Kami mulai menyiapkan semua perbekalan yang akan dibawa. Paling tidak kami harus menginap di sana, karena jarak ke tempat itu juga cukup jauh, dan aku sendiri tidak tau kapan makhluk itu akan muncul. Kalau menurut apa yang kudengar dari Kak Bintang dan Kak Roger, 'dia' muncul saat lewat tengah malam. Khas makhluk supranatural pada umumnya. Entah kenapa aku merasa kalau apa yang akan kami hadapi nanti adalah ruh atau hantu. Kami sepakat akan membawa 1 mobil saja. Kak Rayi juga sudah berganti pakaian, menggunakan kaus milik Kak Bintang. Kami harus segera berangkat sebelum malam.
Perjalanan sudah kami tempuh selama satu jam. Kak Bintang dan Kak Rayi duduk di depan, sementara aku dan Kak Roger di belakang. Aku lebih banyak diam, sambil memegang gawai di tangan. Terlintas di pikiran untuk memberikan kabar ke Papa, kalau aku akan pulang terlambat. Karena hari ini Papa memang ada di rumah. Sejak Mama meninggal, Papa lebih sering di rumah. Hanya melakukan kegiatan di kantor tanpa pergi keluar kota atau keluar negeri. Kami juga bukan tipe orang yang melakukan tahlilan di rumah. Mungkin gaya modernisasi memang sudah mendarah daging dalam keluargaku. Bahkan aku tidak tau, Tuhan mana yang Papa sembah.
Berkali-kali aku menatap benda pipih ini, memainkan nya di tanganku, sambil sesekali menatap jendela di samping.
"Mau ngabarin orang rumah? Buruan gih. Nanti kalau udah masuk hutan, udah susah sinyalnya," kata Kak Roger yang sepertinya melihat sikapku sejak tadi. Kak Rayi melirik sedikit ke belakang, karena dia duduk di depanku. Sementara Kak Bintang yang sedang menyetir hanya menatapku dari spion tengah. "Kamu belum ngabarin rumah, Bil? Wah, kita nggak mau kalau sampai dikira culik kamu loh," kata Kak Bintang menambahkan.
"Sudah kok, Kak," sahutku dengan memaksakan senyum. Kak Rayi yang melihatku hanya diam. Aku mengalihkan tatapanku ke jendela, menghindari sorot mata tajam Kak Rayi di depanku.
Matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Hawa dingin mulai menusuk tulang, dan aku yakin malam nanti akan lebih dingin dari saat siang. Api unggun sudah dibuat, tentu dengan keamanan yang terjamin.
"Kenapa kalian nggak pakai tenda ini aja kemarin, bukannya lebih aman kalau bareng-bareng gini, ya? tanyaku. Kami mulai membuat barbeque sederhana untuk mengisi perut kami yang mulai keroncongan.
"Nih, si Gila! Lupa bawa tenda, jadi kami beli tenda pas di jalan. YA udah, gitu deh hasilnya," umpat Kak Roger, menunjuk Kak Bintang.
"Kan udah gue siapin, lah elu main buru-buru pergi aja. Jadi ketinggalan, kan? Pakai nyalahin orang segala!"
"Kan gue bilang, cek bawaan, lah elu malah asyik main hand phone aja. Jomblo aja sok sibuk!"
"Kupret! Elu juga jomblo, gila!"
Kembali keramaian tercipta dari dua sahabat itu. Rupanya memiliki teman, terlihat menyenangkan. Karena selama ini aku bahkan jarang mengobrol dengan orang lain.
"Eh, kalian nyium bau ini nggak?" tanya Kak Rayi sambil menggerakkan hidungnya. Kami berhenti dan mulai melakukan hal yang sama seperti Kak Rayi.
"Iya, bau lumpur!"
Aku menatap jam di pergelangan tanganku. Bahkan saat ini belum tengah malam. Matahari saja baru tenggelam sekitar dua jam lalu. Aku melirik ke pintu tenda yang memang sudah kami tutup sejak tadi, nyamuk akan merangsek masuk jika tidak kami tutup. Kak Rayi memanggilku, seolah mencegah tindakanku. "Nggak apa-apa, Kak. Aku cuma mau cek aja," sahutku dan meneruskan niatanku.
Mereka bertiga diam di tempat. Aku mulai mengintip dari jendela kecil yang memang ada di depanku sekarang. Keadaan di luar terlihat sunyi. Apalagi kami semua kini diam seribu bahasa. Aku yakin mereka juga mulai takut, sama sepertiku sekarang.
"Bil ...," panggil Kak Bintang. Aku menoleh, sambil melebarkan senyum, agar mereka tidak terlalu cemas. "Aman kok." Namun saat aku kembali menatap keluar tenda, wajah seseorang tiba-tiba sudah ada di depan tenda kami. Sontak aku mundur dan terjatuh ke belakang. Kak Rayi berlari mendekat, begitu juga dengan Kak Bintang dan Kak Roger. "Kenapa, Bil?" tanya Kak Rayi.
Aku masih terpaku dengan jendela kecil di atas, terus menatapnya dengan wajah ketakutan. Kak Roger dan Kak Bintang dengan ragu ikut melihat keluar tenda. Mereka saling berpegangan dan perlahan mendekat ke sana.
"Nggak ada apa-apa, Bil," kata Kak Bintang.
"Iya. Nggak ada apa-apa kok. Memangnya tadi elu lihat apa?" tanya Kak Roger menambahkan.
Aku menelan ludah, sambil berusaha menetralkan napasku yang tidak karuan. "Tadi ... Tadi aku lihat Kak Faza di depan," jelasku pelan.
"Hah! Yang bener! Kok nggak bilang?!" cetus Kak Roger lalu membuka resleting tenda.
"Kak, jangan!" cegahku spontan.
Tangan Kak Roger yang belum sepenuhnya membuka pintu itu, terhenti. Dia menoleh dengan mengerutkan dahi. "Kenapa?"
"Itu bukan Kak Faza!"
"Masa sih?" tanyanya. Ia kembali mengintip dari jendela depannya, dan sontak matanya melotot tajam. Aku yakin dia juga melihat apa yang kulihat tadi. Dengan terburu-buru Kak Roger kembali menutup resleting tadi. Ia terlihat gugup dan ketakutan. Sampai-sampai Kak Bintang kebingungan, dan ikut melihat keluar tenda. "Astaga! Faza!" jeritnya.
Kak Bintang hendak membuka kembali tenda ini, namun Kak Roger mencegahnya. "Gila, lu! Mau cari mati lu, Tang?!"
"Itu Faza, kan?"
"Bukan! Lu nggak lihat mukanya aneh gitu?! Itu bukan Faza, bego!" umpat Kak Roger dan mulai menjauh dari pintu. Kak Bintang yang masih ragu, kembali mengintip dari jendela. Namun tiba-tiba dia terjatuh ke belakang sama seperti aku tadi. Kak Bintang terus mengumpat kesal. Dan kami berempat sudah gemetaran.
"Biar aku cek," kata Kak Rayi beranjak, namun aku tahan tangannya sambil menggeleng. "Nggak apa-apa, Bil. Kita harus tau siapa dan mau apa dia sebenarnya." Tanganku dilepaskan lembut oleh Kak Rayi, dan dia mulai mendekat dengan ragu.
Menunggu reaksi Kak Rayi membuatku tegang, namun dia justru makin mendekatkan kepalanya ke jendela. Kedua matanya juga menyipit seolah sedang melihat sesuatu yang agak jauh dari penglihatannya. "Kak, lihat apa?" tanyaku penasaran.
"Itu Faza bukan, ya?" tunjuknya dengan pertanyaan yang ditujukan pada kami bertiga. Tentu kami penasaran dan ikut mendekat ke Kak Rayi. Kini sosok yang tadi kami takuti justru sedang berada di dekat danau. Berdiri dengan menatap danau yang gelap di sana.
"Duh, bingung gue. Dia Faza bukan, sih? Kalau yang tadi di depan tenda, asli wajahnya serem banget. Iya, kan, Bil?" tanya Kak Roger padaku. Aku hanya mengangguk karena memang apa yang dia katakan benar.
"Terus gimana? Kita samperin apa ngga usah?" tanya Kak Bintang.
Sebelum kami memberikan jawaban, tiba-tiba Kak Faza malah menceburkan dirinya ke dalam danau. Sontak kami pun panik, dan segera membuka pintu. Berlari ke arah danau. Hening. Danau yang gelap membuat kami kesulitan melihat ke dasarnya. "Senter!" pinta Kak Rayi, dan Kak Bintang segera berlari kembali ke danau. Mengambil beberapa senter untuk menerangi tempat itu. Satu persatu kami mendapat senter, dan mulai melakukan pencarian ke dasar danau.
"Nggak kelihatan!" ujar Kak Roger, dan memang perkataannya benar.
"Duh, apa kita harus masuk ke dalam?"
"Gila lu! Nyebur malam-malam begini. Oh, No!"
"Terus gimana?"
Semua diam, aku pun sama bingungnya dengan mereka. Memang terasa aneh, karena aku tidak melihat di mana Kak Faza berada. Tapi tiba-tiba aku teringat perkataan Om Gio. "Kamu itu bisa mengendalikan mata batinmu sendiri, Bil."
Dan saat itulah aku paham, ada yang salah dengan situasi ini. Aku mulai konsentrasi, dan mencoba tenang. Kupejamkan mata untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Yaitu penglihatan. Memang selama ini aku sesekali dapat melihat makhluk halus yang berkeliaran di sekitarku, hanya saja aku lebih sering menolak untuk dapat melihat mereka karena merasa sangat terganggu. Dan selama ini 'mereka' yang mendekat atau muncul hanya lah ruh tersesat yang memang hanya lewat, bukan bermaksud mengganggu atau berniat jahat. Dan apa yang sedang kami hadapi sekarang adalah ruh jahat. Sesuatu yang gelap dan buruk, sedang menguasai tempat ini. Yang membuat beberapa orang menghilang secara misterius, hingga akhirnya tempat ini begitu ditakuti.
"Bil, kenapa?" tanyanya yang melihatku aneh.
"Kak ... awas!" kataku langsung menarik tangan Kak Rayi. Kami terjatuh ke lantai dengan posisi dia ada di atas tubuhku. Namun bayangan yang tadi ada di dalam lemari pakaian, kini mulai menampakkan wujudnya lebih jelas. Dia terlihat seperti manusia yang memakai penutup kepala. Semua yang berada di dalam kain besar itu menutupi semua tubuh di dalamnya. Kak Rayi memindahkan tubuhnya dan kini berada di sampingku dengan posisi sama. Kami terlentang dan terus menatap bayangan hitam itu.
Tiba-tiba dia mendekat dengan cepat ke arah kami, kami menjerit karena merasakan sesuatu menabrak tubuh kami. Dingin dan panas yang bercampur menjadi satu. Tapi tiba-tiba hilang begitu saja. Aku dan Kak Rayi saling tatap, dan mencari di mana sosok tadi. "itu tadi apa?" tanyanya padaku. Aku hanya menggeleng, karena memang benar-benar tidak tau.
"Za! Elu liat nggak tadi?" tanya Kak Rayi menoleh ke ranjang di belakang kami. "Za? Faza?!" panggilnya lagi. Aku menoleh dan ternyata Kak Faza tidak ada di ranjang. Dan anehnya posisi ranjang itu masih rapi. Padahal kami ingat betul kalau tadi Kak Faza ada di atas ranjang dengan menutup tubuhnya memakai selimut, dan seharusnya jika dia pergi keadaan ranjangnya akan berantakan. Tetapi anehnya semua terlihat rapi. Kak Rayi berdiri, ia terus menatap kebingungan ke arah tempat tidur itu. Tangannya kemudian menjulur padaku dan membantuku berdiri.
Kami menyapu pandang ke setiap sudut ruangan ini. Hening. Kak Rayi juga kebingungan melihat keadaan kamar ini. Satu pertanyaan dalam benak kami, dan aku yakin Kak Rayi juga bertanya-tanya di dalam hatinya sendiri. "Ke mana Kak Faza."
Dering telepon memecah kesunyian, Kak Rayi segera meraih benda pipih yang ia simpan di saku celananya. "Kenapa, Tang?"
"...."
"Gue lagi di rumah Faza."
"...."
"Dia tadi nggak masuk sekolah, makanya gue tengokin. Sikap dia aneh belakangan ini."
"...."
"Loh kalian jadi ke camping kemarin?"
"...."
"Yang bener?!"
"...."
Wajah Kak Rayi pucat, dia mengakhiri panggilan telepon itu, sementara aku masih mendengar suara di balik telepon itu masih memanggil namanya. Kak Rayi justru menatapku nanar. "Bil ..."
"Kenapa, Kak?" tanyaku bingung.
Dia tidak menjawab, malah kembali menatap ranjang Kak Faza. Wajahnya pucat dengan sorot mata kosong. Aku mendekat dan menempatkan diriku berada di depannya. Menghalangi tatapan matanya yang terus menatap ke satu tempat tadi. "Kak, ada apa? Cerita sama aku."
"...."
"Siapa yang telepon tadi?"
"Bintang."
"Terus?"
"Seminggu lalu mereka berencana camping, tapi karena aku nggak bisa, aku minta sama mereka buat undur saja acara itu. Tapi ternyata mereka tetap camping ke hutan weekend kemarin." Kak Rayi menarik nafasnya berat.
"Oke, lalu?"
"Bintang bilang, kalau Faza hilang. Dia sama Roger baru sampai rumah tadi pagi. Jadi ... tadi siapa, Bil?" tanya Kak Rayi berbisik, ia terlihat ketakutan dan jujur, aku juga sedikit bergidik ngeri mendengarnya. Aku meraih tangan Kak Rayi, dan mengajaknya pergi dari rumah ini. "Kita ke rumah Kak Bintang saja, ya? Biar kita dengar cerita mereka langsung, dan kita pasti temukan Kak Faza."
Dia mengangguk lalu kugandeng dia keluar kamar ini. Aku masih merasakan ngeri di dalam rumah ini. Rasanya aku ingin menarik tangan Kak Rayi agar segera keluar dari rumah ini. Tapi aku tidak boleh panik, karena melihat kondisi Kak Rayi yang terguncang, itu akan berakibat buruk baginya.
Motor melesat cepat. Kami sudah memberi kabar pada Kak Bintang kalau sedang menuju ke rumahnya. Kak Rayi yang masih memakai seragam sekolah tidak begitu peduli dengan tatapan orang-orang yang menatap kami aneh. Ini masih jam sekolah, dan ada satu siswa yang berkeliaran dengan masih memakai seragam sekolah.
Rumah Kak Bintang ternyata tidak terlalu jauh dari rumah Kak Faza. Hanya dalam 15 menit kami sampai di sebuah rumah besar. Dan aku yakin ini adalah rumah Kak Bintang. Pintu gerbang segera terbuka otomatis begitu Kak Rayi mengabarkan kedatangan kami. Begitu masuk ke halaman rumah besar itu, Kak Bintang menyambut kedatangan kami. IA terlihat sedikit terkejut melihatku yang berada di belakang jok motor Kak Rayi. Kami turun dari motor, lalu dua sahabat itu saling berjabat tangan. Kak Bintang menarik tubuh Kak Rayi dan berbisik sambil menatapku. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, yang aku tau pasti ada hubungannya denganku. Tetapi aku tidak tau apa yang mereka bahas, karena aku tidak memiliki kemampuan membaca pikiran manusia.
"Yuk, Bil, " ajak Kak Rayi melambaikan tangannya padaku. Aku mendekat dengan sungkan, karena baru kali ini aku bertatap muka dengan Kak Bintang. Selama ini aku hanya bisa melihat sepak terjangnya sebagai salah satu atlet basket sekolah yang cukup aku idolakan. "Ini Bintang, aku yakin kamu udah tau dia, kan? Tang, ini Nabila, junior gue di taekwondo sekolah."
Aku mengangguk dan mengulurkan tangan kepadanya. "Hai, Nabila," katanya ramah. Rupanya apa yang selama ini aku pikirkan salah, Kak Bintang tidak sombong atau angkuh. Aku memang mengidolakannya sebagai salah satu pemain basket sekolah. Karena beberapa kali aku melihat permainannya setiap kali ada lomba basket di sekolah. Hanya menyukai kemampuannya, bukan orangnya. Karena anggapanku, dia adalah orang yang sombong.
"Yuk, masuk." Kami bertiga masuk ke dalam. Rupanya sudah ada Kak Roger juga di sana. Kondisi Kak Roger jauh lebih parah, ada beberapa perban di tangan dan kepalanya. Aku pun kembali melihat keadaan Kak Bintang, dan ternyata dia terlihat baik-baik saja.
"Lu kenapa, Bro?" tanya Kak Rayi langsung mendekat ke sahabatnya itu. Kak Roger memang terlihat kacau. Mereka yang sedang duduk di lantai yang beralaskan karpet bulu tebal segera larut dalam pembicaraan antar teman.
"Kamu mau minum apa, Bil?" tanya Kak Bintang.
"Eum, apa aja, Kak."
"Oke, aku ambilin dulu, ya," katanya lalu berjalan menuju dapur yang memang terlihat dari ruang tengah rumah ini. Karena sungkan, aku mengikuti Kak Bintang ke dapur. Mungkin aku bisa membantunya sedikit. Atau mungkin memperoleh informasi tentang Kak Faza.
"Kak, kenapa Kak Roger luka-luka seperti itu? Memangnya ada apa?" tanyaku sambil menunjuk Kak Roger yang sedang antusias mengobrol dengan Kak Rayi. Sepintas aku mendengarkan dan tau kalau mereka sedang membahas tentang kejadian yang mereka alami saat camping di hutan kemarin.
Kak Bintang yang sedang mengambil gelas, lantas tersenyum tipis. Namun raut wajahnya berubah menegang saat aku bertanya hal itu. "Eum, kamu pasti sudah dengar sedikit dari Rayi, kan?" tanyanya dan aku langsung mengangguk cepat. Sirup berwarna orang ia tuang ke dalam empat 3 gelas tinggi dan bening.
"Jadi weekend kemarin kami camping tanpa Rayi. Tempat itu memang sudah kami incar sejak lama, karena di sana tempatnya bagus dan jarang ada orang yang mau camping ke sana."
"Memangnya di mana, kak?"
"Bukit Periculo. Kamu tau?" tanyanya.
Aku mengerutkan dahi dan mencoba mengingat nama tersebut, tetapi aku memang merasa asing dengan nama tersebut. Dan akhirnya menggeleng.
"Itu tempat dulu punya banyak sejarah kelam. Banyak orang yang hilang jika camping di sana. Ada satu wilayah yang memang dilarang untuk camping, tapi, kami nggak pergi ke wilayah itu. Kami cuma bikin tenda di dekat danau aja."
"Terus?"
"Tenda memang sendiri-sendiri, Bil. Malam itu, setelah makan, kami mau tidur. Tendaku ada di tengah, di antara Roger sama Faza. Dan kami juga nggak buat api unggu atau semacamnya, karena kami bawa senter besar, sinarnya memang cukup terang. Dan kami taruh di tengah, saat itu tenda kami menghadap ke danau. Terus samar-samar aku dengar, ada suara aneh di tenda punya Faza."
"Suara seperti apa, Kak?"
"Eum, mirip nafas seseorang. Nafas yang dekat banget sama telinga. DAn nggak lama setelah itu, FAza menjerit. Otomatis aku sama Roger keluar tenda kami, kan? Di situ, kami melihat Faza di seret sesuatu yang nggak kelihatan, Bil."
"...."
"Aku sama Roger nyusulin Faza, kami cari dia malam itu juga. Muterin hutan dan semua tempat yang mungkin di datangi Faza. Nggak ketemu juga! Sampai akhirnya kami menyerah dan balik ke tenda, niatnya mau telpon polisi, tapi begitu kami balik ke tenda, Faza udah ada di sana. Dia lagi duduk di dalam tenda, posisinya kayak si Rayi itu," tunjuknya ke Kak Rayi yang sedang menyilangkan kaki ke depan. "Tapi Faza cuma diam, menunduk. Aku sama Roger agak takut dong, Bil. Karena jelas-jelas Faza tadi diseret jauh banget, kan aneh kalau tiba-tiba dia ada di tendanya."
"Kalian nanya, nggak? Kalau Kak Faza tadi ke mana?"
"Tanya. Dia bilang dia nggak ke mana-mana. Dari tadi cuma diam di tenda. Akhirnya Roger narik aku buat balik ke tenda kami. Kami coba lupain kejadian itu. HAbis itu kami coba tidur, kan? Baru saja aku tidur, aku terbangun lagi. Sekarang suara Roger nyaring banget. Dia menjerit minta tolong, aku keluar tenda dan nyari dia di tendanya, nggak ada. Akhirnya aku nemuin dia di mana coba, Bil?" tanyanya padaku seolah membuat kuis saja. Aku kembali menggeleng dengan tampang bingung. "Dia terikat di atas pohon, dengan posisi kakinya di atas. Tubuhnya kacau, berdarah di mana-mana. Aku turunin Roger, dan akhirnya aku bawa balik ke tenda. Dan, saat aku mau nyari perban dan obat-obatan di tenda Faza, dia udah nggak ada lagi di sana. Hilang," jelas Kak Bintang dengan sorot mata penuh keyakinan. Dan ini adalah cerita horor pertama yang aku dengar dari seseorang. Cerita horor mengerikan yang benar-benar mengancam nyawa mereka.
Minuman dingin sudah siap dibuat oleh Kak Bintang, kami berdua berkumpul bersama Kak Rayi dan Kak Roger.
"Sumpah gue yakin banget, ada sesuatu yang mengikat kaki kanan gue dan menyeret gue sampai ke atas pohon. Cuma nggak kelihatan, Yi!" Sepertinya kelanjutan cerita versi Kak Roger belum kulewatkan banyak.
"Kalian mencium bau aneh nggak?" tanyaku memotong pembicaraan ini.
"Bau aneh? Oh iya, pas sebelum Faza hilang, yang aku bilang ada suara nafas orang, itu ada bau busuk di sekitarku. Semacam bau lumpur gitu deh," jelas Kak Bintang.
"Lumpur?"
"Menurut kamu apa, Bil?" tanya Kak Rayi.
"Tunggu, dia siapa sih? Gebetan baru lo, Yi?" tanya Kak Roger menunjukku.
"Heh! Kalau ngomong yang bener! Dia Nabila, adek kelas kita."
"Ah, yang bener? Kok gue nggak pernah lihat?"
"Mana pernah lu lihat, yang lu lihat kan yang seksi-seksi!" sindir Kak Bintang.
"Oh iya, bener juga, ya? Dia mah seleranya si Rayi," gumamnya namun masih dapat kudengar jelas. Kak Rayi melirikku dan terlihat salah tingkah, lalu memukul kepala Kak Roger kesal. "Diem lu! Sembarangan saja kalau ngomong!"
"Heh, sudah! Malah berantem! Jadi bagaimana, Bil? Aku yakin kamu bisa bantu kami, kata Rayi kamu ini yang bantu Faza kemarin, kan? Semua orang cuma tau kalau Faza hampir dilukai sama orang sakit jiwa, padahal kami yakin dia bukan orang sakit jiwa seperti yang guru-guru bilang. Iya, kan?" tanya Kak Bintang terlihat antusias.
Aku menatap mereka bertiga bergantian. Lalu menarik nafas dalam-dalam. "Oke, menurut cerita kalian, ada kemungkinan kalau Kak Faza masih ada di hutan itu. Mungkin danau itu sumber masalah ini. Karena kata Kak Bintang, kakak mencium bau lumpur, kan? Mungkin makhluk itu berasal dari danau itu."
"Makhluk? Makhluk apa?" tanya Kak Roger.
"Aku belum tau."
"Jadi kita balik lagi ke sana dong?"
"Iya, kita harus balik ke sana dan jemput Kak Faza sebelum terlambat."
Kami mulai menyiapkan semua perbekalan yang akan dibawa. Paling tidak kami harus menginap di sana, karena jarak ke tempat itu juga cukup jauh, dan aku sendiri tidak tau kapan makhluk itu akan muncul. Kalau menurut apa yang kudengar dari Kak Bintang dan Kak Roger, 'dia' muncul saat lewat tengah malam. Khas makhluk supranatural pada umumnya. Entah kenapa aku merasa kalau apa yang akan kami hadapi nanti adalah ruh atau hantu. Kami sepakat akan membawa 1 mobil saja. Kak Rayi juga sudah berganti pakaian, menggunakan kaus milik Kak Bintang. Kami harus segera berangkat sebelum malam.
Perjalanan sudah kami tempuh selama satu jam. Kak Bintang dan Kak Rayi duduk di depan, sementara aku dan Kak Roger di belakang. Aku lebih banyak diam, sambil memegang gawai di tangan. Terlintas di pikiran untuk memberikan kabar ke Papa, kalau aku akan pulang terlambat. Karena hari ini Papa memang ada di rumah. Sejak Mama meninggal, Papa lebih sering di rumah. Hanya melakukan kegiatan di kantor tanpa pergi keluar kota atau keluar negeri. Kami juga bukan tipe orang yang melakukan tahlilan di rumah. Mungkin gaya modernisasi memang sudah mendarah daging dalam keluargaku. Bahkan aku tidak tau, Tuhan mana yang Papa sembah.
Berkali-kali aku menatap benda pipih ini, memainkan nya di tanganku, sambil sesekali menatap jendela di samping.
"Mau ngabarin orang rumah? Buruan gih. Nanti kalau udah masuk hutan, udah susah sinyalnya," kata Kak Roger yang sepertinya melihat sikapku sejak tadi. Kak Rayi melirik sedikit ke belakang, karena dia duduk di depanku. Sementara Kak Bintang yang sedang menyetir hanya menatapku dari spion tengah. "Kamu belum ngabarin rumah, Bil? Wah, kita nggak mau kalau sampai dikira culik kamu loh," kata Kak Bintang menambahkan.
"Sudah kok, Kak," sahutku dengan memaksakan senyum. Kak Rayi yang melihatku hanya diam. Aku mengalihkan tatapanku ke jendela, menghindari sorot mata tajam Kak Rayi di depanku.
Matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Hawa dingin mulai menusuk tulang, dan aku yakin malam nanti akan lebih dingin dari saat siang. Api unggun sudah dibuat, tentu dengan keamanan yang terjamin.
"Kenapa kalian nggak pakai tenda ini aja kemarin, bukannya lebih aman kalau bareng-bareng gini, ya? tanyaku. Kami mulai membuat barbeque sederhana untuk mengisi perut kami yang mulai keroncongan.
"Nih, si Gila! Lupa bawa tenda, jadi kami beli tenda pas di jalan. YA udah, gitu deh hasilnya," umpat Kak Roger, menunjuk Kak Bintang.
"Kan udah gue siapin, lah elu main buru-buru pergi aja. Jadi ketinggalan, kan? Pakai nyalahin orang segala!"
"Kan gue bilang, cek bawaan, lah elu malah asyik main hand phone aja. Jomblo aja sok sibuk!"
"Kupret! Elu juga jomblo, gila!"
Kembali keramaian tercipta dari dua sahabat itu. Rupanya memiliki teman, terlihat menyenangkan. Karena selama ini aku bahkan jarang mengobrol dengan orang lain.
"Eh, kalian nyium bau ini nggak?" tanya Kak Rayi sambil menggerakkan hidungnya. Kami berhenti dan mulai melakukan hal yang sama seperti Kak Rayi.
"Iya, bau lumpur!"
Aku menatap jam di pergelangan tanganku. Bahkan saat ini belum tengah malam. Matahari saja baru tenggelam sekitar dua jam lalu. Aku melirik ke pintu tenda yang memang sudah kami tutup sejak tadi, nyamuk akan merangsek masuk jika tidak kami tutup. Kak Rayi memanggilku, seolah mencegah tindakanku. "Nggak apa-apa, Kak. Aku cuma mau cek aja," sahutku dan meneruskan niatanku.
Mereka bertiga diam di tempat. Aku mulai mengintip dari jendela kecil yang memang ada di depanku sekarang. Keadaan di luar terlihat sunyi. Apalagi kami semua kini diam seribu bahasa. Aku yakin mereka juga mulai takut, sama sepertiku sekarang.
"Bil ...," panggil Kak Bintang. Aku menoleh, sambil melebarkan senyum, agar mereka tidak terlalu cemas. "Aman kok." Namun saat aku kembali menatap keluar tenda, wajah seseorang tiba-tiba sudah ada di depan tenda kami. Sontak aku mundur dan terjatuh ke belakang. Kak Rayi berlari mendekat, begitu juga dengan Kak Bintang dan Kak Roger. "Kenapa, Bil?" tanya Kak Rayi.
Aku masih terpaku dengan jendela kecil di atas, terus menatapnya dengan wajah ketakutan. Kak Roger dan Kak Bintang dengan ragu ikut melihat keluar tenda. Mereka saling berpegangan dan perlahan mendekat ke sana.
"Nggak ada apa-apa, Bil," kata Kak Bintang.
"Iya. Nggak ada apa-apa kok. Memangnya tadi elu lihat apa?" tanya Kak Roger menambahkan.
Aku menelan ludah, sambil berusaha menetralkan napasku yang tidak karuan. "Tadi ... Tadi aku lihat Kak Faza di depan," jelasku pelan.
"Hah! Yang bener! Kok nggak bilang?!" cetus Kak Roger lalu membuka resleting tenda.
"Kak, jangan!" cegahku spontan.
Tangan Kak Roger yang belum sepenuhnya membuka pintu itu, terhenti. Dia menoleh dengan mengerutkan dahi. "Kenapa?"
"Itu bukan Kak Faza!"
"Masa sih?" tanyanya. Ia kembali mengintip dari jendela depannya, dan sontak matanya melotot tajam. Aku yakin dia juga melihat apa yang kulihat tadi. Dengan terburu-buru Kak Roger kembali menutup resleting tadi. Ia terlihat gugup dan ketakutan. Sampai-sampai Kak Bintang kebingungan, dan ikut melihat keluar tenda. "Astaga! Faza!" jeritnya.
Kak Bintang hendak membuka kembali tenda ini, namun Kak Roger mencegahnya. "Gila, lu! Mau cari mati lu, Tang?!"
"Itu Faza, kan?"
"Bukan! Lu nggak lihat mukanya aneh gitu?! Itu bukan Faza, bego!" umpat Kak Roger dan mulai menjauh dari pintu. Kak Bintang yang masih ragu, kembali mengintip dari jendela. Namun tiba-tiba dia terjatuh ke belakang sama seperti aku tadi. Kak Bintang terus mengumpat kesal. Dan kami berempat sudah gemetaran.
"Biar aku cek," kata Kak Rayi beranjak, namun aku tahan tangannya sambil menggeleng. "Nggak apa-apa, Bil. Kita harus tau siapa dan mau apa dia sebenarnya." Tanganku dilepaskan lembut oleh Kak Rayi, dan dia mulai mendekat dengan ragu.
Menunggu reaksi Kak Rayi membuatku tegang, namun dia justru makin mendekatkan kepalanya ke jendela. Kedua matanya juga menyipit seolah sedang melihat sesuatu yang agak jauh dari penglihatannya. "Kak, lihat apa?" tanyaku penasaran.
"Itu Faza bukan, ya?" tunjuknya dengan pertanyaan yang ditujukan pada kami bertiga. Tentu kami penasaran dan ikut mendekat ke Kak Rayi. Kini sosok yang tadi kami takuti justru sedang berada di dekat danau. Berdiri dengan menatap danau yang gelap di sana.
"Duh, bingung gue. Dia Faza bukan, sih? Kalau yang tadi di depan tenda, asli wajahnya serem banget. Iya, kan, Bil?" tanya Kak Roger padaku. Aku hanya mengangguk karena memang apa yang dia katakan benar.
"Terus gimana? Kita samperin apa ngga usah?" tanya Kak Bintang.
Sebelum kami memberikan jawaban, tiba-tiba Kak Faza malah menceburkan dirinya ke dalam danau. Sontak kami pun panik, dan segera membuka pintu. Berlari ke arah danau. Hening. Danau yang gelap membuat kami kesulitan melihat ke dasarnya. "Senter!" pinta Kak Rayi, dan Kak Bintang segera berlari kembali ke danau. Mengambil beberapa senter untuk menerangi tempat itu. Satu persatu kami mendapat senter, dan mulai melakukan pencarian ke dasar danau.
"Nggak kelihatan!" ujar Kak Roger, dan memang perkataannya benar.
"Duh, apa kita harus masuk ke dalam?"
"Gila lu! Nyebur malam-malam begini. Oh, No!"
"Terus gimana?"
Semua diam, aku pun sama bingungnya dengan mereka. Memang terasa aneh, karena aku tidak melihat di mana Kak Faza berada. Tapi tiba-tiba aku teringat perkataan Om Gio. "Kamu itu bisa mengendalikan mata batinmu sendiri, Bil."
Dan saat itulah aku paham, ada yang salah dengan situasi ini. Aku mulai konsentrasi, dan mencoba tenang. Kupejamkan mata untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Yaitu penglihatan. Memang selama ini aku sesekali dapat melihat makhluk halus yang berkeliaran di sekitarku, hanya saja aku lebih sering menolak untuk dapat melihat mereka karena merasa sangat terganggu. Dan selama ini 'mereka' yang mendekat atau muncul hanya lah ruh tersesat yang memang hanya lewat, bukan bermaksud mengganggu atau berniat jahat. Dan apa yang sedang kami hadapi sekarang adalah ruh jahat. Sesuatu yang gelap dan buruk, sedang menguasai tempat ini. Yang membuat beberapa orang menghilang secara misterius, hingga akhirnya tempat ini begitu ditakuti.
regmekujo dan 3 lainnya memberi reputasi
4